Part 4 (Mereka Ada di Bali)
"Tunggu dulu." Pria itu berucap. Ia mencoba menghalau Mama yang hendak masuk ke dalam ruangan Zeen, anaknya. "Saya mau ketemu Zeen, dia pasti ada di dalam!" Masih dengan napas memburu Mama mertuaku menjawab. Rona padam masih terpancar di wajahnya. Kilatan amarah itu terlihat jelas di sana. "Mohon maaf, Bu. Pak Zeen sedang rapat. Beliau tidak ada di ruangannya sekarang.""Lalu di mana ruang rapatnya?" Mama berkacak pinggang. Ia menoleh sambil tersenyum tipis padaku. "Zeen itu anaknya keras kepala, dia tidak ada perduli pada siapa pun. Biar Mama yang memintanya," ucap Mama yang menyerupai bisikan. Aku menganggukkan kepala. Mengikuti apa yang Mama mertuaku katakan. Kutarik napas panjang, lalu mengembuskannya pelan."Cepat katakan? Ruangannya ada di sebelah mana?" Mama mengulang pertanyaan membuat pria itu terlonjak. "Mohon maaf, Bu. Rapat sedang berlangsung sekarang, Ibu bisa menunggu Pak Zeen di ruangan beliau," jawab pria itu sopan. Mama mendengus, matanya menyala tajam. "Tidak ada waktu menunggu, cepat katakan! Kalau kamu tidak mau kasih tahu di mana ruangan rapat. Kamu panggil Zeen. Bilang padanya jika Mamanya datang!" seru Mama, nada bicaranya berapi-api. Pria itu tertegun, lalu menundukkan kepala. Tampak sekali dada Mertuaku naik turun seiring amarah yang membakar ubun-ubun. "Lebih baik kita tunggu saja, Ma. Siapa tahu rapatnya itu penting." Aku menyela, tidak enak jika harus membuat keributan di sini. Apalagi sekarang kami menjadi tontonan karyawan yang lalu lalang. "Tapi Na.""Ma, lebih baik menunggu dari pada mengganggu," potongku cepat. "Ya sudah kalau begitu, apa rapatnya masih lama?""Sebentar lagi selesai, Bu.""Suruh Zeen cepat menemui saya!" sergah Mama. "Baik, Bu," jawab pria itu. Setelah mendengar jawaban karyawan Zeen. Mama melenggang masuk ke dalam ruangan anaknya. Kuedarkan pandangan. Mengamati ruangan ini dalam diam sambil mengekori Mertuaku. "Mama itu udah gak sabar pengen uyel-uyel itu Salma! Beraninya dia hancurkan rumah tangga anak Mama!"Dengan kasar Mama duduk di sofa yang ada di ruangan ini. Lalu meletakkan tasnya asal. "Bukan hanya Mama, aku juga kesal Ma.""Setelah kamu tahu lokasinya nanti, kamu samperin langsung itu Reza. Kamu jadi istri jangan diam saja! Lakukan sesuatu, bertindak Nana! Reza memang anak Mama! Tapi selingkuh itu tidak dibenarkan!" pekik Mama sambil menggertakkan giginya. Belum sempat aku menjawab, suara decitan pintu membuatku dan Mama menoleh. "Ada apa Ma?"Zeen muncul dari sana, ia menutup pintu, lalu dengan gagahnya berjalan menghampiri kami sembari tangannya di memasukkan ke saku. "Lama sekali kamu Zeen, buruan kamu lacak keberadaan adikmu!"Kening Zeen mengernyit dalam, ia berdehem pelan. Menatap diri ini sekilas. "Untuk apa di lacak? Memangnya Reza ke mana?" tanya Zeen balik. Mama menghirup udara dalam-dalam. Ia berbalik badan menghadap Zeen. "Jangan banyak tanya, turuti saja apa kata Mama. Cepat kamu lacak keberadaan adikmu.""Benar, Zeen. Tolong kamu lacak di mana Mas Reza sekarang!""Aku sedang sibuk, lebih baik kalian berdua pulang saja.""Beraninya kamu usir Mama, mau Mama masukan kembali kamu dalam perut! Mau jadi anak durhaka kamu gak nurut apa kata orang tua!"Mama melototi Zeen, benar apa yang Mama bilang tadi. Zeen itu keras kepala. Dia tipe orang yang apatis terhadap sekelilingnya. "Bukan begitu, Ma,""Lalu apa? Jangan membantah Zeen! Cepat kamu lacak adikmu! Ini perintah dari orang yang sudah melahirkanmu! Kamu lupa, Mama mempertaruhkan nyawa buat ngeluarin kamu," cerocos Mama. Ada rasa gemas tersendiri mendapati Zeen mendelikkan matanya kepadaku. Ia memutar tubuhnya, lalu berjalan ke arah meja. Dan duduk di kursi kebesarannya. "Bisa lebih cepat Zeen,""Hem."Zeen membuka laptop, aku bangkit, lalu menghampiri Zeen."Ada masalah apa?""Itu adikmu bikin malu, dia selingkuh. Dan sekarang lagi pergi bulan madu sama si Salma, selingkuhannya!" jelas Mama. "Terus urusannya sama Mama itu apa, bukannya itu masalah Nana.""Jelas ada urusannya, Zeen. Kamu ini, bikin emosi Mama makin meledak!"Aku mengatur napas, Zeen si pria bermulut pedas. Tidak bisa kubayangkan jika aku pergi ke kantornya tanpa Mama. Bisa habis jadi bulan-bulan mulutnya. "Mama bisa hubungi Reza kan, kenapa harus di lacak.""Masalahnya itu ponsel Reza tertukar dengan punya Nana. Udah gitu, W* Mama diblok sama Reza!"Zeen memutar mata malas, ia bersandar pada kursi. "Sudah belum Zeen, kira-kira Mas Reza ada di mana sekarang?" Aku menggigit bibir, bertanya pada Zeen yang terlihat tak bersahabat. "C'k, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Mana, berikan ponsel Reza padaku," tutur Zeen. Tak ingin membuat Iparku semakin marah. Aku berjalan ke arah meja, mengambil ponsel Mas Reza. Lalu memberikannya pada Zeen. "Berapa PINnya?" Mulutku sedikit terbuka, Mama menyenggol lenganku. "Pin ponsel Reza, Na!" pungkas Mama. "Em, 2213 PINnya."Zeen tidak membalas, melainkan sibuk berkutat dengan ponsel milik Mas Reza. "Sudah Zeen!""Sabarlah, Ma.""Bagaimana Mama bisa sabar, adikmu itu selingkuh! Dia lagi enak-enakkan, dan bikin istri sama Mama kelimpungan di sini!""Stop, berhenti ikut campur urusan orang. Itu urusan Nana, biarkan saja sih bodoh itu yang menyelesaikannya," cibir Zeen. Mataku memicing, kedua alisku saling bertaut. Aku memejamkan mata, menahan sesuatu yang mendesir di dada."Apa katamu, Zeen. Jadi kamu tidak ikhlas membantuku!""Sudah cukup, jangan bertengkar. Zeen tolong kondisikan mulutmu! Kamu itu laki kenapa lemes sekali sih!" pekik Mama. Aura dingin melekat kuat dalam diri Zeen. Aku dan Mama mengawasi pria itu tanpa berkata apa-apa lagi. "Mereka sedang ada di Bali."Pupil mataku membesar, rasa benci yang sebelumnya tak pernah tumbuh kini melekat di jiwa."Tempatnya di mana?" Mama bertanya. Cukup lama Zeen diam sebelum ia kembali berbicara. "Reza menyewa salah satu gedung di Bali untuk resepsi Besok pagi. Setelah itu dia menyewa hotel di sana untuk bulan madu. Sayang sekali hanya dua hari."Aku mengerutkan kening, karangan cerita macam apa ini. Dari mana Zeen bisa tahu, apa jangan-jangan ia membantu adiknya itu. Ah sebenarnya, mereka itu sudah nikah apa belum?"Zeen dari mana kamu tahu semua itu? Apa kamu sedang mencoba membodohiku dengan ceritamu!" tudingku. "Lihatlah Ma, menantumu itu tak tahu diri. Selain bodoh dia juga tidak tahu berterima kasih!""Zeen," bentak Mama. "Nana banana, suamimu dan sahabatmu itu bertukar pesan lewat email. Mereka chatan di sana, dan yang kukatakan tadi itu kesimpulan dari apa yang mereka bahas di email!" ucap Zeen penuh penekanan. Ia mengarahkan ponsel Mas Reza padaku. Aku seketika linglung, kenyataan macam apa ini. Hari ini aku benar-benar dibuat terkejut."Sekarang mereka ada di Bali, aku harus ke sana. Aku tidak akan biarkan mereka tersenyum bahagia di atas penderitaanku." Aku berjalan mengambil tas. Tampak Mama menanyakan gedung dan hotel yang Mas Reza booking. "Mama temani kamu, Nana.""Tidak perlu Ma, aku sudah terlalu banyak merepotkan Mama.""Mama tidak merasa direpotkan. Lagi pula Mama ke pengen ketemu Reza," ucap Mama. "Zeen, tolong pesankan kami berdua tiket pesawat ke Bali sekarang," imbuhnya. Zeen menggerutu kesal. Ia terlihat keberatan. "Apa tidak bisa melakukannya sendiri! Jangan manja Banana!""Cukup Zeen, adik iparmu sedang ada masalah. Cepat pesankan Mama tiket ke Bali.""Ya ya, buatlah kekacauan. Lakukan apa yang ingin kalian berdua lakukan. Mama suruh saja Haris pesankan kalian tiket pesawat."Kesabaran Mama mulai habis. Wanita itu melepas sandalnya, dan mengarahkan pada Zeen. "Nurut atau Mama lempar kamu pakai sandal!""Ya Tuhan ibu kandung rasa tiri," gumam Zeen. "Apa katamu!""Pergilah, aku akan pesankan kalian berdua tiket ke Bali," putus Zeen. Aku berjalan mendekati Zeen, mengambil ponsel Mas Reza dari tangannya. Beberapa detik pandangan mata kami bertemu. Tak lama, aku segera memalingkan muka. "Kita ketemu di bandara, Nana.""Tapi Ma—""Nana, Mama itu gemas sekali sama kamu. Apa kamu tidak ke pikiran untuk amankan aset-aset penting. Pulang, dan selamatkan apa yang perlu di selamatkan. Jangan biarkan jalang itu menikmatinya!" Aku terperangah, lagi-lagi mertuaku yang bertindak. Otakku ini kenapa buntu sekali. Entah apa jadinya aku tanpa Mamanya Mas Reza. "Lihat sendiri kan, kenyataannya kamu memang bodoh Nana.""Diam lah Zeen. Sekali lagi kamu bilang aku bodoh kurobek mulutmu!""Kenapa meski marah, kenyataannya kau memang bodoh kan." Aku melipat kedua tangan di dada. Zeen bangkit, ia menunjuk-nunjuk wajahku. "Sudah cukup, kalian kenapa jadi berantem. Nana, lebih baik kamu pulang. Kamu urus apa yang Mama katakan tadi."Aku beringsut mundur, lalu menatap Mama. "Iya Ma.""Hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut. Kita ketemu di bandara.""Oke."Dengan muka kusut aku berjalan meninggalkan ruangan Zeen. Aku akan mengamankan aset-aset penting yang ada di rumah sebelum pergi ke Bali.Lihat saja nanti, aku akan mempermalukan kalian. Awas saja kamu Mas, kamu membuatku benar-benar marah sampai rasa cintaku padamu hilang entah ke mana.Part 5 (Lempar Telur!)Setibanya aku di rumah. Aku langsung menggeledah lemari tempat di mana Mas Reza menyimpan aset berharga. Tanpa pikir panjang lagi aku lekas mengambil berkas-berkas penting. Tidak sampai di situ, brankas yang sempat mencuri perhatianku pun tak luput kubuka, mataku berbinar kala menemukan uang yang jumlahnya tidak lah sedikit. Hati boleh sakit Nana, tapi otakmu itu harus tetap waras. Itulah yang Mama mertuaku katakan.Tak ingin membuang waktu, aku lantas mengambil uang tersebut. Kumasukkan semua uang itu ke dalam tas kecil milikku. Aku tidak akan ikhlas kalau Salma yang menghabiskan uang-uang tersebut. Lebih baik kusimpan sebagai tabungan untuk masa depanku. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi nanti. "Sertifikat rumah ini udah. Perhiasan juga udah. Uang udah. Ini saatnya aku susul Mas Reza dan Salma ke Bali!" Kututup pintu lemari, lalu menguncinya. Kemudian berjalan meninggalkan ruang kerja Mas Reza sambil menjinjing tas. Berulang kali aku menghel
Part 6 (Jual Beli Bacotan)Musik tiba-tiba saja berhenti, lagu yang tadi mengalun merdu di telingaku kini tak lagi terdengar. Para tamu undangan saling menatap sambil berbisik-bisik. Mungkin mereka terkejut, mendapati seorang wanita yang datang dan langsung membuat kekacauan di pesta semeriah dan semegah ini."Nana," ucap Mas Reza, ia menelan ludah kasar. Pupil matanya masih membesar. Tangan yang tadi melingkar di perut Salma kini terlepas. Senyum merekah yang terukir di bibirnya telah di ganti dengan raut keterjutan. "Apa, Mas? Mau ngomong apa kamu, hah? Mau bilang ini semua tidak benar Nana? Ini sandiwara, begitu, hah! Kamu pikir aku ini, bodoh! Dasar munafik! Dan kamu Salma! Kamu tega hianati persahabatan kita. Apa kurangnya aku selama ini? Sampai hati kamu tikung sahabatmu sendiri! Otakmu itu kamu taruh di mana!" ujarku seraya menunjuk-nunjuk wajah Salma. Dadaku naik turun seiring amarah yang menggebu-gebu. Kulempar telur busuk ke arah Salma saking geramnya aku melihatnya. Jijik.
Part 7 (Kacau Sudah)"Tutup mulutmu Reni! Lebih baik kamu ajari itu menantumu sopan santun. Haknya Reza mau nikah lagi atau tidak. Kamu lebih baik diam saja. Ibu macam apa kamu ini yang lebih membela anak mantu. Ketimbang anakmu sendiri!" hardik Tante Rona. Mama yang mendengar hal itu tentu saja tidak terima. "Apa kataku? tidak salah dengar aku ini, hah. Ajari itu anakmu biar tahu malu, sini kembalikan uangku. Penipu, kulaporkan polisi mampus kau Rona!" murka Mama. Seketika raut wajah Tante Rona berubah. Wanita paruh baya itu mengerjapkan matanya tak percaya. Mama menyeringai tipis. "Kenapa diam? Takut kau, hah! Seenaknya kau hina menantuku! Lihat Nana, dia jauh lebih berkelas ketimbang anakmu yang murahan itu!" tuding Mama berapi-api, gemuruh dalam dadanya membuncah hebat. Hanya ada emosi yang merasuki dirinya. "Ma, menantumu bukan hanya Nana, aku juga. Aku ini sekarang istrinya Mas Reza. Mama harus tahu itu." Salma menyahut membuat Mama langsung menatap perempuan itu tajam. "Men
Part 8****"Salma, tolongin Ibu! Ibu gak mau masuk penjara, Salma!" teriak Tante Rona. Wajah Salma berubah bias. Ia seketika panik mendapati tangan Ibunya telah dibrogol polisi. "Ibu ..." panggil Salma, perempuan itu mengangkat gaunnya, ia lari berbirit-birit menghampiri ibunya. Tidak perduli kotoran telur itu berceceran di lantai, atau suara cibiran orang yang mengatakannya bau dan meneriakinya pelakor. "Lepaskan Ibuku, jangan coba-coba kalian bawa ibuku ke kantor polisi! Ibuku tidak bersalah," hardik Salma, ia menatap garang polisi yang membawa paksa Tante Rona. Sudah tahu salah, ngeles terus. Tidak anak, tidak Ibu, mereka berdua sama saja. Tampang mereka yang jahat itu selama ini tertutup dengan rapi. Tapi kali ini, tidak lagi. Tuhan telah membuka kedok mereka yang busuk itu. "Hee, Salma! Menyingkir lah kau, jangan ikut campur! Ibumu itu seorang penipu, dia sudah membawa kabur uang arisan 1, 5 miliyar, dan dia membawa kabur tas branded ku yang harganya tidak murah!"Mataku mem
Part 8 (Kegaduhan II) *** "Sudahi dramamu, seret aja kalau gak mau." Tak lama. Tante Rona akhirnya di bawa polisi, Salma menangis melihat punggung Ibunya yang mulai jauh. Tamu undangan memberikan sorakan. Nampak Mas Reza mengusap wajahnya kasar. "Lihat Nana, ini semua akibat ulahmu. Ibuku tidak bersalah malah harus jadi korban kebusukkanmu!" "Huh, ngaca, dikit-dikit nyalahin Bu Nana. Coba aja introspeksi dirimu! Ibumu itu salah, penipu memang pantas di penjara. Udah merugikan banyak orang!" Salma terdiam, terdengar suara Mas Reza. Pria itu berbicara melalui Microphone. "Mohon maaf atas kejadian yang tidak mengenakan ini. Kalian bisa meninggalkan tempat ini." "Terima kasih karena berkenan hadir di acara repsepsi pernikahan saya," tuturnya. Aku melirik Zeen, ia membalas lirikan ku. "Apa pun yang terjadi, Mama menitipkanku padamu." "C'k, dasar menyusahkan," cibir Zeen. Aku berjalan ke arah Mas Reza. Kilatan amarah terpancar di matanya. "Nana!" bentak Mas Reza. Rasa ta
Part 9 (Si Mulut Pedas)"Banana, tunggu aku di mobil," ucap Zeen merapikan kemejanya. Aku memicingkan mata. "Namaku Nana Zeen, berhenti memanggilku Banana." Aku berdecak kesal, Zeen mulai memancing emosiku. Aku masih kesal dengan adiknya. Dan kini ia mengaduk-aduk amarahku yang mulai surut. "Mau Banana, mau Nana, sama saja, kau tetap tol*l dan b*doh!"Aku berhenti, lalu memutar badan. Apa katanya tadi? Apa aku tak salah dengar? Ia menyebutku t*lol dan b*doh?"Zeen jangan membuatku marah, aku tidak akan segan-segan mencekik lehermu!" Aku mendelikkan mata, Zeen mengedikan bahunya. "Aku bicara kenyataan, Nana! Ini fakta, tanpa Mama kau tidak akan bisa menang!""Kau lihat tadi, adikmu kutampar 2 kali, kupukul dengan tasku. Kulempar mereka dengan telur, apa kau mau kulempar dengan telur busuk juga?" Aku menyilang kedua tanganku. Tampak dahi Zeen mengerut heran."Kau terlalu bar-baran Nana, dan lihat ini. Akulah yang susah!""Aku tidak memintamu mengurus kekacauan yang kubuat. Aku akan m
Part 9 (Si Mulut Pedas II)****Aku keluar dari ATM dengan senyum mengembang. Berharap pria itu tak menyadari kalau Atm-nya hilang. Aku akan menguras habis uangnya setiap hari. "Banana, cepatlah, kau ini lelet sekali," teriak Zeen, ia bersandar pada badan mobil."Sabarlah, Zeen, aku sedang tak ingin bertengkar denganmu." Aku mencibik dalam hati, gegas kuayun langkah cepat menghampiri pria menyebalkan itu. Tiba didepannya, Zeen kembali bertanya. "Apa yang kau lakukan dengan kartu ATM adikku?""Menurutmu?" Aku berbisik di telinganya. "Reza bisa bangkrut kalau kau terus mengambil uangnya?""Itu lah tujuanku Zeen, aku menginginkan sebuah kehancuran terjadi pada adikmu," jawabku penuh penekanan.Zeen menatapku datar, tak ingin mendengar cibirannya, aku lekas masuk mobil. "Zeen aku pernah dengar dari Papa, kalau kamu menanam saham di perusahaan Mas Reza, benar?"Mendengar pertanyaanku Zeen menoleh. Sebelah alisnya terangkat, matanya menyipit. "Kau tau dari mana?""Aku kan bilang, aku
Part 10 (Istri Macam Apa, Nana?) Pov Reza. **** "Kamu lihat pesta kita, Mas. Nana udah bikin kekacauan di sini. Pesta yang kuimpikan sejak lama hancur karena ulahnya yang kurang kerjaan itu!" Salma berucap sambil mengedarkan pandangan. Sialan Nana. Istri macam apa dia? Bisa-bisanya dia mempermalukan suami dan sahabatnya sendiri. Pesta pernikahanku dan Salma berantakan karena ulahnya. Kami bahkan belum sempat berbulan madu, dan kini sudah ketahuan oleh keluarga besarku. Huft, apes. Aku meringis, menahan perih di sudut bibir. Kuusap sudut bibirku yang robek, ada darah di sana yang masih belum kering. "Ah, jancok!"Lagi-lagi umpatan keluar dari mulutku. Tamparan dari Nana meninggalkan jejak kemerahan yang masih terasa ngilu. Bukan hanya aku, Salma pun turut menjadi amukan Nana. Rona merah masih membekas di pipinya. Aku seperti tidak mengenali Nana. Terlebih Bang Zeen yang terus mengompori Nana. Belum lagi Mama yang membuat mertuaku itu di tangkap polisi. Katanya Ibunya Salma itu p