Part 33 (Rasa Dengki Yang Mendarah Daging)****"Ana, Will you marry me?" Berulang kali Nana mengerjapkan mata, buliran bening yang menumpuk di sana tak terasa sudah meleleh. Disekanya detik itu juga. Tak bisa Nana bohongi, ia terharu sekaligus bahagia. Terharu dengan ucapan Zeen barusan. Dan bahagia, akhirnya Zeen mau mengungkapkan perasaannya. "Zeen, apa ini mimpi?" Nana kembali bertanya. Sosok pria yang kini berdiri di hadapannya itu adalah Atarik. Di temani gelapnya malam, Zeen memberikan sebuah kejutan yang tidak pernah Nana duga sebelumnya. Pria itu menghias kamarnya dengan balon, dan jangan lupakan puluhan boneka dan mawar yang ada di sana."Ini bukan mimpi Ana, ini nyata," jawabnya. Ia bahkan memanggil namaku seperti dulu. Senyuman tipis terukir di sudut bibir Zeen. Ia masih berjongkok menunggu jawaban dari Nana. Irama jantung pria itu berdetak cepat. Dipandangi Nana dengan cemas. Ia harus siap dengan apa pun keputusan Nana. Ia tidak boleh egois, patah berkali-kali membuatn
Part 34 (Iri? Bilang Bos!) ****POV Nana. [Duh Jeng Reni. Nana sama Zeen memang cocok. Titip salam buat Nana. Semoga setelah menikah nanti mereka berdua cepat dapat momongan. Dan mudah-mudahan ini yang terakhir.]Kujatuhkan pantatku di kursi. Asyik menggulir layar ponselku, menemukan postingan Mama di sana. Iseng, kulihat kolom komentar. [Duh Jeng, kayaknya Reza itu cuman jagain jodoh Abangnya doang.] [Akhirnya kapal Zena berlayar juga, wkwkwk.] Berbagai macam komentar mewarnai postingan Mama di aplikasi biru itu. Namun, tak lama, setelah kugeser ke bawah. Kutemukan salah satu komentar yang begitu menohok. Singkat, padat, namun terasa begitu menyakitkan.[Basi. Jijik, dasar mur*han.] Begitulah komentarnya.Komentar itu dari akun bernama Ira Fratiwi. Yang kuyakini itu akun Ibuku. Aku tersenyum hambar. Apa Ibu tidak pernah merindukanku? Bertahun-tahun ia menelantarkanku. Apa tidak ada sedikit pun niatan untuk memelukku walau hanya sebentar? Di sini aku sedang terluka, tidak ada
Part 35 (Alasannya?)**** POV Zeen "Zeen, apa adikmu itu tidak jijik dengan Salma? Istrinya itu kan sering open B*? Apa dia tidak takut kalau sewaktu-waktu kena penyakit kelamin?" tanya Nana sembari menggekoriku ke kamar. Terdengar suara Mama yang masih berusaha mengusir Reza. Mereka bersikeras untuk tinggal di sini. Astaga, entah mimpi apa aku semalam. Kehadiran Reza membuatku tidak tenang. Aku takut Nana kembali menempel pada kutu itu. "Reza udah pasti jijik Na, tapi ego dan gengsinya tinggi," jawabku tanpa meliriknya. Aku mengenal betul watak adikku itu seperti apa. Ia anti menjilat ludah sendiri. Padahal sudah jelas, Salma tidak pantas untuk ia pertahankan. "Maksudnya? Dia bertahan karena gengsi?" Alis Nana bertaut, ia mengikutiku kenapa pun kaki ini melangkah. "Iya. Kamu lihat sendiri kan tadi. Dia lebih memilih bertahan, karena kalau dia bercerai, dia merasa menjadi bahan olok-olokan."Nana manggut-manggut mendengar penjelasanku, ia menarik napas, kemudian menghembuskannya
Part 36 (Ancaman!)****"Bukti yang kemarin kau bawa itu kau kumpulkan jadi satu, taruh ditempat yang aman, jangan sampai ada orang yang mengambilnya. Karena setelah kita ketemu dengan pelakunya, semua bukti akan kita lempar ke polisi." Aku berujar pada Haris. Setelah selesai berbicara dengan Pak Teguh kami meninggalkan restoran. Cerita dari Pak Teguh tadi setidaknya mengurangi rasa penasaranku. Aku tak lagi bertanya-tanya tentang alasan Idro membenci Nana, karena sudah kutemukan jawabannya. Dendam di masa lalu yang membuat Nana menjadi korban keganasan orang tuanya. Aku kini tinggal memburu pelaku yang mesabotase mobilku. Ia bisa menjadi sanksi kuat untuk menjebloskan Idro ke penjara. Ia juga satu-satunya orang yang bisa membuat Idro tak berkutik. Karena Idro lah yang membayarnya seperti halnya yang Idro lakukan pada Pak Ari Kusuma.Sejauh ini aku sudah mengantongi identitasnya, berupa nama, dan sebuah foto yang kudapatkan dari Jordan. Tinggal melacak keberadaan orang tersebut, dan
Part 37 (Kenyataan Pahit) *****POV Nana.Sejak mimpi buruk itu, aku sama sekali tidak bisa tenang. Berbagai prasangka turut mengisi benak ini. Dalam mimpiku, aku melihat Zeen berbaring di rumah sakit dengan ditopang alat-alat medis. Rasa khawatir dan cemas selalu datang menghantuiku, terlebih saat aku sedang jauh darinya. Seperti hari ini. Aku bahkan sampai nekat menyusul Zeen ke kantor demi mengobati rasa cemasku yang berlebihan itu. Aku tidak mau hal buruk terjadi padanya. "Kamu antar makan siang Zeen?" tanya Mama setelah menghempaskan tubuhnya ke sofa. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban, lalu meletakkan susu kotak yang habis kuseruput itu di meja, lantas mengusap sudut bibirku yang sedikit belepotan. "Berarti kamu masak tadi itu buat Zeen?" tanya Mama Reni lagi. Tatapan matanya penuh selidik. Aku tersenyum canggung sembari mengangguk malu-malu. "Iya, Ma.""Ada apa kalian datang ke sini?" Zeen menyela, ia menatap pasangan suami istri itu bergantian. "Papa mau bicara pen
Part 38 (Dia, Lah?)****Tak berselang lama taksi yang kupesan datang. Bergegas aku masuk, dan duduk di jok belakang. Tanganku bergerak menyeka buliran bening yang membasahi pipi. Aku tidak menyangka, kalau Ayahku lah penyebab kecelakaan Atarik 5 tahun yang lalu. Pantas saat itu Ayah menemuiku, dan mengatakan, jika aku tidak akan pernah bertemu dengan Atarik lagi. Bodoh, harusnya aku peka! Harusnya aku mencari tahu keberadaan Atarik. Bukannya malah diam, dan berlabuh pada hati yang salah. Dan ini lah yang kudapatkan. Aku dibuat menyesal akibat ulah ayahku sendiri. Lucu bukan?"Bu Nana ya?" tanya sopir sembari menatapku. Aku mengangguk pelan, jantungku masih berdegup kencang. Sesak ini kian mendera dada. Apa salahku? Kenapa tidak ada yang mau menjelaskan di mana letak kesalahanku. Kenapa mereka membenciku Tuhan? Kenapa?"Sudah siap Bu?""Sudah, Pak," jawabku lagi. Perlahan-lahan taksi yang kutumpangi mulai berjalan meninggalkan parkiran kantor, aku pergi tanpa seizin Zeen. Tidak bisa
Part 38 (Dia, Lah?)***Apa ini ada hubungannya dengan kecelakaan Atarik. "Beri saya waktu tuan!" ucap Pria itu. Ayah beranjak dari kursi, buru-buru kukeluarkan ponselku. Segera aku meluncur ke kamera, dan mencoba mengambil video percakapan mereka. Jangan tanya bagaimana jantungku? Meski takut ketahuan. Aku tidak akan mundur. Terlebih ini menyangkut Atarik. "Saya tidak suka dibantah! Pria yang kau sabotase mobilnya sekarang sedang memburumu! Kau tak mau kan membusuk di penjara!"Aku terlonjak, pupil mataku membesar.Jadi dia orang yang mesabotase mobil Atarik. "Bukan kah kasus itu sudah berakhir Tuan!""Apanya yang berakhir, pria itu masih hidup! Jangan banyak tanya, tinggalkan saja rumah ini. Pergi jauh dari sini!"Rona padam terlihat jelas di wajah Ayah. Napasku tak terasa tersengal-sengal. Buru-buru aku menundukkan kepala saat anak buah ayah melempar tatapan ke arah jendela. "Kita harus pergi ke mana Tuan!""C'k! Itu urusanmu, yang saya mau. Kamu tinggalkan kota ini! Atau tid
Part 39 (Menginterogasi!)****"Siapa itu?" teriak Ayah, suaranya membuatku terperangah. Detik itu juga aku kelabakan. "Van, buruan kamu periksa!" titah Ayah pada anak buahnya. Gawat, bagaimana ini? Aku panik bukan main, berulangkali aku celingukan, tidak ada tempat persembunyian yang aman. Tiba-tiba saja ada yang membekap mulutku dari belakang. Belum usai keterjutanku. Kini aku di seret mundur. Dan bersembunyi di balik pohon mangga."Hmmpp."Aku melawan dengan mencoba melepaskan tangan itu dari mulutku, namun upayaku gagal, kucoba menoleh. Aksiku berhenti saat seorang pria tiba-tiba saja muncul, ia berdiri di samping rumah. Persis seperti posisiku tadi saat menguping. "Tidak ada siapa-siapa, apa mungkin tadi suara kucing." Pikir pria itu, ia menatap sekeliling sembari garuk-garuk kepala. Matanya menelisik sekitar, sepi. "Siapa Van?" Refleks Van menoleh, ia menatap Ayah yang berdiri di belakangnya. "Tidak ada siapa-siapa, Tuan,""Apa mungkin ada yang membuntuti kita?""Tidak mun
Part 64 (Sempurnanya Bahagiamu) ****Tak terasa waktu begitu cepat berlalu, kini usia kandungan Nana sudah memasuki sembilan bulan. Kata Dokter, seminggu lagi perempuan itu diperkirakan akan melahirkan. Segala keperluan sudah Zeen persiapkan, Zeen juga meminta pada Mamanya untuk menemani Nana saat ia tak ada di rumah. Wanita paruh baya itu sudah sejak semalam tinggal di sana. Sementara sang suami, sesekali datang berkunjung di sela kesibukannya bekerja, dan menemani sang putra yang masih berada di rumah sakit. Reza masih berjuang melawan penyakit yang menggerogoti tubuhnya. "Ya ampun, Na. Mau ke mana?" Mama Reni tampak terkejut saat mendapati sang menantu berjalan tertatih keluar dari kamar. Buru-buru ia menghampiri Nana, dan memapah menantunya agar tak jatuh. "Mama lagi apa?" tanya Nana. Mereka berdua berjalan menuju sofa yang ada di ruang tengah. Mama Reni membawa Nana ke sana."Mama lagi bersih-bersih terus lihat kamu, kamu kenapa keluar dari kamar sayang?" Dengan penuh kelembu
Part 63 (Gendutan Yak?)****"Iya, yang itu—ah tidak, jangan yang itu. Yang sampingnya Mang. Sudahlah Mang, lebih baik Mang Kasep turun, biarkan saya sendiri yang manjat." Zeen berujar pada Mang Kasep yang kini berada di atas pohon. Nana yang melihat hal itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Dirinya yang hamil, justru sang suami yang mengidam, morning sickness dan segala macamnya. Sejak kedatangan Ibunya ke rumahnya beberapa hari yang lalu, Nana mulai kembali pada aktivitasnya. Beban yang bersarang pada pundaknya perlahan berangsur hilang. Ia mulai menikmati hidupnya. Toh sekarang hidupnya sudah lengkap dengan keberadaan Zeen dan tentunya dengan kehadiran sang buah hati yang masih mereka nantikan."Tapi Tuan," keluh Mang Kasep. Lelaki itu menunduk, menatap Tuannya."Saya bilang turun, Mang. Biarkan saya sendiri yang ambil." Sambil mendengkus Zeen menjawab perkataan Mang Kasep. Tanpa menunggu perintah dua kali, Mang Kasep segera turun. "Biarkan Mang, Ibu hamil satu ini memang aktif," c
Part 62 (Damai)****Matahari semakin turun ke perut bumi. Gelap mengiringi, dan angin malam mulai berhembus pelan memasuki ruangan bernuansa putih itu. Reza merasakan hawa di sekitarnya mulai dingin. Ia merapatkan selimut, mengigit ujung bibir menahan nyeri dalam hati. Entah perasaan apa ini? Hanya rasa sesak yang menguasai hatinya. Ia telah terbelenggu oleh rasa bersalah yang ternyata semakin hari, semakin menjadi-jadi. Rasa yang tak mungkin bisa lagi ia ulang. Untuk ikhlas pun rasanya berat. Huft. Tarikan napas berat Reza ambil."Reza ..."Mendengar namanya dipanggil, lelaki berambut hitam itu segera menyudahi lamunan, ditatap kembali wajah sendu Mamanya dari balik layar ponselnya. Dirinya merasa menjadi orang paling bodoh di dunia ini. Ia telah membuang berlian, dan menukarnya dengan bongkahan batu. Dan parahnya, berlian yang ia buang itu telah dipungut oleh orang yang tepat. "Kamu kenapa? Are you okey?""Nana hamil Ma?" tanya Reza. Ia mati-matian menahan gelombang yang menghimpi
Part 61 (Baby Twins?)****"Nana, bagaimana kabarmu? Kamu nyaman kan tinggal bersama Zeen? Apa Zeen memperlakukanmu dengan baik?" tanya Mama Reni melalui sambungan telepon. Wanita itu sungguh merindukan menantunya. Setelah Zeen memboyong Nana pergi rumahnya tampak sepi. "Kabarku baik Ma, hanya saja ada sedikit masalah. Zeen memperlakukanku dengan baik. Bagaimana kabar Mama?" jawab Nana pelan. Ia berlari berbirit-birit ke kamar mandi saat mendengar suara rintihan. Dengan kasar Nana membuka pintu, dan langsung menemukan Zeen yang membungkuk di wastafel."C'k, menyusahkan. Sudah berapa kali kukatakan, kau ini butuh ke Dokter. Jangan nakal bisa tidak, seharian ini kau terus saja memuntahkan isi perutku, membuatku repot mengurusmu," cerocos Nana. Ia menaruh benda pipih itu di dekat telinga dan menghimpitnya dengan pundak. Lalu dengan sedikit kasar ia mulai memijat tengkuk Zeen. Nana benar-benar dibuat geram. Pasalnya seharian ini Zeen terus saja muntah-muntah. Bahkan pria itu berkali-kal
Part 60 (Ck, Rujak?) **** Sinar mentari pagi menerobos masuk melalui celah jendela. Cahaya keemasan itu tak terasa menerpa wajah Nana, seketika ia menggeliat. Ia meraba sisi kanan yang ternyata sudah kosong. Di mana Zeen? tanya Nana dalam hati. Nana melenguh pelan, ia mulai membuka mata, dan mengedarkan pandangannya pada kamar bernuansa hitam ini. Ia mencari keberadaan suaminya. Membuat benaknya bertanya-tanya. Tidak biasanya Zeen pergi kerja tanpa pamitan padanya. Terlebih ia meninggal Nana yang masih ingin bermanja-manja dengannya. "Zeen," panggil Nana setengah berteriak. Ia masih bergulat dalam selimut. Melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 7 pagi. Dengan malas Nana bangun, ia bersandar pada kepala ranjang sambil mengucek matanya. Semalam setelah pulang dari rumah sakit, mereka berdua menghabiskan malam panjang dan panas. "Zeen ..." Lagi-lagi Nana memanggil nama suaminya. Nihil, tak terdengar sahutan. Hanya keheningan yang perempuan itu rasakan. Kamarnya sunyi, sepertiny
Part 59 (Talak & Pencerahan)****"Pergi kamu dari sini!" pekik Abraham marah. Setelah semuanya beres, ia segera menurunkan koper Ira, dan membawanya keluar. Membuat wanita itu seketika panik.12 tahun bersama, ini kali pertamanya lelaki itu bersikap seperti ini padanya. Abraham tidak pernah marah sampai sebesar ini, dan mengusirnya begitu saja. Seperti yang terjadi sore ini. Hal itu tentu membuatnya kelimpungan. Dan tak tahu harus berbuat apa demi meredam emosi suaminya. "Kamu dengarkan aku dulu, Mas!" Ira berucap seraya menyusul suaminya, berulang kali ia mencoba menyentuh lengan Abraham. Namun, dengan cepat lelaki berambut hitam itu menepisnya. Amarah telah menguasai dirinya. Tak ada kata penjelasan, bagi lelaki itu semuanya sudah jelas. "Tidak ada yang perlu dijelaskan, semuanya sudah jelas! Kamu sudah mengkhianati pernikahan kita!""Itu sudah lama!" sanggah Ira. Abraham mengayun langkah cepat menuruni tangga. Ia melempar koper itu setibanya di teras rumah. "Pergi!""Mas, aku
Part 58 (Enyah Kau Dari Hadapanku!)****Pov Author"Keterlaluan kamu Ira! Aku tak habis pikir denganmu. Apa yang kamu lakukan ini membuatku kecewa!" tutur Abraham, ia marah pada istrinya. Pria berambut hitam itu membanting pintu mobilnya kasar. Lalu berderap memasuki rumah. Tampak gurat kekecewaan menghiasi wajahnya. "Aku bisa jelaskan!""Mas, dengarkan aku dulu! Aku punya alasan. Kamu tidak bisa dong bersikap seperti ini. Dan menyimpulkannya langsung!""Mas Ham!" panggil Ira, wanita itu terus berucap sampai suaminya mau berhenti, dan mendengarkannya."Apa yang ingin kamu jelaskan! 12 tahun, 12 tahun Ira kamu membohongiku. Ibu macam apa kamu ini! Aku benar-benar tak habis pikir, kamu tega membuang anakmu sendiri! Apa yang kamu pikirkan saat itu, hah!" lanjut Abraham. Dadanya bergemuruh hebat, sesampainya di rumah mereka justru bertengkar hebat. Ira Pratiwi, wanita yang sudah 12 tahun ini mendampinginya. Begitu tega Ira membodohinya. Teringat tatapan perempuan itu, membuat Abraham m
Part 57 (Keterlaluan Kamu Ira!)****"Mas Ham ...." Dengan cepat Bu Ira menghampiri suaminya, setiap gerak-geriknya tak luput dari perhatianku. Ia belum menyadari keberadaanku. Tak ada penyesalan di matanya. Setelah bertahun-tahun ia menelantarkan Nana, tidak ada sedikitpun rasa bersalah itu tampak. Ya Tuhan, manusia seperti apa Bu Ira ini? Darah dagingnya sendiri seperti tak berarti.Kulihat Pak Abraham mematung, lelaki berperawakan tinggi serta berperut buncit itu tampak sedang bergelut dengan pikirannya sendiri. Kalian pernah mendengar peribahasa seperti ini, sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui. Ini kesempatan bagus bagiku untuk membongkar kebusukan Bu Ira. Pasti Pak Abraham akan kecewa dan menyayangkan sikap Bu Ira yang semena-mena pada putrinya. Terlebih dengan kejamnya, Bu Ira mengatakan Nana yang masih hidup itu mati. "Mas, kok kamu berdiri di situ bukannya nyamperin aku?" tanya Bu Ira. Pak Abraham melirikku. Bertanya, atau menelan berita mentah-mentah itu pili
Part 56 (Istrimu Itu?)****Pov ZeenBaru semalam Nana dipeluk Ayahnya, dan kini tubuh itu telah menyatu dengan tanah. Kenapa secepat ini? Bahkan di saat istriku baru saja merasakan kasih sayang Ayahnya. Bulir-bulir bening terus mengalir dari pelupuk mata Nana. Tak bisa kujelaskan bagaimana hancurnya ia sekarang. Nana selalu berharap dapat mengabiskan waktu bersama dengan Ayahnya. Mengabadikannya menjadi momen indah. Memang Tuhan mengabulkannya, tapi sayang hanya beberapa menit. Setelah itu Nana benar-benar kehilangan. Sosok yang harusnya jadi panutan, yang bisa menjaganya, melindunginya, menyayanginya tanpa jeda, ternyata menjadi orang yang paling kejam dalam memberinya derita. Ketika Idro menyadari perbuatannya, Tuhan langsung mengambilnya. Padahal Idro belum merasakan seujung kuku penderitaan Nana. Tapi mau bagaimana lagi, takdir tidak ada yang tahu. Kematian itu pasti, masa depan kita ya berpulang pada Tuhan. "Ayah, Ma, Ayahku pergi, Ma. Aku baru memeluknya sebentar tadi malam,