Part 32 (Ana, Will You Marry Me?)***Matahari sudah lama terbenam, langit biru cerah kini digantikan dengan gelapnya malam tanpa taburan bintang, hanya ada bulan sabit yang muncul malu-malu dari ufuk timur. Udara di luar pun tak terasa sudah dingin.Gemerlapnya lampu menerangi sepanjang jalan. Nana melempar tatapan keluar jendela, menatap bangunan bertingkat itu dari sana. Sejak pukul 4 sore sampai sekarang jam 7 malam, orang tua Zeen itu mengajaknya pergi ke berbagai tempat. Apa daya Nana, ia tidak bisa menolak. Alhasil ia mengikuti ke mana pun mereka pergi. Mulai dari makan di restoran, sampai ke toko perhiasan. "Sebentar lagi kita sampai rumah," tutur Papa Erick. Hening, tidak ada jawaban. Nana meresponnya hanya dengan anggukan kepala."Mama jadi merasa bersalah ini.""Gak pa-pa, Ma, aku senang kok bisa jalan-jalan sama kalian," jawab Nana. Sepuluh menit berlalu mobil yang dikemudikan Papa Erick akhirnya tiba di halaman rumah. Zeen sudah memberi kabar jika dirinya sekarang ber
Part 33 (Rasa Dengki Yang Mendarah Daging)****"Ana, Will you marry me?" Berulang kali Nana mengerjapkan mata, buliran bening yang menumpuk di sana tak terasa sudah meleleh. Disekanya detik itu juga. Tak bisa Nana bohongi, ia terharu sekaligus bahagia. Terharu dengan ucapan Zeen barusan. Dan bahagia, akhirnya Zeen mau mengungkapkan perasaannya. "Zeen, apa ini mimpi?" Nana kembali bertanya. Sosok pria yang kini berdiri di hadapannya itu adalah Atarik. Di temani gelapnya malam, Zeen memberikan sebuah kejutan yang tidak pernah Nana duga sebelumnya. Pria itu menghias kamarnya dengan balon, dan jangan lupakan puluhan boneka dan mawar yang ada di sana."Ini bukan mimpi Ana, ini nyata," jawabnya. Ia bahkan memanggil namaku seperti dulu. Senyuman tipis terukir di sudut bibir Zeen. Ia masih berjongkok menunggu jawaban dari Nana. Irama jantung pria itu berdetak cepat. Dipandangi Nana dengan cemas. Ia harus siap dengan apa pun keputusan Nana. Ia tidak boleh egois, patah berkali-kali membuatn
Part 34 (Iri? Bilang Bos!) ****POV Nana. [Duh Jeng Reni. Nana sama Zeen memang cocok. Titip salam buat Nana. Semoga setelah menikah nanti mereka berdua cepat dapat momongan. Dan mudah-mudahan ini yang terakhir.]Kujatuhkan pantatku di kursi. Asyik menggulir layar ponselku, menemukan postingan Mama di sana. Iseng, kulihat kolom komentar. [Duh Jeng, kayaknya Reza itu cuman jagain jodoh Abangnya doang.] [Akhirnya kapal Zena berlayar juga, wkwkwk.] Berbagai macam komentar mewarnai postingan Mama di aplikasi biru itu. Namun, tak lama, setelah kugeser ke bawah. Kutemukan salah satu komentar yang begitu menohok. Singkat, padat, namun terasa begitu menyakitkan.[Basi. Jijik, dasar mur*han.] Begitulah komentarnya.Komentar itu dari akun bernama Ira Fratiwi. Yang kuyakini itu akun Ibuku. Aku tersenyum hambar. Apa Ibu tidak pernah merindukanku? Bertahun-tahun ia menelantarkanku. Apa tidak ada sedikit pun niatan untuk memelukku walau hanya sebentar? Di sini aku sedang terluka, tidak ada
Part 35 (Alasannya?)**** POV Zeen "Zeen, apa adikmu itu tidak jijik dengan Salma? Istrinya itu kan sering open B*? Apa dia tidak takut kalau sewaktu-waktu kena penyakit kelamin?" tanya Nana sembari menggekoriku ke kamar. Terdengar suara Mama yang masih berusaha mengusir Reza. Mereka bersikeras untuk tinggal di sini. Astaga, entah mimpi apa aku semalam. Kehadiran Reza membuatku tidak tenang. Aku takut Nana kembali menempel pada kutu itu. "Reza udah pasti jijik Na, tapi ego dan gengsinya tinggi," jawabku tanpa meliriknya. Aku mengenal betul watak adikku itu seperti apa. Ia anti menjilat ludah sendiri. Padahal sudah jelas, Salma tidak pantas untuk ia pertahankan. "Maksudnya? Dia bertahan karena gengsi?" Alis Nana bertaut, ia mengikutiku kenapa pun kaki ini melangkah. "Iya. Kamu lihat sendiri kan tadi. Dia lebih memilih bertahan, karena kalau dia bercerai, dia merasa menjadi bahan olok-olokan."Nana manggut-manggut mendengar penjelasanku, ia menarik napas, kemudian menghembuskannya
Part 36 (Ancaman!)****"Bukti yang kemarin kau bawa itu kau kumpulkan jadi satu, taruh ditempat yang aman, jangan sampai ada orang yang mengambilnya. Karena setelah kita ketemu dengan pelakunya, semua bukti akan kita lempar ke polisi." Aku berujar pada Haris. Setelah selesai berbicara dengan Pak Teguh kami meninggalkan restoran. Cerita dari Pak Teguh tadi setidaknya mengurangi rasa penasaranku. Aku tak lagi bertanya-tanya tentang alasan Idro membenci Nana, karena sudah kutemukan jawabannya. Dendam di masa lalu yang membuat Nana menjadi korban keganasan orang tuanya. Aku kini tinggal memburu pelaku yang mesabotase mobilku. Ia bisa menjadi sanksi kuat untuk menjebloskan Idro ke penjara. Ia juga satu-satunya orang yang bisa membuat Idro tak berkutik. Karena Idro lah yang membayarnya seperti halnya yang Idro lakukan pada Pak Ari Kusuma.Sejauh ini aku sudah mengantongi identitasnya, berupa nama, dan sebuah foto yang kudapatkan dari Jordan. Tinggal melacak keberadaan orang tersebut, dan
Part 37 (Kenyataan Pahit) *****POV Nana.Sejak mimpi buruk itu, aku sama sekali tidak bisa tenang. Berbagai prasangka turut mengisi benak ini. Dalam mimpiku, aku melihat Zeen berbaring di rumah sakit dengan ditopang alat-alat medis. Rasa khawatir dan cemas selalu datang menghantuiku, terlebih saat aku sedang jauh darinya. Seperti hari ini. Aku bahkan sampai nekat menyusul Zeen ke kantor demi mengobati rasa cemasku yang berlebihan itu. Aku tidak mau hal buruk terjadi padanya. "Kamu antar makan siang Zeen?" tanya Mama setelah menghempaskan tubuhnya ke sofa. Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban, lalu meletakkan susu kotak yang habis kuseruput itu di meja, lantas mengusap sudut bibirku yang sedikit belepotan. "Berarti kamu masak tadi itu buat Zeen?" tanya Mama Reni lagi. Tatapan matanya penuh selidik. Aku tersenyum canggung sembari mengangguk malu-malu. "Iya, Ma.""Ada apa kalian datang ke sini?" Zeen menyela, ia menatap pasangan suami istri itu bergantian. "Papa mau bicara pen
Part 38 (Dia, Lah?)****Tak berselang lama taksi yang kupesan datang. Bergegas aku masuk, dan duduk di jok belakang. Tanganku bergerak menyeka buliran bening yang membasahi pipi. Aku tidak menyangka, kalau Ayahku lah penyebab kecelakaan Atarik 5 tahun yang lalu. Pantas saat itu Ayah menemuiku, dan mengatakan, jika aku tidak akan pernah bertemu dengan Atarik lagi. Bodoh, harusnya aku peka! Harusnya aku mencari tahu keberadaan Atarik. Bukannya malah diam, dan berlabuh pada hati yang salah. Dan ini lah yang kudapatkan. Aku dibuat menyesal akibat ulah ayahku sendiri. Lucu bukan?"Bu Nana ya?" tanya sopir sembari menatapku. Aku mengangguk pelan, jantungku masih berdegup kencang. Sesak ini kian mendera dada. Apa salahku? Kenapa tidak ada yang mau menjelaskan di mana letak kesalahanku. Kenapa mereka membenciku Tuhan? Kenapa?"Sudah siap Bu?""Sudah, Pak," jawabku lagi. Perlahan-lahan taksi yang kutumpangi mulai berjalan meninggalkan parkiran kantor, aku pergi tanpa seizin Zeen. Tidak bisa
Part 38 (Dia, Lah?)***Apa ini ada hubungannya dengan kecelakaan Atarik. "Beri saya waktu tuan!" ucap Pria itu. Ayah beranjak dari kursi, buru-buru kukeluarkan ponselku. Segera aku meluncur ke kamera, dan mencoba mengambil video percakapan mereka. Jangan tanya bagaimana jantungku? Meski takut ketahuan. Aku tidak akan mundur. Terlebih ini menyangkut Atarik. "Saya tidak suka dibantah! Pria yang kau sabotase mobilnya sekarang sedang memburumu! Kau tak mau kan membusuk di penjara!"Aku terlonjak, pupil mataku membesar.Jadi dia orang yang mesabotase mobil Atarik. "Bukan kah kasus itu sudah berakhir Tuan!""Apanya yang berakhir, pria itu masih hidup! Jangan banyak tanya, tinggalkan saja rumah ini. Pergi jauh dari sini!"Rona padam terlihat jelas di wajah Ayah. Napasku tak terasa tersengal-sengal. Buru-buru aku menundukkan kepala saat anak buah ayah melempar tatapan ke arah jendela. "Kita harus pergi ke mana Tuan!""C'k! Itu urusanmu, yang saya mau. Kamu tinggalkan kota ini! Atau tid