Sesuai keputusan akhir, perceraianku dan Dista pun diproses. Aku tak bisa berbuat banyak, karena pihak keluarga Dista dan Ibu begitu kukuh agar kami bercerai.Namun, hal yang paling membuat aku galau adalah Bella. Bella tak lagi mau, menerima telepon dan membalas pesanku. Ia sepertinya benar-benar sakit hati dengan perkataan Ibu waktu itu.Hari ini aku berencana ke rumah Bella setelah pulang kerja. Sebab, rinduku sudah sangat memuncak padanya."Kusut amat lu beberapa hari ini, Mar?" Hardi mendekatiku saat makan siang di kantin seperti biasa. Lama-lama ia sudah cocok jadi peramal, karena selalu menebak perasaanku dengan benar."Alah, biasalah.""Dista lagi?" Tanyanya."Iya."Aku sengaja berbohong pada Hardi. Tak mungkin aku harus cerita bahwa aku galau karena Bella.Apalagi aku memang masih merahasiakan soal perceraianku dengan Dista pada orang-orang. Lagi pula untuk apa aku membuka-buka hal seperti itu ke muka umum?"Ikut gue lagi gimana nanti sore?" Tawar Hardi sembari menempel-nempe
Setelah menempuh perjalanan yang terasa panjang, aku pun sampai di rumah Ibu. Terlihat di halaman sudah terparkir motor Mas Danis. Dengan terburu aku langsung masuk ke dalam.Tak ada siapapun di ruang tamu, pasti mereka ada di kamar Ibu.Gegas aku menuju kamar Ibu. Dan benar saja, semua sudah berkumpul di sana."Bu, Ibu kenapa? Kok tiba-tiba sakit gini? Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?" Tanyaku begitu duduk di sisi pembaringan Ibu."Ibu tadi pagi jatuh di kamar mandi. Tadi sudah ada dokter yang kemari. Katanya tensi Ibu naik, Ibu punya riwayat darah tinggi," sahut Mas Danis dengan nada datar.Aku sedikit terkejut mendengar penuturan Mas Danis. Sebab yang kami tahu, Ibu tak pernah punya penyakit apapun. Kenapa tiba-tiba sekarang jadi darah tinggi?"Ibu lagi banyak pikiran ya, Bu? Ibu mikirin apa?" Tanyaku lembut seraya menggenggam tangan Ibu.Terdengar Mas Danis mendengus kasar mendengar pertanyaanku."Kamu gak sadar diri, Damar? Ibu itu mikirin kamu terus beberapa hari ini!" T
"Gak lucu, Mas," sahut Bella dengan tersenyum miring. Mungkin ia pikir aku cuma bercanda, padahal ...."Aku serius, Bell," ucapku menatap wajah Bella dengan bersungguh-sungguh.Bella terlihat mulai percaya. Ia menatapku lekat dengan pandangan yang sulit untuk diartikan."Dengan siapa?" Tanyanya terdengar begitu lirih.Kuhirup udara sebanyak-banyaknya sebelum menjawab pertanyaan Bella. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa dadaku begitu sesak."Dengan wanita pilihan Ibu."Praaang!!Bella langsung membanting vas bunga yang berada di meja begitu mendengar jawabanku. Ia bahkan langsung berdiri dari duduknya dengan menatapku nanar. Terlihat air mata sudah menumpuk di sudut-sudut matanya."Ibu lagi, Ibu lagi! Kenapa sih, Mas, hidup kamu harus terus diatur oleh Ibu?" Protes Bella sembari terisak.Aku ikut bangkit, dan merengkuh Bella dalam pelukan agar ia sedikit tenang. Baru kali ini aku melihat Bella mengamuk begitu. Namun, wajar saja ... Mungkin ia begitu kecewa dengan keputusan yang kuambil.
Hanya dalam sekejap saja, makanan Ibu dan Rasti langsung tandas. Bahkan mereka tak ada basa-basi sama sekali untuk menawariku."Kami udah selesai, Mar. Ayo pergi!" Ajak Ibu lalu bersiap-siap hendak meninggalkan kursinya. Ia bahkan langsung memanggil pelayan untuk meminta tagihan."Bu, tunggu dulu." Aku berusaha menahan Ibu untuk duduk kembali."Kenapa?" Ibu menatapku heran."Bu, sepertinya uangku tak cukup untuk membayar semua makanan ini," ucapku setengah berbisik. Namun, Rasti juga sudah pasti bisa mendengar karena jarak kami dekat.Terlihat wajah Ibu langsung memucat begitu mendengar perkataanku."Kamu yang benar, Damar?" Ibu melotot ke arahku."Iya, Bu. Makanya tadi aku kurang setuju waktu Ibu ajak ke sini," terangku tak berdaya.Ibu berdecak kesal. Namun ia tetap membuka tasnya dan mengambil dompet. Dalam hati aku benar-benar berharap uang Ibu cukup untuk membayar tagihan makanan ini."Ibu cuma ada ini," ujar Ibu seraya mengulurkan selembar uang merah.Aku hanya bisa meringis, se
Hari berlalu begitu cepat. Hanya tinggal menghitung hari saja aku menikah dengan Rasti. Benar kata Ibu, seiring berjalannya waktu, aku akan melupakan Bella. Apalagi tak pernah ada kabar lagi tentangnya. Walau sebenarnya aku tak bisa lupa sepenuhnya dengan Bella.Ibu juga terlihat begitu bersemangat menjelang pernikahanku ini. Berbeda dengan aku yang biasa-biasa saja."Bu, kira-kira kita undang Dista gak ya?" Tanyaku saat kami sedang duduk santai menonton televisi."Jelas diundang lah, Damar! Ibu malah gak sabar, liat gimana ekspresi sakit hatinya saat kamu bersanding dengan Rasti."Aku hanya menghela napas pelan. Aku tahu sekali bagaimana perasaan Dista padaku saat ini. Ia pasti tak akan terpengaruh sama sekali melihat aku dengan wanita lain.Tlung!Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku. Begitu kubuka, ternyata pesan dari sahabatku semasa kuliah--Darwis.[Mau nikah gak ngundang-ngundang lu ya, Bro!]Aku tersenyum membaca pesan Darwis tersebut. Ternyata kabar aku akan menikah suda
"Pak Hilman ...," balas Dista dengan menatap Hilman heran."Wah, gak nyangka ketemu di sini ya, Bu," ucap Hilman dengan raut sumringah.Aku yang memperhatikan mereka sejak tadi juga ikutan bingung. Apa mereka saling kenal?"Ibu kenal juga dengan kedua mempelai?" Tanya Hilman. Syukur mereka berdiri tak jauh dari pelaminan, jadi aku bisa menyimak semua obrolan mereka dengan jelas."Yang laki-laki mantan suami saya, Pak," terang Dista sembari tersenyum penuh arti. Namun entah apa arti dari senyumnya itu."Oh gitu, jadi Bu Dista mantan istri Damar?""Iya, Pak," sahut Dista sedikit terlihat enggan membahas tentangku."Kalau gitu saya pamit ke sana dulu ya, Pak," pamit Dista yang disambut anggukan dari Hilman.Setelah Dista berlalu dari hadapannya, kini Hilman melanjutkan langkahnya menuju ke arahku. "Hai, Mar! Lama gak ketemu ya? Selamat ya untuk pernikahannya, semoga langgeng terus," ucap Hilman berbasa-basi. Ya, paling ia hanya sekedar basa-basi saja mengucapkan itu. Tak tulus sama se
Tiga hari sudah berlalu usai acara resepsi. Dan hari ini aku akan memboyong Rasti ke rumah Ibu.Kami sudah siap berkemas dan hendak berangkat saat tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah orang tua Rasti.Ibu Rasti yang tadi hendak mengantar kepergian kami, gegas menuju pintu untuk membukanya."Eh, Mbak Lasmi ternyata. Masuk dulu, Mbak," tawar Ibu Rasti pada seorang wanita tambun yang berdiri di depan pintu.Wanita itu pun langsung menuruti tawaran Ibu Rasti. Ia masuk ke rumah sembari menatap ke arah kami."Sudah mau berangkat ke rumah mertua kamu, Ras?" Tanya wanita itu pada Rasti."Iya, Bude.""Kebetulan sekali. Syukur kamu belum pergi.""Ada apa memangnya, Mbak?" Tanya Ibu Rasti terlihat mulai gugup."Begini lho, Nah. Aku minta maaf lho ini, bukan maksud apa-apa. Tapi aku bisa gak minta uang yang kalian pinjam untuk biaya nikah kemarin?" Degh!Jantungku mencelos setelah mengetahui bahwa wanita itu ternyata datang untuk menagih hutang. Dan yang lebih membuat aku terkejut, ternyata r
"Kamu apa-apaan sih, Ras! Kenapa jadi aku yang kamu bebankan hutang itu? Pakai pemaksaan lagi!" Aku benar-benar kesal pada Rasti. Baru tiga hari jadi istri, tapi sudah semena-mena denganku."Ya karena kamu itu suamiku! Jadi apapun masalahku, kamu harus bantu aku selesaikan," sahutnya dengan pongah.Aku langsung memijat pelipis yang terasa berdenyut. Kenapa jadi runyam begini rumah tangga keduaku? Padahal kupikir awalnya karena Rasti begitu cinta padaku, ia akan patuh dan tak berani macam-macam. Tapi ternyata malah sebaliknya."Gimana? Kamu bisa kan bantu aku?" Desak Rasti karena melihatku hanya terdiam."Aku gak ada uang!" Jawabku jujur. Sebenarnya aku juga takut dengan ancaman Rasti. Aku tak mau Ibu lagi-lagi terluka karena rumah tanggaku yang kandas."Ck! Kamu kan bisa kasbon di kantor dulu, Mas. Kamu itu Manager lho. Masa iya gak diizinkan kasbon.""Ya besok aku coba dulu." Aku berusaha berjanji, walau sebenarnya aku pun ragu. Sebab, aku juga baru saja kasbon untuk biaya pernikaha
Hari beranjak malam, tapi sama sekali belum ada kabar apapun dari Mas Rasyid. Entah kenapa hatiku terus tak tenang walau kini sudah berada di ruangan tempat aku tinggal dengan Mita selama ini.Aku terhenyak, lamunanku buyar saat dari televisi tabung kecil yang memang disediakan oleh bos kami di kamar ini, menampilkan sebuah berita penganiyaan seorang ART oleh majikannya.Yang membuat aku terkejut pasalnya alamat yang disebutkan adalah alamat rumah Mas Damar. Walau wajah sang pelaku tak terlihat karena ditutupi, tapi aku bisa dengan mudah mengenali jika itu adalah Mas Damar.Belum tuntas aku menonton berita tersebut, pintu ruangan kami terdengar digedor dari luar. Aku langsung bangkit untuk membukanya, karena Mita sedang berada di kamar mandi.Aku terkejut saat melihat Mas Rasyid yang berada di sana bersama seorang temannya yang kutebak adalah polisi juga."Ras, mari ikut kami ke kantor," ajak Mas Rasyid yang menjawab semua keraguanku sedari tadi."Jadi benar kalau yang dianiaya itu ad
POV RastiSudah berhari-hari aku terkurung di kamar bekas Mas Danis. Akses untuk keluar sama sekali tak ada, karena pintu terkunci dari luar. Hanya waktu makan dan waktu-waktu tertentu saja pintu akan terbuka, baik itu dibuka oleh Mas Damar atau Mbok Darti yang baru kutahu adalah ART di rumah ini.Kurasa Mas Damar kini sudah tak waras. Awal berjumpa dengannya dan dia meminta rujuk denganku aku tak begitu kaget. Karena aku tahu tentang video viral Bella yang ternyata seorang pelakor itu.Walau Mas Damar membujukku bahkan berjanji akan menerimaku apa adanya, aku tak akan luluh begitu saja. Karena aku paham betul bagaimana sifat Mas Damar sejak dulu.Mas Damar meminta rujuk denganku semata-mata bukan karena ia cinta, tapi aku tahu ia melakukan itu hanya demi harga dirinya. Sejak dulu ia kan selalu menjaga image di depan orang, dan selalu ingin dipuji-puji. Jadi pasti ia kini tengah malu karena gagal berumah tangga sebanyak tiga kali. Mungkin itu sebabnya ia jadi tak waras hingga menguru
Kembali ke POV Damar ya.Dengan berat hati aku akhirnya berangkat juga ke rumah Dista untuk ikut meramaikan hari jadi anak semata wayangku itu.Kalau bukan karena Rafis, tentu aku tak akan datang. Entahlah bagaimana reaksi Dista nanti saat mengetahui bahwa aku tak lagi bersama dengan Bella.Selang beberapa saat, aku pun sampai di depan sebuah rumah megah. Masih bertahan di dalam mobil, berulang kali aku mengecek, apa benar ini alamat rumah Dista yang benar? Tapi pertanyaanku terjawab saat melihat Hilman ada di antara kerumunan tamu yang mulai datang. Ternyata memang benar ini adalah rumah Dista dan Hilman. Betapa beruntungnya mantan istriku itu, lepas dariku malah mendapat seorang sultan.Setelah menepikan mobil di luar pagar aku pun masuk ke halaman rumah tersebut yang sudah disulap dengan berbagai macam dekorasi ulang tahun khas anak-anak."Hilman ...." Aku menyapa Hilman yang masih sibuk dengan tamu-tamunya yang lain. Lalu menyalaminya sekedar basa-basi."Eh udah datang, Mar?" Bal
POV RasyidAku termangu menatap wajah mulus bak pualam itu. Matanya rapat terpejam terlihat damai setelah beberapa hari mengalami hal-hal yang aneh.Aku tersentak saat tiba-tiba bahuku ditepuk oleh seseorang dari belakang."Jaga pandangan, belum mahram."Aku tersenyum kikuk saat mengetahui Ustadz Faisal lah yang menepuk bahuku.Segera kututup pintu kamar Rasti yang tadi sempat kubuka sedikit untuk melihatnya."Apa ia sudah tak apa, Tadz?" Tanyaku khawatir."Insya Allah ia sudah tak apa. Kami akan berusaha merutinkan ruqyah agar pengaruh pelet dari tubuhnya cepat hilang."Hatiku sedikit tenang mendengar ucapan Ustadz Faisal.Masih teringat jelas dalam benakku kejadian beberapa hari yang lalu.Mita teman kerja sekaligus teman sekamar Rasti menelpon ke nomorku malam-malam. Ia memang tahu bagaimana selama ini aku berusaha berjuang mendapatkan hati Rasti dan berniat mempersuntingnya. Namun entah kenapa Rasti seolah selalu menjaga jarak jika aku membahas soal perasaanku padanya.Mita mengab
"Maaf, aku gak bisa!" Sahut Rasti acuh tanpa memikirkan perasaanku."Dan aku minta secepatnya kamu urus perceraian kita. Karena aku sudah punya pengganti kamu. Jadi jangan berharap banyak!" Lanjut Rasti lagi mengejutkanku."Kamu sudah punya pengganti aku? Secepat itu?" Balasku tak percaya. Bisa jadi itu hanya kebohongan yang dibuat Rasti agar aku menjauh darinya.Belum sempat aku menjawab, bersamaan dengan itu terdengar seseorang dari pintu masuk memanggil nama Rasti begitu akrab."Tumben cepat datangnya, Mas?" Tanya Rasti sembari tersenyum manis pada lelaki yang kini sudah berada di belakangku."Iya. Mas sudah selesai tugas, jadi langsung kemari."Aku terhenyak demi mendengar suara lelaki tersebut. Kenapa suaranya begitu familiar? Refleks aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa lelaki yang kini tengah berbincang hangat dengan Rasti."Rasyid?" Mataku membulat sempurna saat melihat Rasyid teman sekolahku dulu lah yang sedang berbincang dengan Rasti."Damar?" Ia pun sama terkejutny
Aku menutup panggilan dari Mbok Darti setelah berjanji akan segera pulang. Kebetulan sebentar lagi jam pulang kantor akan tiba.Bukannya sedih mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut, aku malah bersorak-sorai dalam hati. Ternyata tanpa aku perlu repot-repot, Bella sudah terkena karmanya sendiri.Dengan bersiul riang aku keluar dari kantor hendak pulang ke rumah. Namun di depan sana terlihat Hardi berjalan tergesa ke arahku."Kenapa lu? Kok macam habis ketemu setan gitu?" Tanyaku pada Hardi setelah jarak kami dekat."Liat nih, Mar! Liat!" Tanpa menyahut pertanyaanku Hardi langsung menunjukkan ponselnya.Di sana terpampang sebuah video live yang terlihat ramai penonton. Mataku membelalak saat sadar tempat yang ada di dalam video tersebut adalah rumahku.Terlihat seorang wanita paruh baya mengamuk pada seorang wanita yang seperti Bella. Bukan, itu memang Bella!Namun syukurnya polisi yang ada di sana langsung melerai sebelum wanita itu semakin brutal.Saat melihat komen-komennya, rata-r
Serasa ada petir yang menyambar di atas kepalaku mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut. Tanpa sadar ponsel pun terjatuh begitu saja seiring dengan air mataku yang turut terjatuh pula.'Baru beberapa hari yang lalu Mas Danis pergi, kenapa sekarang Ibu ikut menyusulnya, Bu?' Aku merintih dalam hati.Tanganku mengepal sesaat teringat pada si penyebab semua ini. Ini semua karena Bella! Gara-gara Bella aku jadi berpisah dengan Ibu untuk selamanya.Aku yang makin tergugu mengundang perhatian para karyawan lain yang berada di divisiku. Mereka terlihat saling pandang satu sama lain, tapi ragu untuk mendekat. Karena memang selama ini aku tak begitu dekat dengan mereka. Hanya Hardi sajalah satu-satunya temanku di sini.Tanpa menghiraukan tatapan penuh tanda tanya mereka, aku langsung bangkit dari kursi berniat pulang. Bahkan sangking kalutnya aku tak ingat untuk izin pada atasan. Hingga di tengah jalan, barulah aku ingat dan cepat-cepat menghubungi Pak Jaya.Usai menelpon dan mendapat izin
Aku yang sedang tidur terbangun begitu mendengar suara pintu ruang rawat Ibu terbuka. Sembari memegang kepala yang pusing karena kurang tidur, aku menoleh ke arah pintu.Terlihat sudah ada Bella di sana, berdiri dengan senyum manis tanpa dosa seraya menenteng kotak bekal makan."Mas, kamu kok gak ngabarin aku kalau Ibu masuk rumah sakit?" Ucap Bella dengan sedikit memanyunkan bibirnya sok manis.Jika dulu aku selalu suka sikapnya yang seperti itu, berbeda pula dengan sekarang saat aku sudah tahu semua kedoknya.Tanpa menggubris perkataannya, aku kembali memejamkan mata."Kamu pasti capek sekali ya, Mas? Tapi sarapan dulu ya, baru tidur. Nanti kalau telat makan malah kamu yang jadi sakit." Terdengar lagi ia bersuara membujukku."Memangnya ada jaminan kalau makanan itu aman tak ada racunnya?" Balasku masih enggan membuka mata. Entah bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar perkataanku ini, aku tak lagi peduli."Maksud kamu apa sih, Mas? Racun apa? Jangan bercanda deh."Aku langsung me
Aku terkesiap mendengar perkataan lelaki itu. Jangan-jangan Bella yang ditelponnya saat ini adalah Bella istriku. Tak mungkin semua hal yang saling berkaitan ini hanyalah kebetulan.Diam-diam aku mengikuti langkah lelaki itu. Dan lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihatnya masuk ke ruang poli neurologi. Namun detik selanjutnya, ia kembali keluar.Aku yang masih mengintainya, pura-pura duduk di bangku tunggu sembari bermain ponsel. Terlihat ia kembali menelpon seseorang."Aku belum bisa membuat buktinya sekarang. Jam praktek dokter belum habis. Kemungkinan sore baru aku bisa memberimu bukti itu."Mendengar kata-kata lelaki itu, tanganku tanpa sadar mengepal menahan geram."Ya pandai-pandai kamu lah, bagaimana ngasih alasan ke suamimu. Tapi kan tadi kamu sudah kirim foto ruang poli neurologi, masa dia masih gak percaya?"Entah apalah yang dikatakan orang di seberang sana. Yang jelas pasti ia tak terima jika bukti itu bisa didapatkan sore hari. Pasti ia takut aku pulang dan bertanya m