Braak!Ibu Dista menggebrak meja yang berada di depannya dengan sangat keras. Bahkan aku hampir terlonjak sangking kagetnya."Tak usah sesumbar, Bu! Percuma tampilanmu cantik kalau pada akhirnya tetap ditinggalkan oleh suamimu juga!"Emosiku ikut tersulut mendengar Ibu Dista mengungkit-ungkit soal perceraian Ayah dan Ibu. Wajah Ibu pun terlihat berubah suram setelah itu."Cukup, Bu! Cukup! Tolong jangan ungkit soal rumah tangga orang tuaku. Ini masalah antara aku dan Dista, tolong jangan merembet kemana-mana!" Aku mulai angkat bicara, tak terima jika Ibu sedih dibuat manusia-manusia ini."Ibu kamu duluan yang mulai ya, Mas!" Dista ikut menyahut dengan nada tak bersahabat."Sudah, sudah! Kenapa malah jadi ribut sendiri! Kita di sini mau membahas soal rumah tangga kalian, jadi tolong jangan ada yang memancing-mancing masalah lain."Kami langsung diam begitu Ayah Dista kembali angkat suara. Tapi tetap saja dari nada suaranya, bisa ditebak dia masih menyalahkan Ibuku."Jadi sekarang kamu
Sesuai keputusan akhir, perceraianku dan Dista pun diproses. Aku tak bisa berbuat banyak, karena pihak keluarga Dista dan Ibu begitu kukuh agar kami bercerai.Namun, hal yang paling membuat aku galau adalah Bella. Bella tak lagi mau, menerima telepon dan membalas pesanku. Ia sepertinya benar-benar sakit hati dengan perkataan Ibu waktu itu.Hari ini aku berencana ke rumah Bella setelah pulang kerja. Sebab, rinduku sudah sangat memuncak padanya."Kusut amat lu beberapa hari ini, Mar?" Hardi mendekatiku saat makan siang di kantin seperti biasa. Lama-lama ia sudah cocok jadi peramal, karena selalu menebak perasaanku dengan benar."Alah, biasalah.""Dista lagi?" Tanyanya."Iya."Aku sengaja berbohong pada Hardi. Tak mungkin aku harus cerita bahwa aku galau karena Bella.Apalagi aku memang masih merahasiakan soal perceraianku dengan Dista pada orang-orang. Lagi pula untuk apa aku membuka-buka hal seperti itu ke muka umum?"Ikut gue lagi gimana nanti sore?" Tawar Hardi sembari menempel-nempe
Setelah menempuh perjalanan yang terasa panjang, aku pun sampai di rumah Ibu. Terlihat di halaman sudah terparkir motor Mas Danis. Dengan terburu aku langsung masuk ke dalam.Tak ada siapapun di ruang tamu, pasti mereka ada di kamar Ibu.Gegas aku menuju kamar Ibu. Dan benar saja, semua sudah berkumpul di sana."Bu, Ibu kenapa? Kok tiba-tiba sakit gini? Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?" Tanyaku begitu duduk di sisi pembaringan Ibu."Ibu tadi pagi jatuh di kamar mandi. Tadi sudah ada dokter yang kemari. Katanya tensi Ibu naik, Ibu punya riwayat darah tinggi," sahut Mas Danis dengan nada datar.Aku sedikit terkejut mendengar penuturan Mas Danis. Sebab yang kami tahu, Ibu tak pernah punya penyakit apapun. Kenapa tiba-tiba sekarang jadi darah tinggi?"Ibu lagi banyak pikiran ya, Bu? Ibu mikirin apa?" Tanyaku lembut seraya menggenggam tangan Ibu.Terdengar Mas Danis mendengus kasar mendengar pertanyaanku."Kamu gak sadar diri, Damar? Ibu itu mikirin kamu terus beberapa hari ini!" T
"Gak lucu, Mas," sahut Bella dengan tersenyum miring. Mungkin ia pikir aku cuma bercanda, padahal ...."Aku serius, Bell," ucapku menatap wajah Bella dengan bersungguh-sungguh.Bella terlihat mulai percaya. Ia menatapku lekat dengan pandangan yang sulit untuk diartikan."Dengan siapa?" Tanyanya terdengar begitu lirih.Kuhirup udara sebanyak-banyaknya sebelum menjawab pertanyaan Bella. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa dadaku begitu sesak."Dengan wanita pilihan Ibu."Praaang!!Bella langsung membanting vas bunga yang berada di meja begitu mendengar jawabanku. Ia bahkan langsung berdiri dari duduknya dengan menatapku nanar. Terlihat air mata sudah menumpuk di sudut-sudut matanya."Ibu lagi, Ibu lagi! Kenapa sih, Mas, hidup kamu harus terus diatur oleh Ibu?" Protes Bella sembari terisak.Aku ikut bangkit, dan merengkuh Bella dalam pelukan agar ia sedikit tenang. Baru kali ini aku melihat Bella mengamuk begitu. Namun, wajar saja ... Mungkin ia begitu kecewa dengan keputusan yang kuambil.
Hanya dalam sekejap saja, makanan Ibu dan Rasti langsung tandas. Bahkan mereka tak ada basa-basi sama sekali untuk menawariku."Kami udah selesai, Mar. Ayo pergi!" Ajak Ibu lalu bersiap-siap hendak meninggalkan kursinya. Ia bahkan langsung memanggil pelayan untuk meminta tagihan."Bu, tunggu dulu." Aku berusaha menahan Ibu untuk duduk kembali."Kenapa?" Ibu menatapku heran."Bu, sepertinya uangku tak cukup untuk membayar semua makanan ini," ucapku setengah berbisik. Namun, Rasti juga sudah pasti bisa mendengar karena jarak kami dekat.Terlihat wajah Ibu langsung memucat begitu mendengar perkataanku."Kamu yang benar, Damar?" Ibu melotot ke arahku."Iya, Bu. Makanya tadi aku kurang setuju waktu Ibu ajak ke sini," terangku tak berdaya.Ibu berdecak kesal. Namun ia tetap membuka tasnya dan mengambil dompet. Dalam hati aku benar-benar berharap uang Ibu cukup untuk membayar tagihan makanan ini."Ibu cuma ada ini," ujar Ibu seraya mengulurkan selembar uang merah.Aku hanya bisa meringis, se
Hari berlalu begitu cepat. Hanya tinggal menghitung hari saja aku menikah dengan Rasti. Benar kata Ibu, seiring berjalannya waktu, aku akan melupakan Bella. Apalagi tak pernah ada kabar lagi tentangnya. Walau sebenarnya aku tak bisa lupa sepenuhnya dengan Bella.Ibu juga terlihat begitu bersemangat menjelang pernikahanku ini. Berbeda dengan aku yang biasa-biasa saja."Bu, kira-kira kita undang Dista gak ya?" Tanyaku saat kami sedang duduk santai menonton televisi."Jelas diundang lah, Damar! Ibu malah gak sabar, liat gimana ekspresi sakit hatinya saat kamu bersanding dengan Rasti."Aku hanya menghela napas pelan. Aku tahu sekali bagaimana perasaan Dista padaku saat ini. Ia pasti tak akan terpengaruh sama sekali melihat aku dengan wanita lain.Tlung!Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku. Begitu kubuka, ternyata pesan dari sahabatku semasa kuliah--Darwis.[Mau nikah gak ngundang-ngundang lu ya, Bro!]Aku tersenyum membaca pesan Darwis tersebut. Ternyata kabar aku akan menikah suda
"Pak Hilman ...," balas Dista dengan menatap Hilman heran."Wah, gak nyangka ketemu di sini ya, Bu," ucap Hilman dengan raut sumringah.Aku yang memperhatikan mereka sejak tadi juga ikutan bingung. Apa mereka saling kenal?"Ibu kenal juga dengan kedua mempelai?" Tanya Hilman. Syukur mereka berdiri tak jauh dari pelaminan, jadi aku bisa menyimak semua obrolan mereka dengan jelas."Yang laki-laki mantan suami saya, Pak," terang Dista sembari tersenyum penuh arti. Namun entah apa arti dari senyumnya itu."Oh gitu, jadi Bu Dista mantan istri Damar?""Iya, Pak," sahut Dista sedikit terlihat enggan membahas tentangku."Kalau gitu saya pamit ke sana dulu ya, Pak," pamit Dista yang disambut anggukan dari Hilman.Setelah Dista berlalu dari hadapannya, kini Hilman melanjutkan langkahnya menuju ke arahku. "Hai, Mar! Lama gak ketemu ya? Selamat ya untuk pernikahannya, semoga langgeng terus," ucap Hilman berbasa-basi. Ya, paling ia hanya sekedar basa-basi saja mengucapkan itu. Tak tulus sama se
Tiga hari sudah berlalu usai acara resepsi. Dan hari ini aku akan memboyong Rasti ke rumah Ibu.Kami sudah siap berkemas dan hendak berangkat saat tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah orang tua Rasti.Ibu Rasti yang tadi hendak mengantar kepergian kami, gegas menuju pintu untuk membukanya."Eh, Mbak Lasmi ternyata. Masuk dulu, Mbak," tawar Ibu Rasti pada seorang wanita tambun yang berdiri di depan pintu.Wanita itu pun langsung menuruti tawaran Ibu Rasti. Ia masuk ke rumah sembari menatap ke arah kami."Sudah mau berangkat ke rumah mertua kamu, Ras?" Tanya wanita itu pada Rasti."Iya, Bude.""Kebetulan sekali. Syukur kamu belum pergi.""Ada apa memangnya, Mbak?" Tanya Ibu Rasti terlihat mulai gugup."Begini lho, Nah. Aku minta maaf lho ini, bukan maksud apa-apa. Tapi aku bisa gak minta uang yang kalian pinjam untuk biaya nikah kemarin?" Degh!Jantungku mencelos setelah mengetahui bahwa wanita itu ternyata datang untuk menagih hutang. Dan yang lebih membuat aku terkejut, ternyata r