Setelah menempuh perjalanan yang terasa panjang, aku pun sampai di rumah Ibu. Terlihat di halaman sudah terparkir motor Mas Danis. Dengan terburu aku langsung masuk ke dalam.Tak ada siapapun di ruang tamu, pasti mereka ada di kamar Ibu.Gegas aku menuju kamar Ibu. Dan benar saja, semua sudah berkumpul di sana."Bu, Ibu kenapa? Kok tiba-tiba sakit gini? Bukannya tadi pagi masih baik-baik saja?" Tanyaku begitu duduk di sisi pembaringan Ibu."Ibu tadi pagi jatuh di kamar mandi. Tadi sudah ada dokter yang kemari. Katanya tensi Ibu naik, Ibu punya riwayat darah tinggi," sahut Mas Danis dengan nada datar.Aku sedikit terkejut mendengar penuturan Mas Danis. Sebab yang kami tahu, Ibu tak pernah punya penyakit apapun. Kenapa tiba-tiba sekarang jadi darah tinggi?"Ibu lagi banyak pikiran ya, Bu? Ibu mikirin apa?" Tanyaku lembut seraya menggenggam tangan Ibu.Terdengar Mas Danis mendengus kasar mendengar pertanyaanku."Kamu gak sadar diri, Damar? Ibu itu mikirin kamu terus beberapa hari ini!" T
"Gak lucu, Mas," sahut Bella dengan tersenyum miring. Mungkin ia pikir aku cuma bercanda, padahal ...."Aku serius, Bell," ucapku menatap wajah Bella dengan bersungguh-sungguh.Bella terlihat mulai percaya. Ia menatapku lekat dengan pandangan yang sulit untuk diartikan."Dengan siapa?" Tanyanya terdengar begitu lirih.Kuhirup udara sebanyak-banyaknya sebelum menjawab pertanyaan Bella. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa dadaku begitu sesak."Dengan wanita pilihan Ibu."Praaang!!Bella langsung membanting vas bunga yang berada di meja begitu mendengar jawabanku. Ia bahkan langsung berdiri dari duduknya dengan menatapku nanar. Terlihat air mata sudah menumpuk di sudut-sudut matanya."Ibu lagi, Ibu lagi! Kenapa sih, Mas, hidup kamu harus terus diatur oleh Ibu?" Protes Bella sembari terisak.Aku ikut bangkit, dan merengkuh Bella dalam pelukan agar ia sedikit tenang. Baru kali ini aku melihat Bella mengamuk begitu. Namun, wajar saja ... Mungkin ia begitu kecewa dengan keputusan yang kuambil.
Hanya dalam sekejap saja, makanan Ibu dan Rasti langsung tandas. Bahkan mereka tak ada basa-basi sama sekali untuk menawariku."Kami udah selesai, Mar. Ayo pergi!" Ajak Ibu lalu bersiap-siap hendak meninggalkan kursinya. Ia bahkan langsung memanggil pelayan untuk meminta tagihan."Bu, tunggu dulu." Aku berusaha menahan Ibu untuk duduk kembali."Kenapa?" Ibu menatapku heran."Bu, sepertinya uangku tak cukup untuk membayar semua makanan ini," ucapku setengah berbisik. Namun, Rasti juga sudah pasti bisa mendengar karena jarak kami dekat.Terlihat wajah Ibu langsung memucat begitu mendengar perkataanku."Kamu yang benar, Damar?" Ibu melotot ke arahku."Iya, Bu. Makanya tadi aku kurang setuju waktu Ibu ajak ke sini," terangku tak berdaya.Ibu berdecak kesal. Namun ia tetap membuka tasnya dan mengambil dompet. Dalam hati aku benar-benar berharap uang Ibu cukup untuk membayar tagihan makanan ini."Ibu cuma ada ini," ujar Ibu seraya mengulurkan selembar uang merah.Aku hanya bisa meringis, se
Hari berlalu begitu cepat. Hanya tinggal menghitung hari saja aku menikah dengan Rasti. Benar kata Ibu, seiring berjalannya waktu, aku akan melupakan Bella. Apalagi tak pernah ada kabar lagi tentangnya. Walau sebenarnya aku tak bisa lupa sepenuhnya dengan Bella.Ibu juga terlihat begitu bersemangat menjelang pernikahanku ini. Berbeda dengan aku yang biasa-biasa saja."Bu, kira-kira kita undang Dista gak ya?" Tanyaku saat kami sedang duduk santai menonton televisi."Jelas diundang lah, Damar! Ibu malah gak sabar, liat gimana ekspresi sakit hatinya saat kamu bersanding dengan Rasti."Aku hanya menghela napas pelan. Aku tahu sekali bagaimana perasaan Dista padaku saat ini. Ia pasti tak akan terpengaruh sama sekali melihat aku dengan wanita lain.Tlung!Tiba-tiba sebuah pesan masuk ke ponselku. Begitu kubuka, ternyata pesan dari sahabatku semasa kuliah--Darwis.[Mau nikah gak ngundang-ngundang lu ya, Bro!]Aku tersenyum membaca pesan Darwis tersebut. Ternyata kabar aku akan menikah suda
"Pak Hilman ...," balas Dista dengan menatap Hilman heran."Wah, gak nyangka ketemu di sini ya, Bu," ucap Hilman dengan raut sumringah.Aku yang memperhatikan mereka sejak tadi juga ikutan bingung. Apa mereka saling kenal?"Ibu kenal juga dengan kedua mempelai?" Tanya Hilman. Syukur mereka berdiri tak jauh dari pelaminan, jadi aku bisa menyimak semua obrolan mereka dengan jelas."Yang laki-laki mantan suami saya, Pak," terang Dista sembari tersenyum penuh arti. Namun entah apa arti dari senyumnya itu."Oh gitu, jadi Bu Dista mantan istri Damar?""Iya, Pak," sahut Dista sedikit terlihat enggan membahas tentangku."Kalau gitu saya pamit ke sana dulu ya, Pak," pamit Dista yang disambut anggukan dari Hilman.Setelah Dista berlalu dari hadapannya, kini Hilman melanjutkan langkahnya menuju ke arahku. "Hai, Mar! Lama gak ketemu ya? Selamat ya untuk pernikahannya, semoga langgeng terus," ucap Hilman berbasa-basi. Ya, paling ia hanya sekedar basa-basi saja mengucapkan itu. Tak tulus sama se
Tiga hari sudah berlalu usai acara resepsi. Dan hari ini aku akan memboyong Rasti ke rumah Ibu.Kami sudah siap berkemas dan hendak berangkat saat tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah orang tua Rasti.Ibu Rasti yang tadi hendak mengantar kepergian kami, gegas menuju pintu untuk membukanya."Eh, Mbak Lasmi ternyata. Masuk dulu, Mbak," tawar Ibu Rasti pada seorang wanita tambun yang berdiri di depan pintu.Wanita itu pun langsung menuruti tawaran Ibu Rasti. Ia masuk ke rumah sembari menatap ke arah kami."Sudah mau berangkat ke rumah mertua kamu, Ras?" Tanya wanita itu pada Rasti."Iya, Bude.""Kebetulan sekali. Syukur kamu belum pergi.""Ada apa memangnya, Mbak?" Tanya Ibu Rasti terlihat mulai gugup."Begini lho, Nah. Aku minta maaf lho ini, bukan maksud apa-apa. Tapi aku bisa gak minta uang yang kalian pinjam untuk biaya nikah kemarin?" Degh!Jantungku mencelos setelah mengetahui bahwa wanita itu ternyata datang untuk menagih hutang. Dan yang lebih membuat aku terkejut, ternyata r
"Kamu apa-apaan sih, Ras! Kenapa jadi aku yang kamu bebankan hutang itu? Pakai pemaksaan lagi!" Aku benar-benar kesal pada Rasti. Baru tiga hari jadi istri, tapi sudah semena-mena denganku."Ya karena kamu itu suamiku! Jadi apapun masalahku, kamu harus bantu aku selesaikan," sahutnya dengan pongah.Aku langsung memijat pelipis yang terasa berdenyut. Kenapa jadi runyam begini rumah tangga keduaku? Padahal kupikir awalnya karena Rasti begitu cinta padaku, ia akan patuh dan tak berani macam-macam. Tapi ternyata malah sebaliknya."Gimana? Kamu bisa kan bantu aku?" Desak Rasti karena melihatku hanya terdiam."Aku gak ada uang!" Jawabku jujur. Sebenarnya aku juga takut dengan ancaman Rasti. Aku tak mau Ibu lagi-lagi terluka karena rumah tanggaku yang kandas."Ck! Kamu kan bisa kasbon di kantor dulu, Mas. Kamu itu Manager lho. Masa iya gak diizinkan kasbon.""Ya besok aku coba dulu." Aku berusaha berjanji, walau sebenarnya aku pun ragu. Sebab, aku juga baru saja kasbon untuk biaya pernikaha
Aku segera menepikan mobil dan berhenti. Mataku terus awas menatap ke arah mereka yang terlihat berbincang santai. Namun saat aku melihat anak perempuan itu, ekspresinya terlihat begitu murung. Pasti ia tak suka melihat ayahnya dekat dengan wanita lain. Tapi sayang, dua orang dewasa di dekatnya itu sama sekali tak peka. Orang tua macam apa mereka itu?!Dengan rasa penasaran aku turun dan menghampiri mereka."Wah, kebetulan atau apa nih, bisa ketemu kalian di sini? Sepertinya kalian sering ketemu ya," ungkapku sengaja menyindir mereka."Mas Damar? Kok kamu ada di sini?" Dista terlihat terkejut melihat kehadiranku. Jelaslah terkejut, pasti ia malu karena tertangkap basah sedang dekat-dekat dengan suami orang."Oh, aku ada keperluan di dekat sini," sahutku sedikit acuh."Ngomong-ngomong, kamu gak malu ya, Dista, dekat-dekat dengan suami orang. Di depan anaknya pula." "Maksud kamu apa, Damar?!" Hilman terlihat tak suka mendengar sindiranku.Aku tersenyum sinis menatapnya."Ya, aku cuma k