"Kamu apa-apaan sih, Ras! Kenapa jadi aku yang kamu bebankan hutang itu? Pakai pemaksaan lagi!" Aku benar-benar kesal pada Rasti. Baru tiga hari jadi istri, tapi sudah semena-mena denganku."Ya karena kamu itu suamiku! Jadi apapun masalahku, kamu harus bantu aku selesaikan," sahutnya dengan pongah.Aku langsung memijat pelipis yang terasa berdenyut. Kenapa jadi runyam begini rumah tangga keduaku? Padahal kupikir awalnya karena Rasti begitu cinta padaku, ia akan patuh dan tak berani macam-macam. Tapi ternyata malah sebaliknya."Gimana? Kamu bisa kan bantu aku?" Desak Rasti karena melihatku hanya terdiam."Aku gak ada uang!" Jawabku jujur. Sebenarnya aku juga takut dengan ancaman Rasti. Aku tak mau Ibu lagi-lagi terluka karena rumah tanggaku yang kandas."Ck! Kamu kan bisa kasbon di kantor dulu, Mas. Kamu itu Manager lho. Masa iya gak diizinkan kasbon.""Ya besok aku coba dulu." Aku berusaha berjanji, walau sebenarnya aku pun ragu. Sebab, aku juga baru saja kasbon untuk biaya pernikaha
Aku segera menepikan mobil dan berhenti. Mataku terus awas menatap ke arah mereka yang terlihat berbincang santai. Namun saat aku melihat anak perempuan itu, ekspresinya terlihat begitu murung. Pasti ia tak suka melihat ayahnya dekat dengan wanita lain. Tapi sayang, dua orang dewasa di dekatnya itu sama sekali tak peka. Orang tua macam apa mereka itu?!Dengan rasa penasaran aku turun dan menghampiri mereka."Wah, kebetulan atau apa nih, bisa ketemu kalian di sini? Sepertinya kalian sering ketemu ya," ungkapku sengaja menyindir mereka."Mas Damar? Kok kamu ada di sini?" Dista terlihat terkejut melihat kehadiranku. Jelaslah terkejut, pasti ia malu karena tertangkap basah sedang dekat-dekat dengan suami orang."Oh, aku ada keperluan di dekat sini," sahutku sedikit acuh."Ngomong-ngomong, kamu gak malu ya, Dista, dekat-dekat dengan suami orang. Di depan anaknya pula." "Maksud kamu apa, Damar?!" Hilman terlihat tak suka mendengar sindiranku.Aku tersenyum sinis menatapnya."Ya, aku cuma k
"Siapa yang cari Mas Damar, Bu?" Tanya Rasti menatap Ibu dengan heran."Eh, itu, Ras. Sepertinya temen Damar. Cepat kamu ke depan Damar! Rasti, kamu di sini aja ya sama Ibu," titah Ibu dengan raut wajah yang begitu cemas sembari menatap Rasti. Membuat aku makin heran, begitu juga dengan Rasti."Ah, enggaklah, Bu. Kalau itu memang temannya Mas Damar, ya aku harus ikut ke depan dong. Sekalian memperkenalkan diri sebagai istri baru Mas Damar," sahut Rasti lalu langsung melangkah menuju ke ruang tamu mendahuluiku.Aku yang bingung ikut mengekori langkah Rasti, meninggalkan Ibu yang menatap kami dengan wajah pias.Begitu langkahku sampai di ruang tamu, jantungku serasa merosot sampai kaki saat melihat sosok yang begitu kurindukan selama ini. Sosok Bella sedang duduk di sana dengan wajah muram."Teman Mas Damar ya?" Sapa Rasti ramah pada Bella yang menatapnya sendu. Sepertinya Bella sudah dapat menebak, bahwa Rasti lah istri yang dipilihkan Ibu."Iya, Mbak," jawab Bella dengan suara yang ha
Ibu menggenggam tanganku erat terlihat bahwa ia sangat ketakutan."Mar, gimana kalau Bella benar-benar memviralkan video kamu?"Aku mendengus kesal. Jadi karena itu Ibu terlihat ketakutan. Tapi memang wajar, pasti Ibu takut keluarga kami menanggung malu. Melihat Ibu yang terlihat frustasi, membuat aku makin kesal dengan Bella. Akibat ancamannya Ibu jadi ketakutan begini."Tadi pertama kali dia datang, dia juga ngancam Ibu. Kalau Ibu gak ngasih izin ketemu kamu, dia bakal viralkan aib kamu."Astaga, jadi Bella sudah mengancam Ibu duluan. Pantas saja Ibu terlihat ketakutan saat memanggilku tadi."Ibu tenang aja ya, Bu. Gak mungkin Bella berani viralkan video itu. Itu sama saja dia permalukan dirinya sendiri," ucapku berusaha menenangkan Ibu.Ya, aku bisa santai karena berpikir itu hanya sekedar ancaman saja. Bella bukanlah orang yang seperti itu. Walau ia adalah mantan wanita malam, tapi sifatnya begitu baik dan tak tegaan."Ibu kenapa, Bu?" Aku hampir tersedak karena terkejut saat men
"Bu, aku minta maaf. Tapi uangnya sudah diambil Rasti."Ibu mendecih mendengar jawabanku. Kalau sudah begini, Ibu pasti menyesal menikahkanku dengan Rasti. Tapi aku tak mungkin juga menyalahkan Ibu atas semua yang sudah terjadi."Ibu Minggu ini ada arisan dengan teman-teman Ibu. Kalau kalung itu tak ada, bisa malu Ibu. Pasti teman-teman Ibu akan mengejek Ibu. Anak naik jabatan bukannya emas bertambah, malah menghilang." Kepalaku makin berdenyut mendengar penuturan Ibu. Kasihan Ibu, pasti ia akan malu sekali di hadapan teman-temannya. Semua ini gara-gara Rasti. Tapi untuk bersikap tegas ke Rasti, aku pun tak berani."Ibu pinjam perhiasan Rasti dulu aja ya, Bu, untuk arisan nanti." Aku berusaha memberikan solusi pada Ibu.Ibu melirikku sekilas lalu mendesah pasrah seperti tak yakin akan diizinkan Rasti.Bersamaan dengan itu, terlihat Rasti baru keluar dari kamar mandi dan hendak menuju kamar. Aku langsung memanggilnya, ingin meminjam perhiasan untuk Ibu."Ada apa, Mas?" Tanya Rasti ta
Aku langsung menuju dapur untuk melihat, ada stok apa di kulkas yang dapat diolah. Aku ingin membawa Ibu berobat, tapi sebelum itu Ibu harus makan dulu.Aku makin menggeram saat melihat isi dalam kulkas pun kosong melompong. Percuma sekali rasanya aku memberi uang yang banyak pada Rasti, jika kebutuhan di rumah ini tak ada yang terpenuhi.Aku bergegas kembali menuju kamar menemui Ibu. "Gak ada stok makanan di kulkas ya, Bu?""Iya, Mar. Ibu belum sempat belanja. Lagi pula, kalau Ibu belanja juga uang yang kamu beri tak akan cukup untuk sebulan. Kan kamu cuma kasih lima ratus ribu."Aku memijat pelipis karena kepala kembali pusing. Aku juga lelah, lapar, ditambah keadaan rumah seperti ini. Rasanya aku mau gila.Bersamaan dengan itu, terdengar pintu depan dibuka. Lalu terdengar pula suara Rasti yang baru pulang bersenandung gembira.Aku mengeratkan rahang menahan geram. Ia bisa bersenandung ria saat kami sedang menderita begini."Rastii! Dari mana kamu?!"Rasti terlonjak kaget mendengar
"Kamu kok gitu sih, ngomongnya ke Damar, Ta? Bukan Damar tak peduli dengan Rafis, tapi kan kamu sendiri yang ingin kalian pisah." Ibu mulai membelaku. Cepat sekali hati Ibu berubah-ubah. Tadi ia mengemis-ngemis pada Dista agar kembali padaku. Sekarang malah sudah berubah lagi pandangannya pada Dista."Apa, Bu? Aku sendiri yang ingin pisah? Bukannya Ibu juga dulu yang paling semangat untuk memisahkan kami?" Balas Dista tak mau disudutkan."Sudah-sudah! Dista, iya, aku minta maaf. Aku sadar akan kekuranganku selama ini sebagai Papa Rafis. Tapi apa tak boleh aku ikut menjenguk Rafis sebentar saja?" Pintaku lagi."Ya udah, nanti datang aja ke lantai empat, ruang 405. Di situ Rafis dirawat," jawab Dista acuh, lalu langsung berlalu meninggalkanku dan Ibu tanpa pamit.Ibu mendengus kesal setelah kepergian Dista, lalu kembali menjatuhkan bokong ke bangku."Ibu kenapa begitu sih tadi, Bu?" Protesku sembari ikut duduk di samping Ibu."Begitu gimana?""Ya Ibu ngapain tadi peluk-peluk Dista begi
"Pak Karwo, jangan begini. Mari kita bicarakan baik-baik dulu di dalam." Ibu langsung menyela, terlihat wajah Ibu semakin pucat karena ketakutan atas ancaman Bapak Rasti.Bapak Rasti hanya berdecak kesal, dan menuruti permintaan Ibu untuk masuk ke dalam rumah. Aku pun mengekori mereka masuk juga dengan hati sedikit lega, karena bisa lepas sesaat dari pandangan menyelidik para tetangga.Setelah masuk, kami pun duduk berkumpul di ruang tamu. "Rasti, jadi sekarang maunya kamu gimana? Kamu mau apakan si Damar ini?" Tanya Ibu Rasti membuat darahku mendidih kembali. Kenapa hanya Rasti yang ditanyai soal keputusan? Seolah aku ini adalah orang yang paling bersalah dalam masalah ini. Padahal semua juga berawal dari kesalahan Rasti. Namun, tetap saja aku tak bisa meluahkan amarahku pada Ibu Rasti untuk saat ini."Emm, gimana ya, Bu? Aku juga bingung. Apa lebih baik aku tinggalkan saja laki-laki ini?" Rasti menatapku dengan pandangan menghina, membuat harga diriku seperti diinjak-injak.Aku m
Hari beranjak malam, tapi sama sekali belum ada kabar apapun dari Mas Rasyid. Entah kenapa hatiku terus tak tenang walau kini sudah berada di ruangan tempat aku tinggal dengan Mita selama ini.Aku terhenyak, lamunanku buyar saat dari televisi tabung kecil yang memang disediakan oleh bos kami di kamar ini, menampilkan sebuah berita penganiyaan seorang ART oleh majikannya.Yang membuat aku terkejut pasalnya alamat yang disebutkan adalah alamat rumah Mas Damar. Walau wajah sang pelaku tak terlihat karena ditutupi, tapi aku bisa dengan mudah mengenali jika itu adalah Mas Damar.Belum tuntas aku menonton berita tersebut, pintu ruangan kami terdengar digedor dari luar. Aku langsung bangkit untuk membukanya, karena Mita sedang berada di kamar mandi.Aku terkejut saat melihat Mas Rasyid yang berada di sana bersama seorang temannya yang kutebak adalah polisi juga."Ras, mari ikut kami ke kantor," ajak Mas Rasyid yang menjawab semua keraguanku sedari tadi."Jadi benar kalau yang dianiaya itu ad
POV RastiSudah berhari-hari aku terkurung di kamar bekas Mas Danis. Akses untuk keluar sama sekali tak ada, karena pintu terkunci dari luar. Hanya waktu makan dan waktu-waktu tertentu saja pintu akan terbuka, baik itu dibuka oleh Mas Damar atau Mbok Darti yang baru kutahu adalah ART di rumah ini.Kurasa Mas Damar kini sudah tak waras. Awal berjumpa dengannya dan dia meminta rujuk denganku aku tak begitu kaget. Karena aku tahu tentang video viral Bella yang ternyata seorang pelakor itu.Walau Mas Damar membujukku bahkan berjanji akan menerimaku apa adanya, aku tak akan luluh begitu saja. Karena aku paham betul bagaimana sifat Mas Damar sejak dulu.Mas Damar meminta rujuk denganku semata-mata bukan karena ia cinta, tapi aku tahu ia melakukan itu hanya demi harga dirinya. Sejak dulu ia kan selalu menjaga image di depan orang, dan selalu ingin dipuji-puji. Jadi pasti ia kini tengah malu karena gagal berumah tangga sebanyak tiga kali. Mungkin itu sebabnya ia jadi tak waras hingga menguru
Kembali ke POV Damar ya.Dengan berat hati aku akhirnya berangkat juga ke rumah Dista untuk ikut meramaikan hari jadi anak semata wayangku itu.Kalau bukan karena Rafis, tentu aku tak akan datang. Entahlah bagaimana reaksi Dista nanti saat mengetahui bahwa aku tak lagi bersama dengan Bella.Selang beberapa saat, aku pun sampai di depan sebuah rumah megah. Masih bertahan di dalam mobil, berulang kali aku mengecek, apa benar ini alamat rumah Dista yang benar? Tapi pertanyaanku terjawab saat melihat Hilman ada di antara kerumunan tamu yang mulai datang. Ternyata memang benar ini adalah rumah Dista dan Hilman. Betapa beruntungnya mantan istriku itu, lepas dariku malah mendapat seorang sultan.Setelah menepikan mobil di luar pagar aku pun masuk ke halaman rumah tersebut yang sudah disulap dengan berbagai macam dekorasi ulang tahun khas anak-anak."Hilman ...." Aku menyapa Hilman yang masih sibuk dengan tamu-tamunya yang lain. Lalu menyalaminya sekedar basa-basi."Eh udah datang, Mar?" Bal
POV RasyidAku termangu menatap wajah mulus bak pualam itu. Matanya rapat terpejam terlihat damai setelah beberapa hari mengalami hal-hal yang aneh.Aku tersentak saat tiba-tiba bahuku ditepuk oleh seseorang dari belakang."Jaga pandangan, belum mahram."Aku tersenyum kikuk saat mengetahui Ustadz Faisal lah yang menepuk bahuku.Segera kututup pintu kamar Rasti yang tadi sempat kubuka sedikit untuk melihatnya."Apa ia sudah tak apa, Tadz?" Tanyaku khawatir."Insya Allah ia sudah tak apa. Kami akan berusaha merutinkan ruqyah agar pengaruh pelet dari tubuhnya cepat hilang."Hatiku sedikit tenang mendengar ucapan Ustadz Faisal.Masih teringat jelas dalam benakku kejadian beberapa hari yang lalu.Mita teman kerja sekaligus teman sekamar Rasti menelpon ke nomorku malam-malam. Ia memang tahu bagaimana selama ini aku berusaha berjuang mendapatkan hati Rasti dan berniat mempersuntingnya. Namun entah kenapa Rasti seolah selalu menjaga jarak jika aku membahas soal perasaanku padanya.Mita mengab
"Maaf, aku gak bisa!" Sahut Rasti acuh tanpa memikirkan perasaanku."Dan aku minta secepatnya kamu urus perceraian kita. Karena aku sudah punya pengganti kamu. Jadi jangan berharap banyak!" Lanjut Rasti lagi mengejutkanku."Kamu sudah punya pengganti aku? Secepat itu?" Balasku tak percaya. Bisa jadi itu hanya kebohongan yang dibuat Rasti agar aku menjauh darinya.Belum sempat aku menjawab, bersamaan dengan itu terdengar seseorang dari pintu masuk memanggil nama Rasti begitu akrab."Tumben cepat datangnya, Mas?" Tanya Rasti sembari tersenyum manis pada lelaki yang kini sudah berada di belakangku."Iya. Mas sudah selesai tugas, jadi langsung kemari."Aku terhenyak demi mendengar suara lelaki tersebut. Kenapa suaranya begitu familiar? Refleks aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa lelaki yang kini tengah berbincang hangat dengan Rasti."Rasyid?" Mataku membulat sempurna saat melihat Rasyid teman sekolahku dulu lah yang sedang berbincang dengan Rasti."Damar?" Ia pun sama terkejutny
Aku menutup panggilan dari Mbok Darti setelah berjanji akan segera pulang. Kebetulan sebentar lagi jam pulang kantor akan tiba.Bukannya sedih mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut, aku malah bersorak-sorai dalam hati. Ternyata tanpa aku perlu repot-repot, Bella sudah terkena karmanya sendiri.Dengan bersiul riang aku keluar dari kantor hendak pulang ke rumah. Namun di depan sana terlihat Hardi berjalan tergesa ke arahku."Kenapa lu? Kok macam habis ketemu setan gitu?" Tanyaku pada Hardi setelah jarak kami dekat."Liat nih, Mar! Liat!" Tanpa menyahut pertanyaanku Hardi langsung menunjukkan ponselnya.Di sana terpampang sebuah video live yang terlihat ramai penonton. Mataku membelalak saat sadar tempat yang ada di dalam video tersebut adalah rumahku.Terlihat seorang wanita paruh baya mengamuk pada seorang wanita yang seperti Bella. Bukan, itu memang Bella!Namun syukurnya polisi yang ada di sana langsung melerai sebelum wanita itu semakin brutal.Saat melihat komen-komennya, rata-r
Serasa ada petir yang menyambar di atas kepalaku mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut. Tanpa sadar ponsel pun terjatuh begitu saja seiring dengan air mataku yang turut terjatuh pula.'Baru beberapa hari yang lalu Mas Danis pergi, kenapa sekarang Ibu ikut menyusulnya, Bu?' Aku merintih dalam hati.Tanganku mengepal sesaat teringat pada si penyebab semua ini. Ini semua karena Bella! Gara-gara Bella aku jadi berpisah dengan Ibu untuk selamanya.Aku yang makin tergugu mengundang perhatian para karyawan lain yang berada di divisiku. Mereka terlihat saling pandang satu sama lain, tapi ragu untuk mendekat. Karena memang selama ini aku tak begitu dekat dengan mereka. Hanya Hardi sajalah satu-satunya temanku di sini.Tanpa menghiraukan tatapan penuh tanda tanya mereka, aku langsung bangkit dari kursi berniat pulang. Bahkan sangking kalutnya aku tak ingat untuk izin pada atasan. Hingga di tengah jalan, barulah aku ingat dan cepat-cepat menghubungi Pak Jaya.Usai menelpon dan mendapat izin
Aku yang sedang tidur terbangun begitu mendengar suara pintu ruang rawat Ibu terbuka. Sembari memegang kepala yang pusing karena kurang tidur, aku menoleh ke arah pintu.Terlihat sudah ada Bella di sana, berdiri dengan senyum manis tanpa dosa seraya menenteng kotak bekal makan."Mas, kamu kok gak ngabarin aku kalau Ibu masuk rumah sakit?" Ucap Bella dengan sedikit memanyunkan bibirnya sok manis.Jika dulu aku selalu suka sikapnya yang seperti itu, berbeda pula dengan sekarang saat aku sudah tahu semua kedoknya.Tanpa menggubris perkataannya, aku kembali memejamkan mata."Kamu pasti capek sekali ya, Mas? Tapi sarapan dulu ya, baru tidur. Nanti kalau telat makan malah kamu yang jadi sakit." Terdengar lagi ia bersuara membujukku."Memangnya ada jaminan kalau makanan itu aman tak ada racunnya?" Balasku masih enggan membuka mata. Entah bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar perkataanku ini, aku tak lagi peduli."Maksud kamu apa sih, Mas? Racun apa? Jangan bercanda deh."Aku langsung me
Aku terkesiap mendengar perkataan lelaki itu. Jangan-jangan Bella yang ditelponnya saat ini adalah Bella istriku. Tak mungkin semua hal yang saling berkaitan ini hanyalah kebetulan.Diam-diam aku mengikuti langkah lelaki itu. Dan lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihatnya masuk ke ruang poli neurologi. Namun detik selanjutnya, ia kembali keluar.Aku yang masih mengintainya, pura-pura duduk di bangku tunggu sembari bermain ponsel. Terlihat ia kembali menelpon seseorang."Aku belum bisa membuat buktinya sekarang. Jam praktek dokter belum habis. Kemungkinan sore baru aku bisa memberimu bukti itu."Mendengar kata-kata lelaki itu, tanganku tanpa sadar mengepal menahan geram."Ya pandai-pandai kamu lah, bagaimana ngasih alasan ke suamimu. Tapi kan tadi kamu sudah kirim foto ruang poli neurologi, masa dia masih gak percaya?"Entah apalah yang dikatakan orang di seberang sana. Yang jelas pasti ia tak terima jika bukti itu bisa didapatkan sore hari. Pasti ia takut aku pulang dan bertanya m