"Bu, aku minta maaf. Tapi uangnya sudah diambil Rasti."Ibu mendecih mendengar jawabanku. Kalau sudah begini, Ibu pasti menyesal menikahkanku dengan Rasti. Tapi aku tak mungkin juga menyalahkan Ibu atas semua yang sudah terjadi."Ibu Minggu ini ada arisan dengan teman-teman Ibu. Kalau kalung itu tak ada, bisa malu Ibu. Pasti teman-teman Ibu akan mengejek Ibu. Anak naik jabatan bukannya emas bertambah, malah menghilang." Kepalaku makin berdenyut mendengar penuturan Ibu. Kasihan Ibu, pasti ia akan malu sekali di hadapan teman-temannya. Semua ini gara-gara Rasti. Tapi untuk bersikap tegas ke Rasti, aku pun tak berani."Ibu pinjam perhiasan Rasti dulu aja ya, Bu, untuk arisan nanti." Aku berusaha memberikan solusi pada Ibu.Ibu melirikku sekilas lalu mendesah pasrah seperti tak yakin akan diizinkan Rasti.Bersamaan dengan itu, terlihat Rasti baru keluar dari kamar mandi dan hendak menuju kamar. Aku langsung memanggilnya, ingin meminjam perhiasan untuk Ibu."Ada apa, Mas?" Tanya Rasti ta
Aku langsung menuju dapur untuk melihat, ada stok apa di kulkas yang dapat diolah. Aku ingin membawa Ibu berobat, tapi sebelum itu Ibu harus makan dulu.Aku makin menggeram saat melihat isi dalam kulkas pun kosong melompong. Percuma sekali rasanya aku memberi uang yang banyak pada Rasti, jika kebutuhan di rumah ini tak ada yang terpenuhi.Aku bergegas kembali menuju kamar menemui Ibu. "Gak ada stok makanan di kulkas ya, Bu?""Iya, Mar. Ibu belum sempat belanja. Lagi pula, kalau Ibu belanja juga uang yang kamu beri tak akan cukup untuk sebulan. Kan kamu cuma kasih lima ratus ribu."Aku memijat pelipis karena kepala kembali pusing. Aku juga lelah, lapar, ditambah keadaan rumah seperti ini. Rasanya aku mau gila.Bersamaan dengan itu, terdengar pintu depan dibuka. Lalu terdengar pula suara Rasti yang baru pulang bersenandung gembira.Aku mengeratkan rahang menahan geram. Ia bisa bersenandung ria saat kami sedang menderita begini."Rastii! Dari mana kamu?!"Rasti terlonjak kaget mendengar
"Kamu kok gitu sih, ngomongnya ke Damar, Ta? Bukan Damar tak peduli dengan Rafis, tapi kan kamu sendiri yang ingin kalian pisah." Ibu mulai membelaku. Cepat sekali hati Ibu berubah-ubah. Tadi ia mengemis-ngemis pada Dista agar kembali padaku. Sekarang malah sudah berubah lagi pandangannya pada Dista."Apa, Bu? Aku sendiri yang ingin pisah? Bukannya Ibu juga dulu yang paling semangat untuk memisahkan kami?" Balas Dista tak mau disudutkan."Sudah-sudah! Dista, iya, aku minta maaf. Aku sadar akan kekuranganku selama ini sebagai Papa Rafis. Tapi apa tak boleh aku ikut menjenguk Rafis sebentar saja?" Pintaku lagi."Ya udah, nanti datang aja ke lantai empat, ruang 405. Di situ Rafis dirawat," jawab Dista acuh, lalu langsung berlalu meninggalkanku dan Ibu tanpa pamit.Ibu mendengus kesal setelah kepergian Dista, lalu kembali menjatuhkan bokong ke bangku."Ibu kenapa begitu sih tadi, Bu?" Protesku sembari ikut duduk di samping Ibu."Begitu gimana?""Ya Ibu ngapain tadi peluk-peluk Dista begi
"Pak Karwo, jangan begini. Mari kita bicarakan baik-baik dulu di dalam." Ibu langsung menyela, terlihat wajah Ibu semakin pucat karena ketakutan atas ancaman Bapak Rasti.Bapak Rasti hanya berdecak kesal, dan menuruti permintaan Ibu untuk masuk ke dalam rumah. Aku pun mengekori mereka masuk juga dengan hati sedikit lega, karena bisa lepas sesaat dari pandangan menyelidik para tetangga.Setelah masuk, kami pun duduk berkumpul di ruang tamu. "Rasti, jadi sekarang maunya kamu gimana? Kamu mau apakan si Damar ini?" Tanya Ibu Rasti membuat darahku mendidih kembali. Kenapa hanya Rasti yang ditanyai soal keputusan? Seolah aku ini adalah orang yang paling bersalah dalam masalah ini. Padahal semua juga berawal dari kesalahan Rasti. Namun, tetap saja aku tak bisa meluahkan amarahku pada Ibu Rasti untuk saat ini."Emm, gimana ya, Bu? Aku juga bingung. Apa lebih baik aku tinggalkan saja laki-laki ini?" Rasti menatapku dengan pandangan menghina, membuat harga diriku seperti diinjak-injak.Aku m
"Hei, Mas! Kamu sudah lupa kah dengan syarat yang baru aku ajukan tadi? Tak usah sok mengatur-atur aku! Atau kamu memang mau kita cerai lalu mendekam di penjara?" Lagi-lagi Rasti mengancamku, membuat aku seperti dihadapkan dengan buah simalakama."Damar, sudahlah, Damar." Ibu menarik tanganku menjauh dari Rasti. Terlihat Ibu begitu tertekan dengan semua ini. Tapi apa yang bisa kulakukan jika begini? Ibu sendiri yang memasukkanku ke lubang penderitaan ini.Rasti yang kesal karena acara bersantainya terganggu, langsung beralih menuju kamar dengan berjalan sembari menghentakkan kakinya kasar.Aku hanya bisa menatapnya dengan miris. Kenapa semua istriku selalu berubah pasca menikah. Dulu Dista berubah karena penampilannya yang tak lagi menarik. Sekarang Rasti sikapnya berubah menjadi arogan. Tapi masih lebih baik Dista berkali-kali lipat ketimbang Rasti."Ibu istirahatlah dulu, pasti Ibu capek kan?" Ibu hanya mengangguk lemah lalu masuk ke dalam kamarnya.Aku juga langsung beranjak menuju
POV AdistaAda rasa sedikit kecewa saat menerima pesan dari Mas Damar, yang mengatakan ia tak jadi datang menjenguk Rafis.Bukan aku masih cinta dan mengharapkannya, bukan! Tetapi karena aku terlanjur sudah memberi tahu Rafis dan anggota keluargaku bahwa Mas Damar akan menjenguk.Walau Rafis masih belum begitu lancar berkomunikasi, tapi saat aku mengatakan bahwa papanya akan datang, raut wajahnya berubah sedikit lebih ceria dan terus berceloteh riang. Syukur ada Mas Hilman dan Risa yang dapat meredam sedikit rasa kecewa Rafis karena Mas Damar tak kunjung datang. Mereka sudah seperti keluarga sendiri saja bagi Rafis. Padahal kami juga belum terlalu lama kenal. Tapi Risa dan Mas Hilman begitu menyayangi Rafis. Aku berjumpa Risa untuk kali pertama saat baru saja menjadi guru di sebuah yayasan pendidikan. Aku yang memang sudah lama vakum dari dunia pendidikan, diminta memegang kelas yang terendah dulu. Kelas satu.Saat itulah aku bertemu dengan Risa yang menjadi salah satu murid di kela
Sejak pagi aku sudah menunggu di ruang rawat inap wanita itu. Tadi malam aku tak sempat bertemu dengannya karena ia sedang ditangani. Syukur Rafis sudah tak rewel pagi ini, jadi bisa aku titip ke Ibu sebentar. Terlihat wanita yang tak aku ketahui namanya itu menggeliat di atas pembaringan. Perlahan ia membuka mata, dan langsung terkejut begitu melihat ada aku yang sedang duduk santai di sofa ruang rawatnya."Sudah bangun?" Sapaku dengan sedikit menarik bibir ke atas. Entahlah, aku pun bingung harus bagaimana bersikap dengan orang yang sudah membuat rumah tanggaku hancur."Kamu siapa?" Tanyanya balik."Aku? Masa kamu tak tahu aku siapa," sahutku sembari berjalan mendekat ke sisi pembaringannya.Ia menelisik tiap inci wajahku sembari terlihat berpikir."Tak ingat?""Tidak. Sepertinya ini kali pertama kita bertemu."Aku tersenyum sinis mendengar jawabannya."Bagimu iya, ini pertemuan pertama kita. Tapi bagiku tidak."Ia terlihat mengernyitkan dahi, bingung."Biar aku bantu ingatkan. Aku
POV DamarPlaaak!Aku tak tahan lagi untuk tak menampar Rasti yang sudah berkelakuan bak orang gila. Entah bagaimana ia bisa tahu jika aku datang ke rumah sakit ini dan menemui Bella. Yang lebih parahnya lagi, Rasti tak segan sama sekali membuat keributan di rumah sakit."Maas! Berani sekali kamu nampar aku lagi, hah? Mau cari mati kamu?" Mata Rasti melotot penuh ancaman. Namun kali ini tak ada lagi rasa takut dalam hatiku."Kenapa? Kamu mau mengancam aku lagi? Aku tak peduli!" Jawabku tak mau kalah."Hah! Gara-gara wanita kotor itu kamu jadi mulai gak waras ya, Mas!""Rasti! Kamu mau aku tampar lagi, hah?! Jangan seenaknya saja menghina Bella seperti itu!""Oh, ternyata benar dugaanku, kamu punya hubungan khusus dengannya, kan? Sampai segitunya membela wanita itu.""Kalau iya kenapa?" Tantangku membuat Rasti terperangah."Jadi benar, Mas?" Pekiknya lagi dengan kembali tantrum seperti orang gila."Iya! Biar kamu puas.""Jahat kamu, Mas! Bisa-bisanya kamu menduakan aku!" Rasti terlihat