"Oh, Ibu mau buang air? Gak apa-apa, Bu, buang air aja di situ. Ibu kan sudah pakai diapers," sahutku. Memang tadi perawat sudah memintaku untuk membeli diapers Ibu. Dan mungkin saat aku ke ruangan dokter tadi perawat tersebut memakaikannya, karena sekarang aku sudah melihat Ibu memakai diapers.Ibu sedikit terlihat ragu mendengar saranku. Aku paham, pasti Ibu merasa jijik karena tak terbiasa.Tapi setelah kubujuk kembali, akhirnya Ibu menuruti saranku. Selesai buang air, Ibu kembali memberi isyarat padaku bahwa ia sudah selesai."Sudah selesai, Bu?" Ibu hanya menjawab dengan anggukan samar."Rasti, tolong bersihkan bekas kotoran Ibu," ucapku dengan enteng memerintah Rasti."Aku, Mas? Gila kamu ya? Yang anaknya itu kamu, bukan aku! Jadi harusnya kamu yang membersihkannya!" Rasti langsung menolak dengan keras."Oh, jadi kamu gak mau ngurus Ibu aku? Ya udah, kalau gitu kamu aja gimana, Sayang? Kan kamu yang bilang tadi, mau ngurus Ibu aku?" Kini aku beralih ke Bella, untuk menguji ke
Ibu langsung tergugu mendengar penuturan Mas Danis. Aku tahu betapa patahnya hati Ibu saat ini. Dua orang anaknya selalu saja gagal dalam berumah tangga. Tapi kalau boleh jujur, kehancuran rumah tangga kami juga termasuk ada andil Ibu di dalamnya. Kalau saja Ibu tak mengatur berapa uang yang harus kami berikan pada istri-istri kami, pasti tak akan jadi begini. Ya walaupun kami juga salah karena terlalu menuruti Ibu, dengan dalih patuh.Setelah keduanya sudah agak tenang, aku mulai angkat suara lagi."Mas, sekarang kan Mas sudah sendiri. Lebih baik Mas kembali tinggal saja lagi di rumah ini. Jadi kita bisa sama-sama mengurus Ibu, Mas." Aku memberi usul. Jelas aku tak mau repot sendiri. Anak Ibu bukan hanya aku, lagi pula akibat Mas Danis lah, Ibu jadi seperti ini."Tapi rumah Mas gimana, Mar?" "Kontrakin ajalah, Mas. Lumayan, uangnya bisa buat tambahan Ibu terapi."Mas Danis terlihat berpikir sejenak, sebelum akhirnya mengangguk setuju."Ya udah, kalau gitu aku titip Ibu dulu ya, Ma
Hari ini pagi-pagi sekali aku sudah sampai di kontrakan Bella. Sedih rasanya melihat kontrakan baru Bella begitu sempit dan kumuh. Bahkan lebih sempit dari kontrakannya yang lama."Ini baju Rasti yang masih lumayan bagus, Sayang." Aku mengulurkan paper bag yang berisi beberapa baju Rasti yang sudah kusortir kemarin.Bella menerimanya dengan sedikit enggan, namun senyum tetap mengembang di wajahnya."Terima kasih ya, Mas. Tapi aku sudah dapat baju, tadi malam dapat sumbangan dari teman aku.""Tapi ini tetap aku simpan gak apa-apa ya, Mas? Untuk ganti-ganti," lanjutnya lagi."Boleh, Sayang. Maaf ya kalau belum bisa belikan kamu baju. Nanti kalau aku gajian, bakal aku belikan deh." Aku merasa sedikit bersalah. Karena Bella sepertinya selalu menderita saat bersamaku."Tak apa, Mas. Dekat dengan kamu saja aku sudah merasa cukup," sahut Bella membuat aku tersanjung.Aku pun segera meminta Bella untuk bersiap untuk pergi ke pesta pernikahan Dista. Beberapa saat kemudian aku dibuat takjub de
"Apaa?" Mas Danis terlihat terkejut mendengar perkataanku."Kamu mau nikah lagi, Mar?" Mas Danis menatapku tak percaya."Iya, Mas. Emangnya salah? Enggak kan? Toh, kita laki-laki kan bebas mau poligami," sahutku dengan santai."Iya sih, Mar. Tapi Rasti gimana? Emang dia mau dimadu?" "Rasti lagi, Rasti lagi. Aku tak peduli lah, Mas, sama dia. Mau dia setuju atau enggak aku tetap akan nikahin Bella. Lagi pula harusnya dia itu juga sadar diri, gara-gara terpaksa nikahi dia aku jadi gagal bersatu dengan Bella," sungutku.Aku benar-benar jengkel dengan tanggapan Mas Danis. Sempat-sempatnya ia lebih memikirkan perasaan Rasti ketimbang kebahagiaanku.Mas Danis hanya bisa terdiam mendengar jawabanku.Aku yang kesal, langsung bangkit hendak membersihkan diri. Namun, aku kembali menghentikan langkahku dan beralih menatap Ibu."Bu, aku mau nikahin Bella dua Minggu lagi. Ibu setuju kan?" Kutatap wajah Ibu yang semakin hari semakin redup itu. Ibu hanya bisa mengangguk pasrah sembari bergumam sama
"Rasti ...." Aku mengguncang bahu Rasti yang tertidur dengan posisi menyamping itu.Terlihat wajah Rasti sedikit pucat. Tapi aku berusaha menghilangkan rasa iba di hatiku. Jangan sampai pernikahanku dengan Bella jadi kacau gara-gara Rasti."Ras ...." Aku kembali membangunkan Rasti dengan lebih keras.Perlahan ia mulai membuka kelopak matanya dan beralih menatapku."Ada apa, Mas?" Ia bertanya lirih."Kok malah tanya ada apa, sih? Kamu ngapain di sini? Bukannya keluar, malah enak-enakan tidur," sahutku ketus."Mas, aku kurang enak badan. Aku di kamar aja gak apa-apa kan?" Pinta Rasti membuatku kesal."Gak bisa! Kamu harus keluar dan tunjukkan pada orang-orang bahwa kamu setuju dimadu. Kalau kamu terus mendekam di kamar, yang ada orang-orang malah berpikir kamu gak rela aku menikah lagi," tegasku."Tapi, Mas--.""Gak ada tapi-tapian! Cepat bersiap dan pakai baju yang pantas! Aku akan menyuruh perias pengantin mendandanimu di sini," titahku yang hanya dibalas Rasti dengan air mata berurai
POV RastiAir mataku menetes mendengar bentakan Mas Damar di seberang sana. Walau hanya lewat telepon, tapi bentakan Mas Damar sukses meremukkan hatiku yang memang sudah rapuh.Setelah memberi perintah, tanpa menunggu persetujuan dariku, Mas Damar langsung mematikan teleponnya sepihak.Segera kukembalikan ponsel pada Bella yang berdiri di depanku dengan pandangan meremehkan."Cepat pergi! Jangan sampai waktu berhargaku dengan Mas Damar hari ini jadi sia-sia karena kau tak mau menggantikannya!"Aku terkejut mendengar perkataan Bella. Pasalnya baru kali ini aku mendengar Bella berucap kasar begitu. Sebelum-sebelumnya jika ada Mas Damar, ia pasti selalu berucap dengan lemah lembut pada siapapun.Usai berkata begitu, Bella langsung keluar dari kamarku begitu saja. Berulang kali aku menghela napas untuk meringankan sesak yang terasa begitu menghimpit dada. Kuusap air mata yang masih membasahi pipi sejak tadi.Kenapa Mas Damar begitu tega denganku sekarang? Aku tahu aku dulu salah. Tapi ap
"Kenapa dokter bertanya begitu, Dok?" Tanyaku dengan hati berdebar."Begini, Mbak ... Setelah hasil tes darah keluar, ternyata di sini tertera bahwa Pak Danis terinfeksi virus HIV."Duaarr!Serasa ada bom yang meledak di sekitarku mendengar penjelasan dokter tersebut. Walau Mas Danis tak begitu dekat denganku, tapi mendengar ia terinfeksi virus seperti itu jelas aku syok.Pikiranku langsung berkelana pada Mbak Diana yang selama ini jadi pasangan Mas Danis. Aku juga tahu bahwa Mbak Diana adalah PSK via aplikasi. Jangan-jangan dari dialah Mas Danis terinfeksi virus tersebut."Tapi hasil tes darah biasa ini belum tentu akurat, Mbak. Kami akan melakukan tes ELISA lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Dan paling lama akan memakan waktu tiga hari," tambah dokter itu lagi.Aku hanya bisa mengangguk saja menyetujui. Sumpah aku syok dan bingung sekali saat ini. Harusnya berita sepenting ini didengar langsung oleh keluarga inti Mas Danis, bukan aku yang hanya ipar.Usai berbincang beb
"Yakin Mbak ikhlas?" Tanya Mas Rasyid penuh selidik.Aku hanya terdiam, tak sanggup menjawab. Sebenarnya tanpa ditanya pun mungkin orang sudah tahu kalau hatiku tak ikhlas dimadu. Tapi apa boleh buat? Aku terlalu takut pisah dari Mas Damar.Mas Rasyid menatapku penuh arti, seolah tahu apa yang ada di dalam hatiku."Kalau tak ikhlas, kenapa Mbak bertahan?" Tanyanya makin kepo. "Aku terlalu takut pisah dari Mas Damar, Mas," jawabku dengan pandangan menerawang."Kenapa begitu? Apa Mbak sangat mencintainya?"Aku menggeleng lemah."Ada sesuatu yang memberatkanku untuk berpisah darinya, Mas."Hanya itu jawaban yang dapat kuberikan untuk Mas Rasyid. Ia yang seolah paham bahwa aku tak ingin membahasnya pun langsung terdiam.Braak!Kami yang sedang saling diam langsung terlonjak kaget saat pintu kamar dibuka dengan keras. Dan di ambang pintu tersebut sudah muncul Mas Damar dengan raut wajah merah padam menahan amarah."Oh, begini rupanya kelakuanmu ya? Enak-enakan berduaan dengan lelaki lain,