"Kenapa dokter bertanya begitu, Dok?" Tanyaku dengan hati berdebar."Begini, Mbak ... Setelah hasil tes darah keluar, ternyata di sini tertera bahwa Pak Danis terinfeksi virus HIV."Duaarr!Serasa ada bom yang meledak di sekitarku mendengar penjelasan dokter tersebut. Walau Mas Danis tak begitu dekat denganku, tapi mendengar ia terinfeksi virus seperti itu jelas aku syok.Pikiranku langsung berkelana pada Mbak Diana yang selama ini jadi pasangan Mas Danis. Aku juga tahu bahwa Mbak Diana adalah PSK via aplikasi. Jangan-jangan dari dialah Mas Danis terinfeksi virus tersebut."Tapi hasil tes darah biasa ini belum tentu akurat, Mbak. Kami akan melakukan tes ELISA lagi untuk mendapatkan hasil yang lebih akurat. Dan paling lama akan memakan waktu tiga hari," tambah dokter itu lagi.Aku hanya bisa mengangguk saja menyetujui. Sumpah aku syok dan bingung sekali saat ini. Harusnya berita sepenting ini didengar langsung oleh keluarga inti Mas Danis, bukan aku yang hanya ipar.Usai berbincang beb
"Yakin Mbak ikhlas?" Tanya Mas Rasyid penuh selidik.Aku hanya terdiam, tak sanggup menjawab. Sebenarnya tanpa ditanya pun mungkin orang sudah tahu kalau hatiku tak ikhlas dimadu. Tapi apa boleh buat? Aku terlalu takut pisah dari Mas Damar.Mas Rasyid menatapku penuh arti, seolah tahu apa yang ada di dalam hatiku."Kalau tak ikhlas, kenapa Mbak bertahan?" Tanyanya makin kepo. "Aku terlalu takut pisah dari Mas Damar, Mas," jawabku dengan pandangan menerawang."Kenapa begitu? Apa Mbak sangat mencintainya?"Aku menggeleng lemah."Ada sesuatu yang memberatkanku untuk berpisah darinya, Mas."Hanya itu jawaban yang dapat kuberikan untuk Mas Rasyid. Ia yang seolah paham bahwa aku tak ingin membahasnya pun langsung terdiam.Braak!Kami yang sedang saling diam langsung terlonjak kaget saat pintu kamar dibuka dengan keras. Dan di ambang pintu tersebut sudah muncul Mas Damar dengan raut wajah merah padam menahan amarah."Oh, begini rupanya kelakuanmu ya? Enak-enakan berduaan dengan lelaki lain,
"Bella, kamu ngapain lagi balik ke sini sih?" Pembicaraan kami terhenti saat tiba-tiba Mas Damar muncul kembali di ambang pintu. Ia menatap ke arahku dan Bella dengan raut tak suka."Aku cuma kasihan sama Rasti, Mas, dia pasti kesepian sendirian begini," sahut Bella kembali berlemah lembut. Membuat aku ingin muntah. Ternyata benar-benar wanita di hadapanku ini adalah wanita bermuka dua. Ia hanya bersikap lembut saat ada Mas Damar saja. Tapi harusnya aku paham itu, karena rata-rata begitulah sifat seorang madu."Aku sudah bilang, aku bisa sendiri dan sedang ingin sendiri. Kenapa kalian harus datang lagi kemari?" Ucapku sembari menatap mereka dengan datar."Hei, dasar tak tahu terima kasih kau! Harusnya kau berterima kasih dengan Bella yang selalu perhatian. Ini malah begini sambutanmu padanya!" Sentak Mas Damar kembali membela Bella."Terserah Mas lah! Yang penting aku ingin sendiri. Jadi lebih baik kalian pergi. Lagipula besok juga paling aku sudah pulang, seperti keinginanmu kan, B
"Kasihan Rasti dong, Mas. Dia juga perlu istirahat lho," ujar Bella membuat aku ingin sekali menonjok wajahnya yang dimanis-maniskan itu."Kamu jangan terlalu baik juga, Sayang. Nanti dia ngelunjak."Dadaku sesak kembali mendengar penuturan Mas Damar. Aku memilih mengabaikan mereka, dan menyibukkan diri memasak bubur yang baru untuk Ibu.Entah apa lagi lah yang suami-istri itu perbincangkan. Mungkin lebih baik aku tak perlu tahu, dari pada harus sakit hati mendengar kemesraan mereka.Tak perlu menunggu lama, bubur untuk Ibu pun matang. Aku langsung membawanya ke kamar hendak menyuapinya kembali.Bella sudah tak terlihat lagi di luar kamar. Mungkin ia sudah selesai video call dengan Mas Damar."Makan lagi ya, Bu? Aku sudah buat bubur yang baru," tawarku pada Ibu yang terlihat begitu menderita di atas ranjangnya. Membuat aku begitu iba.Ibu hanya mengangguk samar menanggapi tawaranku. Perlahan, aku menyuapi Ibu yang terlihat begitu lahap kini. Membuat air mataku menetes mengingat soal b
Tanpa memperdulikan raut kecewa yang terpampang di wajahku, Mas Damar keluar begitu saja sembari menggandeng Bella yang terlihat begitu cantik dengan riasan tipis di wajahnya.Siapapun yang melihat Bella sekilas, pasti tak menyangka bahwa wanita itu punya sifat yang kejam.Setelah kepergian mereka, aku memilih masuk ke kamar Ibu dan mengurusi beliau.Selesai mengurus Ibu, aku lanjut ke aktivitas seperti hari-hari biasanya, memasak dan mengurus rumah.Tengah sibuk menjemur pakaian, aku dibuat heran saat sebuah mobil berhenti di depan rumah Ibu. Itu bukan mobil Mas Damar, dan tak mungkin juga Mas Damar yang baru saja berangkat sudah pulang lagi.Kutinggalkan begitu saja pakaian yang belum selesai kujemur itu. Lalu beralih ke arah mobil tersebut.Lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihat Mas Danis dan perawat yang waktu itu menjaganya turun dari mobil tersebut.Mas Danis terlihat terhuyung turun dari mobil, wajahnya pun begitu pucat. Dengan sigap, aku menyongsong mereka dan ikut membant
"Oh ya, jatah Ibu untuk terapi dan yang lainnya juga sudah aku berikan pada Bella ya," ujarnya lagi pada Ibu.Raut wajah Ibu langsung berubah, seolah tak setuju dengan keputusan Mas Damar. Melihat itu, Mas Damar pun langsung peka dan mencecar Ibu."Kenapa, Bu? Ibu gak terima?" Tanyanya angkuh."Harusnya Ibu bersyukur, aku selalu memberi nafkah ke Ibu dengan begitu melimpah. Jadi sekarang biarkan Bella dululah yang merasakan bahagia bersamaku. Ibu kan sudah puas selama ini dapat nafkah yang lebih-lebih dari aku dan Mas Danis--.""Damar, cukup!" Mas Danis yang sudah tak tahan lagi pun membentak Mas Damar yang terus saja mencerocos."Apa, Mas? Apa aku salah? Enggak kan? Memang selama ini kenyataannya begitu kan? Rumah tangga kita hancur karena apa kalau bukan karena Ibu? Karena Ibu yang selalu mengatur jatah uang untuk istri-istri kita. Harusnya Mas sadar itu!" Sahut Mas Damar dengan nada yang tak kalah tinggi.Ibu yang mendengar perdebatan dua putranya itu langsung menangis tergugu. Mun
"Astaghfirullah, Mas ... Itu gak benar. Aku berani sumpah kalau Bella memang hanya memberiku uang seratus ribu," bantahku tak terima dengan segala tuduhan Bella."Ya, itu benar, Mar. Mas sendirilah yang menyaksikan kalau Bella memberi Rasti uang segitu. Bahkan Mas yang tambahin uang belanja untuk Rasti, karena kasihan liat Rasti yang kebingungan dengan uang belanja yang begitu minim itu." Mas Danis tiba-tiba keluar dari kamar dan menimpali perkataanku.Mas Damar terlihat dilema saat ini. Ia pasti bingung harus percaya yang mana. Satu lawan dua orang, tentu lebih bisa dipercaya yang dua orang. Tapi itu sepertinya tak berlaku untuk Mas Damar, yang langsung iba saat melihat Bella berurai air mata dan sesenggukan."Aku tahu kalian tak suka denganku. Tapi tolong jangan seperti ini. Aku tahu dan mendengar pembicaraan kalian tadi pagi saat bersekongkol ingin mencatut uang belanja itu lho," lirih Bella dengan perkataan penuh dusta.Aku dan Mas Danis yang mendengarnya langsung menggretakkan g
POV Bella"Terus kamu mau apa? Mau ngadu ke Mas Damar?" Tantangku dengan menatap Rasti penuh intimidasi.Ya, aku sama sekali tak khawatir atau pun takut jika Rasti mengadu yang tidak-tidak ke Mas Damar. Aku ini wanita cerdik. Sudah pasti punya rencana terlebih dahulu sebelum menjalankan misi.Rasti yang melihat tak ada ketakutan di wajahku langsung berlalu begitu saja dengan kesal. Rasain! Enak saja mau minta uang untuk biaya terapi Ibu. Dikira aku akan dengan sukarela memberi gitu? No way! Malah lebih baik Ibu cepat mati saja, agar perhatian Mas Damar hanya untukku. Aku masuk kembali ke kamar, lalu meraih ponsel di atas kasur yang tadi sedang kugunakan untuk merekam video hot-ku. Ya, sebenarnya selama ini aku sering menghabiskan waktu di kamar selama Mas Damar kerja, karena aku sibuk membuat video hot yang nantinya akan kujual dengan harga mahal.Kebetulan sebelum aku menikah dengan Mas Damar, ada seorang mantan pelangganku dulu yang sekarang berdomisli di luar negeri, menawariku
Hari beranjak malam, tapi sama sekali belum ada kabar apapun dari Mas Rasyid. Entah kenapa hatiku terus tak tenang walau kini sudah berada di ruangan tempat aku tinggal dengan Mita selama ini.Aku terhenyak, lamunanku buyar saat dari televisi tabung kecil yang memang disediakan oleh bos kami di kamar ini, menampilkan sebuah berita penganiyaan seorang ART oleh majikannya.Yang membuat aku terkejut pasalnya alamat yang disebutkan adalah alamat rumah Mas Damar. Walau wajah sang pelaku tak terlihat karena ditutupi, tapi aku bisa dengan mudah mengenali jika itu adalah Mas Damar.Belum tuntas aku menonton berita tersebut, pintu ruangan kami terdengar digedor dari luar. Aku langsung bangkit untuk membukanya, karena Mita sedang berada di kamar mandi.Aku terkejut saat melihat Mas Rasyid yang berada di sana bersama seorang temannya yang kutebak adalah polisi juga."Ras, mari ikut kami ke kantor," ajak Mas Rasyid yang menjawab semua keraguanku sedari tadi."Jadi benar kalau yang dianiaya itu ad
POV RastiSudah berhari-hari aku terkurung di kamar bekas Mas Danis. Akses untuk keluar sama sekali tak ada, karena pintu terkunci dari luar. Hanya waktu makan dan waktu-waktu tertentu saja pintu akan terbuka, baik itu dibuka oleh Mas Damar atau Mbok Darti yang baru kutahu adalah ART di rumah ini.Kurasa Mas Damar kini sudah tak waras. Awal berjumpa dengannya dan dia meminta rujuk denganku aku tak begitu kaget. Karena aku tahu tentang video viral Bella yang ternyata seorang pelakor itu.Walau Mas Damar membujukku bahkan berjanji akan menerimaku apa adanya, aku tak akan luluh begitu saja. Karena aku paham betul bagaimana sifat Mas Damar sejak dulu.Mas Damar meminta rujuk denganku semata-mata bukan karena ia cinta, tapi aku tahu ia melakukan itu hanya demi harga dirinya. Sejak dulu ia kan selalu menjaga image di depan orang, dan selalu ingin dipuji-puji. Jadi pasti ia kini tengah malu karena gagal berumah tangga sebanyak tiga kali. Mungkin itu sebabnya ia jadi tak waras hingga menguru
Kembali ke POV Damar ya.Dengan berat hati aku akhirnya berangkat juga ke rumah Dista untuk ikut meramaikan hari jadi anak semata wayangku itu.Kalau bukan karena Rafis, tentu aku tak akan datang. Entahlah bagaimana reaksi Dista nanti saat mengetahui bahwa aku tak lagi bersama dengan Bella.Selang beberapa saat, aku pun sampai di depan sebuah rumah megah. Masih bertahan di dalam mobil, berulang kali aku mengecek, apa benar ini alamat rumah Dista yang benar? Tapi pertanyaanku terjawab saat melihat Hilman ada di antara kerumunan tamu yang mulai datang. Ternyata memang benar ini adalah rumah Dista dan Hilman. Betapa beruntungnya mantan istriku itu, lepas dariku malah mendapat seorang sultan.Setelah menepikan mobil di luar pagar aku pun masuk ke halaman rumah tersebut yang sudah disulap dengan berbagai macam dekorasi ulang tahun khas anak-anak."Hilman ...." Aku menyapa Hilman yang masih sibuk dengan tamu-tamunya yang lain. Lalu menyalaminya sekedar basa-basi."Eh udah datang, Mar?" Bal
POV RasyidAku termangu menatap wajah mulus bak pualam itu. Matanya rapat terpejam terlihat damai setelah beberapa hari mengalami hal-hal yang aneh.Aku tersentak saat tiba-tiba bahuku ditepuk oleh seseorang dari belakang."Jaga pandangan, belum mahram."Aku tersenyum kikuk saat mengetahui Ustadz Faisal lah yang menepuk bahuku.Segera kututup pintu kamar Rasti yang tadi sempat kubuka sedikit untuk melihatnya."Apa ia sudah tak apa, Tadz?" Tanyaku khawatir."Insya Allah ia sudah tak apa. Kami akan berusaha merutinkan ruqyah agar pengaruh pelet dari tubuhnya cepat hilang."Hatiku sedikit tenang mendengar ucapan Ustadz Faisal.Masih teringat jelas dalam benakku kejadian beberapa hari yang lalu.Mita teman kerja sekaligus teman sekamar Rasti menelpon ke nomorku malam-malam. Ia memang tahu bagaimana selama ini aku berusaha berjuang mendapatkan hati Rasti dan berniat mempersuntingnya. Namun entah kenapa Rasti seolah selalu menjaga jarak jika aku membahas soal perasaanku padanya.Mita mengab
"Maaf, aku gak bisa!" Sahut Rasti acuh tanpa memikirkan perasaanku."Dan aku minta secepatnya kamu urus perceraian kita. Karena aku sudah punya pengganti kamu. Jadi jangan berharap banyak!" Lanjut Rasti lagi mengejutkanku."Kamu sudah punya pengganti aku? Secepat itu?" Balasku tak percaya. Bisa jadi itu hanya kebohongan yang dibuat Rasti agar aku menjauh darinya.Belum sempat aku menjawab, bersamaan dengan itu terdengar seseorang dari pintu masuk memanggil nama Rasti begitu akrab."Tumben cepat datangnya, Mas?" Tanya Rasti sembari tersenyum manis pada lelaki yang kini sudah berada di belakangku."Iya. Mas sudah selesai tugas, jadi langsung kemari."Aku terhenyak demi mendengar suara lelaki tersebut. Kenapa suaranya begitu familiar? Refleks aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa lelaki yang kini tengah berbincang hangat dengan Rasti."Rasyid?" Mataku membulat sempurna saat melihat Rasyid teman sekolahku dulu lah yang sedang berbincang dengan Rasti."Damar?" Ia pun sama terkejutny
Aku menutup panggilan dari Mbok Darti setelah berjanji akan segera pulang. Kebetulan sebentar lagi jam pulang kantor akan tiba.Bukannya sedih mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut, aku malah bersorak-sorai dalam hati. Ternyata tanpa aku perlu repot-repot, Bella sudah terkena karmanya sendiri.Dengan bersiul riang aku keluar dari kantor hendak pulang ke rumah. Namun di depan sana terlihat Hardi berjalan tergesa ke arahku."Kenapa lu? Kok macam habis ketemu setan gitu?" Tanyaku pada Hardi setelah jarak kami dekat."Liat nih, Mar! Liat!" Tanpa menyahut pertanyaanku Hardi langsung menunjukkan ponselnya.Di sana terpampang sebuah video live yang terlihat ramai penonton. Mataku membelalak saat sadar tempat yang ada di dalam video tersebut adalah rumahku.Terlihat seorang wanita paruh baya mengamuk pada seorang wanita yang seperti Bella. Bukan, itu memang Bella!Namun syukurnya polisi yang ada di sana langsung melerai sebelum wanita itu semakin brutal.Saat melihat komen-komennya, rata-r
Serasa ada petir yang menyambar di atas kepalaku mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut. Tanpa sadar ponsel pun terjatuh begitu saja seiring dengan air mataku yang turut terjatuh pula.'Baru beberapa hari yang lalu Mas Danis pergi, kenapa sekarang Ibu ikut menyusulnya, Bu?' Aku merintih dalam hati.Tanganku mengepal sesaat teringat pada si penyebab semua ini. Ini semua karena Bella! Gara-gara Bella aku jadi berpisah dengan Ibu untuk selamanya.Aku yang makin tergugu mengundang perhatian para karyawan lain yang berada di divisiku. Mereka terlihat saling pandang satu sama lain, tapi ragu untuk mendekat. Karena memang selama ini aku tak begitu dekat dengan mereka. Hanya Hardi sajalah satu-satunya temanku di sini.Tanpa menghiraukan tatapan penuh tanda tanya mereka, aku langsung bangkit dari kursi berniat pulang. Bahkan sangking kalutnya aku tak ingat untuk izin pada atasan. Hingga di tengah jalan, barulah aku ingat dan cepat-cepat menghubungi Pak Jaya.Usai menelpon dan mendapat izin
Aku yang sedang tidur terbangun begitu mendengar suara pintu ruang rawat Ibu terbuka. Sembari memegang kepala yang pusing karena kurang tidur, aku menoleh ke arah pintu.Terlihat sudah ada Bella di sana, berdiri dengan senyum manis tanpa dosa seraya menenteng kotak bekal makan."Mas, kamu kok gak ngabarin aku kalau Ibu masuk rumah sakit?" Ucap Bella dengan sedikit memanyunkan bibirnya sok manis.Jika dulu aku selalu suka sikapnya yang seperti itu, berbeda pula dengan sekarang saat aku sudah tahu semua kedoknya.Tanpa menggubris perkataannya, aku kembali memejamkan mata."Kamu pasti capek sekali ya, Mas? Tapi sarapan dulu ya, baru tidur. Nanti kalau telat makan malah kamu yang jadi sakit." Terdengar lagi ia bersuara membujukku."Memangnya ada jaminan kalau makanan itu aman tak ada racunnya?" Balasku masih enggan membuka mata. Entah bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar perkataanku ini, aku tak lagi peduli."Maksud kamu apa sih, Mas? Racun apa? Jangan bercanda deh."Aku langsung me
Aku terkesiap mendengar perkataan lelaki itu. Jangan-jangan Bella yang ditelponnya saat ini adalah Bella istriku. Tak mungkin semua hal yang saling berkaitan ini hanyalah kebetulan.Diam-diam aku mengikuti langkah lelaki itu. Dan lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihatnya masuk ke ruang poli neurologi. Namun detik selanjutnya, ia kembali keluar.Aku yang masih mengintainya, pura-pura duduk di bangku tunggu sembari bermain ponsel. Terlihat ia kembali menelpon seseorang."Aku belum bisa membuat buktinya sekarang. Jam praktek dokter belum habis. Kemungkinan sore baru aku bisa memberimu bukti itu."Mendengar kata-kata lelaki itu, tanganku tanpa sadar mengepal menahan geram."Ya pandai-pandai kamu lah, bagaimana ngasih alasan ke suamimu. Tapi kan tadi kamu sudah kirim foto ruang poli neurologi, masa dia masih gak percaya?"Entah apalah yang dikatakan orang di seberang sana. Yang jelas pasti ia tak terima jika bukti itu bisa didapatkan sore hari. Pasti ia takut aku pulang dan bertanya m