Aku tersenyum penuh arti menanggapi perkataan Dewa."Ayo! Tapi jangan kasar-kasar. Aku sedang hamil."Ia langsung tertegun mendengar penuturanku."Kamu hamil? Hamil anak siapa?" Aku berdecak kesal melihat Dewa yang jadi kepo."Ya anak suamiku lah!" Jawabku dengan wajah yang langsung ditekuk."Oh, ya maaf. Aku kira kamu hamil gak tau bapaknya. Hahaha."Aku memukul keras lengan Dewa yang masih tertawa terbahak mengejekku itu. Kenyataan soal aku tak tahu anak siapa yang kukandung ini, cukup aku saja yang tahu. Aku tak ingin membeberkan hal seperti ini pada satu pun orang, walaupun itu orang yang tak kenal dengan Mas Damar."Tapi, Bell ... Kamu masih melayani orang lain saat sedang hamil begini, memangnya tak takut tertular PMS?" Selidik dewa."Ya aku gak bodoh lah, Wa. Aku pasti minta mereka pakai pengaman.""Waduh! Aku lupa bawa pengaman nih, gimana dong?" Aku berdecak kesal melihat kelakuan Dewa. Dasar cuma modusnya saja itu. Padahal ia hanya pura-pura lupa."Ya sudahlah! Kamu kan pe
Wajah-wajah mereka terlihat terkejut begitu mendengar perkataanku, tak terkecuali Rasti yang baru saja hendak masuk kamar."Bell! Maksud kamu apa? Jangan mengada-ngada hanya karena takut kedokmu terbongkar ya!" Mas Danis terlihat emosi seraya menudingku."Kedok apa maksud, Mas? Memangnya aku punya kedok apa, Mas? Bukannya kalianlah yang selama ini merencanakan sesuatu yang jahat di belakangku dan Mas Damar?" Aku berucap dengan terus berurai air mata."Tunggu, tunggu! Maksud kamu tadi apa, Bell, bilang kalau Mas Damar mengajak kamu berhubungan? Apa dia pernah melecehkan kamu?" Tanya Mas Damar sembari meraih kedua bahuku dan menatapku lekat.Sekilas aku dapat melihat ada kilat kemarahan di bola matanya. Ya, suami mana juga yang tak marah jika mendengar istrinya dilecehkan? Bahkan yang kulihat di berita, seorang aparat negara saja pun bisa menghabisi nyawa orang yang tertuduh melecehkan istrinya. Apalah lagi Mas Damar yang hanya orang biasa.Aku hanya mengangguk lemah menjawab pertanyaan
Masih POV Bella.Mas Damar langsung melepaskan pelukannya dari tubuhku dengan wajah yang terlihat begitu kesal.Ia langsung beralih menuju pintu untuk menyahut panggilan dari Rasti yang semakin keras itu."Ada apalagi sih, Ras? Aku capek, mau istirahat!" Sahut Mas Damar dengan ketus.Terlihat Rasti sedikit melirik ke arahku melalui celah pintu yang dibuka Mas Damar. Tentu dengan sengaja pula aku tak membetulkan pakaian yang sempat tersingkap karena permainan Mas Damar tadi.Ya, hitung-hitung memanas-manasi madu. Supaya ia lebih sadar diri dengan posisinya. Walaupun istri pertama, tapi tetap saja tak pernah dilirik oleh Mas Damar."Tolong Mas Danis, Mas. Dia pingsan di kamar Ibu," ujar Rasti terdengar begitu panik."Astaga, hanya gara-gara Mas Danis pingsan kau mengganggu waktu istirahatku, Ras?" Ucap Mas Damar terdengar kesal.Kupikir Mas Damar akan ikut panik dan langsung menolong kakaknya itu, tapi ternyata aku salah. Ia bahkan tak peduli lagi dengan apa yang terjadi pada kakaknya.
Sepeninggal Mas Damar ke kantor, Rasti pun mulai beraktivitas seperti biasa. Namun kali ini tanpa terdengar sepatah kata pun darinya.Aku tentu kembali masuk ke kamar untuk membuat video-video panas terbaru.Namun belum sempat aku memulai, ponselku sudah berdering duluan tanda ada panggilan masuk.Terlihat pada layar nama Om Daniel tertera di sana. Om Daniel adalah orang yang membeli video-video panas dariku."Ada apa, Om?" Tanyaku begitu panggilan terhubung. Tak biasanya ia menelpon jika bukan karena urusan yang begitu mendesak."Bell, ada seorang pria bule yang ingin memakai jasamu. Dia pelanggan setia semua video-videomu. Dan sudah sejak lama pula dia meminta Om supaya mempertemukanmu dengannya," ujar Om Daniel tanpa basa-basi."Wait, Om! Maksud Om gimana? Dia ingin membookingku begitu? Om kan tahu, kalau aku ini sudah menikah dan sedang hamil pula. Aku sudah jarang menerima bookingan orang-orang, Om," cetusku langsung menolak."Tapi, Bell ... Kali ini ia berani membayar mahal han
"Me-mereka siapa?" Aku bertanya gugup pada Steve yang masih terus memandangiku dengan tatapan datar."Mereka teman-temanku, juga pelangganmu."Tubuhku bergetar hebat mendengar penuturan Steve. Air mata meleleh begitu saja karena ketakutan dan amarah. Apa semua ini rencana Om Daniel? Atau bahkan Om Daniel tak tahu menahu soal hal ini.Aku berusaha mengusap air mata dengan kasar. Aku tak boleh terlihat lemah di hadapan mereka. Walau aku kalah jumlah jika pun harus melawan, tapi tak ada salahnya juga mencoba."Steve, bukankah ini tak sesuai perjanjian? Kembalikan ponselku! Aku akan mencoba menghubungi Daniel terlebih dahulu untuk merundingkan soal ini. Aku tak masalah melayani kalian bertiga, tapi yang jadi masalah ini tak sesuai dengan perjanjian."Selarik senyum sinis tersungging di bibir tipis pria itu. Perlahan ia berjalan mendekatiku yang masih meringkuk di sudut ranjang."Kau pikir Daniel mau menerima teleponmu setelah menerima banyak uang dari kami? Kau itu wanita bo*doh, yang bis
"Dok, saya mohon tolong rahasiakan semua ini dari siapapun. Termasuk dari suami dan keluarga saya. Saya mohon, Dok," pintaku pada dokter berwajah teduh itu.Ia yang seolah mengerti bagaimana syoknya aku menerima kabar itu, terlihat mengangguk dengan penuh tatapan iba. Ia lalu mengangsurkan sebuah ponsel padaku."Ini ... Hubungilah keluarga Mbak dahulu. Supaya mereka tak gelisah. Sebab sudah hampir dua hari Mbak di rumah sakit."Aku terhenyak mendengar penjelasan dokter tersebut. Jadi sudah dua hari aku tak sadarkan diri. Bagaimana ini? Pasti Mas Damar mencari-cariku, karena ponselku tak bisa dihubungi. Alasan apa yang harus kuberikan agar ia tak curiga?Selagi aku berpikir, dokter tersebut pun pamit keluar. Dan setelah berpikir keras, akhirnya aku pun mendapat alasan yang tepat untuk kuberikan pada Mas Damar. Bahkan sepertinya alasan ini akan sangat menguntungkanku.Aku segera mengetik nomor Mas Damar pada ponsel tersebut, dan langsung menghubunginya. Tak berapa lama, terdengar suara
POV RastiAku tertegun mendengar ikrar talak yang diucapkan oleh Mas Damar. Kaget, sudah pasti. Tak ada angin, tak ada hujan, tiba-tiba saja Mas Damar menceraikanku.Tapi menilik dari sikap Mas Damar maupun Bella, sepertinya ada fitnah baru yang dihembuskan oleh wanita itu. Dan sepertinya fitnah kali ini begitu keji, hingga Mas Damar sampai semarah ini.Aku mengumpulkan semua kekuatan yang kupunya, dan meraih koper yang tadi Mas Damar lemparkan ke hadapanku.Aku tak ingin bertanya apa salahku, dan aku juga tak ingin mengiba lagi pada lelaki dzolim di hadapanku ini. Karena aku tahu, apapun yang kulakukan agar rumah tangga kami bertahan hanya akan sia-sia saja. Lelaki ini sudah buta mata dan hatinya karena Bella.Tak usahkan aku yang orang lain, bahkan Ibu dan saudaranya sendiri saja tak lagi ia percayai."Baiklah, Mas, jika itu keputusanmu. Semoga kau bahagia bersama istri tercintamu itu," ujarku sembari menatap tepat di manik mata Mas Damar. Terlihat memang tak pernah ada cinta di sa
Masih POV Rasti"Masih nanya lagi kamu salah apa? Kesalahan kamu itu jelas fatal, Rasti! Berulang kali Ibu udah bilang, cari aman kalau masih mau jadi istri Damar, tapi kamu malah gali lubang untuk kamu sendiri jatuh. Buat apa sih kamu celakai Bella? Sampai dia harus kehilangan anak dalam kandungannya."Deg!Kata-kata Ibu bak kilat yang menyambar di atas kepalaku. Ternyata fitnah inilah yang dibuat oleh Bella. Pantas saja Mas Damar jadi semarah itu padaku."Bu, aku berani sumpah, aku gak ngelakuin semua itu. Harusnya Ibu lebih percaya padaku, yang anak Ibu sendiri. Bukan malah percaya pada mereka," ujarku begitu nelangsa."Halah! Gimana Ibu mau percaya sama kamu? Kalau kamu selalu cerita kalau kamu benci dengan istri kedua Damar itu."Aku menelan ludah yang terasa pahit. Ternyata curhatku selama ini ke Ibu pun bisa menjadi bumerang buatku sendiri. Padahal kupikir meluahkan isi hati yang paling aman itu adalah dengan orang tua sendiri. Tapi ternyata aku salah."Cepat kamu pergi dari ru
Hari beranjak malam, tapi sama sekali belum ada kabar apapun dari Mas Rasyid. Entah kenapa hatiku terus tak tenang walau kini sudah berada di ruangan tempat aku tinggal dengan Mita selama ini.Aku terhenyak, lamunanku buyar saat dari televisi tabung kecil yang memang disediakan oleh bos kami di kamar ini, menampilkan sebuah berita penganiyaan seorang ART oleh majikannya.Yang membuat aku terkejut pasalnya alamat yang disebutkan adalah alamat rumah Mas Damar. Walau wajah sang pelaku tak terlihat karena ditutupi, tapi aku bisa dengan mudah mengenali jika itu adalah Mas Damar.Belum tuntas aku menonton berita tersebut, pintu ruangan kami terdengar digedor dari luar. Aku langsung bangkit untuk membukanya, karena Mita sedang berada di kamar mandi.Aku terkejut saat melihat Mas Rasyid yang berada di sana bersama seorang temannya yang kutebak adalah polisi juga."Ras, mari ikut kami ke kantor," ajak Mas Rasyid yang menjawab semua keraguanku sedari tadi."Jadi benar kalau yang dianiaya itu ad
POV RastiSudah berhari-hari aku terkurung di kamar bekas Mas Danis. Akses untuk keluar sama sekali tak ada, karena pintu terkunci dari luar. Hanya waktu makan dan waktu-waktu tertentu saja pintu akan terbuka, baik itu dibuka oleh Mas Damar atau Mbok Darti yang baru kutahu adalah ART di rumah ini.Kurasa Mas Damar kini sudah tak waras. Awal berjumpa dengannya dan dia meminta rujuk denganku aku tak begitu kaget. Karena aku tahu tentang video viral Bella yang ternyata seorang pelakor itu.Walau Mas Damar membujukku bahkan berjanji akan menerimaku apa adanya, aku tak akan luluh begitu saja. Karena aku paham betul bagaimana sifat Mas Damar sejak dulu.Mas Damar meminta rujuk denganku semata-mata bukan karena ia cinta, tapi aku tahu ia melakukan itu hanya demi harga dirinya. Sejak dulu ia kan selalu menjaga image di depan orang, dan selalu ingin dipuji-puji. Jadi pasti ia kini tengah malu karena gagal berumah tangga sebanyak tiga kali. Mungkin itu sebabnya ia jadi tak waras hingga menguru
Kembali ke POV Damar ya.Dengan berat hati aku akhirnya berangkat juga ke rumah Dista untuk ikut meramaikan hari jadi anak semata wayangku itu.Kalau bukan karena Rafis, tentu aku tak akan datang. Entahlah bagaimana reaksi Dista nanti saat mengetahui bahwa aku tak lagi bersama dengan Bella.Selang beberapa saat, aku pun sampai di depan sebuah rumah megah. Masih bertahan di dalam mobil, berulang kali aku mengecek, apa benar ini alamat rumah Dista yang benar? Tapi pertanyaanku terjawab saat melihat Hilman ada di antara kerumunan tamu yang mulai datang. Ternyata memang benar ini adalah rumah Dista dan Hilman. Betapa beruntungnya mantan istriku itu, lepas dariku malah mendapat seorang sultan.Setelah menepikan mobil di luar pagar aku pun masuk ke halaman rumah tersebut yang sudah disulap dengan berbagai macam dekorasi ulang tahun khas anak-anak."Hilman ...." Aku menyapa Hilman yang masih sibuk dengan tamu-tamunya yang lain. Lalu menyalaminya sekedar basa-basi."Eh udah datang, Mar?" Bal
POV RasyidAku termangu menatap wajah mulus bak pualam itu. Matanya rapat terpejam terlihat damai setelah beberapa hari mengalami hal-hal yang aneh.Aku tersentak saat tiba-tiba bahuku ditepuk oleh seseorang dari belakang."Jaga pandangan, belum mahram."Aku tersenyum kikuk saat mengetahui Ustadz Faisal lah yang menepuk bahuku.Segera kututup pintu kamar Rasti yang tadi sempat kubuka sedikit untuk melihatnya."Apa ia sudah tak apa, Tadz?" Tanyaku khawatir."Insya Allah ia sudah tak apa. Kami akan berusaha merutinkan ruqyah agar pengaruh pelet dari tubuhnya cepat hilang."Hatiku sedikit tenang mendengar ucapan Ustadz Faisal.Masih teringat jelas dalam benakku kejadian beberapa hari yang lalu.Mita teman kerja sekaligus teman sekamar Rasti menelpon ke nomorku malam-malam. Ia memang tahu bagaimana selama ini aku berusaha berjuang mendapatkan hati Rasti dan berniat mempersuntingnya. Namun entah kenapa Rasti seolah selalu menjaga jarak jika aku membahas soal perasaanku padanya.Mita mengab
"Maaf, aku gak bisa!" Sahut Rasti acuh tanpa memikirkan perasaanku."Dan aku minta secepatnya kamu urus perceraian kita. Karena aku sudah punya pengganti kamu. Jadi jangan berharap banyak!" Lanjut Rasti lagi mengejutkanku."Kamu sudah punya pengganti aku? Secepat itu?" Balasku tak percaya. Bisa jadi itu hanya kebohongan yang dibuat Rasti agar aku menjauh darinya.Belum sempat aku menjawab, bersamaan dengan itu terdengar seseorang dari pintu masuk memanggil nama Rasti begitu akrab."Tumben cepat datangnya, Mas?" Tanya Rasti sembari tersenyum manis pada lelaki yang kini sudah berada di belakangku."Iya. Mas sudah selesai tugas, jadi langsung kemari."Aku terhenyak demi mendengar suara lelaki tersebut. Kenapa suaranya begitu familiar? Refleks aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa lelaki yang kini tengah berbincang hangat dengan Rasti."Rasyid?" Mataku membulat sempurna saat melihat Rasyid teman sekolahku dulu lah yang sedang berbincang dengan Rasti."Damar?" Ia pun sama terkejutny
Aku menutup panggilan dari Mbok Darti setelah berjanji akan segera pulang. Kebetulan sebentar lagi jam pulang kantor akan tiba.Bukannya sedih mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut, aku malah bersorak-sorai dalam hati. Ternyata tanpa aku perlu repot-repot, Bella sudah terkena karmanya sendiri.Dengan bersiul riang aku keluar dari kantor hendak pulang ke rumah. Namun di depan sana terlihat Hardi berjalan tergesa ke arahku."Kenapa lu? Kok macam habis ketemu setan gitu?" Tanyaku pada Hardi setelah jarak kami dekat."Liat nih, Mar! Liat!" Tanpa menyahut pertanyaanku Hardi langsung menunjukkan ponselnya.Di sana terpampang sebuah video live yang terlihat ramai penonton. Mataku membelalak saat sadar tempat yang ada di dalam video tersebut adalah rumahku.Terlihat seorang wanita paruh baya mengamuk pada seorang wanita yang seperti Bella. Bukan, itu memang Bella!Namun syukurnya polisi yang ada di sana langsung melerai sebelum wanita itu semakin brutal.Saat melihat komen-komennya, rata-r
Serasa ada petir yang menyambar di atas kepalaku mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut. Tanpa sadar ponsel pun terjatuh begitu saja seiring dengan air mataku yang turut terjatuh pula.'Baru beberapa hari yang lalu Mas Danis pergi, kenapa sekarang Ibu ikut menyusulnya, Bu?' Aku merintih dalam hati.Tanganku mengepal sesaat teringat pada si penyebab semua ini. Ini semua karena Bella! Gara-gara Bella aku jadi berpisah dengan Ibu untuk selamanya.Aku yang makin tergugu mengundang perhatian para karyawan lain yang berada di divisiku. Mereka terlihat saling pandang satu sama lain, tapi ragu untuk mendekat. Karena memang selama ini aku tak begitu dekat dengan mereka. Hanya Hardi sajalah satu-satunya temanku di sini.Tanpa menghiraukan tatapan penuh tanda tanya mereka, aku langsung bangkit dari kursi berniat pulang. Bahkan sangking kalutnya aku tak ingat untuk izin pada atasan. Hingga di tengah jalan, barulah aku ingat dan cepat-cepat menghubungi Pak Jaya.Usai menelpon dan mendapat izin
Aku yang sedang tidur terbangun begitu mendengar suara pintu ruang rawat Ibu terbuka. Sembari memegang kepala yang pusing karena kurang tidur, aku menoleh ke arah pintu.Terlihat sudah ada Bella di sana, berdiri dengan senyum manis tanpa dosa seraya menenteng kotak bekal makan."Mas, kamu kok gak ngabarin aku kalau Ibu masuk rumah sakit?" Ucap Bella dengan sedikit memanyunkan bibirnya sok manis.Jika dulu aku selalu suka sikapnya yang seperti itu, berbeda pula dengan sekarang saat aku sudah tahu semua kedoknya.Tanpa menggubris perkataannya, aku kembali memejamkan mata."Kamu pasti capek sekali ya, Mas? Tapi sarapan dulu ya, baru tidur. Nanti kalau telat makan malah kamu yang jadi sakit." Terdengar lagi ia bersuara membujukku."Memangnya ada jaminan kalau makanan itu aman tak ada racunnya?" Balasku masih enggan membuka mata. Entah bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar perkataanku ini, aku tak lagi peduli."Maksud kamu apa sih, Mas? Racun apa? Jangan bercanda deh."Aku langsung me
Aku terkesiap mendengar perkataan lelaki itu. Jangan-jangan Bella yang ditelponnya saat ini adalah Bella istriku. Tak mungkin semua hal yang saling berkaitan ini hanyalah kebetulan.Diam-diam aku mengikuti langkah lelaki itu. Dan lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihatnya masuk ke ruang poli neurologi. Namun detik selanjutnya, ia kembali keluar.Aku yang masih mengintainya, pura-pura duduk di bangku tunggu sembari bermain ponsel. Terlihat ia kembali menelpon seseorang."Aku belum bisa membuat buktinya sekarang. Jam praktek dokter belum habis. Kemungkinan sore baru aku bisa memberimu bukti itu."Mendengar kata-kata lelaki itu, tanganku tanpa sadar mengepal menahan geram."Ya pandai-pandai kamu lah, bagaimana ngasih alasan ke suamimu. Tapi kan tadi kamu sudah kirim foto ruang poli neurologi, masa dia masih gak percaya?"Entah apalah yang dikatakan orang di seberang sana. Yang jelas pasti ia tak terima jika bukti itu bisa didapatkan sore hari. Pasti ia takut aku pulang dan bertanya m