Kembali ke POV Bella."Mas, sekarang kan Rasti udah gak ada, kamu carikan orang untuk bantu-bantu aku di rumah dong, ngurus Ibu dan Mas Danis," rengekku pasca kepulangan orang tua Rasti.Ya, orang tua Rasti baru saja datang. Awalnya mereka mengamuk dan tak terima dengan keputusan Mas Damar yang menceraikan Rasti. Tapi setelah Mas Damar menjelaskan bahwa Rasti sudah membuatku kehilangan kandungan, mereka pun langsung kalah malu dan meminta-minta maaf pada kami.Bahkan mereka mengemis-ngemis meminta agar Mas Damar kembali pada Rasti. Benar-benar memalukan kedua orang tua itu! Tentu saja Mas Damar menolak itu mentah-mentah, karena memang pada dasarnya ia tak mencintai Rasti."Iya, Sayang. Nanti pasti bakal Mas carikan. Lagi pula Mas juga gak mau kalau kamu terlalu capek, supaya kamu bisa cepat hamil lagi."Deg!Kata-kata Mas Damar sukses membuat aku ketar-ketir sejenak. Bagaimana aku bisa hamil lagi? Sedangkan aku saja tak lagi punya rahim."Kamu kenapa, Sayang? Kok gelisah?" Tanya Mas D
POV DamarAku dan Hilman terkejut saat baru saja menapakkan kaki di depan rumah. Terdengar suara ribut-ribut antara Dista dan Bella di dalam, juga terdengar tangisan Rafis.Dengan sedikit tergesa, kami pun masuk untuk melihat apa yang sedang terjadi."Kalau gak diapa-apain gak mungkin Rafis sampai nangis kejer begini!" Dista berteriak dengan kesal pada Bella yang langsung tertunduk saat melihat kedatanganku.Tak terima rasanya, saat orang yang kucintai dibentak-bentak oleh mantan istri. Walau aku sempat terkagum karena Dista kini makin cantik, tapi bukan berarti aku kembali mencintainya. Cintaku hanya pada Bella seorang kini."Ada apa sih ini?" Tanyaku pada keduanya."Nih, Mas! Istri tercinta kamu bikin Rafis nangis. Rafis bilang dia dimarahi dan gak boleh dekat-dekat sama kamu."Aku mengerutkan dahi mendengar jawaban Dista. Sedikit tak percaya Bella berkata begitu pada anak-anak, karena yang aku tahu sikap Bella selama ini begitu lemah lembut."Benar begitu, Bell?" Aku beralih bertan
Aku berusaha mendengarkan percakapan mereka. Tapi tak terdengar jelas. Yang jelas dapat kulihat bagaimana frustasi dan marahnya Bella pada sang penelpon.Akhirnya seharian itu kulalui dengan penuh ketidak tenangan. Berkali-kali mengecek rekaman video cctv, namun tetap tak ada sesuatu yang berarti."Bro, ngapa kok keliatan galau?" Aku terkejut mendengar sapaan Hardi yang tiba-tiba sudah ada di ruanganku. Dasar anak ini tak tahu sopan santun, masuk ke ruang atasan seenaknya saja. Namu tetap saja, sepertinya aku butuh dia untuk mencurahkan isi hati."Di, menurut lu kalau orang sudah berubah lebih baik, apa mungkin bisa kembali ke masa lalu?"Hardi mengernyit heran menatapku."Lu ini ngomong apaan sih, Mar? Ngomong itu yang jelas napa. Berbelit-belit amat." Aku menghela napas sejenak. Menimbang baik buruknya jika aku menceritakan semua masalah rumah tanggaku pada Hardi.Tapi biasanya memang hanya pada Hardi lah aku menceritakan semua keluh kesahku."Mungkin gak ya, Di, kalau Bella kemba
Aku terkesiap mendengar perkataan lelaki itu. Jangan-jangan Bella yang ditelponnya saat ini adalah Bella istriku. Tak mungkin semua hal yang saling berkaitan ini hanyalah kebetulan.Diam-diam aku mengikuti langkah lelaki itu. Dan lagi-lagi aku dibuat terkejut saat melihatnya masuk ke ruang poli neurologi. Namun detik selanjutnya, ia kembali keluar.Aku yang masih mengintainya, pura-pura duduk di bangku tunggu sembari bermain ponsel. Terlihat ia kembali menelpon seseorang."Aku belum bisa membuat buktinya sekarang. Jam praktek dokter belum habis. Kemungkinan sore baru aku bisa memberimu bukti itu."Mendengar kata-kata lelaki itu, tanganku tanpa sadar mengepal menahan geram."Ya pandai-pandai kamu lah, bagaimana ngasih alasan ke suamimu. Tapi kan tadi kamu sudah kirim foto ruang poli neurologi, masa dia masih gak percaya?"Entah apalah yang dikatakan orang di seberang sana. Yang jelas pasti ia tak terima jika bukti itu bisa didapatkan sore hari. Pasti ia takut aku pulang dan bertanya m
Aku yang sedang tidur terbangun begitu mendengar suara pintu ruang rawat Ibu terbuka. Sembari memegang kepala yang pusing karena kurang tidur, aku menoleh ke arah pintu.Terlihat sudah ada Bella di sana, berdiri dengan senyum manis tanpa dosa seraya menenteng kotak bekal makan."Mas, kamu kok gak ngabarin aku kalau Ibu masuk rumah sakit?" Ucap Bella dengan sedikit memanyunkan bibirnya sok manis.Jika dulu aku selalu suka sikapnya yang seperti itu, berbeda pula dengan sekarang saat aku sudah tahu semua kedoknya.Tanpa menggubris perkataannya, aku kembali memejamkan mata."Kamu pasti capek sekali ya, Mas? Tapi sarapan dulu ya, baru tidur. Nanti kalau telat makan malah kamu yang jadi sakit." Terdengar lagi ia bersuara membujukku."Memangnya ada jaminan kalau makanan itu aman tak ada racunnya?" Balasku masih enggan membuka mata. Entah bagaimana ekspresi wajahnya saat mendengar perkataanku ini, aku tak lagi peduli."Maksud kamu apa sih, Mas? Racun apa? Jangan bercanda deh."Aku langsung me
Serasa ada petir yang menyambar di atas kepalaku mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut. Tanpa sadar ponsel pun terjatuh begitu saja seiring dengan air mataku yang turut terjatuh pula.'Baru beberapa hari yang lalu Mas Danis pergi, kenapa sekarang Ibu ikut menyusulnya, Bu?' Aku merintih dalam hati.Tanganku mengepal sesaat teringat pada si penyebab semua ini. Ini semua karena Bella! Gara-gara Bella aku jadi berpisah dengan Ibu untuk selamanya.Aku yang makin tergugu mengundang perhatian para karyawan lain yang berada di divisiku. Mereka terlihat saling pandang satu sama lain, tapi ragu untuk mendekat. Karena memang selama ini aku tak begitu dekat dengan mereka. Hanya Hardi sajalah satu-satunya temanku di sini.Tanpa menghiraukan tatapan penuh tanda tanya mereka, aku langsung bangkit dari kursi berniat pulang. Bahkan sangking kalutnya aku tak ingat untuk izin pada atasan. Hingga di tengah jalan, barulah aku ingat dan cepat-cepat menghubungi Pak Jaya.Usai menelpon dan mendapat izin
Aku menutup panggilan dari Mbok Darti setelah berjanji akan segera pulang. Kebetulan sebentar lagi jam pulang kantor akan tiba.Bukannya sedih mendengar kabar dari Mbok Darti tersebut, aku malah bersorak-sorai dalam hati. Ternyata tanpa aku perlu repot-repot, Bella sudah terkena karmanya sendiri.Dengan bersiul riang aku keluar dari kantor hendak pulang ke rumah. Namun di depan sana terlihat Hardi berjalan tergesa ke arahku."Kenapa lu? Kok macam habis ketemu setan gitu?" Tanyaku pada Hardi setelah jarak kami dekat."Liat nih, Mar! Liat!" Tanpa menyahut pertanyaanku Hardi langsung menunjukkan ponselnya.Di sana terpampang sebuah video live yang terlihat ramai penonton. Mataku membelalak saat sadar tempat yang ada di dalam video tersebut adalah rumahku.Terlihat seorang wanita paruh baya mengamuk pada seorang wanita yang seperti Bella. Bukan, itu memang Bella!Namun syukurnya polisi yang ada di sana langsung melerai sebelum wanita itu semakin brutal.Saat melihat komen-komennya, rata-r
"Maaf, aku gak bisa!" Sahut Rasti acuh tanpa memikirkan perasaanku."Dan aku minta secepatnya kamu urus perceraian kita. Karena aku sudah punya pengganti kamu. Jadi jangan berharap banyak!" Lanjut Rasti lagi mengejutkanku."Kamu sudah punya pengganti aku? Secepat itu?" Balasku tak percaya. Bisa jadi itu hanya kebohongan yang dibuat Rasti agar aku menjauh darinya.Belum sempat aku menjawab, bersamaan dengan itu terdengar seseorang dari pintu masuk memanggil nama Rasti begitu akrab."Tumben cepat datangnya, Mas?" Tanya Rasti sembari tersenyum manis pada lelaki yang kini sudah berada di belakangku."Iya. Mas sudah selesai tugas, jadi langsung kemari."Aku terhenyak demi mendengar suara lelaki tersebut. Kenapa suaranya begitu familiar? Refleks aku menoleh ke belakang untuk melihat siapa lelaki yang kini tengah berbincang hangat dengan Rasti."Rasyid?" Mataku membulat sempurna saat melihat Rasyid teman sekolahku dulu lah yang sedang berbincang dengan Rasti."Damar?" Ia pun sama terkejutny