Sejak tahu bahwa Nana adalah orang yang telah tega menjual Aiza, rasa bersalah di hati Aiza tak kunjung berkurang terhadap Ramon. Dia ingin meminta maaf sudah curiga tapi rasa gengsinya terlalu besar. Bahkan sejak dia diselamatkan pun, dia belum sekalipun mengucap terima kasih. Setidaknya dia ingin berterima kasih kepada Ramon, tapi bingung harus bagaimana caranya.
Seminggu terakhir Aiza masih menyimpan keinginan untuk mengucap terima kasih, maka dia pilih tanggal 31 desember sebagai waktu yang paling tepat. Kebetulan minggu ini sudah akhir tahun. Aiza mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tahun baru.
Aiza berencana untuk memasak bahkan membuat kue tahun baru. Hal seperti ini memang asing baginya, tapi demi mengucap permintaan maaf sekaligus terima kasih, dia akan menepikan dulu perasaan canggung yang ada.
"Mas Ramon malam ini nggak ada acara lain, kan?" tanya Aiza sebelum Ramon menyentuh daun pintu saat dia hendak berangkat kerja.
"Nggak ada
"Mas Ramon mau ngapain ..." Aiza mendorong pelan Ramon. Sekujur tubuhnya bergetar, pipinya bersemu merah, sudah lama sejak terakhir kali bibir mereka bertemu seperti ini.Mata Ramon menajam. "Kenapa? Bukannya ini yang kamu mau?" Ramon mencengkeram kuat kedua lengan atas Aiza. Sorot matanya setajam taring yang siap mengoyak-ngoyak pertahanan Aiza saat ini."Jangan ngaco, Mas. Apa maksud Mas Ramon bilang begitu? Emangnya Mas kira aku ini apa?" Aiza tersinggung dengan ucapan Ramon."Maksud aku ..., kamu cemburu. Bukannya memang itu yang kamu mau? Mau sampai kita juga diam-diaman? Hm?" Ramon menyentuh ujung rambut Aiza yang mencuat dari ikatan rambutnya.Aiza membuang muka. "Siapa bilang aku cemburu? Aku nggak cemburu! Jangan ge-er! Justru aku mau keluar dari sini. Buat apa juga aku cemburu? Konyol." Aiza tampak berusaha keras menyangkal isi hatinya sendiri.Senyum puas tersungging di ujung bibir Ramon. Dia tahu benar isi hati Aiza. "Kamu tau, Za ...,
"Kamu bawa aku ke mana?" Nana bertanya dengan nada skeptis."Ke tempat orang yang kita cari." Levi tersenyum sinis masih bersikap penuh rahasia.Mereka berdua memasuki sebuah kawasan kumuh yang mirip rumah bordil tempat Nana sempat ditahan. Levi bicara sebentar dengan seorang perempuan bertubuh gempal yang menyambut mereka. "Mau bertemu sekarang? Orangnya adaa di dalam." Perempuan gemuk itu fasih berbahasa Indonesia.Kening Nana berkerut halus, dia sama sekali tak mengerti ke mana Levi membawanya, dan rencana apa yang ada di dalam kepala pria itu.Mereka memasuki sebuah kamar yang tampak suram, lembab. Seorang gadis sedang duduk meringkuk di ujung tempat tidur yang terlihat lusuh dan kotor. ketika gadis itu menengadah, Nana terkejut hebat."Asti ...?" Nana nyaris tak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang.Gadis itu menatap Levi dan Nana secara bergantian dengan muka bingung. "Kalian siapa?" tanyanya polos.Nana menoleh kepada Lev
Seluruh rasa rindu tiba-tiba saja menyesaki dada Ramon saat dia sudah berada di dalam kereta tujuan kampung halamannya. Jaket dan topi hitam yang dia kenakan membuat dirinya tampak cukup mencolok dibanding Aiza yang tampil manis dengan busana kasual.Ramon menarik napas panjang sambil melempar pandangan ke luar jendela kereta. "Mas Ramon gugup, ya?" selidik Aiza, "wajar aja sih, udah lima tahun lebih nggak pulang. Pasti canggung, takut juga kan nanti di sana ditanya-tanyain sama orang kampung," tambahnya.Ramon tersenyum kecut, tidak mengelak dari dugaan Aiza yang benar adanya. "Mas takut nggak jago berbohong." Matanya jelas menyiratkan kegundahan dan kecemasan."Jadi ..., nanti kalau mereka tanya apa kerja Mas Ramon, jawabnya apa? Aiza juga harus jawab apa?" tanya Aiza yang duduk di hadapan Ramon.Satu tarikan napas panjang kembali meluncur dari mulut Ramon. Soal itu pun belum dia pikirkan. "Menurut kamu bagusnya apa? Ya ..., bilang aja Mas main saham."
Berbagai menu telah tersaji di atas meja makan. Sepupu jauh Aiza yang ternyata bernama Ryo ikut menyantap makan malam dengan tenang. Namun, mata Ramon tak lepas memandanginya, seakan ada sesuatu yang bisa dia baca dari kehadiran pria muda itu. Dia mencium adanya keanehan."Jadi, apa sebetulnya kerja kamu di Jakarta, Mon? Kenapa susah banget kamu buat pulang, Nak?" tanya Bu Marni di tengah santap malam mereka yang sudah setengah jalan.Ramon sekilas melirik Aiza yang duduk di hadapannya. "Biasalah, Bu. Ramon main sedikit saham. Juga ..., ada kerjaan di hotel. Ibu tenang aja, aku kerjanya bagus, kok." Senyum Ramon mengembang lebar."Ibu lega mendengarnya, tapi tetap aja ..., sikap kamu yang tiba-tiba nggak mau pulang, dan kayak ada rahasia bikin hati Ibu nggak tenang. Terus gimana dengan Aiza? Apa yang Aiza kerjakan di Jakarta? Kenapa nggak ikut pulang sama Delima kemarin?" selidik Bu Marni lagi.Aiza membuka mulutnya tapi Ramon kemudian menyambar, "Ikut ke
Bulan purnama bersinar terang di atas langit biru gelap. Ramon menyalakan sebatang rokok sambil duduk melamun di teras samping rumah. Hanya ada suara jangkrik dan serangga kebun yang menemani. Ibu dan adik-adiknya sudah terlelap sejak beberapa jam lalu. Aiza yang sudah kembali ke rumah orang tuanya pun pasti sudah larut dalam mimpi.Angin tengah malam berembus tapi Ramon tetap bergeming. Sesuatu sedang mengusik pikirannya. Apa lagi kalau bukan perkara menikahi Aiza. Sekarang dia mesti menyusun rencana sebelum semua terlambat.Tepat pada saat lamunannya kian jauh, ponsel pintarnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Leo. Ramon mengangkat tanpa pikir panjang."Di mana sekarang?"tanya Leo tanpa basa-basi,"kita butuh bantuan kamu. Ada sedikit masalah."Ramon menghela napas suntuk. "Kayaknya aku nggak bisa bantu sekarang.""Ramon! Ini bukan main-main, kamu tau ..., ini nilainya hampir satu miliar. Jangan bercanda kamu
Pernikahan berlangsung lancar, tapi Ramon dan Aiza tak bisa berlama-lama di desa. Ramon sudah harus kembali mengurus pekerjaannya yang sempat tertunda."Kalian udah harus banget pulang sekarang? Baru dua minggu kalian di sini ..." keluh Bu Raras saat Aiza sibuk mengepak barang-barangnya."Maaf ya, Bu. Mas Ramon udah harus beli rumah baru buat kami. Rumah yang sekarang udah harus dijual. Kami mesti balik sekarang."Memang menjual apartemen dan persiapan pindah dijadikan Ramon sebagai alasan untuk mereka segera pulang. Aiza menurut dengan harapan mereka akan segera menemukan hidup baru yang lebih stabil. Rumah yang tenang, pekerjaan yang tidak berbahaya. Makin cepat makin baik.***"Delima, Mas titip Ibu dan Cempaka sama kamu, ya. Kamu juga bakal berangkat ke Semarang kan bulan depan? Kuliah yang benar. Jangan lupa rutin kunjungi atau telepon Ibu." Ramon berpesan sebelum mereka berangkat kembali ke Jakarta."Bukan Delima yang harus kamu pikiri
"Hah?! Masa sih?! Yang bener, ah!" Bio tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut Ramon.Saat ini keduanya sedang duduk bersantai di atas atap gedung klub malam, memandangi lampu-lampu kota yang terang sambil ditemani beberapa botol minuman keras serta rokok yang terus mengepul asapnya."Iya ..., itu dia aku bingung. Entah dari mana Asti datang. Aku kira udah meninggal selama ini.""Ya bukan cuma kamu aja yang berpikir kayak gitu, kan, Sayang? Kita semua juga berpikir kalau dia udah meninggal. Justru aneh kalau kita nggak kaget ternyata dia masih hidup, Cintah. Jadi sekarang, gimana kamu sama Aiza? Aku kangen deh sama cewek manis yang agak bego itu. He he."Ramon mengisap rokoknya dalam-dalam. "Kayaknya kamu nggak akan bisa ketemu dia lagi. Aku bilang aku akan keluar dari sini dalam waktu seminggu. Kami udah merencanakan pindah, tapi ternyata Asti datang segala. Sekarang kepalaku terlalu pening, entahlah mau gimana sekarang. Kan nggak mun
Selama ditinggal berdua di apartemen, hubungan Aiza dan Asti begitu canggung, terutama bagi Aiza. Kedatangan Asti tepat di saat yang paling tidak tepat. Seharian di rumah, mereka nyaris tak bicara sepatah kata. Sedang Asti serasa berada di rumah sendiri, dia seenaknya saja meninggalkan gelas kotor di bak cuci piring. Menaikkan volume TV sampai paling tinggi, seolah ingin menguji kesabaran Aiza.Namun, Aiza bukannya marah, dia masih tetap berusaha bersikap baik mengingat nasib buruk yang telah menimpa Asti. Ada perasaan iba dalam hatinya terhadap gadis malang itu."Mbak Asti, makan siang udah siap. Mbak mau makan nanti atau bareng-bareng sama aku?" tanya Aiza usai mengetuk pintu kamar tamu."Sekarang aja."Tak berapa lama, Asti keluar dari kamarnya. Seperti melayani majikan, Aiza menyajikan nasi serta lauk pauk di atas meja. "Belakangan ini Mas Ramon jarang pulang, katanya ada urusan penting di tempat kerja. Rumah jadi sepi, ya." Aiza berkomentar sambil me
Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo
Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang
"Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi
"Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n
Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu
"Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke
Lebih dari sepuluh menit Aiza terbengong memandang tanaman di balkon apartemen. Bio datang mendekat dengan segelas air jahe panas di tangan."Minum dulu, Cintah. Kamu udah dari tadi bengong, hati-hati kesambet," selorohnya mencoba menghibur sedikit kegundahan Aiza."Nggak. Makasih. Aku nggak pingin," tolak Aiza."Ingat loh, kamu masih menyusui, kamu nggak boleh stres." Bio duduk di sampingnya."Gimana aku nggak stres, Bang? Suami aku secepatnya disidang dan aku nggak tau nanti hasilnya kayak apa. Kalau tuntutannya hukum mati gimana?!" Air mata Aiza langsung menumpuk lagi."Jangan berpikir sampai sejauh itu, nggak baik. Hati-hati loh, Sayang. Omongan jadi doa," hibur Bio masih bersikap tenang. "Lihat aja bayi kamu, ada tanggung jawab yang lebih penting buat kamu pikirin, kan ~"Setengah hati, Aiza mengangguk mengiyakan. Betul kata Bio, disamping dia harus memikirkan Ramon, dia juga harus memikirkab nasib puteri kecilnya, Aini. Bayi mungil itu
Seperti yang diinginkan Ramon dan kuasa hukum mereka, Aiza akhirnya memberi tahu kronologi kejadian sejujur-jujur dan seterang-terangnya. Tak lama berselang, Aiza diizinkan untuk pergi, dia dinyatakan tak bersalah.Namun, Aiza tak bisa semudah itu saja meninggalkan tempat itu, mengingat Ramon masih belum jelas bagaimana nasibnya."Bu ... tunggu dulu, gimana dengan suami saya? Apa yang akan terjadi sama dia?" tanya Aiza kepada pihak berwajib yang membawanya menuju pintu keluar."Itu bukan hak Ibu untuk tahu. Harusnya Ibu bersyukur karena Ibu sudah bisa menghirup udara bebas kembali. Kejadian malam itu terbukti adalah upaya membela diri. Jadi apa lagi yang Ibu tunggu? Ibu mau bermalam di sini?" Polisi wanita yang menarik tangannya tampak mulai kehilangan kesabaran.Aiza terdiam, benar juga, pikirnya. Dia seharusnya merasa beruntung, dia bisa lolos dengan mudah, dapat bertemu kembali dengan Aini. Bagaimanapun juga, Aini yang paling membutuhkan dirinya saat i
Berkali-kali Aiza menciumi Aini dengan mata yang sudah basah, dia tak bisa meninggalkan bayinya begitu saja tapi tak ada pilihan lain. Ramon berkata ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka jika Aiza mau hukumannya diperingan.Sementara Ramon, selain menyiapkan kuasa hukum terbaik, Ramon juga tak lupa meminta saran kepada Leo, kepada siapa lagi dia bisa mengadu di situasi kacau seperti ini?"Kamu yakin Mon, mau membiarkan Aiza menjalani pengadilan gitu aja? Ingat, kamu itu siapa. Bisa jadi ini umpan supaya kamu keluar." Leo berbicara dengan Ramon di luar kamar Aiza."Kamu punya ide yang lebih bagus? Aku nggak mau nama Aiza kotor, Yo. Ini harus diakhiri, sekali untuk selamanya. Aku juga udah capek, setelah Aiza selesai dengan urusan ini, aku udah bulat mau berhenti."Mata Leo terbelalak. "Ha? Mon, nggak ... nggak bisa, Mon.""Yo, berhenti. Hidupku bukan keputusan kamu. Ada anak kami yang harus kami besarkan. Aku udah pilih, Solo, kami akan sela