Bulan purnama bersinar terang di atas langit biru gelap. Ramon menyalakan sebatang rokok sambil duduk melamun di teras samping rumah. Hanya ada suara jangkrik dan serangga kebun yang menemani. Ibu dan adik-adiknya sudah terlelap sejak beberapa jam lalu. Aiza yang sudah kembali ke rumah orang tuanya pun pasti sudah larut dalam mimpi.
Angin tengah malam berembus tapi Ramon tetap bergeming. Sesuatu sedang mengusik pikirannya. Apa lagi kalau bukan perkara menikahi Aiza. Sekarang dia mesti menyusun rencana sebelum semua terlambat.
Tepat pada saat lamunannya kian jauh, ponsel pintarnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Leo. Ramon mengangkat tanpa pikir panjang.
"Di mana sekarang?" tanya Leo tanpa basa-basi, "kita butuh bantuan kamu. Ada sedikit masalah."
Ramon menghela napas suntuk. "Kayaknya aku nggak bisa bantu sekarang."
"Ramon! Ini bukan main-main, kamu tau ..., ini nilainya hampir satu miliar. Jangan bercanda kamu
Pernikahan berlangsung lancar, tapi Ramon dan Aiza tak bisa berlama-lama di desa. Ramon sudah harus kembali mengurus pekerjaannya yang sempat tertunda."Kalian udah harus banget pulang sekarang? Baru dua minggu kalian di sini ..." keluh Bu Raras saat Aiza sibuk mengepak barang-barangnya."Maaf ya, Bu. Mas Ramon udah harus beli rumah baru buat kami. Rumah yang sekarang udah harus dijual. Kami mesti balik sekarang."Memang menjual apartemen dan persiapan pindah dijadikan Ramon sebagai alasan untuk mereka segera pulang. Aiza menurut dengan harapan mereka akan segera menemukan hidup baru yang lebih stabil. Rumah yang tenang, pekerjaan yang tidak berbahaya. Makin cepat makin baik.***"Delima, Mas titip Ibu dan Cempaka sama kamu, ya. Kamu juga bakal berangkat ke Semarang kan bulan depan? Kuliah yang benar. Jangan lupa rutin kunjungi atau telepon Ibu." Ramon berpesan sebelum mereka berangkat kembali ke Jakarta."Bukan Delima yang harus kamu pikiri
"Hah?! Masa sih?! Yang bener, ah!" Bio tak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar dari mulut Ramon.Saat ini keduanya sedang duduk bersantai di atas atap gedung klub malam, memandangi lampu-lampu kota yang terang sambil ditemani beberapa botol minuman keras serta rokok yang terus mengepul asapnya."Iya ..., itu dia aku bingung. Entah dari mana Asti datang. Aku kira udah meninggal selama ini.""Ya bukan cuma kamu aja yang berpikir kayak gitu, kan, Sayang? Kita semua juga berpikir kalau dia udah meninggal. Justru aneh kalau kita nggak kaget ternyata dia masih hidup, Cintah. Jadi sekarang, gimana kamu sama Aiza? Aku kangen deh sama cewek manis yang agak bego itu. He he."Ramon mengisap rokoknya dalam-dalam. "Kayaknya kamu nggak akan bisa ketemu dia lagi. Aku bilang aku akan keluar dari sini dalam waktu seminggu. Kami udah merencanakan pindah, tapi ternyata Asti datang segala. Sekarang kepalaku terlalu pening, entahlah mau gimana sekarang. Kan nggak mun
Selama ditinggal berdua di apartemen, hubungan Aiza dan Asti begitu canggung, terutama bagi Aiza. Kedatangan Asti tepat di saat yang paling tidak tepat. Seharian di rumah, mereka nyaris tak bicara sepatah kata. Sedang Asti serasa berada di rumah sendiri, dia seenaknya saja meninggalkan gelas kotor di bak cuci piring. Menaikkan volume TV sampai paling tinggi, seolah ingin menguji kesabaran Aiza.Namun, Aiza bukannya marah, dia masih tetap berusaha bersikap baik mengingat nasib buruk yang telah menimpa Asti. Ada perasaan iba dalam hatinya terhadap gadis malang itu."Mbak Asti, makan siang udah siap. Mbak mau makan nanti atau bareng-bareng sama aku?" tanya Aiza usai mengetuk pintu kamar tamu."Sekarang aja."Tak berapa lama, Asti keluar dari kamarnya. Seperti melayani majikan, Aiza menyajikan nasi serta lauk pauk di atas meja. "Belakangan ini Mas Ramon jarang pulang, katanya ada urusan penting di tempat kerja. Rumah jadi sepi, ya." Aiza berkomentar sambil me
"Jadi aku nggak ikut, Mas?" tanya Aiza sambil membantu Ramon mengepak pakaian yang akan dia bawa selama berada di Macau."Nggak bisa, Za. Ini kasus serius. Aku nggak mau kejadian terulang lagi kayak waktu kita di Hong Kong." Ramon tak melirik Aiza sama sekali.Jauh dalam hatinya, sebenarnya Aiza kesal dengan sikap Ramon belakangan ini. Sejak mereka resmi menikah, rasanya tak ada yang berubah di antara mereka. Hubungan mereka tak berkembang. Semua karena Ramon tiba-tiba disibukkan dengan urusan Pak Ryo yang mendadak sakit. Belum lagi kehadiran Asti yang membuat situasi menjadi sedingin gunung es.Hampir tak pernah lagi mereka makan berdua, atau mengobrol serius. Bahkan Ramon tak pernah pulang saat malam. Aiza selalu tidur sendiri. Rasanya Aiza enggan membiarkan kondisi terus seperti ini."Mas Ramon janji loh, katanya bakal berhenti setelah kita balik. Tapi kenapa sekarang malah jadi kayak gini?" Aiza tak bisa menahan rasa dongkol di dadanya lagi.Ag
Tak akan semudah itu Aiza menyerah dan takluk di tangan penjahat seperti Levi. Meski kepalanya sangat sakit dan sudah mengeluarkan darah sekalipun, dia bertekad tak akan begitu saja menyerah. Walau dia juga bisa merasakan firasat kalau dirinya akan kalah, tapi tak akan segampang itu. Ini bukan kali pertama Aiza mengalami peristiwa mengerikan seperti ini. Pasti ada jalan keluar, pasti. Aiza berusaha menstimulasi pikirannya sendiri agar tetap jernih dan tenang.Jambakan Levi di rambut Aiza makin kuat, dengan gigi yang menggeretak dia menyeret Aiza masuk kembali ke dalam kamarnya. Tangan Aiza berusaha keras menyingkirkan genggaman tangan Levi yang kuat. Tapi tenaga mereka terlalu jauh tak seimbang."Jangan coba-coba melawan, Brengsek! Kamu kira kamu siapa, hah?! Kita nggak setara, ingat itu!"Levi memberikan ancaman lagi saat Aiza berusaha untuk melepaskan diri. Tiba-tiba saja tubuh Aiza diempaskan sampai menghantam pinggiran tempat tidur yang keras. Sekali lagi Ai
Lantaran lelah akibat terlalu lama menangis, Aiza tertidur di atas lantai kamarnya. Ramon yang masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dengan penuh kasih sayang menggendong Aiza ke atas tempat tidur.Gerakannya begitu lambat dan hati-hati supaya Aiza tak terjaga. Ketika Aiza sudah dibaringkan di atas tempat tidur, Ramon segera menyelimuti tubuh ringkihnya sampai batas leher. Lalu dia elus lembut rambut Aiza.Saat itulah Ramon menyadari sesuatu. Ada perban luka di kepala Aiza dekat bagian tengah sebelah kanan. Ramon mendelik kaget. "A-apa ini?" tanyanya pelan.Tangannya sedikit gemetar menyentuh perban luka di kepala Aiza.Luka? Kenapa kepala Aiza luka? Apa yang sebenarnya terjadi?Ramon tak henti-henti memecahkan teka-teki, tapi tak ada satu pun petunjuk yang bisa membantunya.Mungkin ada. Satu orang. Dan orang itu saat ini sedang menghilang ditelan bumi: Asti.Tak sabaran, Ramon keluar meninggalkan Aiza agar gadis malang
Usai mendengar penjelasan dari Dokter, malah Rehan yang langsung terbelalak sebab dia sudah mengetahui apa yang terjadi kepada Aiza. Meski Aiza mengaku tak bisa mengingat kejadian yang sebenarnya, tapi kemungkinan besar, memang dia sudah diperkosa oleh Levi.Apabila memang itu yang terjadi, maka bisa jadi ..."Saya mau ketemu sama istri saya boleh, Dok?" tanya Ramon dengan muka semringah.Dokter mempersilakan Ramon untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Di dalam ruang pemeriksaan, Aiza sedang terbaring di atas ranjang pasien dengan muka pucat. Tak ada kegembiraan sama sekali di wajah cantiknya."Za, gimana kondisi kamu? Kamu udah dengar apa kata Dokter, kan?" Ramon duduk di sisi tempat tidur.Lamunan Aiza buyar seketika. Dia mengangguk pelan."Kamu hamil, Za. Kita akan punya anak." Ramon memegang tangan Aiza.Aiza tak bisa lekas menyambut kabar ini dengan gembira. Dia bingung. Kapan terakhir kali dia berhubungan dengan Ramon? Entah,
Aiza langsung memeluk Bu Raras begitu dia turun dari taksi yang dia tumpangi. Bu Raras menyambut kepulangan puteri tunggalnya dengan hati yang hangat dan bahagia, tapi Aiza justru sebaliknya.Kesedihan yang masih memenuhi kepala membuat Aiza hanya bisa menangis sambil memeluk erat tubuh ibunya. Seandainya dia bisa cerita mimpi buruk yang dia alami. Dia ingin sekali bersandar dan ditenangkan, tapi dia tak akan pernah sanggup untuk cerita soal itu."Kamu kenapa sedih banget, Za? Ada apa?" tanya Bu Marni yang juga ikut datang menyambut Aiza."Nggak ada kok, Bu. Aiza baik-baik aja. Cuma senang aja bisa balik lagi." Aiza menutupi."Jangan bohong, muka kamu keliatan pucat loh, Za. Nggak kayak Aiza yang aku kenal." Delima yang juga sudah lebih dulu sampai di rumahnya ikut menimpali.Bu Raras tak mau berkomentar, takut menyakiti perasaan Aiza walau dia pun bisa menyadari bahwa wajah dan gestur Aiza sedikit berbeda."Kita masuk dulu, yuk. Kamu kan ud