"Jadi aku nggak ikut, Mas?" tanya Aiza sambil membantu Ramon mengepak pakaian yang akan dia bawa selama berada di Macau.
"Nggak bisa, Za. Ini kasus serius. Aku nggak mau kejadian terulang lagi kayak waktu kita di Hong Kong." Ramon tak melirik Aiza sama sekali.
Jauh dalam hatinya, sebenarnya Aiza kesal dengan sikap Ramon belakangan ini. Sejak mereka resmi menikah, rasanya tak ada yang berubah di antara mereka. Hubungan mereka tak berkembang. Semua karena Ramon tiba-tiba disibukkan dengan urusan Pak Ryo yang mendadak sakit. Belum lagi kehadiran Asti yang membuat situasi menjadi sedingin gunung es.
Hampir tak pernah lagi mereka makan berdua, atau mengobrol serius. Bahkan Ramon tak pernah pulang saat malam. Aiza selalu tidur sendiri. Rasanya Aiza enggan membiarkan kondisi terus seperti ini.
"Mas Ramon janji loh, katanya bakal berhenti setelah kita balik. Tapi kenapa sekarang malah jadi kayak gini?" Aiza tak bisa menahan rasa dongkol di dadanya lagi.
Ag
Tak akan semudah itu Aiza menyerah dan takluk di tangan penjahat seperti Levi. Meski kepalanya sangat sakit dan sudah mengeluarkan darah sekalipun, dia bertekad tak akan begitu saja menyerah. Walau dia juga bisa merasakan firasat kalau dirinya akan kalah, tapi tak akan segampang itu. Ini bukan kali pertama Aiza mengalami peristiwa mengerikan seperti ini. Pasti ada jalan keluar, pasti. Aiza berusaha menstimulasi pikirannya sendiri agar tetap jernih dan tenang.Jambakan Levi di rambut Aiza makin kuat, dengan gigi yang menggeretak dia menyeret Aiza masuk kembali ke dalam kamarnya. Tangan Aiza berusaha keras menyingkirkan genggaman tangan Levi yang kuat. Tapi tenaga mereka terlalu jauh tak seimbang."Jangan coba-coba melawan, Brengsek! Kamu kira kamu siapa, hah?! Kita nggak setara, ingat itu!"Levi memberikan ancaman lagi saat Aiza berusaha untuk melepaskan diri. Tiba-tiba saja tubuh Aiza diempaskan sampai menghantam pinggiran tempat tidur yang keras. Sekali lagi Ai
Lantaran lelah akibat terlalu lama menangis, Aiza tertidur di atas lantai kamarnya. Ramon yang masih tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, dengan penuh kasih sayang menggendong Aiza ke atas tempat tidur.Gerakannya begitu lambat dan hati-hati supaya Aiza tak terjaga. Ketika Aiza sudah dibaringkan di atas tempat tidur, Ramon segera menyelimuti tubuh ringkihnya sampai batas leher. Lalu dia elus lembut rambut Aiza.Saat itulah Ramon menyadari sesuatu. Ada perban luka di kepala Aiza dekat bagian tengah sebelah kanan. Ramon mendelik kaget. "A-apa ini?" tanyanya pelan.Tangannya sedikit gemetar menyentuh perban luka di kepala Aiza.Luka? Kenapa kepala Aiza luka? Apa yang sebenarnya terjadi?Ramon tak henti-henti memecahkan teka-teki, tapi tak ada satu pun petunjuk yang bisa membantunya.Mungkin ada. Satu orang. Dan orang itu saat ini sedang menghilang ditelan bumi: Asti.Tak sabaran, Ramon keluar meninggalkan Aiza agar gadis malang
Usai mendengar penjelasan dari Dokter, malah Rehan yang langsung terbelalak sebab dia sudah mengetahui apa yang terjadi kepada Aiza. Meski Aiza mengaku tak bisa mengingat kejadian yang sebenarnya, tapi kemungkinan besar, memang dia sudah diperkosa oleh Levi.Apabila memang itu yang terjadi, maka bisa jadi ..."Saya mau ketemu sama istri saya boleh, Dok?" tanya Ramon dengan muka semringah.Dokter mempersilakan Ramon untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Di dalam ruang pemeriksaan, Aiza sedang terbaring di atas ranjang pasien dengan muka pucat. Tak ada kegembiraan sama sekali di wajah cantiknya."Za, gimana kondisi kamu? Kamu udah dengar apa kata Dokter, kan?" Ramon duduk di sisi tempat tidur.Lamunan Aiza buyar seketika. Dia mengangguk pelan."Kamu hamil, Za. Kita akan punya anak." Ramon memegang tangan Aiza.Aiza tak bisa lekas menyambut kabar ini dengan gembira. Dia bingung. Kapan terakhir kali dia berhubungan dengan Ramon? Entah,
Aiza langsung memeluk Bu Raras begitu dia turun dari taksi yang dia tumpangi. Bu Raras menyambut kepulangan puteri tunggalnya dengan hati yang hangat dan bahagia, tapi Aiza justru sebaliknya.Kesedihan yang masih memenuhi kepala membuat Aiza hanya bisa menangis sambil memeluk erat tubuh ibunya. Seandainya dia bisa cerita mimpi buruk yang dia alami. Dia ingin sekali bersandar dan ditenangkan, tapi dia tak akan pernah sanggup untuk cerita soal itu."Kamu kenapa sedih banget, Za? Ada apa?" tanya Bu Marni yang juga ikut datang menyambut Aiza."Nggak ada kok, Bu. Aiza baik-baik aja. Cuma senang aja bisa balik lagi." Aiza menutupi."Jangan bohong, muka kamu keliatan pucat loh, Za. Nggak kayak Aiza yang aku kenal." Delima yang juga sudah lebih dulu sampai di rumahnya ikut menimpali.Bu Raras tak mau berkomentar, takut menyakiti perasaan Aiza walau dia pun bisa menyadari bahwa wajah dan gestur Aiza sedikit berbeda."Kita masuk dulu, yuk. Kamu kan ud
"Tolong mulai cari dia, Yo. Sekarang aku harus susul Aiza dulu buat meluruskan kesalah-pahaman ini." Ramon memberi keputusan.Leo mengangguk sepakat. Sekilas dia lirik Asti, "Terus dia gimana?""Kita nggak punya urusan sama dia lagi. Lepaskan aja."Ramon melengos begitu saja setelah dia memutuskan rencana selanjutnya. Usai ikatan di tangan dan kaki Asti dilepas oleh Leo, tiba-tiba saja Asti berdiri dan memanggil Ramon kembali."Jadi kamu yakin, Mon? Ini akhir semuanya? Ini betul-betul akhir dari semuanya?!" seru Asti."Jangan bikin masalah lagi, kamu beruntung Ramon ngelepasin kamu!" bentak Leo geram.Ramon berbalik badan, menatap Asti yang berdiri jauh darinya. "Ya. Ini udah akhirnya. Setelah hari ini, kita nggak akan pernah ketemu lagi. Kalau kamu masih cari masalah juga, maaf kalau aku terpaksa berbuat tegas nanti. Jangan berani kamu sentuh Aiza lagi."Ancaman serius itu menghancurkan hati Asti sampai pecah berkeping-keping. "Aku k
"Mas Ramon ...! Maafin Aiza, Mas ... Maaf ..." Aiza menangis tersedu-sedu.Kepalanya baru saja seolah dihantam palu godam mengetahui fakta bahwa bayi yang dia kandung adalah anaknya dengan Ramon. "Nyaris aja aku membunuh anak kita, Mas ..." tangis Aiza. Panik. "Aku betul-betul bego! Aku betul-betul ceroboh! Harusnya aku cari tau dulu kebenarannya ...!" Aiza tak henti-henti menangis.Tangan Ramon membelai rambut lembut Aiza penuh perasaaan. "Jangan terus-terusan salahin diri kamu sendiri, Za. Mas ngerti banget. Jiwa kamu juga pasti terguncang. Justru ini salah Mas karena udah lalai. Mas nggak berhasil menjaga kamu. Mulai sekarang, Mas janji nggak akan pernah ninggalin kamu lagi, Za." Ramon menarik Aiza lebih erat dalam dekapannya."Sekarang, udah jelas kan? Kita akan segera punya anak. Bulan akan cepat berlalu sampai bayi ini lahir. Itu artinya ...""Jangan diungkit lagi, Za.""Mau sampe kapan Mas Ramon lari? Jangan bikin aku stres, Mas. Aku bisa te
"Za, Mas pergi sebentar, ya."Sedetik mendengar Ramon pamit, mata Aiza yang nyaris terpejam langsung terbuka kembali. Dilihatnya Ramon mengambil jaket yang tergantung di belakang pintu kamar, bersiap untuk pergi secara mendadak."Mau ke mana?" tanya Aiza. Dia sudah mendengar percakapan Ramon lewat telepon tadi siang, tapi entah dia akan jujur atau tidak."Ada kerjaan yang harus Mas kerjain,shiftmalam. Kamu jangan nungguin Mas, ya. Tidur aja duluan.""Shiftmalam? Emangnya Mas dapat kerja di mana?" selidik Aiza."Ada pergudangan gitu. Kamu tidur aja, Za." Ramon tak menjelaskan lebih jauh.Diam-diam, setelah Ramon mengemudikan mobilnya, Aiza menghampiri sebuah taksi. Namun, kendala bahasa menghentikan geraknya. Dia tak akan berhasil apabila bahasa jepangnya saja jauh dari kata bagus, bahkan payah.Aiza tak mungkin mengambil risiko mengikuti Ramon sekarang. Setidaknya dia harus bisa menguasai bahasa jep
Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, Ramon pergi malam itu. Diam-diam, secara nekad Aiza mengikuti dengan menumpang taksi. Dengan modal bahasa jepang dasar yang sudah dirasa cukup, dia mengikuti ke mana Ramon pergi.Mata Aiza langsung membulat lebar begitu Ramon sampai di sebuah kawasan yang tepat seperti dikatakan oleh Satria. Di sisi kanan dan kiri, terdapat banyak toko maupun penyedia jasa dilengkapi lampu-lampu neon yang menyilaukan mata.Tubuh Aiza bergetar dari atas sampai ke bawah. Dia sejenak tak percaya. Tempat macam apa ini? Ini bahkan terlihat lebih asing ketimbang klub malam yang pernah dia masuki di Jakarta.Sama seperti di Jakarta, Ramon menghilang masuk ke dalam sebuah klub malam pula. Aiza langsung bergegas, hendak menangkap basah Ramon saat itu juga. Akan tetapi, langkahnya dihadang oleh dua orang sekuriti.Dua pria bertubuh besar dan berwajah sangar itu bicara terlalu cepat sampai tak satu pun dipahami oleh Aiza. Terpaksa dia mundur. Ketika
Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo
Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang
"Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi
"Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n
Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu
"Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke
Lebih dari sepuluh menit Aiza terbengong memandang tanaman di balkon apartemen. Bio datang mendekat dengan segelas air jahe panas di tangan."Minum dulu, Cintah. Kamu udah dari tadi bengong, hati-hati kesambet," selorohnya mencoba menghibur sedikit kegundahan Aiza."Nggak. Makasih. Aku nggak pingin," tolak Aiza."Ingat loh, kamu masih menyusui, kamu nggak boleh stres." Bio duduk di sampingnya."Gimana aku nggak stres, Bang? Suami aku secepatnya disidang dan aku nggak tau nanti hasilnya kayak apa. Kalau tuntutannya hukum mati gimana?!" Air mata Aiza langsung menumpuk lagi."Jangan berpikir sampai sejauh itu, nggak baik. Hati-hati loh, Sayang. Omongan jadi doa," hibur Bio masih bersikap tenang. "Lihat aja bayi kamu, ada tanggung jawab yang lebih penting buat kamu pikirin, kan ~"Setengah hati, Aiza mengangguk mengiyakan. Betul kata Bio, disamping dia harus memikirkan Ramon, dia juga harus memikirkab nasib puteri kecilnya, Aini. Bayi mungil itu
Seperti yang diinginkan Ramon dan kuasa hukum mereka, Aiza akhirnya memberi tahu kronologi kejadian sejujur-jujur dan seterang-terangnya. Tak lama berselang, Aiza diizinkan untuk pergi, dia dinyatakan tak bersalah.Namun, Aiza tak bisa semudah itu saja meninggalkan tempat itu, mengingat Ramon masih belum jelas bagaimana nasibnya."Bu ... tunggu dulu, gimana dengan suami saya? Apa yang akan terjadi sama dia?" tanya Aiza kepada pihak berwajib yang membawanya menuju pintu keluar."Itu bukan hak Ibu untuk tahu. Harusnya Ibu bersyukur karena Ibu sudah bisa menghirup udara bebas kembali. Kejadian malam itu terbukti adalah upaya membela diri. Jadi apa lagi yang Ibu tunggu? Ibu mau bermalam di sini?" Polisi wanita yang menarik tangannya tampak mulai kehilangan kesabaran.Aiza terdiam, benar juga, pikirnya. Dia seharusnya merasa beruntung, dia bisa lolos dengan mudah, dapat bertemu kembali dengan Aini. Bagaimanapun juga, Aini yang paling membutuhkan dirinya saat i
Berkali-kali Aiza menciumi Aini dengan mata yang sudah basah, dia tak bisa meninggalkan bayinya begitu saja tapi tak ada pilihan lain. Ramon berkata ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka jika Aiza mau hukumannya diperingan.Sementara Ramon, selain menyiapkan kuasa hukum terbaik, Ramon juga tak lupa meminta saran kepada Leo, kepada siapa lagi dia bisa mengadu di situasi kacau seperti ini?"Kamu yakin Mon, mau membiarkan Aiza menjalani pengadilan gitu aja? Ingat, kamu itu siapa. Bisa jadi ini umpan supaya kamu keluar." Leo berbicara dengan Ramon di luar kamar Aiza."Kamu punya ide yang lebih bagus? Aku nggak mau nama Aiza kotor, Yo. Ini harus diakhiri, sekali untuk selamanya. Aku juga udah capek, setelah Aiza selesai dengan urusan ini, aku udah bulat mau berhenti."Mata Leo terbelalak. "Ha? Mon, nggak ... nggak bisa, Mon.""Yo, berhenti. Hidupku bukan keputusan kamu. Ada anak kami yang harus kami besarkan. Aku udah pilih, Solo, kami akan sela