Lagi-lagi untuk kesekian kalinya, Ramon pergi malam itu. Diam-diam, secara nekad Aiza mengikuti dengan menumpang taksi. Dengan modal bahasa jepang dasar yang sudah dirasa cukup, dia mengikuti ke mana Ramon pergi.
Mata Aiza langsung membulat lebar begitu Ramon sampai di sebuah kawasan yang tepat seperti dikatakan oleh Satria. Di sisi kanan dan kiri, terdapat banyak toko maupun penyedia jasa dilengkapi lampu-lampu neon yang menyilaukan mata.
Tubuh Aiza bergetar dari atas sampai ke bawah. Dia sejenak tak percaya. Tempat macam apa ini? Ini bahkan terlihat lebih asing ketimbang klub malam yang pernah dia masuki di Jakarta.
Sama seperti di Jakarta, Ramon menghilang masuk ke dalam sebuah klub malam pula. Aiza langsung bergegas, hendak menangkap basah Ramon saat itu juga. Akan tetapi, langkahnya dihadang oleh dua orang sekuriti.
Dua pria bertubuh besar dan berwajah sangar itu bicara terlalu cepat sampai tak satu pun dipahami oleh Aiza. Terpaksa dia mundur. Ketika
Ramon baru selesai memakai sepatu saat Aiza menghampirinya, "Mas Ramon mau ke mana lagi? Belakangan ini pergi-pergi mulu! Katanya kerjashiftmalam, tapi sekarang pagi siang sore pergi juga!" gerutunya manja. Dia masih mencoba tetap bersikap pura-pura tak tahu apa yang dikerjakan oleh Ramon, menunggu waktu yang tepat sampai suaminya mau jujur. Lagipula, dokter menyarankan agar dia tak terlalu stres, demi janin di kandungannya. Untuk sementara saja, sampai dia memiliki bukti, dia akan menahan diri."Emangnya kenapa? Kamu nggak senang Mas kamu ini banyak kerjaan? Banyak kerjaan artinya banyak uang, kan?" Ramon membalas dengan manis, suasana hatinya sedang baik sepertinya."Iya tapi kan hidup bukan cuma tentang uang, Mas. Ada banyak sumber kebahagiaan yang juga harus kita kejar.""Apa ada sesuatu yang lagi pingin kamu minta? Tumben kamu ngomongnya bijak begitu." Ramon langsung cepat membaca situasi.Aiza nyengir malu sambil duduk di sampin
Malam ini sedikit berbeda dari malam yang lain. Tidak biasanya Ramon diminta untuk menemani salah satu rekannya untuk menemui seseorang. Biasanya hanya anak-anak buah yang mengerjakan tugas rendah seperti itu. Meski mendapat tugas yang tak biasa, Ramon tetap ikut tanpa punya pikiran curiga sedikitpun.Sebenarnya tugas seperti ini paling dibenci oleh Ramon, sebab mau tak mau dia harus berhadapan dengan darah apabila orang yang mereka konfrontasi tak melakukan apa yang diminta, terlebih apabila itu menyangkut soal uang.Dan betul saja, malam itu pun dengan berat hati dia harus menyaksikan langsung seseorang dihajar sampai hampir mati di depan matanya. Namun Ramon memilih untuk tak ikut campur, tugasnya hanya memastikan semua berjalan lancar, dan dia harus ikut membantu jika terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan.Pikirannya sedikit berubah saat rekannya mengeluarkan pisau belati yang disembunyikan di belakang punggung. Ramon tak mengira orang malang ini akan bena
"Hati-hati di jalan! Sampai jumpa di kelas berikutnya!"Satu per satu murid keluar meninggalkan ruang kelas bahasa jepang. Seperti biasa, Aiza selalu keluar paling akhir. Setelah menyampirkan tas sandangnya, dia berjalan pelan menuju ambang pintu.Agak kikuk, Satria menghampiri. "Mau langsung pulang?""Ya, Mas. Kenapa?" Aiza balik bertanya. "Sebetulnya nggak juga sih, karena hari ini aku ada jadwal buat cek ke rumah sakit. Rencananya mau pergi makan siang dulu.""Rumah sakit? Kamu sakit?" Wajah Satria terlihat agak khawatir."Nggak, kok. Aku ... mau cek kandungan. He he."Bibir Satria sedikit terbuka. "Kamu lagi hamil? Wah, selamat ya. Aku baru tau. Keliatan kayak bukan ibu hamil." Dia berkomentar sedikit gugup."Ya, karena masih hamil muda.""Kalau gitu aku antar aja. Ramon lagi kerja, kan? Biar aku yang temani kamucheck-up."Tawaran itu terdengar manis tapi juga membuat Aiza sedikit kikuk. Sebetulnya den
"Dia masih hidup."Mendengar jawaban dari Nana, Aiza sama sekali tak terkejut, dia justru sudah menduga bahwa Levi masih hidup."Cuma itu yang mau kamu bilang? Apa pentingnya buat aku? Aku udah yakin kok kalau iblis itu masih hidup." Aiza menyahut datar.Nana maju satu langkah."Jangan lewati batasan kamu. Jangan kira karena aku lunak sekarang, kamu pikir hubungan kita udah balik kayak semula." Aiza melontarkan ancaman dingin.Nana tak menambah langkahnya lagi. "Ai, Levi sekarang sudah menjalin kerja sama dengan Yakuza. Sekarang sasaran mereka adalah Ramon. Dia dalam bahaya. Itu yang mau aku kasih tau. Cepat atau lambat kalian bakal dijebak. Kalau mau selamat, sebaiknya kalian kembali ke Indonesia."Alis Aiza meninggi. "Maksud kamu apa?""Levi sadar, selama Ramon ada di dekat kamu, dia nggak akan pernah mendapatkan kamu ataupun balas dendam. Satu-satunya cara biar kamu bisa dia taklukkan, dia ... dia akan membunuh Ramon. Dia sekarang
Ramon tak punya firasat buruk apapun saat dia berangkat kerja hari ini. Ada jadwal pertemuan yang harus dia ikuti. Dia berangkat bersama beberapa anak buahnya. Pertemuan yang membahas rencana pembangunan kasino baru itu berjalan lancar sesuai harapan."Bagaimana kalau kita makan bersama untuk merayakan kesepakatan kita?" Rekan bisnis Ramon menawarkan ajakan makan bersama dalam bahasa inggris.Tawaran itu terdengar normal, maka Ramon pun setuju. Mereka memutuskan makan malam di sebuah restoran masakan cina, dipesan satu ruangan khusus dengan meja besar untuk mereka makan beramai-ramai. Sampai di titik ini pun, semua terlihat baik-baik saja dan berjalan wajar."Pak, kami keluar sebentar."Sampai anak-anak buah Ramon pamit keluar dari ruangan, suasana tiba-tiba berubah kelam. Firasat Ramon mulai tak enak. Hening. Tiba-tiba semuanya hening.Ramon mempertajam seluruh indera di tubuhnya, batinnya berbisik akan ada serangan tak mengenakkan yang akan seger
Semalaman Aiza tak bisa memejamkan matanya lantaran terus memikirkan nasib Ramon. Di mana kini dia berada? Apakah dia baik-baik saja atau justru sebaliknya?Sementara itu Satria menyiapkan segala keperluan Aiza, memastikan wanita malang itu tak kekurangan apapun selama berada di rumahnya. "Kita sarapan dulu yuk, Za." Satria mengetuk pintu kamar tamu yang digunakan Aiza semalam.Aiza yang baru saja siap mandi menyeka air matanya yang seolah tak kunjung kering meski dia sudah meratap berjam-jam. Dia akhirnya keluar untuk menemui Satria.Karena mata Aiza bengkak, Satria berujar, "Jangan terlalu banyak nangis, Za. Nangis juga kan nggak mengubah situasi. Pikirin bayi kamu. Terlalu stres malah buruk buat kehamilan kamu, loh.""Iya. Aku tau, Mas. Makasih ya." Aiza menyahut dingin. Satria tak berkata apa-apa lagi, sebisa mungkin dia memahami keadaan Aiza saat ini.Dengan penuh perhatian, Satria menuangkan jus jeruk untuk Aiza lalu memotongkan roti panggang
Yang dimaksud oleh Leo tentunya Satria. "Ah ... ini Mas Satria, guru bahasa jepang aku. Dia yang bantu aku sampe bisa pulang.""Oke kalau gitu, kalau kamu merasa dia bukan ancaman, nggak apa-apa."Percakapan berakhir sampai di sana. Selanjutnya Aiza dan Satria bertemu langsung dengan Leo yang sudah menanti mereka. Meski kikuk, Leo bersalaman dengan Satria."Jadi Satria udah punya tempat tujuan?" tanya Leo.Aiza menoleh menunggu jawaban Satria."Gimana dengan Aiza? Saya ke sini untuk memastikan dia dalam keadaan baik-baik aja sampai suaminya kembali. Saya akan mengambil tempat di dekat tempat tinggal Aiza." Satria menjawab dengan berani.Suasana berubah sedikit intens. "Tenang aja, Aiza berada di tempat dan di tangan yang aman. Saya ini sudah seperti saudaranya sendiri." Leo berkata dengan penuh percaya diri pula.Aiza tak mengerti harus bagaimana menengahi mereka. Dia tahu keduanya punya niat yang sama yaitu untuk melindungi
Aiza tercenung. Tawaran dari Satria terdengar seperti angin surga sekaligus malapetaka. "Maaf ya, Mas Satria. Aku hargai kebaikan Mas, tapi aku nggak bisa sekarang. Aku ini istri seseorang. Aku harus menunggu suami aku kembali. Kalaupun aku pergi, aku nggak bisa pergi sama laki-laki lain. Tolong pahami dari sudut aku." Wajah Satria yang sempat semringah berubah murung. "Apa kamu nggak ngerti, Za? Kamu berhak dapat hidup yang lebih baik. Kamu berhak memiliki rumah tangga yang tenang. Seperti keinginan kamu, kalau kamu terus berada di samping Ramon, selamanya kamu nggak akan pernah hidup tenang. Kamu akan terus-terusan berurusan sama bandit kotor seperti mereka." Perasaan Aiza jelas langsung tersinggung mendengar pernyataan Satria yang terdengar seperti hinaan. "Apa Mas Ramon juga sekotor itu di mata Mas Satria?" "Aku nggak ngerti cara berpikir kamu, Za. Kamu segitu buta mencintai suami kamu, sampai kamu lupa dengan dunia nyata. Nyatanya emmang suami kamu itu p