Malam ini sedikit berbeda dari malam yang lain. Tidak biasanya Ramon diminta untuk menemani salah satu rekannya untuk menemui seseorang. Biasanya hanya anak-anak buah yang mengerjakan tugas rendah seperti itu. Meski mendapat tugas yang tak biasa, Ramon tetap ikut tanpa punya pikiran curiga sedikitpun.
Sebenarnya tugas seperti ini paling dibenci oleh Ramon, sebab mau tak mau dia harus berhadapan dengan darah apabila orang yang mereka konfrontasi tak melakukan apa yang diminta, terlebih apabila itu menyangkut soal uang.
Dan betul saja, malam itu pun dengan berat hati dia harus menyaksikan langsung seseorang dihajar sampai hampir mati di depan matanya. Namun Ramon memilih untuk tak ikut campur, tugasnya hanya memastikan semua berjalan lancar, dan dia harus ikut membantu jika terjadi sesuatu hal yang tak diinginkan.
Pikirannya sedikit berubah saat rekannya mengeluarkan pisau belati yang disembunyikan di belakang punggung. Ramon tak mengira orang malang ini akan bena
"Hati-hati di jalan! Sampai jumpa di kelas berikutnya!"Satu per satu murid keluar meninggalkan ruang kelas bahasa jepang. Seperti biasa, Aiza selalu keluar paling akhir. Setelah menyampirkan tas sandangnya, dia berjalan pelan menuju ambang pintu.Agak kikuk, Satria menghampiri. "Mau langsung pulang?""Ya, Mas. Kenapa?" Aiza balik bertanya. "Sebetulnya nggak juga sih, karena hari ini aku ada jadwal buat cek ke rumah sakit. Rencananya mau pergi makan siang dulu.""Rumah sakit? Kamu sakit?" Wajah Satria terlihat agak khawatir."Nggak, kok. Aku ... mau cek kandungan. He he."Bibir Satria sedikit terbuka. "Kamu lagi hamil? Wah, selamat ya. Aku baru tau. Keliatan kayak bukan ibu hamil." Dia berkomentar sedikit gugup."Ya, karena masih hamil muda.""Kalau gitu aku antar aja. Ramon lagi kerja, kan? Biar aku yang temani kamucheck-up."Tawaran itu terdengar manis tapi juga membuat Aiza sedikit kikuk. Sebetulnya den
"Dia masih hidup."Mendengar jawaban dari Nana, Aiza sama sekali tak terkejut, dia justru sudah menduga bahwa Levi masih hidup."Cuma itu yang mau kamu bilang? Apa pentingnya buat aku? Aku udah yakin kok kalau iblis itu masih hidup." Aiza menyahut datar.Nana maju satu langkah."Jangan lewati batasan kamu. Jangan kira karena aku lunak sekarang, kamu pikir hubungan kita udah balik kayak semula." Aiza melontarkan ancaman dingin.Nana tak menambah langkahnya lagi. "Ai, Levi sekarang sudah menjalin kerja sama dengan Yakuza. Sekarang sasaran mereka adalah Ramon. Dia dalam bahaya. Itu yang mau aku kasih tau. Cepat atau lambat kalian bakal dijebak. Kalau mau selamat, sebaiknya kalian kembali ke Indonesia."Alis Aiza meninggi. "Maksud kamu apa?""Levi sadar, selama Ramon ada di dekat kamu, dia nggak akan pernah mendapatkan kamu ataupun balas dendam. Satu-satunya cara biar kamu bisa dia taklukkan, dia ... dia akan membunuh Ramon. Dia sekarang
Ramon tak punya firasat buruk apapun saat dia berangkat kerja hari ini. Ada jadwal pertemuan yang harus dia ikuti. Dia berangkat bersama beberapa anak buahnya. Pertemuan yang membahas rencana pembangunan kasino baru itu berjalan lancar sesuai harapan."Bagaimana kalau kita makan bersama untuk merayakan kesepakatan kita?" Rekan bisnis Ramon menawarkan ajakan makan bersama dalam bahasa inggris.Tawaran itu terdengar normal, maka Ramon pun setuju. Mereka memutuskan makan malam di sebuah restoran masakan cina, dipesan satu ruangan khusus dengan meja besar untuk mereka makan beramai-ramai. Sampai di titik ini pun, semua terlihat baik-baik saja dan berjalan wajar."Pak, kami keluar sebentar."Sampai anak-anak buah Ramon pamit keluar dari ruangan, suasana tiba-tiba berubah kelam. Firasat Ramon mulai tak enak. Hening. Tiba-tiba semuanya hening.Ramon mempertajam seluruh indera di tubuhnya, batinnya berbisik akan ada serangan tak mengenakkan yang akan seger
Semalaman Aiza tak bisa memejamkan matanya lantaran terus memikirkan nasib Ramon. Di mana kini dia berada? Apakah dia baik-baik saja atau justru sebaliknya?Sementara itu Satria menyiapkan segala keperluan Aiza, memastikan wanita malang itu tak kekurangan apapun selama berada di rumahnya. "Kita sarapan dulu yuk, Za." Satria mengetuk pintu kamar tamu yang digunakan Aiza semalam.Aiza yang baru saja siap mandi menyeka air matanya yang seolah tak kunjung kering meski dia sudah meratap berjam-jam. Dia akhirnya keluar untuk menemui Satria.Karena mata Aiza bengkak, Satria berujar, "Jangan terlalu banyak nangis, Za. Nangis juga kan nggak mengubah situasi. Pikirin bayi kamu. Terlalu stres malah buruk buat kehamilan kamu, loh.""Iya. Aku tau, Mas. Makasih ya." Aiza menyahut dingin. Satria tak berkata apa-apa lagi, sebisa mungkin dia memahami keadaan Aiza saat ini.Dengan penuh perhatian, Satria menuangkan jus jeruk untuk Aiza lalu memotongkan roti panggang
Yang dimaksud oleh Leo tentunya Satria. "Ah ... ini Mas Satria, guru bahasa jepang aku. Dia yang bantu aku sampe bisa pulang.""Oke kalau gitu, kalau kamu merasa dia bukan ancaman, nggak apa-apa."Percakapan berakhir sampai di sana. Selanjutnya Aiza dan Satria bertemu langsung dengan Leo yang sudah menanti mereka. Meski kikuk, Leo bersalaman dengan Satria."Jadi Satria udah punya tempat tujuan?" tanya Leo.Aiza menoleh menunggu jawaban Satria."Gimana dengan Aiza? Saya ke sini untuk memastikan dia dalam keadaan baik-baik aja sampai suaminya kembali. Saya akan mengambil tempat di dekat tempat tinggal Aiza." Satria menjawab dengan berani.Suasana berubah sedikit intens. "Tenang aja, Aiza berada di tempat dan di tangan yang aman. Saya ini sudah seperti saudaranya sendiri." Leo berkata dengan penuh percaya diri pula.Aiza tak mengerti harus bagaimana menengahi mereka. Dia tahu keduanya punya niat yang sama yaitu untuk melindungi
Aiza tercenung. Tawaran dari Satria terdengar seperti angin surga sekaligus malapetaka. "Maaf ya, Mas Satria. Aku hargai kebaikan Mas, tapi aku nggak bisa sekarang. Aku ini istri seseorang. Aku harus menunggu suami aku kembali. Kalaupun aku pergi, aku nggak bisa pergi sama laki-laki lain. Tolong pahami dari sudut aku." Wajah Satria yang sempat semringah berubah murung. "Apa kamu nggak ngerti, Za? Kamu berhak dapat hidup yang lebih baik. Kamu berhak memiliki rumah tangga yang tenang. Seperti keinginan kamu, kalau kamu terus berada di samping Ramon, selamanya kamu nggak akan pernah hidup tenang. Kamu akan terus-terusan berurusan sama bandit kotor seperti mereka." Perasaan Aiza jelas langsung tersinggung mendengar pernyataan Satria yang terdengar seperti hinaan. "Apa Mas Ramon juga sekotor itu di mata Mas Satria?" "Aku nggak ngerti cara berpikir kamu, Za. Kamu segitu buta mencintai suami kamu, sampai kamu lupa dengan dunia nyata. Nyatanya emmang suami kamu itu p
Enam bulan sudah berlalu sejak Satria membawa Aiza pergi dari Jakarta. Tempat yang mereka pilih sebagai tempat persembunyian adalah Vietnam. Di kota Hanoi mereka tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota yang dekat pelabuhan, dengan identitas baru sebagai sepasang suami-istri. Aiza memang tak nyaman, tapi sepenuhnya dia bertahan, setidaknya sampai bayinya berhasil dilahirkan.Kini kandungannya sudah memasuki bulan ke-9. Tidak lama lagi persalinan akan dia hadapi, tanpa Ramon yang juga belum ada kabar. Entah bagaimana juga, Leo sama sekali tak mencari mereka, atau bisa jadi memang belum berhasil menemukan mereka.Segala keperluan dipenuhi oleh Satria yang kembali bekerja sebagai guru bahasa jepang. Mungkin benar kata Satria, inilah kehidupan normal yang sebetulnya didambakan oleh Aiza. Namun, dia tetap tak bahagia. Jauh dari ibunya, jauh dari suaminya, jauh dari Delima.Hari ini pun berlalu dengan Aiza memandangi pasar dari jendela lantai dua rumahnya. Rumah mere
Yang pertama kali dilakukan Aiza begitu kakinya menyentuh tanah kampung halamannya adalah menangis terharu. Akhirnya setelah setengah tahun menyembunyikan diri di tempat yang asing dan jauh, dia bisa kembali lagi ke tanah kelahirannya."Za, ayo." Satria membukakan pintu taksi untuk Aiza, mereka akan langsung berangkat ke desa tempat tinggal orang tua Aiza. Mereka masih harus naik taksi beberapa jam lagi dari stasiun."Mas Satria, tiba-tiba aku takut. Apa aku perlu ya menghubungi ibu aku dulu? Memastikan apa dia masih ada di sana atau enggak?""Kenapa baru sekarang kamu berpikir kayak gitu? Waktu kita nggak banyak, Za. Kita juga nggak tau apa kita diikuti atau enggak." Satria terlihat cemas. "Kasihan Aini juga lama di perjalanan. Jadi kamu mau kita tunda keberangkatan kita?"Aiza menggigit bibir bawahnya dengan gugup."Ayo, Za. Nggak apa-apa. Kalau misal pun ibu kamu udah nggak ada di kampung, kita bisa langsung pergi. Atau kayak kata kamu, kita bis
Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo
Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang
"Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi
"Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n
Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu
"Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke
Lebih dari sepuluh menit Aiza terbengong memandang tanaman di balkon apartemen. Bio datang mendekat dengan segelas air jahe panas di tangan."Minum dulu, Cintah. Kamu udah dari tadi bengong, hati-hati kesambet," selorohnya mencoba menghibur sedikit kegundahan Aiza."Nggak. Makasih. Aku nggak pingin," tolak Aiza."Ingat loh, kamu masih menyusui, kamu nggak boleh stres." Bio duduk di sampingnya."Gimana aku nggak stres, Bang? Suami aku secepatnya disidang dan aku nggak tau nanti hasilnya kayak apa. Kalau tuntutannya hukum mati gimana?!" Air mata Aiza langsung menumpuk lagi."Jangan berpikir sampai sejauh itu, nggak baik. Hati-hati loh, Sayang. Omongan jadi doa," hibur Bio masih bersikap tenang. "Lihat aja bayi kamu, ada tanggung jawab yang lebih penting buat kamu pikirin, kan ~"Setengah hati, Aiza mengangguk mengiyakan. Betul kata Bio, disamping dia harus memikirkan Ramon, dia juga harus memikirkab nasib puteri kecilnya, Aini. Bayi mungil itu
Seperti yang diinginkan Ramon dan kuasa hukum mereka, Aiza akhirnya memberi tahu kronologi kejadian sejujur-jujur dan seterang-terangnya. Tak lama berselang, Aiza diizinkan untuk pergi, dia dinyatakan tak bersalah.Namun, Aiza tak bisa semudah itu saja meninggalkan tempat itu, mengingat Ramon masih belum jelas bagaimana nasibnya."Bu ... tunggu dulu, gimana dengan suami saya? Apa yang akan terjadi sama dia?" tanya Aiza kepada pihak berwajib yang membawanya menuju pintu keluar."Itu bukan hak Ibu untuk tahu. Harusnya Ibu bersyukur karena Ibu sudah bisa menghirup udara bebas kembali. Kejadian malam itu terbukti adalah upaya membela diri. Jadi apa lagi yang Ibu tunggu? Ibu mau bermalam di sini?" Polisi wanita yang menarik tangannya tampak mulai kehilangan kesabaran.Aiza terdiam, benar juga, pikirnya. Dia seharusnya merasa beruntung, dia bisa lolos dengan mudah, dapat bertemu kembali dengan Aini. Bagaimanapun juga, Aini yang paling membutuhkan dirinya saat i
Berkali-kali Aiza menciumi Aini dengan mata yang sudah basah, dia tak bisa meninggalkan bayinya begitu saja tapi tak ada pilihan lain. Ramon berkata ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka jika Aiza mau hukumannya diperingan.Sementara Ramon, selain menyiapkan kuasa hukum terbaik, Ramon juga tak lupa meminta saran kepada Leo, kepada siapa lagi dia bisa mengadu di situasi kacau seperti ini?"Kamu yakin Mon, mau membiarkan Aiza menjalani pengadilan gitu aja? Ingat, kamu itu siapa. Bisa jadi ini umpan supaya kamu keluar." Leo berbicara dengan Ramon di luar kamar Aiza."Kamu punya ide yang lebih bagus? Aku nggak mau nama Aiza kotor, Yo. Ini harus diakhiri, sekali untuk selamanya. Aku juga udah capek, setelah Aiza selesai dengan urusan ini, aku udah bulat mau berhenti."Mata Leo terbelalak. "Ha? Mon, nggak ... nggak bisa, Mon.""Yo, berhenti. Hidupku bukan keputusan kamu. Ada anak kami yang harus kami besarkan. Aku udah pilih, Solo, kami akan sela