Ramon tak punya firasat buruk apapun saat dia berangkat kerja hari ini. Ada jadwal pertemuan yang harus dia ikuti. Dia berangkat bersama beberapa anak buahnya. Pertemuan yang membahas rencana pembangunan kasino baru itu berjalan lancar sesuai harapan.
"Bagaimana kalau kita makan bersama untuk merayakan kesepakatan kita?" Rekan bisnis Ramon menawarkan ajakan makan bersama dalam bahasa inggris.
Tawaran itu terdengar normal, maka Ramon pun setuju. Mereka memutuskan makan malam di sebuah restoran masakan cina, dipesan satu ruangan khusus dengan meja besar untuk mereka makan beramai-ramai. Sampai di titik ini pun, semua terlihat baik-baik saja dan berjalan wajar.
"Pak, kami keluar sebentar."
Sampai anak-anak buah Ramon pamit keluar dari ruangan, suasana tiba-tiba berubah kelam. Firasat Ramon mulai tak enak. Hening. Tiba-tiba semuanya hening.
Ramon mempertajam seluruh indera di tubuhnya, batinnya berbisik akan ada serangan tak mengenakkan yang akan seger
Semalaman Aiza tak bisa memejamkan matanya lantaran terus memikirkan nasib Ramon. Di mana kini dia berada? Apakah dia baik-baik saja atau justru sebaliknya?Sementara itu Satria menyiapkan segala keperluan Aiza, memastikan wanita malang itu tak kekurangan apapun selama berada di rumahnya. "Kita sarapan dulu yuk, Za." Satria mengetuk pintu kamar tamu yang digunakan Aiza semalam.Aiza yang baru saja siap mandi menyeka air matanya yang seolah tak kunjung kering meski dia sudah meratap berjam-jam. Dia akhirnya keluar untuk menemui Satria.Karena mata Aiza bengkak, Satria berujar, "Jangan terlalu banyak nangis, Za. Nangis juga kan nggak mengubah situasi. Pikirin bayi kamu. Terlalu stres malah buruk buat kehamilan kamu, loh.""Iya. Aku tau, Mas. Makasih ya." Aiza menyahut dingin. Satria tak berkata apa-apa lagi, sebisa mungkin dia memahami keadaan Aiza saat ini.Dengan penuh perhatian, Satria menuangkan jus jeruk untuk Aiza lalu memotongkan roti panggang
Yang dimaksud oleh Leo tentunya Satria. "Ah ... ini Mas Satria, guru bahasa jepang aku. Dia yang bantu aku sampe bisa pulang.""Oke kalau gitu, kalau kamu merasa dia bukan ancaman, nggak apa-apa."Percakapan berakhir sampai di sana. Selanjutnya Aiza dan Satria bertemu langsung dengan Leo yang sudah menanti mereka. Meski kikuk, Leo bersalaman dengan Satria."Jadi Satria udah punya tempat tujuan?" tanya Leo.Aiza menoleh menunggu jawaban Satria."Gimana dengan Aiza? Saya ke sini untuk memastikan dia dalam keadaan baik-baik aja sampai suaminya kembali. Saya akan mengambil tempat di dekat tempat tinggal Aiza." Satria menjawab dengan berani.Suasana berubah sedikit intens. "Tenang aja, Aiza berada di tempat dan di tangan yang aman. Saya ini sudah seperti saudaranya sendiri." Leo berkata dengan penuh percaya diri pula.Aiza tak mengerti harus bagaimana menengahi mereka. Dia tahu keduanya punya niat yang sama yaitu untuk melindungi
Aiza tercenung. Tawaran dari Satria terdengar seperti angin surga sekaligus malapetaka. "Maaf ya, Mas Satria. Aku hargai kebaikan Mas, tapi aku nggak bisa sekarang. Aku ini istri seseorang. Aku harus menunggu suami aku kembali. Kalaupun aku pergi, aku nggak bisa pergi sama laki-laki lain. Tolong pahami dari sudut aku." Wajah Satria yang sempat semringah berubah murung. "Apa kamu nggak ngerti, Za? Kamu berhak dapat hidup yang lebih baik. Kamu berhak memiliki rumah tangga yang tenang. Seperti keinginan kamu, kalau kamu terus berada di samping Ramon, selamanya kamu nggak akan pernah hidup tenang. Kamu akan terus-terusan berurusan sama bandit kotor seperti mereka." Perasaan Aiza jelas langsung tersinggung mendengar pernyataan Satria yang terdengar seperti hinaan. "Apa Mas Ramon juga sekotor itu di mata Mas Satria?" "Aku nggak ngerti cara berpikir kamu, Za. Kamu segitu buta mencintai suami kamu, sampai kamu lupa dengan dunia nyata. Nyatanya emmang suami kamu itu p
Enam bulan sudah berlalu sejak Satria membawa Aiza pergi dari Jakarta. Tempat yang mereka pilih sebagai tempat persembunyian adalah Vietnam. Di kota Hanoi mereka tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota yang dekat pelabuhan, dengan identitas baru sebagai sepasang suami-istri. Aiza memang tak nyaman, tapi sepenuhnya dia bertahan, setidaknya sampai bayinya berhasil dilahirkan.Kini kandungannya sudah memasuki bulan ke-9. Tidak lama lagi persalinan akan dia hadapi, tanpa Ramon yang juga belum ada kabar. Entah bagaimana juga, Leo sama sekali tak mencari mereka, atau bisa jadi memang belum berhasil menemukan mereka.Segala keperluan dipenuhi oleh Satria yang kembali bekerja sebagai guru bahasa jepang. Mungkin benar kata Satria, inilah kehidupan normal yang sebetulnya didambakan oleh Aiza. Namun, dia tetap tak bahagia. Jauh dari ibunya, jauh dari suaminya, jauh dari Delima.Hari ini pun berlalu dengan Aiza memandangi pasar dari jendela lantai dua rumahnya. Rumah mere
Yang pertama kali dilakukan Aiza begitu kakinya menyentuh tanah kampung halamannya adalah menangis terharu. Akhirnya setelah setengah tahun menyembunyikan diri di tempat yang asing dan jauh, dia bisa kembali lagi ke tanah kelahirannya."Za, ayo." Satria membukakan pintu taksi untuk Aiza, mereka akan langsung berangkat ke desa tempat tinggal orang tua Aiza. Mereka masih harus naik taksi beberapa jam lagi dari stasiun."Mas Satria, tiba-tiba aku takut. Apa aku perlu ya menghubungi ibu aku dulu? Memastikan apa dia masih ada di sana atau enggak?""Kenapa baru sekarang kamu berpikir kayak gitu? Waktu kita nggak banyak, Za. Kita juga nggak tau apa kita diikuti atau enggak." Satria terlihat cemas. "Kasihan Aini juga lama di perjalanan. Jadi kamu mau kita tunda keberangkatan kita?"Aiza menggigit bibir bawahnya dengan gugup."Ayo, Za. Nggak apa-apa. Kalau misal pun ibu kamu udah nggak ada di kampung, kita bisa langsung pergi. Atau kayak kata kamu, kita bis
"Sudahlah, Za. Ayo ... kita harus pergi dari sini sekarang. Kamu dengar kata dia, orang tua kamu udah nggak ada di sini--""Diam!!!!" Aiza meledak. Teriakannya begitu lantang dan keras, cukup sampai membuat Satria menatapnya nanar dan tangannya terkepal geram.Sekeliling mereka sudah gelap dan benar-benar hening. Leo sudah pergi sejak lima menit lalu, membawa Aini."Aku juga punya batas kesabaran, Za ...""Terus kenapa?! Salah siapa ini semua?! Siapa yang ngajak aku pergi ke Vietman dan meracuni pikiran aku kalau Leo mungkin berkhianat?! Siapa yang bikin aku sampe ada di situasi kayak gini, hah?! Siapa?!!!" teriak Aiza, seperti orang kesurupan."Za ... aku nggak tau kalau jadi begini keadaannya, maafin aku, Za ..." Satria kembali melunak, meraih Aiza ke dalam dekapannya.Dengan pasrah, Aiza menurut. Selesai sudah perjuangannya. Walau pahit mengetahui Ramon tak lagi sudi menerima dia kembali, tapi setidaknya kini Aini berada di tangan yang am
Leo langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar dari kamar pasien tempat Ramon dirawat intensif. "Apa saya sudah boleh menemui Ramon, Dok?" tanya Leo sedikit tergesah-gesah."Ya. Silakan." Dokter tak memberi penjelasan lanjut.Tak mau buang waktu, Leo segera masuk ke dalam kamar perawatan dan menemui Ramon yang terbaring lemah dengan mata sudah terbuka."Leo ...?" Ramon menatap Leo sedikit kaget."Ramon! Akhirnya! Aku udah menunggu kamu sadar hampir lima bulan!" Leo berlari menemui Ramon, bahkan tak sungkan meraih tangan pria yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu."Apa semuanya baik-baik aja?" tanya Ramon. Matanya sedang membaca ekspresi Leo, dia akan tahu apabila Leo menyembunyikan sesuatu darinya."Papa udah meninggal, dan kamu tau kan kalau Levi yang membuat kamu jadi begini?""Aku betul-betul ceroboh, aku seharusnya tau dari awal kalau dia merencanakan sesuatu. Sialnya aku juga lagi di Jepang, kamu tau Saito mendukung L
Tanpa bisa Ramon mengontrol, setetes air bening meluncur dari sudut matanya ketika dia memandang wajah naif bayi mungilnya. Ujung jemari telunjuknnya digenggam kuat oleh bayi berparas menawan itu."Setega itu ibu kamu meninggalkan kamu, Nak ..." lirihnya bagai tertusuk tombak di dada. Dia sentuh lembut kening bayi kecilnya yang masih sedikit kemerahan. "Papa akan menjaga kamu, dengan nyawa Papa sendiri."Bio dan Leo yang juga berada di dekatnya saling memandang dengan gugup. Mata Bio jelas menampakkan rasa bersalah karena terpaksa membohongi Ramon atas apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia juga tak bisa membantah perintah Leo.Sementara Leo menatap kagum kembali kepada Ramon. Ramon yang dia kenal sudah pulih kembali, kini tubuh dan mentalnya sudah siap untuk beraksi lagi, merebut apa yang sudah seharusnya berada di tangannya."Jangan diingat-ingat lagi, Mon. Kamu ingat kan sama tujuan utama kita?" Leo menepuk bahu Ramon dengan kuat. "Sudah pikirkan nama u