"Sudahlah, Za. Ayo ... kita harus pergi dari sini sekarang. Kamu dengar kata dia, orang tua kamu udah nggak ada di sini--"
"Diam!!!!" Aiza meledak. Teriakannya begitu lantang dan keras, cukup sampai membuat Satria menatapnya nanar dan tangannya terkepal geram.
Sekeliling mereka sudah gelap dan benar-benar hening. Leo sudah pergi sejak lima menit lalu, membawa Aini.
"Aku juga punya batas kesabaran, Za ..."
"Terus kenapa?! Salah siapa ini semua?! Siapa yang ngajak aku pergi ke Vietman dan meracuni pikiran aku kalau Leo mungkin berkhianat?! Siapa yang bikin aku sampe ada di situasi kayak gini, hah?! Siapa?!!!" teriak Aiza, seperti orang kesurupan.
"Za ... aku nggak tau kalau jadi begini keadaannya, maafin aku, Za ..." Satria kembali melunak, meraih Aiza ke dalam dekapannya.
Dengan pasrah, Aiza menurut. Selesai sudah perjuangannya. Walau pahit mengetahui Ramon tak lagi sudi menerima dia kembali, tapi setidaknya kini Aini berada di tangan yang am
Leo langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar dari kamar pasien tempat Ramon dirawat intensif. "Apa saya sudah boleh menemui Ramon, Dok?" tanya Leo sedikit tergesah-gesah."Ya. Silakan." Dokter tak memberi penjelasan lanjut.Tak mau buang waktu, Leo segera masuk ke dalam kamar perawatan dan menemui Ramon yang terbaring lemah dengan mata sudah terbuka."Leo ...?" Ramon menatap Leo sedikit kaget."Ramon! Akhirnya! Aku udah menunggu kamu sadar hampir lima bulan!" Leo berlari menemui Ramon, bahkan tak sungkan meraih tangan pria yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu."Apa semuanya baik-baik aja?" tanya Ramon. Matanya sedang membaca ekspresi Leo, dia akan tahu apabila Leo menyembunyikan sesuatu darinya."Papa udah meninggal, dan kamu tau kan kalau Levi yang membuat kamu jadi begini?""Aku betul-betul ceroboh, aku seharusnya tau dari awal kalau dia merencanakan sesuatu. Sialnya aku juga lagi di Jepang, kamu tau Saito mendukung L
Tanpa bisa Ramon mengontrol, setetes air bening meluncur dari sudut matanya ketika dia memandang wajah naif bayi mungilnya. Ujung jemari telunjuknnya digenggam kuat oleh bayi berparas menawan itu."Setega itu ibu kamu meninggalkan kamu, Nak ..." lirihnya bagai tertusuk tombak di dada. Dia sentuh lembut kening bayi kecilnya yang masih sedikit kemerahan. "Papa akan menjaga kamu, dengan nyawa Papa sendiri."Bio dan Leo yang juga berada di dekatnya saling memandang dengan gugup. Mata Bio jelas menampakkan rasa bersalah karena terpaksa membohongi Ramon atas apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia juga tak bisa membantah perintah Leo.Sementara Leo menatap kagum kembali kepada Ramon. Ramon yang dia kenal sudah pulih kembali, kini tubuh dan mentalnya sudah siap untuk beraksi lagi, merebut apa yang sudah seharusnya berada di tangannya."Jangan diingat-ingat lagi, Mon. Kamu ingat kan sama tujuan utama kita?" Leo menepuk bahu Ramon dengan kuat. "Sudah pikirkan nama u
"Kamu belum tidur kan, Za?" Satria masuk ke dalam kamar hotel Aiza dengan membawa segelas teh manis hangat. "Ini aku bikinin teh. Seharian ini turun hujan jadi dingin."Satria mendekati Aiza yang sedang duduk di balkon kamar memandangi bulan yang terang benderang di atas cakrawala. Untungnya awan kelam bekas hujan seharian telah berlalu, menyisakan udara yang sedikit sejuk dengan embusan angin sepoi-sepoi."Kamu bisa demam kalau terlalu lama di sini, Za. Masuk aja, yuk." Satria kembali berujar karena Aiza bergeming saja."Aku masih mau di sini, Mas.""Apa ada yang lagi mengganggu pikiran kamu?" Satria ikut duduk di samping Aiza."Mas Satria kan udah tau jawabannya, kenapa tanya lagi?" balas Aiza dingin.Satria ikut memandang rembulan. Mereka sudah seminggu berada di hotel ini, menunggu waktu yang tepat untuk berangkat ke Jakarta. Dan karena sepertinya tak ada yang mengintai, entah itu anak buah Leo maupun anak buah Levi, maka rencananya beso
Ketika Aiza terjaga, yang pertama dia lihat adalah langit-langit berwarna putih yang tampak asing dengan cahaya lampu yang agak menyilaukan mata. Di mana aku? Kepalaku pening banget ..., batinnya sambil memegangi kepalanya yang berat. Usai dia bangkit duduk, barulah dia sadar bahwa dia tengah berada di sebuah bilik kecil yang agak pengap dengan sebuah tempat tidur kecil. Tak ada benda lain."Udah bangun, Nona Muda?"Kepala Aiza langsung menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, berdiri seorang perempuan tambun yang tampaknya berusia tiga puluhan."Saya di mana? Kamu siapa?" lirih Aiza."Jangan belagak pilon. Cepet sana mandi, kamu harus langsung kerja malam ini!"Kerja? Mata Aiza membulat. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Seingatnya, semalam dia nyaris diperkosa oleh Satria, lantas dia memukul pria bejat itu kemudian melarikan diri. Namun karena berlari terlalu jauh, dia lalu pingsan."Tunggu ... kerja apa maksudnya?"
Sudah hampir setengah jam Aiza dan Ramon sama-sama terdiam di meja makan. Makanan yang memenuhi meja nyaris tak disentuh oleh Ramon, sementara Aiza makan dengan lahapnya sebab dia pun sangat lapar, sejak dia terjaga belum dia isi perutnya dengan makanan apapun. Ramon terus mengawasi Aiza dengan mata yang nyalang, pikirannya dipenuhi berbagai dugaan. Apakah iya sahabat yang dia percayai, Leo, telah mengkhianati dirinya? Dia bahkan masih menolak untuk bertemu dengan Leo, semata-mata dia tak mau Leo menyetir dirinya dan mencekokinya dengan berbagai pengakuan palsu, dia harus lebih dulu tahu cerita dari sudut pandang Aiza."Kamu mau tambah lagi?" Ramon bertanya begitu piring Aiza bersih."Nggak, Mas. Aiza udah kenyang banget." Aiza menyeka bibirnya dengan tisu. Dan tiba-tiba pikirannya seolah terbangun dari koma. "Mas! Mana Aini?! Mana bayi kita, Mas?! Dia selamat, kan? Dia masih hidup kan, Mas?!" Mata Aiza mulai menumpuk air."Jadi bayi kita kamu namai Ain
Ramon masih belum berkomentar tentang Leo. Barangkali dia menunggu Leo sendiri yang memberi penjelasan, sekadar permintaan maaf atas rasa bersalah, atau memang dia terlalu sulit untuk bersikap tegas terhadap Leo. Bagaimanapun sikap kejam Leo terhadap Aiza, tak bisa dipungkiri, sebab Leo-lah dia masih bisa bertahan hingga sekarang.Namun, meski Ramon belum memiliki keputusan akan mengambil sikap apa, Aiza yang justru tak sabar ingin segera tahu nasib Leo ke depan, dia tak bisa juga mempercayai pria itu lagi.***"Jadi Mas masih mau percaya sama Leo? Setelah semua yang dia lakukan?" tanya Aiza dingin sambil dia menyusui Aini dalam gendongannya, betapa lega dia dapat kumpul lagi dengan bayi mungilnya yang malang itu."Tolong jangan desak aku sekarang, Za. Kamu tau, aku bisa memahami maksud Leo. Kamu tau, kan? Kalau bukan karena dia, mungkin kami juga gagal menyingkirkan Levi. Mungkin dia lakukan ini supaya aku bisa kembali kayak semula. Aku kembali tangguh."
Aiza mendekap erat si mungil Aini dalam gendongannya, hari ini dia akan berangkat ke Solo bersama Ramon untuk menjumpai orang tua mereka. Tak ada firasat buruk sama sekali, Ramon juga tak meminta pendampingan dari pada anak buahnya. Mereka ingin hanya pulang bertiga saja.Baru turun dari bandara, Ramon mengajak Aiza untuk makan siang dulu di sebuah restoran di seberang bandara tersebut. Sambil menyantap makan siang, keduanya pun bisa mendengar suara dari televisi yang menyala di sudut restoran." ... Pemirsa, kita beralih dengan laporkan kasus pembunuhan yang terjadi di sebuah hotel ..."Aiza seketika menegang, sendok dan garpu terlepas dari tangannya dan matanya langsung tertuju ke arah TV yang sedang menyiarkan acara berita. Ramon yang tengah asyik mengunyah makanannya pun ikut tertarik untuk mendengarkan lebih lanjut berita itu."... Seorang pemuda yang diketahui bernama Satria ditemukan tak bernyawa dengan kepala bersimbah darah ..."
Berkali-kali Aiza menciumi Aini dengan mata yang sudah basah, dia tak bisa meninggalkan bayinya begitu saja tapi tak ada pilihan lain. Ramon berkata ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka jika Aiza mau hukumannya diperingan.Sementara Ramon, selain menyiapkan kuasa hukum terbaik, Ramon juga tak lupa meminta saran kepada Leo, kepada siapa lagi dia bisa mengadu di situasi kacau seperti ini?"Kamu yakin Mon, mau membiarkan Aiza menjalani pengadilan gitu aja? Ingat, kamu itu siapa. Bisa jadi ini umpan supaya kamu keluar." Leo berbicara dengan Ramon di luar kamar Aiza."Kamu punya ide yang lebih bagus? Aku nggak mau nama Aiza kotor, Yo. Ini harus diakhiri, sekali untuk selamanya. Aku juga udah capek, setelah Aiza selesai dengan urusan ini, aku udah bulat mau berhenti."Mata Leo terbelalak. "Ha? Mon, nggak ... nggak bisa, Mon.""Yo, berhenti. Hidupku bukan keputusan kamu. Ada anak kami yang harus kami besarkan. Aku udah pilih, Solo, kami akan sela