Aiza tercenung. Tawaran dari Satria terdengar seperti angin surga sekaligus malapetaka. "Maaf ya, Mas Satria. Aku hargai kebaikan Mas, tapi aku nggak bisa sekarang. Aku ini istri seseorang. Aku harus menunggu suami aku kembali. Kalaupun aku pergi, aku nggak bisa pergi sama laki-laki lain. Tolong pahami dari sudut aku."
Wajah Satria yang sempat semringah berubah murung. "Apa kamu nggak ngerti, Za? Kamu berhak dapat hidup yang lebih baik. Kamu berhak memiliki rumah tangga yang tenang. Seperti keinginan kamu, kalau kamu terus berada di samping Ramon, selamanya kamu nggak akan pernah hidup tenang. Kamu akan terus-terusan berurusan sama bandit kotor seperti mereka."
Perasaan Aiza jelas langsung tersinggung mendengar pernyataan Satria yang terdengar seperti hinaan. "Apa Mas Ramon juga sekotor itu di mata Mas Satria?"
"Aku nggak ngerti cara berpikir kamu, Za. Kamu segitu buta mencintai suami kamu, sampai kamu lupa dengan dunia nyata. Nyatanya emmang suami kamu itu p
Enam bulan sudah berlalu sejak Satria membawa Aiza pergi dari Jakarta. Tempat yang mereka pilih sebagai tempat persembunyian adalah Vietnam. Di kota Hanoi mereka tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota yang dekat pelabuhan, dengan identitas baru sebagai sepasang suami-istri. Aiza memang tak nyaman, tapi sepenuhnya dia bertahan, setidaknya sampai bayinya berhasil dilahirkan.Kini kandungannya sudah memasuki bulan ke-9. Tidak lama lagi persalinan akan dia hadapi, tanpa Ramon yang juga belum ada kabar. Entah bagaimana juga, Leo sama sekali tak mencari mereka, atau bisa jadi memang belum berhasil menemukan mereka.Segala keperluan dipenuhi oleh Satria yang kembali bekerja sebagai guru bahasa jepang. Mungkin benar kata Satria, inilah kehidupan normal yang sebetulnya didambakan oleh Aiza. Namun, dia tetap tak bahagia. Jauh dari ibunya, jauh dari suaminya, jauh dari Delima.Hari ini pun berlalu dengan Aiza memandangi pasar dari jendela lantai dua rumahnya. Rumah mere
Yang pertama kali dilakukan Aiza begitu kakinya menyentuh tanah kampung halamannya adalah menangis terharu. Akhirnya setelah setengah tahun menyembunyikan diri di tempat yang asing dan jauh, dia bisa kembali lagi ke tanah kelahirannya."Za, ayo." Satria membukakan pintu taksi untuk Aiza, mereka akan langsung berangkat ke desa tempat tinggal orang tua Aiza. Mereka masih harus naik taksi beberapa jam lagi dari stasiun."Mas Satria, tiba-tiba aku takut. Apa aku perlu ya menghubungi ibu aku dulu? Memastikan apa dia masih ada di sana atau enggak?""Kenapa baru sekarang kamu berpikir kayak gitu? Waktu kita nggak banyak, Za. Kita juga nggak tau apa kita diikuti atau enggak." Satria terlihat cemas. "Kasihan Aini juga lama di perjalanan. Jadi kamu mau kita tunda keberangkatan kita?"Aiza menggigit bibir bawahnya dengan gugup."Ayo, Za. Nggak apa-apa. Kalau misal pun ibu kamu udah nggak ada di kampung, kita bisa langsung pergi. Atau kayak kata kamu, kita bis
"Sudahlah, Za. Ayo ... kita harus pergi dari sini sekarang. Kamu dengar kata dia, orang tua kamu udah nggak ada di sini--""Diam!!!!" Aiza meledak. Teriakannya begitu lantang dan keras, cukup sampai membuat Satria menatapnya nanar dan tangannya terkepal geram.Sekeliling mereka sudah gelap dan benar-benar hening. Leo sudah pergi sejak lima menit lalu, membawa Aini."Aku juga punya batas kesabaran, Za ...""Terus kenapa?! Salah siapa ini semua?! Siapa yang ngajak aku pergi ke Vietman dan meracuni pikiran aku kalau Leo mungkin berkhianat?! Siapa yang bikin aku sampe ada di situasi kayak gini, hah?! Siapa?!!!" teriak Aiza, seperti orang kesurupan."Za ... aku nggak tau kalau jadi begini keadaannya, maafin aku, Za ..." Satria kembali melunak, meraih Aiza ke dalam dekapannya.Dengan pasrah, Aiza menurut. Selesai sudah perjuangannya. Walau pahit mengetahui Ramon tak lagi sudi menerima dia kembali, tapi setidaknya kini Aini berada di tangan yang am
Leo langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar dari kamar pasien tempat Ramon dirawat intensif. "Apa saya sudah boleh menemui Ramon, Dok?" tanya Leo sedikit tergesah-gesah."Ya. Silakan." Dokter tak memberi penjelasan lanjut.Tak mau buang waktu, Leo segera masuk ke dalam kamar perawatan dan menemui Ramon yang terbaring lemah dengan mata sudah terbuka."Leo ...?" Ramon menatap Leo sedikit kaget."Ramon! Akhirnya! Aku udah menunggu kamu sadar hampir lima bulan!" Leo berlari menemui Ramon, bahkan tak sungkan meraih tangan pria yang sudah dianggapnya sebagai saudara itu."Apa semuanya baik-baik aja?" tanya Ramon. Matanya sedang membaca ekspresi Leo, dia akan tahu apabila Leo menyembunyikan sesuatu darinya."Papa udah meninggal, dan kamu tau kan kalau Levi yang membuat kamu jadi begini?""Aku betul-betul ceroboh, aku seharusnya tau dari awal kalau dia merencanakan sesuatu. Sialnya aku juga lagi di Jepang, kamu tau Saito mendukung L
Tanpa bisa Ramon mengontrol, setetes air bening meluncur dari sudut matanya ketika dia memandang wajah naif bayi mungilnya. Ujung jemari telunjuknnya digenggam kuat oleh bayi berparas menawan itu."Setega itu ibu kamu meninggalkan kamu, Nak ..." lirihnya bagai tertusuk tombak di dada. Dia sentuh lembut kening bayi kecilnya yang masih sedikit kemerahan. "Papa akan menjaga kamu, dengan nyawa Papa sendiri."Bio dan Leo yang juga berada di dekatnya saling memandang dengan gugup. Mata Bio jelas menampakkan rasa bersalah karena terpaksa membohongi Ramon atas apa yang sebenarnya terjadi, tapi dia juga tak bisa membantah perintah Leo.Sementara Leo menatap kagum kembali kepada Ramon. Ramon yang dia kenal sudah pulih kembali, kini tubuh dan mentalnya sudah siap untuk beraksi lagi, merebut apa yang sudah seharusnya berada di tangannya."Jangan diingat-ingat lagi, Mon. Kamu ingat kan sama tujuan utama kita?" Leo menepuk bahu Ramon dengan kuat. "Sudah pikirkan nama u
"Kamu belum tidur kan, Za?" Satria masuk ke dalam kamar hotel Aiza dengan membawa segelas teh manis hangat. "Ini aku bikinin teh. Seharian ini turun hujan jadi dingin."Satria mendekati Aiza yang sedang duduk di balkon kamar memandangi bulan yang terang benderang di atas cakrawala. Untungnya awan kelam bekas hujan seharian telah berlalu, menyisakan udara yang sedikit sejuk dengan embusan angin sepoi-sepoi."Kamu bisa demam kalau terlalu lama di sini, Za. Masuk aja, yuk." Satria kembali berujar karena Aiza bergeming saja."Aku masih mau di sini, Mas.""Apa ada yang lagi mengganggu pikiran kamu?" Satria ikut duduk di samping Aiza."Mas Satria kan udah tau jawabannya, kenapa tanya lagi?" balas Aiza dingin.Satria ikut memandang rembulan. Mereka sudah seminggu berada di hotel ini, menunggu waktu yang tepat untuk berangkat ke Jakarta. Dan karena sepertinya tak ada yang mengintai, entah itu anak buah Leo maupun anak buah Levi, maka rencananya beso
Ketika Aiza terjaga, yang pertama dia lihat adalah langit-langit berwarna putih yang tampak asing dengan cahaya lampu yang agak menyilaukan mata. Di mana aku? Kepalaku pening banget ..., batinnya sambil memegangi kepalanya yang berat. Usai dia bangkit duduk, barulah dia sadar bahwa dia tengah berada di sebuah bilik kecil yang agak pengap dengan sebuah tempat tidur kecil. Tak ada benda lain."Udah bangun, Nona Muda?"Kepala Aiza langsung menoleh ke arah sumber suara. Di ambang pintu, berdiri seorang perempuan tambun yang tampaknya berusia tiga puluhan."Saya di mana? Kamu siapa?" lirih Aiza."Jangan belagak pilon. Cepet sana mandi, kamu harus langsung kerja malam ini!"Kerja? Mata Aiza membulat. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Seingatnya, semalam dia nyaris diperkosa oleh Satria, lantas dia memukul pria bejat itu kemudian melarikan diri. Namun karena berlari terlalu jauh, dia lalu pingsan."Tunggu ... kerja apa maksudnya?"
Sudah hampir setengah jam Aiza dan Ramon sama-sama terdiam di meja makan. Makanan yang memenuhi meja nyaris tak disentuh oleh Ramon, sementara Aiza makan dengan lahapnya sebab dia pun sangat lapar, sejak dia terjaga belum dia isi perutnya dengan makanan apapun. Ramon terus mengawasi Aiza dengan mata yang nyalang, pikirannya dipenuhi berbagai dugaan. Apakah iya sahabat yang dia percayai, Leo, telah mengkhianati dirinya? Dia bahkan masih menolak untuk bertemu dengan Leo, semata-mata dia tak mau Leo menyetir dirinya dan mencekokinya dengan berbagai pengakuan palsu, dia harus lebih dulu tahu cerita dari sudut pandang Aiza."Kamu mau tambah lagi?" Ramon bertanya begitu piring Aiza bersih."Nggak, Mas. Aiza udah kenyang banget." Aiza menyeka bibirnya dengan tisu. Dan tiba-tiba pikirannya seolah terbangun dari koma. "Mas! Mana Aini?! Mana bayi kita, Mas?! Dia selamat, kan? Dia masih hidup kan, Mas?!" Mata Aiza mulai menumpuk air."Jadi bayi kita kamu namai Ain
Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo
Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang
"Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi
"Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n
Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu
"Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke
Lebih dari sepuluh menit Aiza terbengong memandang tanaman di balkon apartemen. Bio datang mendekat dengan segelas air jahe panas di tangan."Minum dulu, Cintah. Kamu udah dari tadi bengong, hati-hati kesambet," selorohnya mencoba menghibur sedikit kegundahan Aiza."Nggak. Makasih. Aku nggak pingin," tolak Aiza."Ingat loh, kamu masih menyusui, kamu nggak boleh stres." Bio duduk di sampingnya."Gimana aku nggak stres, Bang? Suami aku secepatnya disidang dan aku nggak tau nanti hasilnya kayak apa. Kalau tuntutannya hukum mati gimana?!" Air mata Aiza langsung menumpuk lagi."Jangan berpikir sampai sejauh itu, nggak baik. Hati-hati loh, Sayang. Omongan jadi doa," hibur Bio masih bersikap tenang. "Lihat aja bayi kamu, ada tanggung jawab yang lebih penting buat kamu pikirin, kan ~"Setengah hati, Aiza mengangguk mengiyakan. Betul kata Bio, disamping dia harus memikirkan Ramon, dia juga harus memikirkab nasib puteri kecilnya, Aini. Bayi mungil itu
Seperti yang diinginkan Ramon dan kuasa hukum mereka, Aiza akhirnya memberi tahu kronologi kejadian sejujur-jujur dan seterang-terangnya. Tak lama berselang, Aiza diizinkan untuk pergi, dia dinyatakan tak bersalah.Namun, Aiza tak bisa semudah itu saja meninggalkan tempat itu, mengingat Ramon masih belum jelas bagaimana nasibnya."Bu ... tunggu dulu, gimana dengan suami saya? Apa yang akan terjadi sama dia?" tanya Aiza kepada pihak berwajib yang membawanya menuju pintu keluar."Itu bukan hak Ibu untuk tahu. Harusnya Ibu bersyukur karena Ibu sudah bisa menghirup udara bebas kembali. Kejadian malam itu terbukti adalah upaya membela diri. Jadi apa lagi yang Ibu tunggu? Ibu mau bermalam di sini?" Polisi wanita yang menarik tangannya tampak mulai kehilangan kesabaran.Aiza terdiam, benar juga, pikirnya. Dia seharusnya merasa beruntung, dia bisa lolos dengan mudah, dapat bertemu kembali dengan Aini. Bagaimanapun juga, Aini yang paling membutuhkan dirinya saat i
Berkali-kali Aiza menciumi Aini dengan mata yang sudah basah, dia tak bisa meninggalkan bayinya begitu saja tapi tak ada pilihan lain. Ramon berkata ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka jika Aiza mau hukumannya diperingan.Sementara Ramon, selain menyiapkan kuasa hukum terbaik, Ramon juga tak lupa meminta saran kepada Leo, kepada siapa lagi dia bisa mengadu di situasi kacau seperti ini?"Kamu yakin Mon, mau membiarkan Aiza menjalani pengadilan gitu aja? Ingat, kamu itu siapa. Bisa jadi ini umpan supaya kamu keluar." Leo berbicara dengan Ramon di luar kamar Aiza."Kamu punya ide yang lebih bagus? Aku nggak mau nama Aiza kotor, Yo. Ini harus diakhiri, sekali untuk selamanya. Aku juga udah capek, setelah Aiza selesai dengan urusan ini, aku udah bulat mau berhenti."Mata Leo terbelalak. "Ha? Mon, nggak ... nggak bisa, Mon.""Yo, berhenti. Hidupku bukan keputusan kamu. Ada anak kami yang harus kami besarkan. Aku udah pilih, Solo, kami akan sela