"Kamu beneran nih nggak mau ikut nonton, Za?" Untuk kesekian kalinya Delima bertanya hal yang sama, berharap sahabatnya itu berubah pikiran.
Bukan Aiza namanya kalau tidak bisa konsisten dan berpegang teguh pada keputusan. "Nggak deh, bisa masuk angin aku malam-malam di gedung bioskop pakai AC sedingin itu."
"Ck! Terserah kamu, deh. Aku pergi dulu, ya!"
Lagi-lagi Aiza ditinggal sendiri. Itu cuma alasan yang dibuat-buat saja, seperti biasa dia menunggu kepulangan Ramon sebetulnya. Sayangnya, baru pulang selama sepuluh menit, Ramon sudah akan pergi lagi bersama Sarah, dengan pakaian cukup rapi serta parfum yang menguar begitu kuatnya sampai membuat hidung Aiza gatal.
"Ditinggal sendiri lagi?" Ramon bertanya.
Aiza mengangguk pelan. "Kita ajak ajalah, Mon. Kasihan banget anak gadis cantik nganggur di rumah begini," usul Sarah.
"Janganlah, Mbak ..., masih kecil dia--"
"Emang mau ke mana? Aiza boleh ikut?" Aiza menyambar tiba-tiba, memotong perkataan Ramon.
"Tuh, anaknya aja mau, masa kamu tega sih ninggalin dia sendiri. Jadi cowok jangan dingin-dingin banget, dong." Sarah merayu lagi.
Akhirnya Ramon mengangguk setuju juga. Sarah langsung mengajak Aiza ikut ke kamarnya. "Kamu tunggu ya, Mon. Biar itik buruk rupa kusulap dulu jadi angsa cantik."
Memang Sarah kalau bicara tak peduli dengan lawan bicaranya, asal ceplos saja.
***
Aiza dipakaikan rok berpotongan tulip yang menunjukkan paha mulusnya, sedang bagian atasnya ditutup dengan corset top, membuat buah dadanya yang sintal terlihat agak menyembul. Rambut lurus panjangnya dikucir tinggi di atas, mukanya diberi dempulan berwarna kuat. Terakhir, Sarah memakaikan sepatu bertumit tinggi stiletto kepada Aiza, hampir-hampir gadis itu jatuh terjerembab dibuatnya.
"Ayo cus!" Sarah penuh antusias mengajak Aiza keluar dari kamar.
Seperti seorang ibu yang bangga, dia pamerkan Aiza di hadapan Ramon sampai mulut Ramon menganga secara spontan. Yang kini di hadapannya bukanlah Aiza si pemalu nan lugu dengan jaket tuanya yang membosankan, tapi Aiza yang dewasa, yang menggoda dengan balutan busana yang membakar hasrat.
"Kamu lihat kan, Babe? Dia bukan anak-anak lagi, dia udah dewasa. Usianya juga legal kita ajak." Sarah tersenyum puas. Aiza tertunduk malu, sebenarnya ingin protes atas dandanannya tapi dia tak cukup punya nyali.
Ramon segera buang muka, pura-pura tak tertarik. "Tetap aja di mata aku dia masih anak-anak. Ya udah, ayo berangkat."
Aiza ikut saja tanpa banyak bertanya atau bersuara. Mobil yang dikemudikan Ramon memasuki kawasan penuh bar terbuka, lampu-lampu di papan nama rata-rata berwarna neon dan menyilaukan mata.
Bukan hanya bar, tapi ada juga hotel, restoran, kafe, tempat spa, tempat pijat. Di mana ini? Aiza mulai tak tenang. Orang-orang yang berlalu lalang kebanyakan adalah perempuan dewasa berpakaian minim dan berias tebal. Banyak juga pria-pria asing berkulit putih yang sedang menikmati minuman mereka.
Semakin mobil Ramon masuk lebih dalam, Aiza makin takut. Pikirannya berkecamuk. Sekejap dia menyesal meminta diajak serta, seharusnya dia cukup pintar untuk bisa menebak ke mana Ramon dan Sarah akan membawanya.
Mobil Ramon berhenti di depan sebuah gedung berpenjaga ketat. Aiza sekali lagi ditarik keluar oleh Sarah, walau kakinya berat untuk melangkah keluar dari mobil.
"Nggak apa-apa, Sayang ..., kita udah sampe. Nanti kamu juga bakal suka." Sarah bicara dengan manisnya.
Aiza mengutuk dalam hati, kalau saja ibunya tahu dia ke tempat seperti ini, dia bisa dikutuk jadi cecak seumur hidup! Atau kalau ibunya tahu Ramon membawanya ke tempat seperti ini, maka hubungan kedua keluarga akan pecah berantakan. Namun Ramon tak bisa disalahkan sepenuhnya, sebab dia justru melarang, Aiza datang ke sini atas persetujuan darinya sendiri, kemauannya sebagai individu dewasa. Kalau ada yang perlu disalahkan, maka orang itu adalah Aiza sendiri.
Mata Aiza nyaris melompat dari tempatnya saat dia sadar dia telah menginjakkan kaki ke sebuah kasino. Sedikit menjorok ke dalam dari bagian lobi, lantai pertama gedung itu diisi orang-orang yang sedang berjudi, ditemani wanita-wanita cantik. Semuanya tampak parlente dengan tuxedo maupun jas.
Ramon dan Sarah membawa Aiza naik lift, Aiza sampai tak tahu ke lantai berapa mereka pergi, dia cuma berharap semoga bukan kasino lagi. Dia paling benci melihat judi, mendiang ayahnya dulu adalah seorang penjudi, walau terkesan remeh karena sabung ayam, tapi dialah penyebab hidup ibunya jadi kian berat.
Syukurlah bukan tempat judi, tapi tidak juga lebih baik, mungkin malah lebih buruk. Saat kaki Aiza ikut melangkah masuk, seolah dia sedang membenamkan kakinya ke dalam lumpur dosa untuk pertama kali. Dia yakin akan sulit untuk lolos dari kubangan lumpur yang lengket begini.
Musik keras langsung menghantam telinganya tanpa aba-aba, lautan manusia melompat-lompat di lantai dansa, lampu utama padam digantikan lampu disko dan cahaya temaram dari sudut-sudut yang gelap. Tiang-tiang ada di mana-mana, dan penari tanpa busana menari begitu erotis di tiang-tiang besi itu.
Pandangan Aiza mulai mengabur, tempat ini terlalu mengerikan baginya. Serasa dia mau kencing, mau melarikan diri. Kakinya mulai gemetar.
"Aiza nggak apa-apa?" Ramon akhirnya bertanya juga. Tangan Ramon memeluk lengan Aiza, menyandarkan kepalanya di dada bidang Ramon. "Makanya ..., sudah Mas bilang kan, Aiza jangan ikut. Mas antar balik aja ya?" Ramon berbisik tepat di samping telinga Aiza, meredam suara keras dari sekeliling.
Belum sempat Aiza mengiyakan, tiba-tiba seorang pria berpenampilan flamboyan dengan kemeja berbunga menghampiri. "Ramon! Kamu dari mana aja, Beb?! Dari tadi tuh dicariin sama Papa! Gih sana! Jangan sampai kamu buat dia merana, Cintah!" Suara pria itu dan caranya bicara cukup mengusik telinga Aiza. Lagi pula, siapa yang dia maksud sebagai Papa? Mas Ramon punya Papa di sini? Aiza membatin.
"Oke ... Oke ..., tapi bisa kamu jaga dia sebentar? Aku nggak tau Mbak Sarah ke mana." Ramon mengarahkan Aiza ke hadapan si pria flamboyan. Sarah sudah tak tahu ke mana rimbanya sejak masuk ke tempat gelap ini.
"Hih ...! Anak curut dari mana ini?!" Pria itu kaget melihat wajah panik Aiza.
"Nanti aja diomongin. Tolong jaga ya, jangan sampai dia kenapa-napa!" Ramon lekas pergi meninggalkan Aiza yang makin panik.
"Sini, Adik Manis. Jangan takut, Kakak nggak jahat, kok." Pria flamboyan itu mengajak Aiza duduk di depan Bar.
Dia mulai memesan minuman lalu menyalakan sebatang rokok sambil sesekali melirik Aiza yang cuma menunduk diam sejak tadi.
"Hah ..., kenapa kamu bisa tersesat sampai sini, Manis?" tanyanya terdengar agak mengiba. Aiza bergeming. "Eh, kamu masih ..., perawan?" Tiba-tiba pertanyaannya melompat, sampai membuat kepala Aiza menegak kaget. "He he, bercanda kok ah, Sayang ..., semua juga bisa menebak kalau kamu masih segelan. Hi hi!"
Lama duduk membisu, akhirnya Aiza tak tahan lagi untuk bertanya kepada pria flamboyan di depannya, "Mas ..."Belum selesai kalimatnya, pria itu langsung terbelalak, "Mas?!Emangnya aku nih keliatan kayak mas-mas apa, ya?! Mas dua puluh empat karat?! Panggil aku Kak! Kak Bio!" Dia akhirnya memperkenalkan diri."Ah iya, maaf ..., maaf Kak Bio, gini ..., aku mau tanya ..." Suara Aiza terputus-putus. "Emangnya Mas Ramon ada urusan apa ya di sini? Siapa yang Kak Bio sebut papa tadi?"Tangannya Bio bergerak gemulai seiring matanya mengerling heran, "Kamu nggak tau apa kerjaan Ramon?"Aiza mengangguk."Kamu nih siapanya dia? Masa itu aja nggak tau?" selidik Bio."Aku sahabat adiknya, tapi ... keluarga Mas Ramon juga nggak tau apa kerjaan Mas Ramon," jawab Aiza polos.Bio mengembuskan napas panjang ikut sekepul asap rokok yang terbang di udara. "Itu sih panjang urusannya, Cinta. Bukan perkara mudah. Kamu kayaknya terlalu dini un
Levi tersenyum puas lantaran sasarannya telah berada di depan, tinggal membidik saja. Dia membawa Ramon dan Aiza ke sebuah bilik makan di restoran tiongkok dengan meja makan bundar besar. Terlalu berlebihan untuk tiga orang, seolah-olah ini benar makan malam bisnis.Sejak awal melihat Aiza, mata Levi memang tak bisa berpaling. Belum pernah dia melihat sekuntum bunga mekar seperti Aiza. Wajahnya yang teduh dan ekspresinya yanginnocentmembuat sekujur tubuh Levi bergetar hebat.Dan sebagai putera sulung dari pemilik klub malam besar dengan puluhan gurita bisnis lainnya, mana mungkin dia tak bisa mendapat apa yang dia mau, sekalipun dia tahu bahwa Aiza adalah orang yang dibawa oleh Ramon, rivalnya sendiri.***"Dimakan, silakan dimakan ..., pesan lagi kalau kurang." Levi mendekatkan mangkuk-mangkuk ke dekat Aiza. Aiza melirik Ramon takut, berharap segera pergi dari tempat ini."Jadi sebetulnya mau ngomongin apa? Langsung aja. Saya
Sarah yang dalam kondisi setengah mabuk baru saja keluar dari toilet saat sebuah tangan menariknya dan membekap mulutnya, dia terhuyung, tak bisa melawan. Tak lama, tubuhnya didorong sampai terhempas ke atas tempat tidur yang dia sendiri tak tahu di mana. Kepalanya pening, pandangannya kabur."Aduh ..., siapa sih nih ...?" tanyanya sambil memegang kepala yang berat. "Kalau mau, jangan kasar dong ..., aku kasih dengan senang hati ..." ucapnya melantur.Dia bisa melihat bayangan bertubuh besar berdiri di depannya dengan tangan bertumpu pada pinggang. Di pergelangan tangan kiri pria besar itu melingkar sebuah gelang emas berkilauan. Sarah langsung tahu siapa orang yang ada di depannya."Levi ...? Tumben ..., tumben kamu mau sama aku. Kenapa? Sekarang seleramu yang seperti aku, ya? Ha ha ..."Plak!!!Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sarah sampai tubuh bagian atasnya terpental lagi ke atas tempat tidur. "Jangan mimpi kamu, pelacur
Tanpa ada rasa curiga, Aiza ikut bersama Sarah ke sebuah mal. Awalnya baik-baik saja, Sarah membawa Aiza masuk ke satu butik ke butik lainnya. Dia belikan Aiza beberapa potong pakaian dengan menggesek kartu kredit yang dipinjamkan Ramon. Sepatu, sandal, baju tidur, semua dilengkapi tanpa ada yang terlewat.Sebelum pergi makan siang, Sarah bahkan mengajak Aiza ke salon. Mereka perawatan wajah dan kuku bersama. Aiza sempat menolak tawaran Sarah karena tak terbiasa, tapi lantaran Sarah memaksa, maka dia ikut saja.Namun, ada yang berbeda saat hendak pulang. Tiba-tiba Sarah meminta sopir taksi yang membawa mereka untuk berhenti di dalam sebuah gang asing yang sepi. Sarah mengajak Aiza untuk turun, katanya ada suatu tempat yang sedang dia cari. Aiza masih belum merasa curiga sampai Sarah mendadak berujar, "Za, kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya.""Loh, Mbak Sarah mau ke mana?!" Aiza celingak celinguk mulai panik, sekelilingnya sepi, dari ujung gang sebelah kanan s
Saat Aiza diantarkan sampai ke mansion, yang pertama dia temui adalah Ramon, rupanya Ramon sejak tadi sudah menunggu kedatangan Aiza. Tanpa ada terucap sepatah kata, Aiza langsung menghambur memeluk Ramon. Dan Ramon sendiri tanpa rasa canggung memeluk erat Aiza, luruh sudah kecemasan yang sejak tadi merasuki kepalanya.Dia cium rambut Aiza, dia pindahkan tangannya dari rambut Aiza sampai ke pundak Aiza yang terbuka. Sampai tak sadar mereka telah berpelukan selama lebih dari satu menit. Dengan canggung, Ramon akhirnya melepas pelukannya lalu bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Za? Dia apakan kamu?" tanya Ramon khawatir. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Maaf Mas nggak bisa jemput kamu ke sana.""Nggak apa-apa, Mas. Aiza paham, terima kasih sudah bergerak cepat menyelamatkan Aiza, Mas. Aiza belum sempat diapa-apain sama dia." Air mata meluncur mulus di pipi ASiza yang halus.Pandangan mata Ramon tiba-tiba jatuh ke belahan dada Aiza yang terpampang. Dia kagok lalu dengan s
Bio tak main-main dengan niatnya. Dia bertekad untuk menyulap Aiza menjadi sosok yang baru, sosok yang kira-kira paling cocok untuk mendampingi Ramon.Rambut Aiza yang semula lurus saja, datar dan biasa, dia buat agak ikal seperti ombak, bahkan dia warnai dengan cat rambut warna coklat tanah.Tubuh Aiza yang memang dasarnya mungil dan manis dia coba pakaikan dengan berbagai macam busana sampai terpilih beberapa set yang sekiranya paling cocok. Dibalut dengan rok mini,tanktopberwarna pastel dan sepatu bertumit tinggi, Aiza terlihat seperti gadis kota yang modern dan modis. Ditambah lagi pulasan rias yang cukup berani dengan warna-warna terang seperti ungu dan merah muda, lalu diakhiri dengan sentuhan cat kuku merah di atas kuku-kukunya. Siapapun akan gemas melihat dirinya, termasuk Ramon."Kamu yang dulu udik nggak akan pernah mendapatkan cinta dari Ramon. Tapi kamu yang ini ..., hm ..., dia akan bertekuk lutut di depan kamu!" Bio mencuil uju
"Aku Aiza, pacarnya Mas Ramon." Aiza mengembangkan senyum kakunya. Setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, akhirnya dia bisa memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Ramon meskipun hanya pura-pura.Gadis-gadis seksi itu saling berbisik, ada wajah yang tampak mengejek, ada juga yang terlihat tak percaya, dan ada yang sedang menilai Aiza dari atas ke bawah."Nggak nyangka juga ya, Ramon akhirnya punya pacar lagi. Udah lama banget, kan?" Salah satu dari mereka berbisik."Tapi kalau dilihat-lihat sih, cewek ini emang gayanya mirip banget sama Asti."Siapa Asti?Aiza bertanya dalam hati."Yuk cari minum bentar ..." Gadis-gadis itu menjauh dari Aiza. Salah seorang dari mereka yang ditinggal mendekati Aiza lalu menjukurkan tangannya ke hadapan Aiza."Namaku Rina, tapi di sini biasa orang-orang manggil aku Nana." Senyumnya yang hangat dan tampak lembut membuat Aiza berani menyambut uluran tangannya. "Boleh aku panggil kamu Ai, kan?" tan
Mata Aiza menatap nanar Ramon, bibirnya mendadak kelu, jantungnya berdebar tak beraturan dan napasnya mulai sengal. Dia usap wajahnya yang memucat. Sikap macam apa yang baru saja ditunjukkan oleh Ramon? Seolah kalimat yang terucap dari mulutnya tak mungkin sungguh-sungguh keluar dari mulutnya."Mas Ramon ..., apa maksudnya Mas Ramon bilang gitu? Aiza mau pulang! Aiza mau kembali sama Ibu! Aiza nggak mau di sini, Mas ...!" Aiza berdiri, dia pukul dada bidang Ramon, melampiaskan emosi yang berkecamuk di dada.Kedua pergelangan tangan Aiza dipegang kuat oleh Ramon. Wajah Ramon mengeras, matanya berkilat-kilat. "Terus? Habis itu kamu buka semuanya? Kamu bilang sama semua pekerjaan aku di sini?! Aku nggak akan membiarkan itu terjadi, Aiza. Aku ini bukan orang bodoh. Aku udah melewati bara api untuk sampai di titik ini. Nggak akan aku biarkan siapapun merusaknya, menghalangi jalan aku, termasuk kamu. Kalau mau selamat ..., cuma dua pilihan kamu. Tetap di sini, ikuti aturan d