Lama duduk membisu, akhirnya Aiza tak tahan lagi untuk bertanya kepada pria flamboyan di depannya, "Mas ..."
Belum selesai kalimatnya, pria itu langsung terbelalak, "Mas?! Emangnya aku nih keliatan kayak mas-mas apa, ya?! Mas dua puluh empat karat?! Panggil aku Kak! Kak Bio!" Dia akhirnya memperkenalkan diri.
"Ah iya, maaf ..., maaf Kak Bio, gini ..., aku mau tanya ..." Suara Aiza terputus-putus. "Emangnya Mas Ramon ada urusan apa ya di sini? Siapa yang Kak Bio sebut papa tadi?"
Tangannya Bio bergerak gemulai seiring matanya mengerling heran, "Kamu nggak tau apa kerjaan Ramon?"
Aiza mengangguk.
"Kamu nih siapanya dia? Masa itu aja nggak tau?" selidik Bio.
"Aku sahabat adiknya, tapi ... keluarga Mas Ramon juga nggak tau apa kerjaan Mas Ramon," jawab Aiza polos.
Bio mengembuskan napas panjang ikut sekepul asap rokok yang terbang di udara. "Itu sih panjang urusannya, Cinta. Bukan perkara mudah. Kamu kayaknya terlalu dini untuk tau urusan itu. Mending kamu ikut senang-senang aja di sini, nikmati segala rupa-rupa kenikmatan yang ada di depan kamu ~" Tangan kanan Bio mengembang lebar menunjukkan lantai dansa.
Kening Aiza mengerut tipis, jelas bukan itu tujuannya ikut ke sini, dia ingin tahu apa yang dilakukan Ramon, apa rahasianya, apa yang dia sembunyikan. "Kak Bio bener-bener nggak bisa kasih tau aku?" Aiza memohon.
"Nggak bisa, Cintaku ..., nanti juga kamu bakal tau sendiri. Sabar, semua ada waktunya. Ember ~?" Bio tersenyum jahil, Aiza tak bisa memaksa kalau seperti ini.
Tapi ada satu lagi yang ingin dia ketahui, "Kalau Mbak Sarah itu ..., pacarnya Mas Ramon?" Aiza menggigit bibir bawahnya, gugup.
"Ya bukanlah! Masa iya Sarah pacarnya Ramones? Dih, gila aja." Bio terdengar sangat sinis. "Tapi Sarah tuh emang ngincar Ramon sih, cuma si Ramon emang kayaknya mau bebas, nggak mau terikat hubungan cinta, jadi ya dia nggak pernah mau nanggepin perasaan siapapun yang dekatin dia." Bio tanpa sadar menambahkan terlalu banyak informasi, Aiza fokus mendengarkan. "Lagian ya, kalau kerja di industri kotor begini, emang paling enaknya jangan melibatkan perasaan, jadi bisa dari mana aja. Dari sudut sana bisa, dari lubang yang itu bisa, uang ngalir dari mana-mana. Hihi." Bio tertawa genit yang membuat Aiza meringis geli.
Aiza tampaknya masih belum puas dengan informasi yang dia terima. "Tapi kalau Mas Ramon memang nggak punya ikatan sama Mbak Sarah, buat apa Mbak Sarah tinggal sama Mas Ramon?" lirihnya.
"Panjang ceritanya, Manis. Pokoknya Ramon cuma bantu Sarah aja, soalnya si Sarah itu pernah diuber-uber sama bos lamanya, hampir mati deh dia, jadi minta perlindungan gitu dari Ramon." Bio menjawab enteng. Tiba-tiba, lirikannya berubah, "Eh, kenapa kamu tanya gini? Kamu ..., suka sama Ramon? Hm? Idih, kamu kecil-kecil udah tau mana yang berkualitas, mana yang potensial di tempat tidur. Cihuy kamu ternyata polos-polos gatal juga, ya! ~" Dia menggoda sambil mencuil pinggang Aiza. Bicaranya sama sekali tak di-rem.
"Bu-bukan gitu!" bantah Aiza malu berat.
Saat digoda oleh Bio, tiba-tiba seorang pria tak dikenal merangkul Aiza dengan mesra. "Siapa nih, Yo?" tanyanya kepada Bio. Pria itu memakai kemeja putih, bertato di leher kanannya, rambutnya dicat pirang, dan mulutnya beraroma alkohol cukup kuat.
"Heh, jangan macam-macam, ini pacar kecilnya Ramon," jawab Bio sambil mengedipkan mata kirinya penuh arti.
"Hah? Si Ramones mau juga main sama anak kecil? Bisa juga dia!" tawa pria itu sambil melepaskan Aiza yang sejak tadi menjauhkan kepalanya sendiri.
"Nggak gitu, kok ..." Aiza membantah pelan, suaranya ditenggelamkan suara musik yang kencang berdentam.
Pria itu menjulurkan tangan dengan manis ke hadapan Aiza. "Perkenalkan, namaku Satria. Boleh dipanggil--"
"Bang Sat!" potong Bio cepat.
"Heh, bisa diam dulu, nggak? Jangan ganggu bisnis orang, deh." Satria melototi Bio.
"Bisnis apaan?" Bio balik bertanya.
"Dari tadi Levi nengokin dia dari atas tuh, makanya Levi nyuruh aku ke sini buat nanyain dia siapa," terang Satria.
Mendadak wajah Bio berubah pucat. "Jadi ..., Levi tertarik sama dia?" bisiknya agak panik.
"Iya, dia lagi di atas tuh sama temen-temennya."
Bio langsung mendorong Satria pelan. "Bilang sama Levi, lupain aja niatnya, nih anak ke sini nggak ada niat macam-macam, dia lagi nunggu Ramon. Cari yang lain aja. Aku diminta Ramon buat jagain dia jangan sampai kenapa-napa." Sifat protektif Bio langsung menyalak.
"Santai aja kali, Yo. Kayak nggak kenal Levi aja, dia kalau udah ada maunya, pasti ngebet."
"Ya udah, kamu ngomong aja sama Ramon. Tunggu Ramon datang!" Bio tak berubah pikiran sedikit pun.
***
Aiza tak paham apa yang sebenarnya terjadi, tapi sejak kedatangan Satria tadi, dia langsung tahu ada hawa yang tak enak. Ada seseorang dari atas sana yang sedang memandangi dirinya dari kegelapan, entah siapa. Rasanya seperti seekor kancil yang sedang dimata-matai seekor singa dari balik semak-semak, dan entah kapan akan menerkamnya.
Untungnya Ramon telah kembali. Tanpa basa-basi, dia langsung menarik Aiza. "Makasih ya, Yo. Kami pergi sekarang, aku harus ngantar Aiza pulang."
Bio tiba-tiba menarik tangan Ramon. "Eh, Cintah. Itu ..., eum ..., gini ...." Suaranya putus-putus karena gugup. "Tadi Levi udah liat dia, dan katanya dia minat." Akhirnya dia ungkapkan pula.
"Udah gila kali dia, dia pake aja adiknya sendiri. Tolol." Ramon menggeram, hampir tak pernah Aiza melihat Ramon semurka ini sampai mengumpat segala.
"Tapi jangan anggap enteng, Mon. Kamu tau tabiat Levi, dia punya backing-an papanya, posisi kamu bisa berantakan kalau dia berbuat sesuatu." Bio terlihat cemas.
"Santai aja, kamu tau aku, kan? Aku nggak takut apapun. Kalau aku penakut, dari awal aku mundur. Nggak mungkin aku sampai sejauh ini." Ramon tersenyum bangga. "Ayo, Za. Kamu pulang aja. Udah cukup liat-liat nya."
Aiza menurut saja saat Ramon menarik tangannya dan membawanya keluar. Tapi ketika mereka sampai di tempat parkir dan mau masuk ke mobil, beberapa orang bertubuh besar menghadang. "Ramon, Levi mau ngomong." Salah seorang dari pria berjaket kulit itu membuka mulut.
"Nggak ada urusan sama saya. Saya harus pulang sekarang." Ramon menolak.
"Ayolah, Mon ..., cuma makan malam biasa ..., kenapa menolak?"
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang. Ramon dan Aiza kompak berbalik. Seorang pria tinggi bermantel coklat tersenyum menyeringai. Kulitnya begitu pucat, dengan rambut gondrong hitam tebal. Sekujur tubuh Aiza mendadak merinding takut. Siapa pun pria dia hadapannya ini, dia membawa hawa sedingin es dari puncak gunung tertinggi.
"Buat apa?" Alis Ramon menukik.
"Cuma makan malam antar sahabat, sambil ngomongin bisnis. Ayo lah ..., sebentar aja. Adik kecil kamu juga pasti nggak keberatan, mau ikut makan malam bareng kan?" Pria itu menatap Aiza, Aiza mundur sedikit ke belakang Ramon.
Ramon tak punya pilihan, dia tahu benar sifat keras kepala pria di hadapannya ini. Untuk mempersingkat waktu dia iyakan saja tawaran itu.
Levi tersenyum puas lantaran sasarannya telah berada di depan, tinggal membidik saja. Dia membawa Ramon dan Aiza ke sebuah bilik makan di restoran tiongkok dengan meja makan bundar besar. Terlalu berlebihan untuk tiga orang, seolah-olah ini benar makan malam bisnis.Sejak awal melihat Aiza, mata Levi memang tak bisa berpaling. Belum pernah dia melihat sekuntum bunga mekar seperti Aiza. Wajahnya yang teduh dan ekspresinya yanginnocentmembuat sekujur tubuh Levi bergetar hebat.Dan sebagai putera sulung dari pemilik klub malam besar dengan puluhan gurita bisnis lainnya, mana mungkin dia tak bisa mendapat apa yang dia mau, sekalipun dia tahu bahwa Aiza adalah orang yang dibawa oleh Ramon, rivalnya sendiri.***"Dimakan, silakan dimakan ..., pesan lagi kalau kurang." Levi mendekatkan mangkuk-mangkuk ke dekat Aiza. Aiza melirik Ramon takut, berharap segera pergi dari tempat ini."Jadi sebetulnya mau ngomongin apa? Langsung aja. Saya
Sarah yang dalam kondisi setengah mabuk baru saja keluar dari toilet saat sebuah tangan menariknya dan membekap mulutnya, dia terhuyung, tak bisa melawan. Tak lama, tubuhnya didorong sampai terhempas ke atas tempat tidur yang dia sendiri tak tahu di mana. Kepalanya pening, pandangannya kabur."Aduh ..., siapa sih nih ...?" tanyanya sambil memegang kepala yang berat. "Kalau mau, jangan kasar dong ..., aku kasih dengan senang hati ..." ucapnya melantur.Dia bisa melihat bayangan bertubuh besar berdiri di depannya dengan tangan bertumpu pada pinggang. Di pergelangan tangan kiri pria besar itu melingkar sebuah gelang emas berkilauan. Sarah langsung tahu siapa orang yang ada di depannya."Levi ...? Tumben ..., tumben kamu mau sama aku. Kenapa? Sekarang seleramu yang seperti aku, ya? Ha ha ..."Plak!!!Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sarah sampai tubuh bagian atasnya terpental lagi ke atas tempat tidur. "Jangan mimpi kamu, pelacur
Tanpa ada rasa curiga, Aiza ikut bersama Sarah ke sebuah mal. Awalnya baik-baik saja, Sarah membawa Aiza masuk ke satu butik ke butik lainnya. Dia belikan Aiza beberapa potong pakaian dengan menggesek kartu kredit yang dipinjamkan Ramon. Sepatu, sandal, baju tidur, semua dilengkapi tanpa ada yang terlewat.Sebelum pergi makan siang, Sarah bahkan mengajak Aiza ke salon. Mereka perawatan wajah dan kuku bersama. Aiza sempat menolak tawaran Sarah karena tak terbiasa, tapi lantaran Sarah memaksa, maka dia ikut saja.Namun, ada yang berbeda saat hendak pulang. Tiba-tiba Sarah meminta sopir taksi yang membawa mereka untuk berhenti di dalam sebuah gang asing yang sepi. Sarah mengajak Aiza untuk turun, katanya ada suatu tempat yang sedang dia cari. Aiza masih belum merasa curiga sampai Sarah mendadak berujar, "Za, kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya.""Loh, Mbak Sarah mau ke mana?!" Aiza celingak celinguk mulai panik, sekelilingnya sepi, dari ujung gang sebelah kanan s
Saat Aiza diantarkan sampai ke mansion, yang pertama dia temui adalah Ramon, rupanya Ramon sejak tadi sudah menunggu kedatangan Aiza. Tanpa ada terucap sepatah kata, Aiza langsung menghambur memeluk Ramon. Dan Ramon sendiri tanpa rasa canggung memeluk erat Aiza, luruh sudah kecemasan yang sejak tadi merasuki kepalanya.Dia cium rambut Aiza, dia pindahkan tangannya dari rambut Aiza sampai ke pundak Aiza yang terbuka. Sampai tak sadar mereka telah berpelukan selama lebih dari satu menit. Dengan canggung, Ramon akhirnya melepas pelukannya lalu bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Za? Dia apakan kamu?" tanya Ramon khawatir. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Maaf Mas nggak bisa jemput kamu ke sana.""Nggak apa-apa, Mas. Aiza paham, terima kasih sudah bergerak cepat menyelamatkan Aiza, Mas. Aiza belum sempat diapa-apain sama dia." Air mata meluncur mulus di pipi ASiza yang halus.Pandangan mata Ramon tiba-tiba jatuh ke belahan dada Aiza yang terpampang. Dia kagok lalu dengan s
Bio tak main-main dengan niatnya. Dia bertekad untuk menyulap Aiza menjadi sosok yang baru, sosok yang kira-kira paling cocok untuk mendampingi Ramon.Rambut Aiza yang semula lurus saja, datar dan biasa, dia buat agak ikal seperti ombak, bahkan dia warnai dengan cat rambut warna coklat tanah.Tubuh Aiza yang memang dasarnya mungil dan manis dia coba pakaikan dengan berbagai macam busana sampai terpilih beberapa set yang sekiranya paling cocok. Dibalut dengan rok mini,tanktopberwarna pastel dan sepatu bertumit tinggi, Aiza terlihat seperti gadis kota yang modern dan modis. Ditambah lagi pulasan rias yang cukup berani dengan warna-warna terang seperti ungu dan merah muda, lalu diakhiri dengan sentuhan cat kuku merah di atas kuku-kukunya. Siapapun akan gemas melihat dirinya, termasuk Ramon."Kamu yang dulu udik nggak akan pernah mendapatkan cinta dari Ramon. Tapi kamu yang ini ..., hm ..., dia akan bertekuk lutut di depan kamu!" Bio mencuil uju
"Aku Aiza, pacarnya Mas Ramon." Aiza mengembangkan senyum kakunya. Setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, akhirnya dia bisa memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Ramon meskipun hanya pura-pura.Gadis-gadis seksi itu saling berbisik, ada wajah yang tampak mengejek, ada juga yang terlihat tak percaya, dan ada yang sedang menilai Aiza dari atas ke bawah."Nggak nyangka juga ya, Ramon akhirnya punya pacar lagi. Udah lama banget, kan?" Salah satu dari mereka berbisik."Tapi kalau dilihat-lihat sih, cewek ini emang gayanya mirip banget sama Asti."Siapa Asti?Aiza bertanya dalam hati."Yuk cari minum bentar ..." Gadis-gadis itu menjauh dari Aiza. Salah seorang dari mereka yang ditinggal mendekati Aiza lalu menjukurkan tangannya ke hadapan Aiza."Namaku Rina, tapi di sini biasa orang-orang manggil aku Nana." Senyumnya yang hangat dan tampak lembut membuat Aiza berani menyambut uluran tangannya. "Boleh aku panggil kamu Ai, kan?" tan
Mata Aiza menatap nanar Ramon, bibirnya mendadak kelu, jantungnya berdebar tak beraturan dan napasnya mulai sengal. Dia usap wajahnya yang memucat. Sikap macam apa yang baru saja ditunjukkan oleh Ramon? Seolah kalimat yang terucap dari mulutnya tak mungkin sungguh-sungguh keluar dari mulutnya."Mas Ramon ..., apa maksudnya Mas Ramon bilang gitu? Aiza mau pulang! Aiza mau kembali sama Ibu! Aiza nggak mau di sini, Mas ...!" Aiza berdiri, dia pukul dada bidang Ramon, melampiaskan emosi yang berkecamuk di dada.Kedua pergelangan tangan Aiza dipegang kuat oleh Ramon. Wajah Ramon mengeras, matanya berkilat-kilat. "Terus? Habis itu kamu buka semuanya? Kamu bilang sama semua pekerjaan aku di sini?! Aku nggak akan membiarkan itu terjadi, Aiza. Aku ini bukan orang bodoh. Aku udah melewati bara api untuk sampai di titik ini. Nggak akan aku biarkan siapapun merusaknya, menghalangi jalan aku, termasuk kamu. Kalau mau selamat ..., cuma dua pilihan kamu. Tetap di sini, ikuti aturan d
Dari semalam Aiza menolak untuk makan, meski Ramon telah membelikan makanan lezat dari restoran untuknya. Sejak kepulangan mereka tadi malam kembali ke apartemen Ramon, Aiza cuma merenung seorang diri. Dia bahkan menolak keluar dari kamar, tidur pun sulit. Sampai pagi hari, kepalanya pening. Trauma akibat kejadian mengerikan semalam masih membayangi pikirannya.Perlakuan Ramon masih tak bisa juga dia singkirkan dari kepalanya. Hanya air mata yang menjadi saksi atas setiap luka yang tersisa.Dengan masih mengenakan piyama berlengan pendek, Aiza berjalan ke meja lampu. Niatnya untuk menghubungi Delima. Dia ingin bicara kepada ibunya, dia ingin menumpahkan segala kesedihan di hati atau kalau memungkinkan malah meminta bantuan.Namun anehnya, ponsel pintarnya telah berganti dengan ponsel pintar keluaran terbaru. Aiza ragu-ragu meraih ponsel yang masih tampak sangat licin itu. Matanya membulat. "Ini bukanhapeaku ...," bisiknya bicara kepada dirin