Share

DUNIA BARU

Saat Aiza diantarkan sampai ke mansion, yang pertama dia temui adalah Ramon, rupanya Ramon sejak tadi sudah menunggu kedatangan Aiza. Tanpa ada terucap sepatah kata, Aiza langsung menghambur memeluk Ramon. Dan Ramon sendiri tanpa rasa canggung memeluk erat Aiza, luruh sudah kecemasan yang sejak tadi merasuki kepalanya.

Dia cium rambut Aiza, dia pindahkan tangannya dari rambut Aiza sampai ke pundak Aiza yang terbuka. Sampai tak sadar mereka telah berpelukan selama lebih dari satu menit. Dengan canggung, Ramon akhirnya melepas pelukannya lalu bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Za? Dia apakan kamu?" tanya Ramon khawatir. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Maaf Mas nggak bisa jemput kamu ke sana."

"Nggak apa-apa, Mas. Aiza paham, terima kasih sudah bergerak cepat menyelamatkan Aiza, Mas. Aiza belum sempat diapa-apain sama dia." Air mata meluncur mulus di pipi ASiza yang halus.

Pandangan mata Ramon tiba-tiba jatuh ke belahan dada Aiza yang terpampang. Dia kagok lalu dengan sikap sopan, dia lepas jaketnya kemudian dia pakaikan kepada Aiza. "Justru Mas belum berhasil menjaga kamu. Mas nggak nyangka Sarah bakal berkhianat kayak gini. Tapi Mas juga paham situasinya. Cuma ..., dia nggak aman lagi buat kamu. Kamu harus ikut sama Mas, ada tempat yang lebih aman untuk kamu, Za."

Aiza menggeleng takut. "Aiza nggak mau jauh dari Mas Ramon!"

"Kamu tenang aja, Mas nggak mungkin meninggalkan kamu, Za. Lagian, Levi sekarang nggak mungkin berani nekad, Mas udah bicara sama ayahnya sendiri."

"Apa yang Mas bicarakan? Apa yang membuat ayahnya mau membantu Mas?" selidik Aiza.

Raut muka Ramon sedikit berubah tegang, sebenarnya ada sesuatu yang mereka sepakati, sesuatu yang tak bisa diungkapkannya kepada Aiza tentunya. "Nggak usah dibahas, ya? Yang penting kamu baik-baik aja. Sekarang kita pergi." Ramon membukakan pintu mobilnya.

Aiza masih penuh tanda tanya, tapi tak mungkin apabila memaksa. Sepanjang di perjalanan, mereka terus membahas Sarah. Ramon sendiri mengaku tak bisa lagi memberi tumpangan kepada Sarah. Setidaknya itu kabar baik bagi Aiza. Saat ini ketimbang memikirkan nasibnya sendiri di tangan Levi, Aiza justru lebih fokus memikirkan Ramon yang akhirnya lepas dari jerat benalu Sarah. Tiap kali Ramon bertanya apa yang terjadi di rumah Levi, Aiza justru terkesan menutupi, dia tak mau mengingat-ingat lagi tragedi yang baru saja menimpanya. Ramon paham Aiza masih dalam trauma, dia pun tak mencoba untuk terus mengorek informasi. Dia ingin Aiza tenang dulu untuk hari ini, bersantai di tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota.

***

Mobil mewah milik Ramon berhenti di depan sebuah rumah kecil yang cukup jauh dari pemukiman dan pusat kota. Rumah itu dikelilingi halaman berbunga luas, lengkap dengan pohon tinggi di halaman belakang sebelah kanan. Lebih tepat disebut bungalow ketimbang rumah normal pada umumnya.

Seorang pria yang memakai mantel mandi bercorak macan membuka pintu dan langsung mengeluh, "Kenapa sih Ramon ...? Kamu buat aku terseret soal ini ...?"

Ternyata rumah ini milik Bio. Ke sinilah Ramon membawa Aiza untuk mengamankannya, setidaknya untuk sementara sampai dia bisa memastikan Levi sudah jera dan tak akan meneror Aiza lagi. Senyum Aiza menghias wajah cantiknya yang lembut, dia cukup rindu pula dengan Bio, menurutnya Bio adalah pribadi yang menarik. Setidaknya jauh lebih baik ketimbang Sarah.

"Aku cuma butuh bantuan dikit, Yo ..., aku janji, aku bakal kasih dua kali lipat." Ramon nyengir kuda.

"Ini bukan soal uang, Bego! Ini soal nyawa. Kamu tau siapa Levi, aku ini siapa. Nggak ada orang lain yang bisa bantu kamu lagi emangnya, Yang ~?" Bio menggerutu manja, namun dia peluk juga Aiza sebagai gestur penyambutan.

"Ada aja, tapi sedikit yang bisa dipercaya. Aku percayakan dia sebentar sama kamu, ya. Nanti kalau kondisi udah kondusif, aku pasti bawa dia balik." Ramon memasang tampang memelas yang sulit untuk ditolak Bio.

"Ya kalau kamu udah muji-muji aku kayak gini ..., ada kepercayaan, gimana aku bisa nolak, sihhh ~?" Bio menggeram manja.

Ramon tersenyum lega. Dia beralih menoleh kepada Aiza. "Za, Mas pergi sebentar ya, nanti malam Mas jemput. Ada urusan mendadak yang harus dikerjain sekarang. Aku pergi dulu ya, Yo." Ramon tak sempat untuk mampir barang sebentar.

Sesaat Aiza ingin ikut, tapi Bio menahan tangan Aiza. "Kamu jangan cemas, di sini kamu aman, Manis. Biarkan dulu tuh yayang kamu pergi cari duit biar kalian jadi milyarder!" ujarnya sambil tertawa kecil.

Pipi Aiza bersemu merah bak tomat baru matang. "Mas Ramon bukan pacar aku, Kak ..." elaknya malu.

Sanggahan itu tak direspons Bio, ditariknya Aiza ikut masuk ke dalam rumah sejuknya yang berdinding setengah batu setengah kayu. Mata Aiza membulat kagum. Rumah Bio memang tak seberapa luas, bisa dikatakan kecil. Hanya ada ruang tamu dengan dua sofa mini yang terlihat hangat lengkap dengan TV, lalu dua buah kamar, serta dapur yang terhubung dengan ruang makan.

"Rumah ini cantik banget ..." desis Aiza memuji sungguh-sungguh.

"Bisa aja kamu, ah! Btw, kamu mau pakai gaun aneh itu terus? Nggak risih?" Telunjuk Bio tepat menunjuk ke arah belahan dada Aiza.

Aiza baru teringat dengan pakaian yang dia kenakan, dia belum sempat untuk berganti pakaian tadi karena langsung diantar Ramon ke sini. "Ya ampun! Aku masih pakai gaun terkutuk ini!" katanya agak kesal.

"Kamu nggak sempat bawa baju juga ya? Jangan khawatir, Sayang-kuh ..., bukan Bio namanya kalau nggak punya pakaian-pakaian cantik nan indah yang akan menggetarkan seluruh tubuh kamu!"

Bio membuka sebuah pintu kecil yang tadi abai dari pandangan mata Aiza. Rupanya di rumahnya, dia juga memiliki sebuah bilik tempat dia menyimpan pakaian, sepatu dan aksesoris, yang bisa dibilang mirip seperti toko busana. Dari berbagai merek, bermacam harga, motif, dan tahun keluaran variatif.

Namun anehnya, pakaian-pakaian yang ada di tempat itu tak hanya pakaian lelaki, tapi ada juga pakaian wanita. Kening Aiza jadi berkerut.

"Ini baju-baju siapa, sih? Kak Bio ini kerjanya apa, sih?" tanya Aiza heran.

"Kamu mau tau? Mau tau banget apa mau tau aja?" Bio berkedip usil.

"Serius ah, Kak!" Aiza penasaran tingkat tinggi.

"Banyak yang aku pegang, Sayang-kuh. Aku bisa menyenangkan kamu, aku juga bisa mempermak tubuh kamu! Aku ini peri cantik serba bisa!" Bio berujar penuh percaya diri sambil mengambil sembarang sebuah gaun summer manis dari gantungan terbuka. "Semua yang ada di sini cuma sedikit dari yang aku punya. Sebagian lagi ada di apartemen. Ini kuanggap cuma gudang. Nyaris nggak ada orang yang tau tempat persembunyian aku ini, tapi Ramon tau!" Dia agak menggerutu di akhir kalimatnya.

Aiza mengerti sekarang, rumah ini bukan rumah utama Bio, pantas saja Ramon membawanya kemari. Aiza mendesis kagum dalam hatinya, Bio pasti punya begitu banyak uang. Kenapa orang-orang ini bisa begitu kaya raya? Dari mana uang mereka? Apa yang mereka kerjakan? Aiza lagi-lagi diselimuti tanda tanya. Pertanyaan itu jawabannya masih samar.

"Kamu mau pakai ini?" Bio memamerkan sebuah gaun pendek yang agak seksi sepaha.

"Nggak, Kak ... Terlalu seksi, aku--"

"Sst!" Bio menahan bibir Aiza dengan jari telunjuknya. "Sekarang kamu ada di daerah kekuasaan Nyai Bio. Gaya kamu yang membosankan itu akan kusulap, Cinta. Kamu akan terlahir dengan pesona baru. Ini dunia baru kamu! Sudah waktunya kamu melupakan hidup lama kamu. Kamu mau terus di dekat Ramon, kan?" tanyanya membujuk.

Aiza mengangguk malu-malu.

"Kalau begitu ..., jadilah pribadi yang baru. Masuki dunia dia. Aku akan menuntun kamu. Hm?"

Tawaran itu sangat menggiurkan bagi Aiza. Kapan lagi dia secara terang-terangan diajak masuk ke dalam dunia Ramon. Sekalipun itu akan dibayar dengan dirinya sendiri, Aiza tak mungkin menolak.

"Sudah waktunya kamu meninggalkan identitas lama kamu. Dan hidup dengan cara kami." Bio tersenyum penuh makna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status