Saat Aiza diantarkan sampai ke mansion, yang pertama dia temui adalah Ramon, rupanya Ramon sejak tadi sudah menunggu kedatangan Aiza. Tanpa ada terucap sepatah kata, Aiza langsung menghambur memeluk Ramon. Dan Ramon sendiri tanpa rasa canggung memeluk erat Aiza, luruh sudah kecemasan yang sejak tadi merasuki kepalanya.
Dia cium rambut Aiza, dia pindahkan tangannya dari rambut Aiza sampai ke pundak Aiza yang terbuka. Sampai tak sadar mereka telah berpelukan selama lebih dari satu menit. Dengan canggung, Ramon akhirnya melepas pelukannya lalu bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Za? Dia apakan kamu?" tanya Ramon khawatir. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Maaf Mas nggak bisa jemput kamu ke sana."
"Nggak apa-apa, Mas. Aiza paham, terima kasih sudah bergerak cepat menyelamatkan Aiza, Mas. Aiza belum sempat diapa-apain sama dia." Air mata meluncur mulus di pipi ASiza yang halus.
Pandangan mata Ramon tiba-tiba jatuh ke belahan dada Aiza yang terpampang. Dia kagok lalu dengan sikap sopan, dia lepas jaketnya kemudian dia pakaikan kepada Aiza. "Justru Mas belum berhasil menjaga kamu. Mas nggak nyangka Sarah bakal berkhianat kayak gini. Tapi Mas juga paham situasinya. Cuma ..., dia nggak aman lagi buat kamu. Kamu harus ikut sama Mas, ada tempat yang lebih aman untuk kamu, Za."
Aiza menggeleng takut. "Aiza nggak mau jauh dari Mas Ramon!"
"Kamu tenang aja, Mas nggak mungkin meninggalkan kamu, Za. Lagian, Levi sekarang nggak mungkin berani nekad, Mas udah bicara sama ayahnya sendiri."
"Apa yang Mas bicarakan? Apa yang membuat ayahnya mau membantu Mas?" selidik Aiza.
Raut muka Ramon sedikit berubah tegang, sebenarnya ada sesuatu yang mereka sepakati, sesuatu yang tak bisa diungkapkannya kepada Aiza tentunya. "Nggak usah dibahas, ya? Yang penting kamu baik-baik aja. Sekarang kita pergi." Ramon membukakan pintu mobilnya.
Aiza masih penuh tanda tanya, tapi tak mungkin apabila memaksa. Sepanjang di perjalanan, mereka terus membahas Sarah. Ramon sendiri mengaku tak bisa lagi memberi tumpangan kepada Sarah. Setidaknya itu kabar baik bagi Aiza. Saat ini ketimbang memikirkan nasibnya sendiri di tangan Levi, Aiza justru lebih fokus memikirkan Ramon yang akhirnya lepas dari jerat benalu Sarah. Tiap kali Ramon bertanya apa yang terjadi di rumah Levi, Aiza justru terkesan menutupi, dia tak mau mengingat-ingat lagi tragedi yang baru saja menimpanya. Ramon paham Aiza masih dalam trauma, dia pun tak mencoba untuk terus mengorek informasi. Dia ingin Aiza tenang dulu untuk hari ini, bersantai di tempat yang jauh dari hiruk pikuk kota.
***
Mobil mewah milik Ramon berhenti di depan sebuah rumah kecil yang cukup jauh dari pemukiman dan pusat kota. Rumah itu dikelilingi halaman berbunga luas, lengkap dengan pohon tinggi di halaman belakang sebelah kanan. Lebih tepat disebut bungalow ketimbang rumah normal pada umumnya.
Seorang pria yang memakai mantel mandi bercorak macan membuka pintu dan langsung mengeluh, "Kenapa sih Ramon ...? Kamu buat aku terseret soal ini ...?"
Ternyata rumah ini milik Bio. Ke sinilah Ramon membawa Aiza untuk mengamankannya, setidaknya untuk sementara sampai dia bisa memastikan Levi sudah jera dan tak akan meneror Aiza lagi. Senyum Aiza menghias wajah cantiknya yang lembut, dia cukup rindu pula dengan Bio, menurutnya Bio adalah pribadi yang menarik. Setidaknya jauh lebih baik ketimbang Sarah.
"Aku cuma butuh bantuan dikit, Yo ..., aku janji, aku bakal kasih dua kali lipat." Ramon nyengir kuda.
"Ini bukan soal uang, Bego! Ini soal nyawa. Kamu tau siapa Levi, aku ini siapa. Nggak ada orang lain yang bisa bantu kamu lagi emangnya, Yang ~?" Bio menggerutu manja, namun dia peluk juga Aiza sebagai gestur penyambutan.
"Ada aja, tapi sedikit yang bisa dipercaya. Aku percayakan dia sebentar sama kamu, ya. Nanti kalau kondisi udah kondusif, aku pasti bawa dia balik." Ramon memasang tampang memelas yang sulit untuk ditolak Bio.
"Ya kalau kamu udah muji-muji aku kayak gini ..., ada kepercayaan, gimana aku bisa nolak, sihhh ~?" Bio menggeram manja.
Ramon tersenyum lega. Dia beralih menoleh kepada Aiza. "Za, Mas pergi sebentar ya, nanti malam Mas jemput. Ada urusan mendadak yang harus dikerjain sekarang. Aku pergi dulu ya, Yo." Ramon tak sempat untuk mampir barang sebentar.
Sesaat Aiza ingin ikut, tapi Bio menahan tangan Aiza. "Kamu jangan cemas, di sini kamu aman, Manis. Biarkan dulu tuh yayang kamu pergi cari duit biar kalian jadi milyarder!" ujarnya sambil tertawa kecil.
Pipi Aiza bersemu merah bak tomat baru matang. "Mas Ramon bukan pacar aku, Kak ..." elaknya malu.
Sanggahan itu tak direspons Bio, ditariknya Aiza ikut masuk ke dalam rumah sejuknya yang berdinding setengah batu setengah kayu. Mata Aiza membulat kagum. Rumah Bio memang tak seberapa luas, bisa dikatakan kecil. Hanya ada ruang tamu dengan dua sofa mini yang terlihat hangat lengkap dengan TV, lalu dua buah kamar, serta dapur yang terhubung dengan ruang makan.
"Rumah ini cantik banget ..." desis Aiza memuji sungguh-sungguh.
"Bisa aja kamu, ah! Btw, kamu mau pakai gaun aneh itu terus? Nggak risih?" Telunjuk Bio tepat menunjuk ke arah belahan dada Aiza.
Aiza baru teringat dengan pakaian yang dia kenakan, dia belum sempat untuk berganti pakaian tadi karena langsung diantar Ramon ke sini. "Ya ampun! Aku masih pakai gaun terkutuk ini!" katanya agak kesal.
"Kamu nggak sempat bawa baju juga ya? Jangan khawatir, Sayang-kuh ..., bukan Bio namanya kalau nggak punya pakaian-pakaian cantik nan indah yang akan menggetarkan seluruh tubuh kamu!"
Bio membuka sebuah pintu kecil yang tadi abai dari pandangan mata Aiza. Rupanya di rumahnya, dia juga memiliki sebuah bilik tempat dia menyimpan pakaian, sepatu dan aksesoris, yang bisa dibilang mirip seperti toko busana. Dari berbagai merek, bermacam harga, motif, dan tahun keluaran variatif.
Namun anehnya, pakaian-pakaian yang ada di tempat itu tak hanya pakaian lelaki, tapi ada juga pakaian wanita. Kening Aiza jadi berkerut.
"Ini baju-baju siapa, sih? Kak Bio ini kerjanya apa, sih?" tanya Aiza heran.
"Kamu mau tau? Mau tau banget apa mau tau aja?" Bio berkedip usil.
"Serius ah, Kak!" Aiza penasaran tingkat tinggi.
"Banyak yang aku pegang, Sayang-kuh. Aku bisa menyenangkan kamu, aku juga bisa mempermak tubuh kamu! Aku ini peri cantik serba bisa!" Bio berujar penuh percaya diri sambil mengambil sembarang sebuah gaun summer manis dari gantungan terbuka. "Semua yang ada di sini cuma sedikit dari yang aku punya. Sebagian lagi ada di apartemen. Ini kuanggap cuma gudang. Nyaris nggak ada orang yang tau tempat persembunyian aku ini, tapi Ramon tau!" Dia agak menggerutu di akhir kalimatnya.
Aiza mengerti sekarang, rumah ini bukan rumah utama Bio, pantas saja Ramon membawanya kemari. Aiza mendesis kagum dalam hatinya, Bio pasti punya begitu banyak uang. Kenapa orang-orang ini bisa begitu kaya raya? Dari mana uang mereka? Apa yang mereka kerjakan? Aiza lagi-lagi diselimuti tanda tanya. Pertanyaan itu jawabannya masih samar.
"Kamu mau pakai ini?" Bio memamerkan sebuah gaun pendek yang agak seksi sepaha.
"Nggak, Kak ... Terlalu seksi, aku--"
"Sst!" Bio menahan bibir Aiza dengan jari telunjuknya. "Sekarang kamu ada di daerah kekuasaan Nyai Bio. Gaya kamu yang membosankan itu akan kusulap, Cinta. Kamu akan terlahir dengan pesona baru. Ini dunia baru kamu! Sudah waktunya kamu melupakan hidup lama kamu. Kamu mau terus di dekat Ramon, kan?" tanyanya membujuk.
Aiza mengangguk malu-malu.
"Kalau begitu ..., jadilah pribadi yang baru. Masuki dunia dia. Aku akan menuntun kamu. Hm?"
Tawaran itu sangat menggiurkan bagi Aiza. Kapan lagi dia secara terang-terangan diajak masuk ke dalam dunia Ramon. Sekalipun itu akan dibayar dengan dirinya sendiri, Aiza tak mungkin menolak.
"Sudah waktunya kamu meninggalkan identitas lama kamu. Dan hidup dengan cara kami." Bio tersenyum penuh makna.
Bio tak main-main dengan niatnya. Dia bertekad untuk menyulap Aiza menjadi sosok yang baru, sosok yang kira-kira paling cocok untuk mendampingi Ramon.Rambut Aiza yang semula lurus saja, datar dan biasa, dia buat agak ikal seperti ombak, bahkan dia warnai dengan cat rambut warna coklat tanah.Tubuh Aiza yang memang dasarnya mungil dan manis dia coba pakaikan dengan berbagai macam busana sampai terpilih beberapa set yang sekiranya paling cocok. Dibalut dengan rok mini,tanktopberwarna pastel dan sepatu bertumit tinggi, Aiza terlihat seperti gadis kota yang modern dan modis. Ditambah lagi pulasan rias yang cukup berani dengan warna-warna terang seperti ungu dan merah muda, lalu diakhiri dengan sentuhan cat kuku merah di atas kuku-kukunya. Siapapun akan gemas melihat dirinya, termasuk Ramon."Kamu yang dulu udik nggak akan pernah mendapatkan cinta dari Ramon. Tapi kamu yang ini ..., hm ..., dia akan bertekuk lutut di depan kamu!" Bio mencuil uju
"Aku Aiza, pacarnya Mas Ramon." Aiza mengembangkan senyum kakunya. Setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, akhirnya dia bisa memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Ramon meskipun hanya pura-pura.Gadis-gadis seksi itu saling berbisik, ada wajah yang tampak mengejek, ada juga yang terlihat tak percaya, dan ada yang sedang menilai Aiza dari atas ke bawah."Nggak nyangka juga ya, Ramon akhirnya punya pacar lagi. Udah lama banget, kan?" Salah satu dari mereka berbisik."Tapi kalau dilihat-lihat sih, cewek ini emang gayanya mirip banget sama Asti."Siapa Asti?Aiza bertanya dalam hati."Yuk cari minum bentar ..." Gadis-gadis itu menjauh dari Aiza. Salah seorang dari mereka yang ditinggal mendekati Aiza lalu menjukurkan tangannya ke hadapan Aiza."Namaku Rina, tapi di sini biasa orang-orang manggil aku Nana." Senyumnya yang hangat dan tampak lembut membuat Aiza berani menyambut uluran tangannya. "Boleh aku panggil kamu Ai, kan?" tan
Mata Aiza menatap nanar Ramon, bibirnya mendadak kelu, jantungnya berdebar tak beraturan dan napasnya mulai sengal. Dia usap wajahnya yang memucat. Sikap macam apa yang baru saja ditunjukkan oleh Ramon? Seolah kalimat yang terucap dari mulutnya tak mungkin sungguh-sungguh keluar dari mulutnya."Mas Ramon ..., apa maksudnya Mas Ramon bilang gitu? Aiza mau pulang! Aiza mau kembali sama Ibu! Aiza nggak mau di sini, Mas ...!" Aiza berdiri, dia pukul dada bidang Ramon, melampiaskan emosi yang berkecamuk di dada.Kedua pergelangan tangan Aiza dipegang kuat oleh Ramon. Wajah Ramon mengeras, matanya berkilat-kilat. "Terus? Habis itu kamu buka semuanya? Kamu bilang sama semua pekerjaan aku di sini?! Aku nggak akan membiarkan itu terjadi, Aiza. Aku ini bukan orang bodoh. Aku udah melewati bara api untuk sampai di titik ini. Nggak akan aku biarkan siapapun merusaknya, menghalangi jalan aku, termasuk kamu. Kalau mau selamat ..., cuma dua pilihan kamu. Tetap di sini, ikuti aturan d
Dari semalam Aiza menolak untuk makan, meski Ramon telah membelikan makanan lezat dari restoran untuknya. Sejak kepulangan mereka tadi malam kembali ke apartemen Ramon, Aiza cuma merenung seorang diri. Dia bahkan menolak keluar dari kamar, tidur pun sulit. Sampai pagi hari, kepalanya pening. Trauma akibat kejadian mengerikan semalam masih membayangi pikirannya.Perlakuan Ramon masih tak bisa juga dia singkirkan dari kepalanya. Hanya air mata yang menjadi saksi atas setiap luka yang tersisa.Dengan masih mengenakan piyama berlengan pendek, Aiza berjalan ke meja lampu. Niatnya untuk menghubungi Delima. Dia ingin bicara kepada ibunya, dia ingin menumpahkan segala kesedihan di hati atau kalau memungkinkan malah meminta bantuan.Namun anehnya, ponsel pintarnya telah berganti dengan ponsel pintar keluaran terbaru. Aiza ragu-ragu meraih ponsel yang masih tampak sangat licin itu. Matanya membulat. "Ini bukanhapeaku ...," bisiknya bicara kepada dirin
"Kamu bisa pakai kartu ini kalau ada yang mau kamu beli."Sebelum meninggalkan Aiza di sebuah hotel berbintang, Ramon menyerahkan sebuah kartu kredit kepadanya. Mata Aiza menatap kartu kredit itu dengan ekspresi skeptis. Dia ingin mengambilnya tapi hati kecilnya serasa menolak. "Nggak perlu, Mas. Aku nggak mau pakai uang haram dari Mas Ramon." Suaara Aiza terdengar begitu sinis.Kalau saja saat ini mereka tidak sedang berada di lobi hotel dikelilingi rekan-rekan Ramon, sudah pasti Ramon meninggikan suara untuk mengintimidasi Aiza. "Aku lagi nggak mood berantem, Za. Bersikap manislah." Ramon menarik tangan kiri Aiza lalu menyelipkan kartu kredit itu secara paksa di tangannya.Mau tak mau Aiza menurut. "Mas Ramon mau ke mana? Aiza mau ikut.""Nggak bisa, Za. Ada sedikit uru--"Suara Ramon terpotong saat seorang rekannya menyerahkan sebuah kunci kamar. "Ini kunci kalian. Kita berangkat bentar lagi, Mon."Ramon mengangguk. "Ayo kita liat dulu ka
Ramon menjatuhkan tubuh Aiza yang masih dalam keadaan setengah sadar di atas tempat tidur gadis cantik itu. Helaan napas panjang keluar dari mulut Ramon. "Kamu ini ..., dasar bocah ..." Ramon mengacak lembut rambut Aiza.Tanpa diketahui Aiza yang sedang tergolek lemas, Ramon menatap wajahnya dengan mata sendu, ekspresi yang nyaris mustahil dia tunjukkan di depan Aiza jika dia tengah sadar."Maaf ya, Za. Mas nggak bermaksud membuat hidup kamu jadi sesulit ini. Kamu seharusnya nggak di sini, tapi keselamatan kamu lagi terancam. Mas nggak punya pilihan lain." Ramon menyentuh lembut pipi halus Aiza dengan ujung jemari lentiknya.Ketika Ramon hendak menyelimuti tubuh Aiza, tiba-tiba mata Aiza terbuka lalu tangannya terangkat menyentuh pipi Ramon. Jantung Ramon berdebar kencang. Bagaimana tidak, wajah mabuk Aiza yang memerah dengan matanya yang sayu membuatnya terlihat begitu menggoda.Ramon cepat-cepat mau keluar meninggalkan Aiza sebelum dia hilang kendali se
Aiza terjaga dengan tubuh terasa remuk seolah baru dihantam benda berat. perlahan matanya terbuka, tak ada siapa-siapa di atas tempat tidurnya selain dirinya selain. Sembari mengucek matanya pelan, dia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi semalam.Seketika tubuhnya mematung sebentar. "Tunggu dulu! Semalam ..., semalam ..., itu bukan mimpi?" desisnya sembari menajamkan ingatannya sekali lagi.Dia ingat sekarang. Sentuhan Ramon, ciuman darinya, semua itu bukan mimpi. Mata Aiza membulat tatkala dia pun sadar akan sesuatu, yaitu rasa perih dan nyeri tepat di bagian bawah sana, di miliknya.Tepat saat itu juga Aiza menyingkap selimut, seluruh tubuhnya masih plontos. Di atas kulitnya yang mulus, ada begitu banyak tanda merah, tanda kepemilikan yang ditinggalkan oleh Ramon.Aiza merunduk, memeluk bantal dengan posisi telungkup, perasaan berkecamuk menguasai dirinya. "Apa yang udah ..., apa yang aku lakukan ..." lirihnya dibarengi setetes air mata jat
"Biar kamu nggak stres lagi, biar kamu lupain masalah kamu, malam ini kitaparty!" seru Nana memberi usulan yang mendadak.Aiza ingin sekali menolak ide Nana tersebut, lagipula mau pesta semalam suntuk sekalipun, rasa sedih dan gundah di hatinya tak mungkin lenyap begitu saja, yang dia butuhkan hanya dekapan ibunya, kehangatan desanya. Namun, Nana tak akan mengerti perkara itu."Aku mau pulang aja, Na ...""Hei, kita di Hong Kong, Ai! Biarpun kamu pulang juga kamu nggak bakal dapat apa-apa. Yang ada kamu sendirian, kesepian, malah tambah sedih, kan? Kita lupain semua masalah kita. Pokoknya kamu ikut aku aja! Jangan ragu sama aku. Oke?""Oke deh, tapi aku nggak bakal minum lagi, ya."Bujuk rayu Nana berhasil akhirnya. Tanpa ada prasangka, Aiza menurut. Malam itu dia didandani lagi oleh Nana, tapi anehnya, mereka tidak pergi ke bar seperti sebelumnya.Tempat sebelumnya jauh lebih ramai dan banyak orang, tempatnya jauh lebih terbu