Bio tak main-main dengan niatnya. Dia bertekad untuk menyulap Aiza menjadi sosok yang baru, sosok yang kira-kira paling cocok untuk mendampingi Ramon.
Rambut Aiza yang semula lurus saja, datar dan biasa, dia buat agak ikal seperti ombak, bahkan dia warnai dengan cat rambut warna coklat tanah.
Tubuh Aiza yang memang dasarnya mungil dan manis dia coba pakaikan dengan berbagai macam busana sampai terpilih beberapa set yang sekiranya paling cocok. Dibalut dengan rok mini, tanktop berwarna pastel dan sepatu bertumit tinggi, Aiza terlihat seperti gadis kota yang modern dan modis. Ditambah lagi pulasan rias yang cukup berani dengan warna-warna terang seperti ungu dan merah muda, lalu diakhiri dengan sentuhan cat kuku merah di atas kuku-kukunya. Siapapun akan gemas melihat dirinya, termasuk Ramon.
"Kamu yang dulu udik nggak akan pernah mendapatkan cinta dari Ramon. Tapi kamu yang ini ..., hm ..., dia akan bertekuk lutut di depan kamu!" Bio mencuil ujung hidung Aiza, lalu dia putar balik tubuh Aiza yang sudah berdandan penuh ikut dengan perhiasan untuk menghadap cermin besar. "Sambutlah, diri kamu yang baru ...! Aiza yang baru!" serunya penuh semangat.
Bio bertepuk tangan sendiri, dia usap ekor matanya dengan ujung jemarinya yang lentik. "Aku terharu, Sayang. Kamu terlihat ..., fabolous! Glamour!"
Aiza memandang kaget. Nyaris tak dia kenali siapa sosok yang terpantul di cermin yang ada di hadapannya. Aiza malu-malu menutup perutnya yang sedikit terlihat lantaran mengenakan croptop ketat bertali satu berwarna violet dengan rok mini kulit sepaha. Betisnya dililit oleh tali sepatu bertumit berwarna senada dengan roknya. Dia tampak seperti gadis masa kini. Ibunya dijamin pingsan bila melihat dia berdandan seperti ini!
"Kak Bio ..., ini bukan Aiza, rasanya aneh ..., gimana kalau Mas Ramon malah nggak suka?" Aiza menggigit bibir bawahnya yang berkilau lembab akibat lipgloss.
"Kamu kira Ramones bukan laki-laki normal? Kamu kira ..., dia nggak punya pengalaman?" Bio mengedipkan satu matanya. Ada makna terselubung dari pertanyaan nakal itu.
"Maksud Kak Bio ..."
"Aku kenal Ramon udah hampir lima tahun, Cintah! Aku tau siapa dia! Dan aku tau gadis seperti apa yang bisa membakar seluruh nadi-nadi di dalam tubuhnya yang hot itu! Percayalah, Sayang ..., dia memang sulit untuk ditakhlukkan. Tapi sekali kamu berhasil menunggangi dia, maka dia akan selamanya menghamba sama kamu! Dia akan buas di tempat tidur ~ cuma buat kamu!" Bio menyisir rambut Aiza yang kini setengah ikal dengan jemari gemulainya.
Aiza tercenung sesaat. Meski tak disampaikan secara terus terang, dia paham apa maksud Bio, itu artinya Mas Ramon udah pernah jatuh cinta ..., dia pernah punya pacar. Tapi siapa? Dan di mana cewek itu sekarang? Lagi-lagi hati Aiza menjadi resah tak tentu arah.
***
Lama berpikir dan menimbang berbagai risiko, Ramon akhirnya menemukan satu cara agar bisa terus menjaga Aiza. Tak ada cara lain selain membawa Aiza, dan memperkenalkannya kepada rekan-rekan kerjanya sebagai kekasihnya sendiri. Dengan meresmikan hubungan mereka di depan orang-orang terdekatnya, Aiza akan secara otomatis terlindungi, dan Levi tak mungkin berani macam-macam. Ramon yakin benar idenya itu akan berhasil.
Malam hari itu juga Ramon kembali datang menjemput Aiza, menepati janjinya, Bio pun juga mesti berangkat kerja malam ini, tak mungkin Aiza ditinggal sendiri.
Namun saat Ramon datang kembali, yang pertama dia lihat rasanya bukan Aiza melainkan sosok lain yang mirip dengan Aiza tapi penampilannya teramat berani. Mata Ramon berkedip-kedip bingung, mulutnya ragu-ragu untuk berucap sedang Aiza menunduk tersipu sambil menggaruk pelipisnya yang tak gatal.
Biolah yang jadi pencair suasana kikuk itu, "Gimana, Beb? Dia ternyata fantastika, kan ~?"
"Kamu yang punya ide ini? Sekarang bukan cuma Levi yang bakal nguber-nguber dia!" sahut Ramon agak judes.
"Sekarang kamu juga maksudnya?" goda Bio.
Ramon mendecakkan lidah sebal. "Jangan main-main. Ayo berangkat. Aiza juga ikut mulai dari sekarang."
Mata Bio dan Aiza kompak melebar, mereka beradu pandang sekilas. "Maksud kamu, Yang ..., kamu mau bawa Aiza juga?" tanya Bio mewakili rasa penasaran Aiza.
"Nggak ada cara lain kalau aku mau melindungi Aiza. Mereka semua harus tau kalau Aiza pacar aku, dengan cara itu ..., mereka juga akan menghormati Aiza, dan ikut melindungi dia. Levi juga nggak bakal berani macam-macam di depan, kan? Dia nggak punya pilihan selain menerima kekalahannya sekarang." Ramon menerangkan maksudnya.
Wajah Bio agak memucat, tadi dia berujar untuk mengajak Aiza masuk ke dalam dunia Ramon hanyalah sebagai gurauan belaka untuk menghibur Aiza. Tapi siapa sangka, Ramon justru benar-benar akan melakukannya, Aiza akan dia ceburkan ikut masuk ke dalam dunia kotor mereka.
Bio tersenyum pahit, apa mau dikata, dia bisa memahami keputusan Ramon. "Ya kamu betul ..., seperti kata Godfather, dekati temanmu tapi buatlah musuhmu jauh lebih dekat ..."
Sementara Ramon dan Bio asyik bicara, Aiza terdiam gugup. Dia memang penasaran dengan kehidupan rahasia Ramon. Dia ingin ikut masuk, tapi kini saat pintu iti tepat berada di depannya dan terbuka, mustahil apabila dia tak takut.
Tiba-tiba Ramon menyentuh pipi Aiza. "Maaf Mas harus ambil cara ini. Tapi Mas janji, kamu akan baik-baik aja."
***
Jantung Aiza berdegup ganjil seirama dengan alunan musik yang mengentak lantai dansa. Bio sudah hilang entah ke mana rimbanya, hilang di balik lampu-lampu temaram dan kegelapan klub malam.
Tangan kanan Aiza masih digenggam erat oleh Ramon yang berjalan di depannya. Sebetulnya Aiza tak nyaman dengan dandanannya serta pakaiannya yang terbuka, namun untunglah tempat ini gelap sehingga dia tak seberapa malu.
"Kamu yakin, kan?" Ramon bertanya sambil mulai menapaki anak tangga.
Aiza mengangguk pelan. Dia tak mungkin mundur sekarang.
Mata Aiza terbelalak saat mereka sampai di lantai atas, ada Levi di sana yang sedang berkumpul bersama beberapa pria dan tengah menonton seorang penari berbikini. Meja mereka dipenuhi alkohol, makanan ringan, dan entah apa lagi. Dari kegelapan, Levi memandang Aiza, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Apabila dia nekad mendekat sekarang, sama saja dia bunuh diri.
Dengan cuek Ramon menarik Aiza masuk ke sebuah ruangan dengan pintu tirai. Mereka masuk ke sebuah ruangan luas dengan cahaya redup namun tidak segelap di luar. Lagi-lagi mata Aiza terbelalak. Ruangan itu penuh dengan pria-pria berwajah seram, yang ditemani wanita-wanita cantik. Etalase dan rak memanjang dari sudut kanan ke kiri berisi botol-botol minuman keras.
Terdapat beberapa meja meja biliar, ada pula bar. Asap rokok memenuhi ruangan yang tak seberapa berisik ini, musik dari lantai bawah hanya terdengar sayup-sayup di sini.
Tangan Aiza tambah basah oleh keringat. Berat dia menelan air ludahnya sendiri. Tiba-tiba terbersit rasa sesal kenapa dia sampai harus melangkah sejauh ini. Dia bahkan tak tahu apa yang dikerjakan Ramon di tempat seperti ini. Yang pasti, bukan pekerjaan yang baik.
Ramon bicara dengan seseorang yang sedang berdiri di dekat sebuah pintu yang terdapat di ujung ruangan tersebut. Sekilas pria itu mengamati penampilan Aiza dari ujung kaki sampai ujung kepala. Senyumnya membuat tubuh Aiza bergidik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang sedang dia pikirkan saat memandangi Aiza seperti makanan lezat.
"Bos di dalam, masuk aja ..." katanya sambil membukakan pintu.
Mereka masuk lagi ke sebuah ruangan kecil kedap suara. Beberapa pria sedang duduk melingkari sebuah meja besar, dan di kepala meja itu, duduk seorang pria paruh baya berkemeja hitam dengan kalung emas tebal di lehernya. Wajahnya mengingatkan Aiza kepada Levi.
Pria-pria itu bergantian memerhatikan Aiza, lalu beralih menatap Ramon dengan senyum nakal mereka masing-masing. Hampir tak terucap kata, tapi mata mereka berbicara.
Setelah berbasa-basi, mereka meminta para wanita untuk keluar sebentar, sepertinya ada hal rahasia yang akan mereka bicarakan. Saat Aiza keluar, bersamaan detik itu juga Levi masuk ke dalam ruangan itu.
Ada ketegangan di antara mereka, tapi lagi-lagi Levi tak bisa berbuat apa-apa. Untuk saat ini dia tak bisa gegabah, satu kesalahan saja bisa membuatnya didepak dari posisinya sekarang. Ramon secara resmi telah membawa Aiza sebagai pendampingnya, sebagai miliknya, Levi tak bisa asal-asalan menyentuh atau mengusik Aiza di depan teman-teman mereka. Itu akan berbahaya untuk dirinya sendiri.
"Kamu siapanya Ramon?"
Seorang dari para gadis itu akhirnya bertanya kepada Aiza.
"Aku Aiza, pacarnya Mas Ramon." Aiza mengembangkan senyum kakunya. Setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, akhirnya dia bisa memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Ramon meskipun hanya pura-pura.Gadis-gadis seksi itu saling berbisik, ada wajah yang tampak mengejek, ada juga yang terlihat tak percaya, dan ada yang sedang menilai Aiza dari atas ke bawah."Nggak nyangka juga ya, Ramon akhirnya punya pacar lagi. Udah lama banget, kan?" Salah satu dari mereka berbisik."Tapi kalau dilihat-lihat sih, cewek ini emang gayanya mirip banget sama Asti."Siapa Asti?Aiza bertanya dalam hati."Yuk cari minum bentar ..." Gadis-gadis itu menjauh dari Aiza. Salah seorang dari mereka yang ditinggal mendekati Aiza lalu menjukurkan tangannya ke hadapan Aiza."Namaku Rina, tapi di sini biasa orang-orang manggil aku Nana." Senyumnya yang hangat dan tampak lembut membuat Aiza berani menyambut uluran tangannya. "Boleh aku panggil kamu Ai, kan?" tan
Mata Aiza menatap nanar Ramon, bibirnya mendadak kelu, jantungnya berdebar tak beraturan dan napasnya mulai sengal. Dia usap wajahnya yang memucat. Sikap macam apa yang baru saja ditunjukkan oleh Ramon? Seolah kalimat yang terucap dari mulutnya tak mungkin sungguh-sungguh keluar dari mulutnya."Mas Ramon ..., apa maksudnya Mas Ramon bilang gitu? Aiza mau pulang! Aiza mau kembali sama Ibu! Aiza nggak mau di sini, Mas ...!" Aiza berdiri, dia pukul dada bidang Ramon, melampiaskan emosi yang berkecamuk di dada.Kedua pergelangan tangan Aiza dipegang kuat oleh Ramon. Wajah Ramon mengeras, matanya berkilat-kilat. "Terus? Habis itu kamu buka semuanya? Kamu bilang sama semua pekerjaan aku di sini?! Aku nggak akan membiarkan itu terjadi, Aiza. Aku ini bukan orang bodoh. Aku udah melewati bara api untuk sampai di titik ini. Nggak akan aku biarkan siapapun merusaknya, menghalangi jalan aku, termasuk kamu. Kalau mau selamat ..., cuma dua pilihan kamu. Tetap di sini, ikuti aturan d
Dari semalam Aiza menolak untuk makan, meski Ramon telah membelikan makanan lezat dari restoran untuknya. Sejak kepulangan mereka tadi malam kembali ke apartemen Ramon, Aiza cuma merenung seorang diri. Dia bahkan menolak keluar dari kamar, tidur pun sulit. Sampai pagi hari, kepalanya pening. Trauma akibat kejadian mengerikan semalam masih membayangi pikirannya.Perlakuan Ramon masih tak bisa juga dia singkirkan dari kepalanya. Hanya air mata yang menjadi saksi atas setiap luka yang tersisa.Dengan masih mengenakan piyama berlengan pendek, Aiza berjalan ke meja lampu. Niatnya untuk menghubungi Delima. Dia ingin bicara kepada ibunya, dia ingin menumpahkan segala kesedihan di hati atau kalau memungkinkan malah meminta bantuan.Namun anehnya, ponsel pintarnya telah berganti dengan ponsel pintar keluaran terbaru. Aiza ragu-ragu meraih ponsel yang masih tampak sangat licin itu. Matanya membulat. "Ini bukanhapeaku ...," bisiknya bicara kepada dirin
"Kamu bisa pakai kartu ini kalau ada yang mau kamu beli."Sebelum meninggalkan Aiza di sebuah hotel berbintang, Ramon menyerahkan sebuah kartu kredit kepadanya. Mata Aiza menatap kartu kredit itu dengan ekspresi skeptis. Dia ingin mengambilnya tapi hati kecilnya serasa menolak. "Nggak perlu, Mas. Aku nggak mau pakai uang haram dari Mas Ramon." Suaara Aiza terdengar begitu sinis.Kalau saja saat ini mereka tidak sedang berada di lobi hotel dikelilingi rekan-rekan Ramon, sudah pasti Ramon meninggikan suara untuk mengintimidasi Aiza. "Aku lagi nggak mood berantem, Za. Bersikap manislah." Ramon menarik tangan kiri Aiza lalu menyelipkan kartu kredit itu secara paksa di tangannya.Mau tak mau Aiza menurut. "Mas Ramon mau ke mana? Aiza mau ikut.""Nggak bisa, Za. Ada sedikit uru--"Suara Ramon terpotong saat seorang rekannya menyerahkan sebuah kunci kamar. "Ini kunci kalian. Kita berangkat bentar lagi, Mon."Ramon mengangguk. "Ayo kita liat dulu ka
Ramon menjatuhkan tubuh Aiza yang masih dalam keadaan setengah sadar di atas tempat tidur gadis cantik itu. Helaan napas panjang keluar dari mulut Ramon. "Kamu ini ..., dasar bocah ..." Ramon mengacak lembut rambut Aiza.Tanpa diketahui Aiza yang sedang tergolek lemas, Ramon menatap wajahnya dengan mata sendu, ekspresi yang nyaris mustahil dia tunjukkan di depan Aiza jika dia tengah sadar."Maaf ya, Za. Mas nggak bermaksud membuat hidup kamu jadi sesulit ini. Kamu seharusnya nggak di sini, tapi keselamatan kamu lagi terancam. Mas nggak punya pilihan lain." Ramon menyentuh lembut pipi halus Aiza dengan ujung jemari lentiknya.Ketika Ramon hendak menyelimuti tubuh Aiza, tiba-tiba mata Aiza terbuka lalu tangannya terangkat menyentuh pipi Ramon. Jantung Ramon berdebar kencang. Bagaimana tidak, wajah mabuk Aiza yang memerah dengan matanya yang sayu membuatnya terlihat begitu menggoda.Ramon cepat-cepat mau keluar meninggalkan Aiza sebelum dia hilang kendali se
Aiza terjaga dengan tubuh terasa remuk seolah baru dihantam benda berat. perlahan matanya terbuka, tak ada siapa-siapa di atas tempat tidurnya selain dirinya selain. Sembari mengucek matanya pelan, dia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi semalam.Seketika tubuhnya mematung sebentar. "Tunggu dulu! Semalam ..., semalam ..., itu bukan mimpi?" desisnya sembari menajamkan ingatannya sekali lagi.Dia ingat sekarang. Sentuhan Ramon, ciuman darinya, semua itu bukan mimpi. Mata Aiza membulat tatkala dia pun sadar akan sesuatu, yaitu rasa perih dan nyeri tepat di bagian bawah sana, di miliknya.Tepat saat itu juga Aiza menyingkap selimut, seluruh tubuhnya masih plontos. Di atas kulitnya yang mulus, ada begitu banyak tanda merah, tanda kepemilikan yang ditinggalkan oleh Ramon.Aiza merunduk, memeluk bantal dengan posisi telungkup, perasaan berkecamuk menguasai dirinya. "Apa yang udah ..., apa yang aku lakukan ..." lirihnya dibarengi setetes air mata jat
"Biar kamu nggak stres lagi, biar kamu lupain masalah kamu, malam ini kitaparty!" seru Nana memberi usulan yang mendadak.Aiza ingin sekali menolak ide Nana tersebut, lagipula mau pesta semalam suntuk sekalipun, rasa sedih dan gundah di hatinya tak mungkin lenyap begitu saja, yang dia butuhkan hanya dekapan ibunya, kehangatan desanya. Namun, Nana tak akan mengerti perkara itu."Aku mau pulang aja, Na ...""Hei, kita di Hong Kong, Ai! Biarpun kamu pulang juga kamu nggak bakal dapat apa-apa. Yang ada kamu sendirian, kesepian, malah tambah sedih, kan? Kita lupain semua masalah kita. Pokoknya kamu ikut aku aja! Jangan ragu sama aku. Oke?""Oke deh, tapi aku nggak bakal minum lagi, ya."Bujuk rayu Nana berhasil akhirnya. Tanpa ada prasangka, Aiza menurut. Malam itu dia didandani lagi oleh Nana, tapi anehnya, mereka tidak pergi ke bar seperti sebelumnya.Tempat sebelumnya jauh lebih ramai dan banyak orang, tempatnya jauh lebih terbu
Cahaya matahari pagi menyapa lembut indera penglihatan Aiza. Dia perlahan terjaga. Cahaya matahari yang cukup silau itu menembus kaca jendela besar di sisi kanan yang setengahnya tertutup gorden merah tinggi. Dia mengerjap beberapa kali.Semua informasi yang ada di depan matanya cukup sulit untuk diproses sekarang juga. "Di mana aku ...?" lirih Aiza sambil mengedarkan pandangan ke sebelah kanan dan kiri.Dia tepat berada di atas tempat tidur ukurandouble king. Kamar itu didominasi warna merah tua dan emas. Sebuah lukisan besar terpampang di hadapan Aiza, di dinding yang ada di hadapannya. Sudah pasti ini rumah orang ultra kaya, yang melebihi Levi.Saat Aiza berniat untuk bangkit dari tempat tidur, dia baru sadar kalau kedua tangannya terikat dengan dipan, pun juga kakinya. "Hah?! Apa-apaan ini?!" pekiknya bingung.Sejak semalam menenggak air yang diberi Nana, tiba-tiba saja Aiza begitu mengantuk lalu dia tak ingat lagi apa yang terjadi kepa