Mata Aiza menatap nanar Ramon, bibirnya mendadak kelu, jantungnya berdebar tak beraturan dan napasnya mulai sengal. Dia usap wajahnya yang memucat. Sikap macam apa yang baru saja ditunjukkan oleh Ramon? Seolah kalimat yang terucap dari mulutnya tak mungkin sungguh-sungguh keluar dari mulutnya.
"Mas Ramon ..., apa maksudnya Mas Ramon bilang gitu? Aiza mau pulang! Aiza mau kembali sama Ibu! Aiza nggak mau di sini, Mas ...!" Aiza berdiri, dia pukul dada bidang Ramon, melampiaskan emosi yang berkecamuk di dada.
Kedua pergelangan tangan Aiza dipegang kuat oleh Ramon. Wajah Ramon mengeras, matanya berkilat-kilat. "Terus? Habis itu kamu buka semuanya? Kamu bilang sama semua pekerjaan aku di sini?! Aku nggak akan membiarkan itu terjadi, Aiza. Aku ini bukan orang bodoh. Aku udah melewati bara api untuk sampai di titik ini. Nggak akan aku biarkan siapapun merusaknya, menghalangi jalan aku, termasuk kamu. Kalau mau selamat ..., cuma dua pilihan kamu. Tetap di sini, ikuti aturan d
Dari semalam Aiza menolak untuk makan, meski Ramon telah membelikan makanan lezat dari restoran untuknya. Sejak kepulangan mereka tadi malam kembali ke apartemen Ramon, Aiza cuma merenung seorang diri. Dia bahkan menolak keluar dari kamar, tidur pun sulit. Sampai pagi hari, kepalanya pening. Trauma akibat kejadian mengerikan semalam masih membayangi pikirannya.Perlakuan Ramon masih tak bisa juga dia singkirkan dari kepalanya. Hanya air mata yang menjadi saksi atas setiap luka yang tersisa.Dengan masih mengenakan piyama berlengan pendek, Aiza berjalan ke meja lampu. Niatnya untuk menghubungi Delima. Dia ingin bicara kepada ibunya, dia ingin menumpahkan segala kesedihan di hati atau kalau memungkinkan malah meminta bantuan.Namun anehnya, ponsel pintarnya telah berganti dengan ponsel pintar keluaran terbaru. Aiza ragu-ragu meraih ponsel yang masih tampak sangat licin itu. Matanya membulat. "Ini bukanhapeaku ...," bisiknya bicara kepada dirin
"Kamu bisa pakai kartu ini kalau ada yang mau kamu beli."Sebelum meninggalkan Aiza di sebuah hotel berbintang, Ramon menyerahkan sebuah kartu kredit kepadanya. Mata Aiza menatap kartu kredit itu dengan ekspresi skeptis. Dia ingin mengambilnya tapi hati kecilnya serasa menolak. "Nggak perlu, Mas. Aku nggak mau pakai uang haram dari Mas Ramon." Suaara Aiza terdengar begitu sinis.Kalau saja saat ini mereka tidak sedang berada di lobi hotel dikelilingi rekan-rekan Ramon, sudah pasti Ramon meninggikan suara untuk mengintimidasi Aiza. "Aku lagi nggak mood berantem, Za. Bersikap manislah." Ramon menarik tangan kiri Aiza lalu menyelipkan kartu kredit itu secara paksa di tangannya.Mau tak mau Aiza menurut. "Mas Ramon mau ke mana? Aiza mau ikut.""Nggak bisa, Za. Ada sedikit uru--"Suara Ramon terpotong saat seorang rekannya menyerahkan sebuah kunci kamar. "Ini kunci kalian. Kita berangkat bentar lagi, Mon."Ramon mengangguk. "Ayo kita liat dulu ka
Ramon menjatuhkan tubuh Aiza yang masih dalam keadaan setengah sadar di atas tempat tidur gadis cantik itu. Helaan napas panjang keluar dari mulut Ramon. "Kamu ini ..., dasar bocah ..." Ramon mengacak lembut rambut Aiza.Tanpa diketahui Aiza yang sedang tergolek lemas, Ramon menatap wajahnya dengan mata sendu, ekspresi yang nyaris mustahil dia tunjukkan di depan Aiza jika dia tengah sadar."Maaf ya, Za. Mas nggak bermaksud membuat hidup kamu jadi sesulit ini. Kamu seharusnya nggak di sini, tapi keselamatan kamu lagi terancam. Mas nggak punya pilihan lain." Ramon menyentuh lembut pipi halus Aiza dengan ujung jemari lentiknya.Ketika Ramon hendak menyelimuti tubuh Aiza, tiba-tiba mata Aiza terbuka lalu tangannya terangkat menyentuh pipi Ramon. Jantung Ramon berdebar kencang. Bagaimana tidak, wajah mabuk Aiza yang memerah dengan matanya yang sayu membuatnya terlihat begitu menggoda.Ramon cepat-cepat mau keluar meninggalkan Aiza sebelum dia hilang kendali se
Aiza terjaga dengan tubuh terasa remuk seolah baru dihantam benda berat. perlahan matanya terbuka, tak ada siapa-siapa di atas tempat tidurnya selain dirinya selain. Sembari mengucek matanya pelan, dia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi semalam.Seketika tubuhnya mematung sebentar. "Tunggu dulu! Semalam ..., semalam ..., itu bukan mimpi?" desisnya sembari menajamkan ingatannya sekali lagi.Dia ingat sekarang. Sentuhan Ramon, ciuman darinya, semua itu bukan mimpi. Mata Aiza membulat tatkala dia pun sadar akan sesuatu, yaitu rasa perih dan nyeri tepat di bagian bawah sana, di miliknya.Tepat saat itu juga Aiza menyingkap selimut, seluruh tubuhnya masih plontos. Di atas kulitnya yang mulus, ada begitu banyak tanda merah, tanda kepemilikan yang ditinggalkan oleh Ramon.Aiza merunduk, memeluk bantal dengan posisi telungkup, perasaan berkecamuk menguasai dirinya. "Apa yang udah ..., apa yang aku lakukan ..." lirihnya dibarengi setetes air mata jat
"Biar kamu nggak stres lagi, biar kamu lupain masalah kamu, malam ini kitaparty!" seru Nana memberi usulan yang mendadak.Aiza ingin sekali menolak ide Nana tersebut, lagipula mau pesta semalam suntuk sekalipun, rasa sedih dan gundah di hatinya tak mungkin lenyap begitu saja, yang dia butuhkan hanya dekapan ibunya, kehangatan desanya. Namun, Nana tak akan mengerti perkara itu."Aku mau pulang aja, Na ...""Hei, kita di Hong Kong, Ai! Biarpun kamu pulang juga kamu nggak bakal dapat apa-apa. Yang ada kamu sendirian, kesepian, malah tambah sedih, kan? Kita lupain semua masalah kita. Pokoknya kamu ikut aku aja! Jangan ragu sama aku. Oke?""Oke deh, tapi aku nggak bakal minum lagi, ya."Bujuk rayu Nana berhasil akhirnya. Tanpa ada prasangka, Aiza menurut. Malam itu dia didandani lagi oleh Nana, tapi anehnya, mereka tidak pergi ke bar seperti sebelumnya.Tempat sebelumnya jauh lebih ramai dan banyak orang, tempatnya jauh lebih terbu
Cahaya matahari pagi menyapa lembut indera penglihatan Aiza. Dia perlahan terjaga. Cahaya matahari yang cukup silau itu menembus kaca jendela besar di sisi kanan yang setengahnya tertutup gorden merah tinggi. Dia mengerjap beberapa kali.Semua informasi yang ada di depan matanya cukup sulit untuk diproses sekarang juga. "Di mana aku ...?" lirih Aiza sambil mengedarkan pandangan ke sebelah kanan dan kiri.Dia tepat berada di atas tempat tidur ukurandouble king. Kamar itu didominasi warna merah tua dan emas. Sebuah lukisan besar terpampang di hadapan Aiza, di dinding yang ada di hadapannya. Sudah pasti ini rumah orang ultra kaya, yang melebihi Levi.Saat Aiza berniat untuk bangkit dari tempat tidur, dia baru sadar kalau kedua tangannya terikat dengan dipan, pun juga kakinya. "Hah?! Apa-apaan ini?!" pekiknya bingung.Sejak semalam menenggak air yang diberi Nana, tiba-tiba saja Aiza begitu mengantuk lalu dia tak ingat lagi apa yang terjadi kepa
"Malam ini acara ulang tahun Tuan Jamal, Nona harus bersiap-siap." Pelayan kembali menemui Aiza.Kini tangan dan kaki Aiza sudah dilepaskan, tapi pintu kamarnya masih dikunci apabila dia sendirian, dia masih belum diperbolehkan keluar sendirian."Nggak mau!" tolaknya kukuh. Makanan yang disajikan pun tak dia sentuh. "Biar aja saya mati, saya nggak punya alasan untuk hidup lagi," lanjutnya."Jangan sampai Tuan Jamal yang datang sendiri ke sini, Non."Ya udah biar aja! Biar sekalian saya liat mukanya yang menjijikkan itu! Biar bisa saya sumpahi!" rutuk Aiza.Pelayan itu mengembuskan napas pasrah, lantas keluar dari kamar. Tak berapa lama, saat Aiza sedang memandang keluar jendela dan berpikir apakah dia harus melompat keluar untuk bunuh diri, seseorang masuk.Pria tinggi itu menguarkan aroma kuat yang wangi dari sekujur tubuhnya, aroma minyak cendana. "Kamu tidak makan?" tanyanya dengan dialek yang cukup asing di telinga Aiza."Apa mau
Levi terus memandangi Aiza sembari mencari waktu yang tepat untuk bicara berdua dengannya. Kesempatan itu hampir tak dia dapatkan sebab Jamal kerap memperkenalkan Aiza kepada tamu-tamunya, dia nyaris tak pernah duduk sendirian.Sampai tiba Aiza pamit sebentar untuk hendak ke toilet, Levi langsung diam-diam ikut menyusulnya. Dia biarkan dulu Aiza menyelesaikan urusannya di dalam toilet. Setelah dia keluar, barulah Levi langsung menariknya tanpa basa-basi."Bang Levi?! Mau ngapain?!" seru Aiza panik, dia tak menduga Levi akan berbuat nekad begini di rumah Jamal."Diam aja. Kamu mau selamat, kan? Kamu nggak mungkin di sini karena keinginan kamu, kan?" Levi terus menarik Aiza sambil terus memperhatikan sekelilingnya, jangan sampai dia lengah. Syukurnya memang tak ada siapa-siapa di sana.Aiza tak protes lagi, dia ikut saja sampai Levi membawanya ke halaman belakang yang lebih gelap. Levi langsung merapatkan punggung Aiza dengan dinding rumah, sesekali matanya