"Malam ini acara ulang tahun Tuan Jamal, Nona harus bersiap-siap." Pelayan kembali menemui Aiza.
Kini tangan dan kaki Aiza sudah dilepaskan, tapi pintu kamarnya masih dikunci apabila dia sendirian, dia masih belum diperbolehkan keluar sendirian.
"Nggak mau!" tolaknya kukuh. Makanan yang disajikan pun tak dia sentuh. "Biar aja saya mati, saya nggak punya alasan untuk hidup lagi," lanjutnya.
"Jangan sampai Tuan Jamal yang datang sendiri ke sini, Non.
"Ya udah biar aja! Biar sekalian saya liat mukanya yang menjijikkan itu! Biar bisa saya sumpahi!" rutuk Aiza.
Pelayan itu mengembuskan napas pasrah, lantas keluar dari kamar. Tak berapa lama, saat Aiza sedang memandang keluar jendela dan berpikir apakah dia harus melompat keluar untuk bunuh diri, seseorang masuk.
Pria tinggi itu menguarkan aroma kuat yang wangi dari sekujur tubuhnya, aroma minyak cendana. "Kamu tidak makan?" tanyanya dengan dialek yang cukup asing di telinga Aiza.
"Apa mau
Levi terus memandangi Aiza sembari mencari waktu yang tepat untuk bicara berdua dengannya. Kesempatan itu hampir tak dia dapatkan sebab Jamal kerap memperkenalkan Aiza kepada tamu-tamunya, dia nyaris tak pernah duduk sendirian.Sampai tiba Aiza pamit sebentar untuk hendak ke toilet, Levi langsung diam-diam ikut menyusulnya. Dia biarkan dulu Aiza menyelesaikan urusannya di dalam toilet. Setelah dia keluar, barulah Levi langsung menariknya tanpa basa-basi."Bang Levi?! Mau ngapain?!" seru Aiza panik, dia tak menduga Levi akan berbuat nekad begini di rumah Jamal."Diam aja. Kamu mau selamat, kan? Kamu nggak mungkin di sini karena keinginan kamu, kan?" Levi terus menarik Aiza sambil terus memperhatikan sekelilingnya, jangan sampai dia lengah. Syukurnya memang tak ada siapa-siapa di sana.Aiza tak protes lagi, dia ikut saja sampai Levi membawanya ke halaman belakang yang lebih gelap. Levi langsung merapatkan punggung Aiza dengan dinding rumah, sesekali matanya
Dan yang membuat Aiza lebih tak bisa tenang ialah Levi mendapat kamar tamu yang tepat berada di depan kamarnya. Sedang Jamal tidur di kamarnya sendiri di lantai paling atas."Kalau butuh apa-apa, panggil pelayan aja ya, anggap rumah sendiri." Jamal berpesan.Setelah Jamal kembali ke kamarnya, Aiza pun langsung menutup pintu kamarnya. Lantaran sikap Aiza pun sudah melunak, Jamal tak lagi mengunci pintu kamarnya, Aiza bebas mau keluar kapan saja.Namun justru sekarang Aiza yang tak tenang bila kamarnya tak dikunci, sementara kunci tak ada di tangannya. Aiza beberapa kali mencoba tidur tapi ketakutan dan firasat buruk menguasai kepalanya."Lebih baik aku minta kunci kamar aja," desisnya sambil bangkit dari tempat tidurnya.Setengah mengendap-endap, Aiza berjalan melewati lorong rumah yang gelap menuju dapur tempat kamar para pelayan berada. Aiza tahu kunci kamar dipegang oleh para pelayan.Rumah mewah nan luas itu terlihat begitu sunyi, gelap,
Ramon baru saja bangun saat salah satu ajudannya datang ke apartemennya dengan tergesa-gesa, dia bahkan belum sempat mandi."Ini penting, Pak. Saya harus kasih tau sekarang.""Hm. Apa?" Sambil menyeduh kopi, Ramon bertanya setengah tak bersemangat, kesadarannya belum sepenuhnya kembali karena masih tersisa sedikit efek mabuk semalam. Belakangan memang dia terlalu sering banyak minum."Perempuan yang akan dinikahi Tuan Jamal memang Aiza."Seketika tangan Ramon yang memegang teko listrik goyah, dia batal menuang lagi air panas ke dalam gelasnya. Matanya tak berkedip sekian detik. "Kalian yakin? Ada yang udah cek ke sana?"Sang ajudan mendekat, menyerahkan beberapa lembar foto. Foto yang diambil dari jarak jauh itu menunjukkan halaman rumah Jamal dengan seorang gadis sedang memandang keluar jendela. Wajahnya tak seberapa jelas, tapi fitur wajahnya memang bisa dipastikan sangat mirip dengan Aiza."Ini Aiza!" pekik Ramon langsung kembali sadar da
Suasana berubah heboh di kediaman orang tua Jamal. Sedan yang membawa Aiza belum juga tiba meski sudah menunggu selama hampir dua jam. Jamal langsung memerintah beberapa anak buahnya untuk kembali ke rumah dan menjemput Aiza.Jamal makin tak tenang waktu tahu sedan itu sudah berangkat sejak tadi tapi hilang di jalan."Segera lacak! Sesuatu pasti terjadi!" Jamal memberi arahan dengan bahasa asing kepada para bawahannya, mereka dengan sigap berangkat untuk melaksanakan perintah.Firasat Jamal berkata ada yang tak beres, dan orang yang paling bisa dia curigai adalah Levi. Dari awal gerak-gerik Levi tiap di dekat Aiza memang cukup tak biasa, tapi dia tak menaruh rasa curiga waktu itu. Tapi sekarang, bila memang ini ulah Levi, dia tak akan gentar sedikitpun. Dia telah berjanji akan memulangkan Aiza dengan selamat.***Ramon tak mau buang waktu. Baru saja menginjakkan kaki di Dubai, dia berniat untuk segera berangkat ke rumah Jamal untuk langsung menjemp
Dalam perjalanan menuju hotel, Ramon menyempatkan diri sebentar untuk tidur siang di kursi mobil belakang. Tubuh dan pikirannya terlalu lelah. Tidur sepuluh menit barangkali cukup untuk memulihkan tenaganya.Lantaran terlalu lelah, baru saja matanya terpejam, dia segera masuk ke dalam alam mimpinya. Di dalam mimpi singkatnya, Ramon melihat seorang gadis mungil berdiri di ujung sebuah taman berbunga yang luas. Gadis bergaun putih itu memunggunginya. Ketika Ramon mendekat, gadis asing itu berbalik badan.Seketika Ramon langsung terjatuh tatkala dia kenali wajah itu. Mata murungnya yang hampa menatap Ramon lekat-lekat."As ... Asti ..."Ramon ketakutan luar biasa, gadis itu menjulurkan tangannya hendak meraih leher Ramon ...***"Asti!!!"Ramon terjaga dari mimpi singkatnya yang mengerikan. Sekujur tubuhnya terasa basah oleh keringat. Wajahnya pucat pasi, tenggorokannya terasa begitu kering.Mimpi buruk itu datang lagi, p
Cahaya silau mendadak menyerang mata Aiza saat koper dibuka. Dia yang tadinya sempat tertidur langsung membuka kedua matanya. Levi berjongkok di depan koper dengan seringai di wajahnya."Kamu harus keluar sekarang, Sayang. Udah waktunya makan. Aku juga nggak mau ngeliat kamu mati kelaparan."Dengan agak kasar dan tidak hati-hati, Levi menarik Aiza keluar. Tangan dan kaki Aiza masih dalam keadaan terikat sedang mulutnya masih tertutup lakban. Levi mendudukkan Aiza di sebuah kursi kayu, lalu mengikatnya dengan kaki kursi.Aiza memandang ke sisi kanan dan kiri, dia tak tahu sama sekali dia kini berada di mana, tapi tampaknya sebuah gudang kosong yang tua dan tak berpenghuni.Lakban di mulut Aiza akhirnya dilepas. "Di mana ini?! Kapan kamu bakal berhenti?!" teriak Aiza langsung merongrong."Jangan bikin emosiku meledak, aku udah cukup berbaik hati mau ngasih kamu makan dan minum. Cepat! Makan ini!" Levi mendekatkan sebuah burger ke bibir Aiza."
Aiza masih enggan untuk bicara meski dia telah kembali dengan selamat di Jakarta. Rasa curiga dan kecewa terhadap Ramon masih tak bisa dia singkirkan. Ada juga sedikit ketakutan dirinya akan berakhir bernasib malang seperti gadis bernama Asti yang bahkan tak dia kenali. Seharian kerjanya hanya memandangi ke luar jendela dengan matanya yang kosong. Makan pun menolak.Dengan sengaja Ramon mengundang Bio untuk datang agar bisa menghibur Aiza, tapi Aiza bahkan menolak bicara dengan Bio."Dia kenapa begitu? Mukanya murung banget, Say ~" Bio berbisik dengan Ramon di luar kamar Aiza. "Aku kan nggak salah apa-apa, kenapa dia juga nggak mau ngomong ama aku, ya?" tanyanya sedih.Ramon pun bingung. "Apa menurut kamu aku perlu sewa psikolog untuk membantu dia?""Jangan dululah. Kayaknya itu berat banget, Cintah. Coba kamu pikir ..., ada seseorang yang pingin dia ajak ngomong nggak kira-kira?"Ramon merenung sesaat. Seseorang langsung muncul dalam benaknya, ibu
Sejak tahu bahwa Nana adalah orang yang telah tega menjual Aiza, rasa bersalah di hati Aiza tak kunjung berkurang terhadap Ramon. Dia ingin meminta maaf sudah curiga tapi rasa gengsinya terlalu besar. Bahkan sejak dia diselamatkan pun, dia belum sekalipun mengucap terima kasih. Setidaknya dia ingin berterima kasih kepada Ramon, tapi bingung harus bagaimana caranya.Seminggu terakhir Aiza masih menyimpan keinginan untuk mengucap terima kasih, maka dia pilih tanggal 31 desember sebagai waktu yang paling tepat. Kebetulan minggu ini sudah akhir tahun. Aiza mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tahun baru.Aiza berencana untuk memasak bahkan membuat kue tahun baru. Hal seperti ini memang asing baginya, tapi demi mengucap permintaan maaf sekaligus terima kasih, dia akan menepikan dulu perasaan canggung yang ada."Mas Ramon malam ini nggak ada acara lain, kan?" tanya Aiza sebelum Ramon menyentuh daun pintu saat dia hendak berangkat kerja."Nggak ada
Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo
Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang
"Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi
"Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n
Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu
"Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke
Lebih dari sepuluh menit Aiza terbengong memandang tanaman di balkon apartemen. Bio datang mendekat dengan segelas air jahe panas di tangan."Minum dulu, Cintah. Kamu udah dari tadi bengong, hati-hati kesambet," selorohnya mencoba menghibur sedikit kegundahan Aiza."Nggak. Makasih. Aku nggak pingin," tolak Aiza."Ingat loh, kamu masih menyusui, kamu nggak boleh stres." Bio duduk di sampingnya."Gimana aku nggak stres, Bang? Suami aku secepatnya disidang dan aku nggak tau nanti hasilnya kayak apa. Kalau tuntutannya hukum mati gimana?!" Air mata Aiza langsung menumpuk lagi."Jangan berpikir sampai sejauh itu, nggak baik. Hati-hati loh, Sayang. Omongan jadi doa," hibur Bio masih bersikap tenang. "Lihat aja bayi kamu, ada tanggung jawab yang lebih penting buat kamu pikirin, kan ~"Setengah hati, Aiza mengangguk mengiyakan. Betul kata Bio, disamping dia harus memikirkan Ramon, dia juga harus memikirkab nasib puteri kecilnya, Aini. Bayi mungil itu
Seperti yang diinginkan Ramon dan kuasa hukum mereka, Aiza akhirnya memberi tahu kronologi kejadian sejujur-jujur dan seterang-terangnya. Tak lama berselang, Aiza diizinkan untuk pergi, dia dinyatakan tak bersalah.Namun, Aiza tak bisa semudah itu saja meninggalkan tempat itu, mengingat Ramon masih belum jelas bagaimana nasibnya."Bu ... tunggu dulu, gimana dengan suami saya? Apa yang akan terjadi sama dia?" tanya Aiza kepada pihak berwajib yang membawanya menuju pintu keluar."Itu bukan hak Ibu untuk tahu. Harusnya Ibu bersyukur karena Ibu sudah bisa menghirup udara bebas kembali. Kejadian malam itu terbukti adalah upaya membela diri. Jadi apa lagi yang Ibu tunggu? Ibu mau bermalam di sini?" Polisi wanita yang menarik tangannya tampak mulai kehilangan kesabaran.Aiza terdiam, benar juga, pikirnya. Dia seharusnya merasa beruntung, dia bisa lolos dengan mudah, dapat bertemu kembali dengan Aini. Bagaimanapun juga, Aini yang paling membutuhkan dirinya saat i
Berkali-kali Aiza menciumi Aini dengan mata yang sudah basah, dia tak bisa meninggalkan bayinya begitu saja tapi tak ada pilihan lain. Ramon berkata ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka jika Aiza mau hukumannya diperingan.Sementara Ramon, selain menyiapkan kuasa hukum terbaik, Ramon juga tak lupa meminta saran kepada Leo, kepada siapa lagi dia bisa mengadu di situasi kacau seperti ini?"Kamu yakin Mon, mau membiarkan Aiza menjalani pengadilan gitu aja? Ingat, kamu itu siapa. Bisa jadi ini umpan supaya kamu keluar." Leo berbicara dengan Ramon di luar kamar Aiza."Kamu punya ide yang lebih bagus? Aku nggak mau nama Aiza kotor, Yo. Ini harus diakhiri, sekali untuk selamanya. Aku juga udah capek, setelah Aiza selesai dengan urusan ini, aku udah bulat mau berhenti."Mata Leo terbelalak. "Ha? Mon, nggak ... nggak bisa, Mon.""Yo, berhenti. Hidupku bukan keputusan kamu. Ada anak kami yang harus kami besarkan. Aku udah pilih, Solo, kami akan sela