Dalam perjalanan menuju hotel, Ramon menyempatkan diri sebentar untuk tidur siang di kursi mobil belakang. Tubuh dan pikirannya terlalu lelah. Tidur sepuluh menit barangkali cukup untuk memulihkan tenaganya.
Lantaran terlalu lelah, baru saja matanya terpejam, dia segera masuk ke dalam alam mimpinya. Di dalam mimpi singkatnya, Ramon melihat seorang gadis mungil berdiri di ujung sebuah taman berbunga yang luas. Gadis bergaun putih itu memunggunginya. Ketika Ramon mendekat, gadis asing itu berbalik badan.
Seketika Ramon langsung terjatuh tatkala dia kenali wajah itu. Mata murungnya yang hampa menatap Ramon lekat-lekat.
"As ... Asti ..."
Ramon ketakutan luar biasa, gadis itu menjulurkan tangannya hendak meraih leher Ramon ...
***
"Asti!!!"
Ramon terjaga dari mimpi singkatnya yang mengerikan. Sekujur tubuhnya terasa basah oleh keringat. Wajahnya pucat pasi, tenggorokannya terasa begitu kering.
Mimpi buruk itu datang lagi, p
Cahaya silau mendadak menyerang mata Aiza saat koper dibuka. Dia yang tadinya sempat tertidur langsung membuka kedua matanya. Levi berjongkok di depan koper dengan seringai di wajahnya."Kamu harus keluar sekarang, Sayang. Udah waktunya makan. Aku juga nggak mau ngeliat kamu mati kelaparan."Dengan agak kasar dan tidak hati-hati, Levi menarik Aiza keluar. Tangan dan kaki Aiza masih dalam keadaan terikat sedang mulutnya masih tertutup lakban. Levi mendudukkan Aiza di sebuah kursi kayu, lalu mengikatnya dengan kaki kursi.Aiza memandang ke sisi kanan dan kiri, dia tak tahu sama sekali dia kini berada di mana, tapi tampaknya sebuah gudang kosong yang tua dan tak berpenghuni.Lakban di mulut Aiza akhirnya dilepas. "Di mana ini?! Kapan kamu bakal berhenti?!" teriak Aiza langsung merongrong."Jangan bikin emosiku meledak, aku udah cukup berbaik hati mau ngasih kamu makan dan minum. Cepat! Makan ini!" Levi mendekatkan sebuah burger ke bibir Aiza."
Aiza masih enggan untuk bicara meski dia telah kembali dengan selamat di Jakarta. Rasa curiga dan kecewa terhadap Ramon masih tak bisa dia singkirkan. Ada juga sedikit ketakutan dirinya akan berakhir bernasib malang seperti gadis bernama Asti yang bahkan tak dia kenali. Seharian kerjanya hanya memandangi ke luar jendela dengan matanya yang kosong. Makan pun menolak.Dengan sengaja Ramon mengundang Bio untuk datang agar bisa menghibur Aiza, tapi Aiza bahkan menolak bicara dengan Bio."Dia kenapa begitu? Mukanya murung banget, Say ~" Bio berbisik dengan Ramon di luar kamar Aiza. "Aku kan nggak salah apa-apa, kenapa dia juga nggak mau ngomong ama aku, ya?" tanyanya sedih.Ramon pun bingung. "Apa menurut kamu aku perlu sewa psikolog untuk membantu dia?""Jangan dululah. Kayaknya itu berat banget, Cintah. Coba kamu pikir ..., ada seseorang yang pingin dia ajak ngomong nggak kira-kira?"Ramon merenung sesaat. Seseorang langsung muncul dalam benaknya, ibu
Sejak tahu bahwa Nana adalah orang yang telah tega menjual Aiza, rasa bersalah di hati Aiza tak kunjung berkurang terhadap Ramon. Dia ingin meminta maaf sudah curiga tapi rasa gengsinya terlalu besar. Bahkan sejak dia diselamatkan pun, dia belum sekalipun mengucap terima kasih. Setidaknya dia ingin berterima kasih kepada Ramon, tapi bingung harus bagaimana caranya.Seminggu terakhir Aiza masih menyimpan keinginan untuk mengucap terima kasih, maka dia pilih tanggal 31 desember sebagai waktu yang paling tepat. Kebetulan minggu ini sudah akhir tahun. Aiza mulai mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut tahun baru.Aiza berencana untuk memasak bahkan membuat kue tahun baru. Hal seperti ini memang asing baginya, tapi demi mengucap permintaan maaf sekaligus terima kasih, dia akan menepikan dulu perasaan canggung yang ada."Mas Ramon malam ini nggak ada acara lain, kan?" tanya Aiza sebelum Ramon menyentuh daun pintu saat dia hendak berangkat kerja."Nggak ada
"Mas Ramon mau ngapain ..." Aiza mendorong pelan Ramon. Sekujur tubuhnya bergetar, pipinya bersemu merah, sudah lama sejak terakhir kali bibir mereka bertemu seperti ini.Mata Ramon menajam. "Kenapa? Bukannya ini yang kamu mau?" Ramon mencengkeram kuat kedua lengan atas Aiza. Sorot matanya setajam taring yang siap mengoyak-ngoyak pertahanan Aiza saat ini."Jangan ngaco, Mas. Apa maksud Mas Ramon bilang begitu? Emangnya Mas kira aku ini apa?" Aiza tersinggung dengan ucapan Ramon."Maksud aku ..., kamu cemburu. Bukannya memang itu yang kamu mau? Mau sampai kita juga diam-diaman? Hm?" Ramon menyentuh ujung rambut Aiza yang mencuat dari ikatan rambutnya.Aiza membuang muka. "Siapa bilang aku cemburu? Aku nggak cemburu! Jangan ge-er! Justru aku mau keluar dari sini. Buat apa juga aku cemburu? Konyol." Aiza tampak berusaha keras menyangkal isi hatinya sendiri.Senyum puas tersungging di ujung bibir Ramon. Dia tahu benar isi hati Aiza. "Kamu tau, Za ...,
"Kamu bawa aku ke mana?" Nana bertanya dengan nada skeptis."Ke tempat orang yang kita cari." Levi tersenyum sinis masih bersikap penuh rahasia.Mereka berdua memasuki sebuah kawasan kumuh yang mirip rumah bordil tempat Nana sempat ditahan. Levi bicara sebentar dengan seorang perempuan bertubuh gempal yang menyambut mereka. "Mau bertemu sekarang? Orangnya adaa di dalam." Perempuan gemuk itu fasih berbahasa Indonesia.Kening Nana berkerut halus, dia sama sekali tak mengerti ke mana Levi membawanya, dan rencana apa yang ada di dalam kepala pria itu.Mereka memasuki sebuah kamar yang tampak suram, lembab. Seorang gadis sedang duduk meringkuk di ujung tempat tidur yang terlihat lusuh dan kotor. ketika gadis itu menengadah, Nana terkejut hebat."Asti ...?" Nana nyaris tak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang.Gadis itu menatap Levi dan Nana secara bergantian dengan muka bingung. "Kalian siapa?" tanyanya polos.Nana menoleh kepada Lev
Seluruh rasa rindu tiba-tiba saja menyesaki dada Ramon saat dia sudah berada di dalam kereta tujuan kampung halamannya. Jaket dan topi hitam yang dia kenakan membuat dirinya tampak cukup mencolok dibanding Aiza yang tampil manis dengan busana kasual.Ramon menarik napas panjang sambil melempar pandangan ke luar jendela kereta. "Mas Ramon gugup, ya?" selidik Aiza, "wajar aja sih, udah lima tahun lebih nggak pulang. Pasti canggung, takut juga kan nanti di sana ditanya-tanyain sama orang kampung," tambahnya.Ramon tersenyum kecut, tidak mengelak dari dugaan Aiza yang benar adanya. "Mas takut nggak jago berbohong." Matanya jelas menyiratkan kegundahan dan kecemasan."Jadi ..., nanti kalau mereka tanya apa kerja Mas Ramon, jawabnya apa? Aiza juga harus jawab apa?" tanya Aiza yang duduk di hadapan Ramon.Satu tarikan napas panjang kembali meluncur dari mulut Ramon. Soal itu pun belum dia pikirkan. "Menurut kamu bagusnya apa? Ya ..., bilang aja Mas main saham."
Berbagai menu telah tersaji di atas meja makan. Sepupu jauh Aiza yang ternyata bernama Ryo ikut menyantap makan malam dengan tenang. Namun, mata Ramon tak lepas memandanginya, seakan ada sesuatu yang bisa dia baca dari kehadiran pria muda itu. Dia mencium adanya keanehan."Jadi, apa sebetulnya kerja kamu di Jakarta, Mon? Kenapa susah banget kamu buat pulang, Nak?" tanya Bu Marni di tengah santap malam mereka yang sudah setengah jalan.Ramon sekilas melirik Aiza yang duduk di hadapannya. "Biasalah, Bu. Ramon main sedikit saham. Juga ..., ada kerjaan di hotel. Ibu tenang aja, aku kerjanya bagus, kok." Senyum Ramon mengembang lebar."Ibu lega mendengarnya, tapi tetap aja ..., sikap kamu yang tiba-tiba nggak mau pulang, dan kayak ada rahasia bikin hati Ibu nggak tenang. Terus gimana dengan Aiza? Apa yang Aiza kerjakan di Jakarta? Kenapa nggak ikut pulang sama Delima kemarin?" selidik Bu Marni lagi.Aiza membuka mulutnya tapi Ramon kemudian menyambar, "Ikut ke
Bulan purnama bersinar terang di atas langit biru gelap. Ramon menyalakan sebatang rokok sambil duduk melamun di teras samping rumah. Hanya ada suara jangkrik dan serangga kebun yang menemani. Ibu dan adik-adiknya sudah terlelap sejak beberapa jam lalu. Aiza yang sudah kembali ke rumah orang tuanya pun pasti sudah larut dalam mimpi.Angin tengah malam berembus tapi Ramon tetap bergeming. Sesuatu sedang mengusik pikirannya. Apa lagi kalau bukan perkara menikahi Aiza. Sekarang dia mesti menyusun rencana sebelum semua terlambat.Tepat pada saat lamunannya kian jauh, ponsel pintarnya berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Leo. Ramon mengangkat tanpa pikir panjang."Di mana sekarang?"tanya Leo tanpa basa-basi,"kita butuh bantuan kamu. Ada sedikit masalah."Ramon menghela napas suntuk. "Kayaknya aku nggak bisa bantu sekarang.""Ramon! Ini bukan main-main, kamu tau ..., ini nilainya hampir satu miliar. Jangan bercanda kamu