Tanpa ada rasa curiga, Aiza ikut bersama Sarah ke sebuah mal. Awalnya baik-baik saja, Sarah membawa Aiza masuk ke satu butik ke butik lainnya. Dia belikan Aiza beberapa potong pakaian dengan menggesek kartu kredit yang dipinjamkan Ramon. Sepatu, sandal, baju tidur, semua dilengkapi tanpa ada yang terlewat.
Sebelum pergi makan siang, Sarah bahkan mengajak Aiza ke salon. Mereka perawatan wajah dan kuku bersama. Aiza sempat menolak tawaran Sarah karena tak terbiasa, tapi lantaran Sarah memaksa, maka dia ikut saja.
Namun, ada yang berbeda saat hendak pulang. Tiba-tiba Sarah meminta sopir taksi yang membawa mereka untuk berhenti di dalam sebuah gang asing yang sepi. Sarah mengajak Aiza untuk turun, katanya ada suatu tempat yang sedang dia cari. Aiza masih belum merasa curiga sampai Sarah mendadak berujar, "Za, kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya."
"Loh, Mbak Sarah mau ke mana?!" Aiza celingak celinguk mulai panik, sekelilingnya sepi, dari ujung gang sebelah kanan sampai ujung kiri, isinya hanya sederet ruko tua yang kosong. "Mbak ..., di mana ini?" Suara Aiza bergetar.
"Kamu jangan takut, percaya sama Mbak. Mbak cuma mau ketemu teman sebentar, kok." Sarah buru-buru masuk kembali ke dalam taksi.
Tangan Aiza berusaha ikut masuk. "Mbak! Tolong jangan tinggalin Aiza! Ini di mana Mbak?! Mbak janji bakal jaga Aiza!"
"Pak! Jalan, Pak!" Sarah memberi perintah.
Sopir menancap gas kembali, meninggalkan Aiza yang sendirian dalam kepanikan. Tanpa mau buang waktu, Aiza berusaha mempercepat langkahnya menuju area yang lebih ramai sambil membuka ponsel pintarnya untuk menghubungi Ramon.
Untung Ramon sigap mengangkat telepon. "Mas Ramon, Aiza ditinggal ... Aiza nggak tau Aiza di mana ..., Mas Ramon tolong Aiza ..." tangis Aiza tanpa sempat berbasa-basi.
"Kamu tunggu di sana Aiza! Mas akan lacak posisi hape kamu!" Ramon setengah berteriak, menunjukkan keseriusannya.
Belum sempat mulut Aiza terbuka lagi, tiba-tiba sebuah mobil mini van berhenti nyaris menyerempet Aiza. Dua orang pria bertopeng keluar dari mobil tersebut dan langsung menarik Aiza masuk. Mulut Aiza dibekap, dia tak sempat melawan, dia tak lama kemudian kehilangan kesadaran.
***
Ketika Aiza terjaga, hal pertama yang dia sadari adalah kepalanya begitu berat dengan pandangan mata mengabur. Butuh sekian detik baginya untuk sadar bahwa kini dia berada di sebuah rumah besar dengan lampu chandelier yang begitu mewah di atas kepalanya.
Perlahan makin sadar, Aiza terkejut mendapati dirinya kini dibalut sebuah gaun malam berwarna merah, dengan belahan dada super rendah yang mempertontonkan buah dadanya yang mulus sintal. Dan saat ini dia tengah duduk di depan meja makan yang panjangnya lebih dari dua meter, lengkap dengan berbagai menu makanan lezat dan anggur merah di dalam gelas anggur. Aiza terperangah.
Apa maksud ini semua? Di mana aku? Siapa yang ganti bajuku?! Aiza panik dalam hatinya.
"Kamu suka kejutan yang aku kasih?"
Aiza terlompat sedikit saat suara mengerikan itu menyapa telinganya dari belakang. Dada Aiza mulai naik turun. Rupanya ini semua ulah Levi, Aiza mengutuk. Dia rasakan setiap tubuhnya, mencari apakah ada sedikit perasaan berbeda. Syukurnya tak ada, itu berarti Levi belum menyentuh Aiza. Belum.
"Kenapa ..., kenapa saya ada di sini? Di ... Di mana saya?" Aiza bertanya dengan bibir bergetar.
Pinggang Levi bersandar pada meja, lalu kedua tangannya dilipat di depan dadanya. "Kenapa harus kaget? Kamu berada di tempat yang tepat, di istana kita. Aku sebagai Raja, kamu sebagai Ratu." Levi menjawab penuh percaya diri.
Orang ini gila, dia nggak waras! Batin Aiza tambah ngeri. "Bang Levi ..., saya mohon ..., saya mau kembali ke tempat Mas Ramon ..." Aiza tak punya pilihan selain memohon.
Wajah Levi mengeras. Mulai marah. "Kenapa kamu harus kembali sama pecundang itu? Aku menawarkan segalanya untuk kamu. Kamu harusnya merasa bangga, kamu beruntung sudah terpilih. Ini bukan kesempatan kecil. Ini keistimewaan! Perlu kamu tau, aku akan kasih apapun yang kamu mau. Aku menawarkan sesuatu, kamu akan kujadikan permaisuri. Kamu akan aku nikahi. Dapat rumah, dapat mobil, dapat uang, harta, emas, berlian, jalan-jalan ke luar negeri! Semua! Semua akan aku kasih!" Kedua tangan Levi membentang. "Aku bukan orang jahat, Sayang. Aku ini baik. Makanya aku ngasih penawaran cuma-cuma buat kamu. Kamu pilih aku, kamu dapat semua ini. Aku akan nikahi kamu secara sah. Gimana? Kamu berminat? Kamu bahkan belum aku sentuh. Kamu liat kan seberapa baiknya aku? Aku bisa aja langsung memperkosa kamu, tapi nggak aku lakukan, karena aku orang baik ..., aku datang dengan niat baik."
Ucapan Levi itu bahkan lebih mengerikan dari semua kompilasi film horor yang pernah ditonton Aiza. Pria di hadapannya ini murni sakit jiwa, dia tak sadar bahwa yang dia lakukan ini sakit! Ini salah! Tapi Aiza pun sadar betul, menghadapi orang sakit jiwa seperti ini, tak akan mempan dengan cara kasar atau berontak, bisa-bisa dia melakukan perbuatan gila yang lebih nekad.
"Ta ..., tapi Bang Levi ..., maaf ..., Aiza udah punya pacar, Mas Ramon." Aiza berbohong sesuai perintah Ramon.
Mata Levi langsung nyalang. Dia tahu Aiza berbohong sama seperti Ramon. "Oya? Kamu pacarnya? Dia pernah menyentuh kamu? Hm?" senyumnya mengintimidasi.
Aiza mengangguk samar.
"Kalau begitu mari kita buktikan, kita buktikan apakah benar kamu sudah pernah ditiduri sama dia!"
Tiba-tiba Ramon memegang kasar tali gaun malam yang dikenakan Aiza. Niatnya untuk menggertak sampai Aiza mengaku, sebab dia yakin benar Aiza masih suci, belum tersentuh oleh siapapun. Aiza berteriak, melawan.
Tiba-tiba serombongan pria bertubuh besar masuk ke dalam rumah besar Levi. Levi menoleh kaget sambil melepas Aiza. Semua pria besar yang ada di hadapannya sekarang adalah anak buah ayahnya sendiri.
"Mau apa kalian di sini?!" tanya Levi bersiap untuk mengamuk, dia paling benci waktu bersenang-senangnya dikacaukan, terlebih oleh bawahan ayahnya yang otomatis adalah bawahannya pula.
"Kami diperintahkan Tuan Besar, gadis ini tidak boleh Anda usik, Anda sentuh. Tuan Besar bilang gadis ini milik Tuan Ramones, dan dia harus kami kembalikan kepada Tuan Ramones." Seorang dari mereka bicara dengan lugas, tegas, dan tanpa ada keraguan sedikitpun. Mereka adalah ajudan-ajudan terlatih yang sudah belasan tahun mengabdi tanpa pernah melakukan kesalahan dalam bertugas.
Wajah Levi memucat. Amarah di dadanya makin berkobar. Sudah sekian kali dia kalah dari Ramon, bahkan di mata ayahnya sendiri. Dia sudah gagal mendapat beberapa proyek besar yang justru diserahkan ayahnya kepada Ramon, dan kini, urusan wanita pun, ayahnya memihak Ramon. Untuk pertama kalinya, ayahnya ikut campur soal ini, padahal sebelumnya, pria berhati baja itu tak pernah peduli dengan urusan asmara Levi, dia bebaskan Levi mau bermain api dengan wanita mana saja. Lagi-lagi ini hanya karena Ramon!
Gigi Levi menggeretak, ingin sekali dia hancurkan tempurung kepala Ramon sekarang.
"Kalau saya menolak perintah dari Papa? Gimana?" Levi mencoba bernegosiasi, walau dia tahu usahanya akan sia-sia.
"Jika Anda berani menentang, kami siap melakukan apa saja. Ini perintah dari Tuan Besar langsung, kami harus membawa kembali nona ini kepada Tuan Ramones. Dalam keadaan tidak kurang suatu apapun. Kalau Anda mencoba menghalangi, jangan salahkan kami kalau kami bertindak nekad."
Setetes keringat jagung jatuh di pelipis Levi. Wibawa yang telah dia bangun di depan wanita pujaannya hancur sudah, rubuh semuanya. Kini tersisa rasa malu dan amarah yang siap dia ledakkan.
Sementara itu Aiza mulai menangis dalam diam, bersyukur, bahwa yang dia takutkan tak terjadi. Detik saat Aiza akhirnya dibawa oleh pria-pria besar berpakaian serba hitam itu, terdengar suara teriakan keras dari rumah Levi. Dia mengamuk. Piring dan makanan berhamburan di lantai, kayu kursi dia patahkan, gelas pecah di mana-mana. Para pelayan langsung mendekatinya dengan panik, semua berusaha menenangkan. Jika sudah mengamuk begini, butuh waktu bagi Levi untuk tenang. Kehilangan Aiza bisa dia terima, tapi kekalahannya terhadap Ramon, itulah yang paling membuatnya murka.
Nggak, ini baru permulaan, Levi menggenggam gelas anggur sampai pecah lalu darah menetes dari genggaman tangannya. Ramones, permainan yang sebetulnya baru aja dimulai.
Saat Aiza diantarkan sampai ke mansion, yang pertama dia temui adalah Ramon, rupanya Ramon sejak tadi sudah menunggu kedatangan Aiza. Tanpa ada terucap sepatah kata, Aiza langsung menghambur memeluk Ramon. Dan Ramon sendiri tanpa rasa canggung memeluk erat Aiza, luruh sudah kecemasan yang sejak tadi merasuki kepalanya.Dia cium rambut Aiza, dia pindahkan tangannya dari rambut Aiza sampai ke pundak Aiza yang terbuka. Sampai tak sadar mereka telah berpelukan selama lebih dari satu menit. Dengan canggung, Ramon akhirnya melepas pelukannya lalu bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Za? Dia apakan kamu?" tanya Ramon khawatir. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Maaf Mas nggak bisa jemput kamu ke sana.""Nggak apa-apa, Mas. Aiza paham, terima kasih sudah bergerak cepat menyelamatkan Aiza, Mas. Aiza belum sempat diapa-apain sama dia." Air mata meluncur mulus di pipi ASiza yang halus.Pandangan mata Ramon tiba-tiba jatuh ke belahan dada Aiza yang terpampang. Dia kagok lalu dengan s
Bio tak main-main dengan niatnya. Dia bertekad untuk menyulap Aiza menjadi sosok yang baru, sosok yang kira-kira paling cocok untuk mendampingi Ramon.Rambut Aiza yang semula lurus saja, datar dan biasa, dia buat agak ikal seperti ombak, bahkan dia warnai dengan cat rambut warna coklat tanah.Tubuh Aiza yang memang dasarnya mungil dan manis dia coba pakaikan dengan berbagai macam busana sampai terpilih beberapa set yang sekiranya paling cocok. Dibalut dengan rok mini,tanktopberwarna pastel dan sepatu bertumit tinggi, Aiza terlihat seperti gadis kota yang modern dan modis. Ditambah lagi pulasan rias yang cukup berani dengan warna-warna terang seperti ungu dan merah muda, lalu diakhiri dengan sentuhan cat kuku merah di atas kuku-kukunya. Siapapun akan gemas melihat dirinya, termasuk Ramon."Kamu yang dulu udik nggak akan pernah mendapatkan cinta dari Ramon. Tapi kamu yang ini ..., hm ..., dia akan bertekuk lutut di depan kamu!" Bio mencuil uju
"Aku Aiza, pacarnya Mas Ramon." Aiza mengembangkan senyum kakunya. Setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, akhirnya dia bisa memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Ramon meskipun hanya pura-pura.Gadis-gadis seksi itu saling berbisik, ada wajah yang tampak mengejek, ada juga yang terlihat tak percaya, dan ada yang sedang menilai Aiza dari atas ke bawah."Nggak nyangka juga ya, Ramon akhirnya punya pacar lagi. Udah lama banget, kan?" Salah satu dari mereka berbisik."Tapi kalau dilihat-lihat sih, cewek ini emang gayanya mirip banget sama Asti."Siapa Asti?Aiza bertanya dalam hati."Yuk cari minum bentar ..." Gadis-gadis itu menjauh dari Aiza. Salah seorang dari mereka yang ditinggal mendekati Aiza lalu menjukurkan tangannya ke hadapan Aiza."Namaku Rina, tapi di sini biasa orang-orang manggil aku Nana." Senyumnya yang hangat dan tampak lembut membuat Aiza berani menyambut uluran tangannya. "Boleh aku panggil kamu Ai, kan?" tan
Mata Aiza menatap nanar Ramon, bibirnya mendadak kelu, jantungnya berdebar tak beraturan dan napasnya mulai sengal. Dia usap wajahnya yang memucat. Sikap macam apa yang baru saja ditunjukkan oleh Ramon? Seolah kalimat yang terucap dari mulutnya tak mungkin sungguh-sungguh keluar dari mulutnya."Mas Ramon ..., apa maksudnya Mas Ramon bilang gitu? Aiza mau pulang! Aiza mau kembali sama Ibu! Aiza nggak mau di sini, Mas ...!" Aiza berdiri, dia pukul dada bidang Ramon, melampiaskan emosi yang berkecamuk di dada.Kedua pergelangan tangan Aiza dipegang kuat oleh Ramon. Wajah Ramon mengeras, matanya berkilat-kilat. "Terus? Habis itu kamu buka semuanya? Kamu bilang sama semua pekerjaan aku di sini?! Aku nggak akan membiarkan itu terjadi, Aiza. Aku ini bukan orang bodoh. Aku udah melewati bara api untuk sampai di titik ini. Nggak akan aku biarkan siapapun merusaknya, menghalangi jalan aku, termasuk kamu. Kalau mau selamat ..., cuma dua pilihan kamu. Tetap di sini, ikuti aturan d
Dari semalam Aiza menolak untuk makan, meski Ramon telah membelikan makanan lezat dari restoran untuknya. Sejak kepulangan mereka tadi malam kembali ke apartemen Ramon, Aiza cuma merenung seorang diri. Dia bahkan menolak keluar dari kamar, tidur pun sulit. Sampai pagi hari, kepalanya pening. Trauma akibat kejadian mengerikan semalam masih membayangi pikirannya.Perlakuan Ramon masih tak bisa juga dia singkirkan dari kepalanya. Hanya air mata yang menjadi saksi atas setiap luka yang tersisa.Dengan masih mengenakan piyama berlengan pendek, Aiza berjalan ke meja lampu. Niatnya untuk menghubungi Delima. Dia ingin bicara kepada ibunya, dia ingin menumpahkan segala kesedihan di hati atau kalau memungkinkan malah meminta bantuan.Namun anehnya, ponsel pintarnya telah berganti dengan ponsel pintar keluaran terbaru. Aiza ragu-ragu meraih ponsel yang masih tampak sangat licin itu. Matanya membulat. "Ini bukanhapeaku ...," bisiknya bicara kepada dirin
"Kamu bisa pakai kartu ini kalau ada yang mau kamu beli."Sebelum meninggalkan Aiza di sebuah hotel berbintang, Ramon menyerahkan sebuah kartu kredit kepadanya. Mata Aiza menatap kartu kredit itu dengan ekspresi skeptis. Dia ingin mengambilnya tapi hati kecilnya serasa menolak. "Nggak perlu, Mas. Aku nggak mau pakai uang haram dari Mas Ramon." Suaara Aiza terdengar begitu sinis.Kalau saja saat ini mereka tidak sedang berada di lobi hotel dikelilingi rekan-rekan Ramon, sudah pasti Ramon meninggikan suara untuk mengintimidasi Aiza. "Aku lagi nggak mood berantem, Za. Bersikap manislah." Ramon menarik tangan kiri Aiza lalu menyelipkan kartu kredit itu secara paksa di tangannya.Mau tak mau Aiza menurut. "Mas Ramon mau ke mana? Aiza mau ikut.""Nggak bisa, Za. Ada sedikit uru--"Suara Ramon terpotong saat seorang rekannya menyerahkan sebuah kunci kamar. "Ini kunci kalian. Kita berangkat bentar lagi, Mon."Ramon mengangguk. "Ayo kita liat dulu ka
Ramon menjatuhkan tubuh Aiza yang masih dalam keadaan setengah sadar di atas tempat tidur gadis cantik itu. Helaan napas panjang keluar dari mulut Ramon. "Kamu ini ..., dasar bocah ..." Ramon mengacak lembut rambut Aiza.Tanpa diketahui Aiza yang sedang tergolek lemas, Ramon menatap wajahnya dengan mata sendu, ekspresi yang nyaris mustahil dia tunjukkan di depan Aiza jika dia tengah sadar."Maaf ya, Za. Mas nggak bermaksud membuat hidup kamu jadi sesulit ini. Kamu seharusnya nggak di sini, tapi keselamatan kamu lagi terancam. Mas nggak punya pilihan lain." Ramon menyentuh lembut pipi halus Aiza dengan ujung jemari lentiknya.Ketika Ramon hendak menyelimuti tubuh Aiza, tiba-tiba mata Aiza terbuka lalu tangannya terangkat menyentuh pipi Ramon. Jantung Ramon berdebar kencang. Bagaimana tidak, wajah mabuk Aiza yang memerah dengan matanya yang sayu membuatnya terlihat begitu menggoda.Ramon cepat-cepat mau keluar meninggalkan Aiza sebelum dia hilang kendali se
Aiza terjaga dengan tubuh terasa remuk seolah baru dihantam benda berat. perlahan matanya terbuka, tak ada siapa-siapa di atas tempat tidurnya selain dirinya selain. Sembari mengucek matanya pelan, dia mencoba mengingat-ingat kembali apa yang terjadi semalam.Seketika tubuhnya mematung sebentar. "Tunggu dulu! Semalam ..., semalam ..., itu bukan mimpi?" desisnya sembari menajamkan ingatannya sekali lagi.Dia ingat sekarang. Sentuhan Ramon, ciuman darinya, semua itu bukan mimpi. Mata Aiza membulat tatkala dia pun sadar akan sesuatu, yaitu rasa perih dan nyeri tepat di bagian bawah sana, di miliknya.Tepat saat itu juga Aiza menyingkap selimut, seluruh tubuhnya masih plontos. Di atas kulitnya yang mulus, ada begitu banyak tanda merah, tanda kepemilikan yang ditinggalkan oleh Ramon.Aiza merunduk, memeluk bantal dengan posisi telungkup, perasaan berkecamuk menguasai dirinya. "Apa yang udah ..., apa yang aku lakukan ..." lirihnya dibarengi setetes air mata jat
Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo
Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang
"Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi
"Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n
Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu
"Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke
Lebih dari sepuluh menit Aiza terbengong memandang tanaman di balkon apartemen. Bio datang mendekat dengan segelas air jahe panas di tangan."Minum dulu, Cintah. Kamu udah dari tadi bengong, hati-hati kesambet," selorohnya mencoba menghibur sedikit kegundahan Aiza."Nggak. Makasih. Aku nggak pingin," tolak Aiza."Ingat loh, kamu masih menyusui, kamu nggak boleh stres." Bio duduk di sampingnya."Gimana aku nggak stres, Bang? Suami aku secepatnya disidang dan aku nggak tau nanti hasilnya kayak apa. Kalau tuntutannya hukum mati gimana?!" Air mata Aiza langsung menumpuk lagi."Jangan berpikir sampai sejauh itu, nggak baik. Hati-hati loh, Sayang. Omongan jadi doa," hibur Bio masih bersikap tenang. "Lihat aja bayi kamu, ada tanggung jawab yang lebih penting buat kamu pikirin, kan ~"Setengah hati, Aiza mengangguk mengiyakan. Betul kata Bio, disamping dia harus memikirkan Ramon, dia juga harus memikirkab nasib puteri kecilnya, Aini. Bayi mungil itu
Seperti yang diinginkan Ramon dan kuasa hukum mereka, Aiza akhirnya memberi tahu kronologi kejadian sejujur-jujur dan seterang-terangnya. Tak lama berselang, Aiza diizinkan untuk pergi, dia dinyatakan tak bersalah.Namun, Aiza tak bisa semudah itu saja meninggalkan tempat itu, mengingat Ramon masih belum jelas bagaimana nasibnya."Bu ... tunggu dulu, gimana dengan suami saya? Apa yang akan terjadi sama dia?" tanya Aiza kepada pihak berwajib yang membawanya menuju pintu keluar."Itu bukan hak Ibu untuk tahu. Harusnya Ibu bersyukur karena Ibu sudah bisa menghirup udara bebas kembali. Kejadian malam itu terbukti adalah upaya membela diri. Jadi apa lagi yang Ibu tunggu? Ibu mau bermalam di sini?" Polisi wanita yang menarik tangannya tampak mulai kehilangan kesabaran.Aiza terdiam, benar juga, pikirnya. Dia seharusnya merasa beruntung, dia bisa lolos dengan mudah, dapat bertemu kembali dengan Aini. Bagaimanapun juga, Aini yang paling membutuhkan dirinya saat i
Berkali-kali Aiza menciumi Aini dengan mata yang sudah basah, dia tak bisa meninggalkan bayinya begitu saja tapi tak ada pilihan lain. Ramon berkata ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka jika Aiza mau hukumannya diperingan.Sementara Ramon, selain menyiapkan kuasa hukum terbaik, Ramon juga tak lupa meminta saran kepada Leo, kepada siapa lagi dia bisa mengadu di situasi kacau seperti ini?"Kamu yakin Mon, mau membiarkan Aiza menjalani pengadilan gitu aja? Ingat, kamu itu siapa. Bisa jadi ini umpan supaya kamu keluar." Leo berbicara dengan Ramon di luar kamar Aiza."Kamu punya ide yang lebih bagus? Aku nggak mau nama Aiza kotor, Yo. Ini harus diakhiri, sekali untuk selamanya. Aku juga udah capek, setelah Aiza selesai dengan urusan ini, aku udah bulat mau berhenti."Mata Leo terbelalak. "Ha? Mon, nggak ... nggak bisa, Mon.""Yo, berhenti. Hidupku bukan keputusan kamu. Ada anak kami yang harus kami besarkan. Aku udah pilih, Solo, kami akan sela