Levi tersenyum puas lantaran sasarannya telah berada di depan, tinggal membidik saja. Dia membawa Ramon dan Aiza ke sebuah bilik makan di restoran tiongkok dengan meja makan bundar besar. Terlalu berlebihan untuk tiga orang, seolah-olah ini benar makan malam bisnis.
Sejak awal melihat Aiza, mata Levi memang tak bisa berpaling. Belum pernah dia melihat sekuntum bunga mekar seperti Aiza. Wajahnya yang teduh dan ekspresinya yang innocent membuat sekujur tubuh Levi bergetar hebat.
Dan sebagai putera sulung dari pemilik klub malam besar dengan puluhan gurita bisnis lainnya, mana mungkin dia tak bisa mendapat apa yang dia mau, sekalipun dia tahu bahwa Aiza adalah orang yang dibawa oleh Ramon, rivalnya sendiri.
***
"Dimakan, silakan dimakan ..., pesan lagi kalau kurang." Levi mendekatkan mangkuk-mangkuk ke dekat Aiza. Aiza melirik Ramon takut, berharap segera pergi dari tempat ini.
"Jadi sebetulnya mau ngomongin apa? Langsung aja. Saya sibuk, ada kerja lain juga." Ramon bicara dengan nada serius.
"Iya ..., sibuk menjilat ya?" Levi tersenyum menyeringai sampai gigi taring emasnya terlihat berkilau. Dua gigi taringnya memang emas, lehernya yang berdaging tebal pun dilingkari kalung emas yang tak kalah tebalnya, berikut pergelangan tangan kirinya, menonjolkan pria ini suka kemewahan.
"Kalau ternyata nggak ada yang mau diomongin, kami pergi aja. Jangan buang waktu kami." Ramon tak gentar sama sekali dengan sindiran Levi.
"Santai dikitlah, Mon. Kenapa tegang banget sama teman lama?" Levi menyeringai lagi sambil menatap Aiza, sorot matanya seakan sanggup menyayat jiwa Aiza. "Jadi, Dik Aiza ini baru datang ke Jakarta? Udah jalan-jalan ke mana aja? Udah liat apa aja selama di sini?" tanya Levi mulai membangun suasana sok akrab.
Aiza membuka mulutnya perlahan, "Belum banyak sih ..., cuma ke beberapa mal dan liat pameran, ke Monas." Suaranya sedikit bergetar.
"Gimana kalau Abang siapkan perjalanan buat kamu? Paket liburan selama kamu di sini?"
Kepala Aiza langsung menggeleng pelan, "Mas Ramon, kita balik aja, yuk."
"Sudah cukup, ya. Kami harus pulang, kasihan Aiza, udah malam, dia harus tidur cepat." Ramon berdiri dari kursinya.
Wajah Levi mengeras. "Tunggu, Mon ..., kita bahkan belum bahas bisnis."
"Bisnis apa yang kamu maksud? Kalau memang ada yang mau dibicarakan, ya berdua aja, jangan ada Aiza. Hanya kalau definisi bisnis di kepala kita sama." Ramon menarik tangan Aiza untuk ikut berdiri.
"Maksudku ..., ya Aiza." Senyum Levi tersungging miring.
Kesabaran Ramon makin menipis. "Apa maksud kamu? Kalau yang kamu maksud itu. Jangan berharap." Ramon merangkul Aiza, mendekap pinggulnya erat sampai membuat Aiza terkagok-kagok. Levi menatapnya tak kalah bingung. "Aiza pacar saya. Kami pergi dulu."
"Hah?!"
"Hah?"
Levi dan Aiza kompak menganga, tapi Ramon tak mau buang waktu untuk memberi penjelasan, ditariknya Aiza keluar, meninggalkan Levi dengan kepala penuh pertanyaan. Levi tahu benar siapa Ramon, pria itu terkenal enggan menjalin hubungan asmara, lantas apa maksudnya dia berpacaran dengan seorang gadis muda seperti Aiza? Levi tak akan semudah itu untuk percaya.
***
"Apa-apaan sih ini semua, Mas? Kenapa Mas bilang Aiza pacar Mas?" Aiza bertanya setelah mereka berada di dalam mobil Ramon.
"Kamu punya ide yang lebih bagus untuk menghindar dari psikopat itu? Jangan banyak tanya, Za. Yang penting, menjauh dari dia." Intonasi Ramon agak keras, belum pernah dia meninggikan suara di depan Aiza seperti ini.
Namun Aiza tak puas hati. Selama berada di perjalanan ke mansion, dia terus mendumel.
"Aku nggak paham, Mas ..., kenapa bisa Mas ada di dunia seperti itu? Apa maksudnya ini semua?" Suara Aiza mulai bergetar. "Kalau sampai Delima tau ..., kalau keluarga di desa tau ..., Aiza mungkin masih kecil, tapi Aiza nggak bodoh. Aiza bisa paham sedikit, entah apa yang Mas kerjakan di tempat kayak gitu."
Ramon tak membalas satu pun ocehan Aiza, dia fokus menyetir dengan mata menajam. Saat pandangannya teralih ke kaca spion, dia bisa melihat sebuah mobil yang tak asing sedang membuntutinya. Dia kenal mobil itu.
"Sial!" Ramon memukul setirnya lalu menginjak gas lebih cepat. Amarahnya betul-betul naik sampai ke puncak kepala.
Setelah sampai di mansion, Ramon bicara sebentar dengan sekuriti lalu menarik Aiza masuk ke dalam lift untuk naik ke lantai di mana apartemennya berada.
"Mas kenapa masih ikut? Mas nggak balik ke tempat kotor itu lagi?" sindir Aiza dengan tangannya ditarik kasar oleh Ramon. Tampaknya Aiza masih belum paham dengan situasi darurat yang tengah terjadi.
"Kamu lebih baik diam dulu, Za! Ini bukan waktu yang tepat untuk bercanda!" bentak Ramon sambil menekan kode apartemennya.
Baru saja masuk ke dalam apartemen, Ramon langsung memukul dinding dengan frustrasi, sampai membuat Aiza panik dan takut.
"Mas kenapa? Apa omongan Aiza membuat Mas tersinggung? Aiza minta maaf, tapi ini demi kebaikan Mas ..."
"Kamu nggak tau apa yang udah kamu perbuat, Aiza! Kamu nggak ngerti situasinya! Delima harus pulang sekarang, dia harus balik ke desa, situasinya nggak aman di sini. Kamu juga harus pulang--"
"Nggak, Mas! Aiza ...," sela Aiza langsung menolak. "Aiza ..." Kalimatnya menggantung. Aiza nggak mau jauh dari Mas Ramon ..., Aiza mendesis dalam hati.
"Tapi ya, berbahaya juga kalau kamu pulang sekarang. Bisa jadi nanti Levi mengincar kamu sampai ke kampung. Malah tambah runyam." Ramon mengacak rambutnya frustrasi.
Ramon duduk di sofa, dia lepas beberapa kancing atas kemejanya, suhu tubuhnya tiba-tiba naik secara drastis. Dia tak pernah menduga tragedi ini akan datang kepadanya.
Sebelumnya dia pernah melihat sendiri bagaimana kelakuan Levi bila dia telah menemukan mangsa, dan dia tak akan pernah membiarkan hal yang sama terjadi kepada Aiza. Dan siapa yang sangka apabila manusia hina seperti Levi bisa tertarik dengan Aiza? Semua orang tahu selera Levi, dia suka gadis seksi dan vulgar, kenapa tiba-tiba matanya jatuh kepada Aiza yang bahkan seujung kuku pun tak bisa menyamai model-model cantik yang biasa menemani tidurnya.
"Mas ..." Tangan Aiza menyentuh pundak Ramon, tiba-tiba Ramon menyambar pergelangan tangan Aiza sampai tubuh gadis itu nyaris kehilangan keseimbangan. "Ma-Maafin Aiza ..., Aiza udah bikin situasi kacau, Mas jadi marah gini ..." Aiza mulai terisak menyesal, takut.
"Dengarkan aku bicara, Aiza. Ini penting." Mata Ramon menatapnya tajam. "Kamu dalam bahaya sekarang, dan kamu nggak bisa jauh-jauh dari aku mulai sekarang. Jangan berharap bantuan dari pihak berwajib, jangan percaya sama orang lain. Untuk saat ini, tetap di samping aku, oke? Dan kalau terpaksa ada yang tanya, kamu bilang kamu pacar aku, paham?"
Tak ada nada bergurau, Ramon bersungguh-sungguh dalam kalimatnya. Aiza mengangguk pelan, perhatian dari Ramon ini malah disangkanya karena rasa cinta. Dia kumpulkan nyali lalu memeluk Ramon. "Selama ada Mas Ramon, Aiza akan selalu merasa aman. Asalkan Aiza boleh selalu dekat sama Mas Ramon."
Satu langkah. Aiza merasa dia kini satu langkah lebih dekat dengan Ramon. Seperti kata Ramon sebelumnya peduli adalah tanda cinta, pun juga Aiza merasa bentuk kepedulian Ramon ini adalah bentuk cinta darinya. Dia bukannya memikirkan soal ancaman di depan matanya, justru fokus pada sifat protektif dari Ramon yang membuat dia salah paham.
Sementara Ramon justru menggerutu dalam hati, o andai Aiza tahu bahaya apa yang sedang mengintainya! Saat Ramon melepas pelukan Aiza, dia lihat ekspresi Aiza yang bersemu merah. Aiza melepas pelukan mereka dengan berat hati. Ramon mulai sadar ada yang aneh.
"Mas ..., sekalipun Mas kerja di tempat kayak gitu, Mas nggak pernah tidur dengan sembarang cewek kan?" Aiza nekad bertanya.
"Kenapa kamu tiba-tiba nanya kayak gini, Aiza?"
"Wajar kalau Aiza mulai berpikiran lain. Mas tolong ..., tinggalkan itu semua, jangan lagi tidur dengan perempuan-perempuan kayak gitu. Aiza ..."
"Apa maksud kamu? Bicara yang jelas."
Sarah yang dalam kondisi setengah mabuk baru saja keluar dari toilet saat sebuah tangan menariknya dan membekap mulutnya, dia terhuyung, tak bisa melawan. Tak lama, tubuhnya didorong sampai terhempas ke atas tempat tidur yang dia sendiri tak tahu di mana. Kepalanya pening, pandangannya kabur."Aduh ..., siapa sih nih ...?" tanyanya sambil memegang kepala yang berat. "Kalau mau, jangan kasar dong ..., aku kasih dengan senang hati ..." ucapnya melantur.Dia bisa melihat bayangan bertubuh besar berdiri di depannya dengan tangan bertumpu pada pinggang. Di pergelangan tangan kiri pria besar itu melingkar sebuah gelang emas berkilauan. Sarah langsung tahu siapa orang yang ada di depannya."Levi ...? Tumben ..., tumben kamu mau sama aku. Kenapa? Sekarang seleramu yang seperti aku, ya? Ha ha ..."Plak!!!Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sarah sampai tubuh bagian atasnya terpental lagi ke atas tempat tidur. "Jangan mimpi kamu, pelacur
Tanpa ada rasa curiga, Aiza ikut bersama Sarah ke sebuah mal. Awalnya baik-baik saja, Sarah membawa Aiza masuk ke satu butik ke butik lainnya. Dia belikan Aiza beberapa potong pakaian dengan menggesek kartu kredit yang dipinjamkan Ramon. Sepatu, sandal, baju tidur, semua dilengkapi tanpa ada yang terlewat.Sebelum pergi makan siang, Sarah bahkan mengajak Aiza ke salon. Mereka perawatan wajah dan kuku bersama. Aiza sempat menolak tawaran Sarah karena tak terbiasa, tapi lantaran Sarah memaksa, maka dia ikut saja.Namun, ada yang berbeda saat hendak pulang. Tiba-tiba Sarah meminta sopir taksi yang membawa mereka untuk berhenti di dalam sebuah gang asing yang sepi. Sarah mengajak Aiza untuk turun, katanya ada suatu tempat yang sedang dia cari. Aiza masih belum merasa curiga sampai Sarah mendadak berujar, "Za, kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya.""Loh, Mbak Sarah mau ke mana?!" Aiza celingak celinguk mulai panik, sekelilingnya sepi, dari ujung gang sebelah kanan s
Saat Aiza diantarkan sampai ke mansion, yang pertama dia temui adalah Ramon, rupanya Ramon sejak tadi sudah menunggu kedatangan Aiza. Tanpa ada terucap sepatah kata, Aiza langsung menghambur memeluk Ramon. Dan Ramon sendiri tanpa rasa canggung memeluk erat Aiza, luruh sudah kecemasan yang sejak tadi merasuki kepalanya.Dia cium rambut Aiza, dia pindahkan tangannya dari rambut Aiza sampai ke pundak Aiza yang terbuka. Sampai tak sadar mereka telah berpelukan selama lebih dari satu menit. Dengan canggung, Ramon akhirnya melepas pelukannya lalu bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Za? Dia apakan kamu?" tanya Ramon khawatir. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Maaf Mas nggak bisa jemput kamu ke sana.""Nggak apa-apa, Mas. Aiza paham, terima kasih sudah bergerak cepat menyelamatkan Aiza, Mas. Aiza belum sempat diapa-apain sama dia." Air mata meluncur mulus di pipi ASiza yang halus.Pandangan mata Ramon tiba-tiba jatuh ke belahan dada Aiza yang terpampang. Dia kagok lalu dengan s
Bio tak main-main dengan niatnya. Dia bertekad untuk menyulap Aiza menjadi sosok yang baru, sosok yang kira-kira paling cocok untuk mendampingi Ramon.Rambut Aiza yang semula lurus saja, datar dan biasa, dia buat agak ikal seperti ombak, bahkan dia warnai dengan cat rambut warna coklat tanah.Tubuh Aiza yang memang dasarnya mungil dan manis dia coba pakaikan dengan berbagai macam busana sampai terpilih beberapa set yang sekiranya paling cocok. Dibalut dengan rok mini,tanktopberwarna pastel dan sepatu bertumit tinggi, Aiza terlihat seperti gadis kota yang modern dan modis. Ditambah lagi pulasan rias yang cukup berani dengan warna-warna terang seperti ungu dan merah muda, lalu diakhiri dengan sentuhan cat kuku merah di atas kuku-kukunya. Siapapun akan gemas melihat dirinya, termasuk Ramon."Kamu yang dulu udik nggak akan pernah mendapatkan cinta dari Ramon. Tapi kamu yang ini ..., hm ..., dia akan bertekuk lutut di depan kamu!" Bio mencuil uju
"Aku Aiza, pacarnya Mas Ramon." Aiza mengembangkan senyum kakunya. Setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, akhirnya dia bisa memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Ramon meskipun hanya pura-pura.Gadis-gadis seksi itu saling berbisik, ada wajah yang tampak mengejek, ada juga yang terlihat tak percaya, dan ada yang sedang menilai Aiza dari atas ke bawah."Nggak nyangka juga ya, Ramon akhirnya punya pacar lagi. Udah lama banget, kan?" Salah satu dari mereka berbisik."Tapi kalau dilihat-lihat sih, cewek ini emang gayanya mirip banget sama Asti."Siapa Asti?Aiza bertanya dalam hati."Yuk cari minum bentar ..." Gadis-gadis itu menjauh dari Aiza. Salah seorang dari mereka yang ditinggal mendekati Aiza lalu menjukurkan tangannya ke hadapan Aiza."Namaku Rina, tapi di sini biasa orang-orang manggil aku Nana." Senyumnya yang hangat dan tampak lembut membuat Aiza berani menyambut uluran tangannya. "Boleh aku panggil kamu Ai, kan?" tan
Mata Aiza menatap nanar Ramon, bibirnya mendadak kelu, jantungnya berdebar tak beraturan dan napasnya mulai sengal. Dia usap wajahnya yang memucat. Sikap macam apa yang baru saja ditunjukkan oleh Ramon? Seolah kalimat yang terucap dari mulutnya tak mungkin sungguh-sungguh keluar dari mulutnya."Mas Ramon ..., apa maksudnya Mas Ramon bilang gitu? Aiza mau pulang! Aiza mau kembali sama Ibu! Aiza nggak mau di sini, Mas ...!" Aiza berdiri, dia pukul dada bidang Ramon, melampiaskan emosi yang berkecamuk di dada.Kedua pergelangan tangan Aiza dipegang kuat oleh Ramon. Wajah Ramon mengeras, matanya berkilat-kilat. "Terus? Habis itu kamu buka semuanya? Kamu bilang sama semua pekerjaan aku di sini?! Aku nggak akan membiarkan itu terjadi, Aiza. Aku ini bukan orang bodoh. Aku udah melewati bara api untuk sampai di titik ini. Nggak akan aku biarkan siapapun merusaknya, menghalangi jalan aku, termasuk kamu. Kalau mau selamat ..., cuma dua pilihan kamu. Tetap di sini, ikuti aturan d
Dari semalam Aiza menolak untuk makan, meski Ramon telah membelikan makanan lezat dari restoran untuknya. Sejak kepulangan mereka tadi malam kembali ke apartemen Ramon, Aiza cuma merenung seorang diri. Dia bahkan menolak keluar dari kamar, tidur pun sulit. Sampai pagi hari, kepalanya pening. Trauma akibat kejadian mengerikan semalam masih membayangi pikirannya.Perlakuan Ramon masih tak bisa juga dia singkirkan dari kepalanya. Hanya air mata yang menjadi saksi atas setiap luka yang tersisa.Dengan masih mengenakan piyama berlengan pendek, Aiza berjalan ke meja lampu. Niatnya untuk menghubungi Delima. Dia ingin bicara kepada ibunya, dia ingin menumpahkan segala kesedihan di hati atau kalau memungkinkan malah meminta bantuan.Namun anehnya, ponsel pintarnya telah berganti dengan ponsel pintar keluaran terbaru. Aiza ragu-ragu meraih ponsel yang masih tampak sangat licin itu. Matanya membulat. "Ini bukanhapeaku ...," bisiknya bicara kepada dirin
"Kamu bisa pakai kartu ini kalau ada yang mau kamu beli."Sebelum meninggalkan Aiza di sebuah hotel berbintang, Ramon menyerahkan sebuah kartu kredit kepadanya. Mata Aiza menatap kartu kredit itu dengan ekspresi skeptis. Dia ingin mengambilnya tapi hati kecilnya serasa menolak. "Nggak perlu, Mas. Aku nggak mau pakai uang haram dari Mas Ramon." Suaara Aiza terdengar begitu sinis.Kalau saja saat ini mereka tidak sedang berada di lobi hotel dikelilingi rekan-rekan Ramon, sudah pasti Ramon meninggikan suara untuk mengintimidasi Aiza. "Aku lagi nggak mood berantem, Za. Bersikap manislah." Ramon menarik tangan kiri Aiza lalu menyelipkan kartu kredit itu secara paksa di tangannya.Mau tak mau Aiza menurut. "Mas Ramon mau ke mana? Aiza mau ikut.""Nggak bisa, Za. Ada sedikit uru--"Suara Ramon terpotong saat seorang rekannya menyerahkan sebuah kunci kamar. "Ini kunci kalian. Kita berangkat bentar lagi, Mon."Ramon mengangguk. "Ayo kita liat dulu ka