Kaki Aiza terlalu lemas, nyaris saja dia ambruk ke lantai. "Udah besar kamu sekarang ya!" kata Ramon dengan senyum lebar yang menunjukkan barisan gigi putihnya yang besar-besar. Kepalanya yang selebar muka Aiza menepuk-nepuk puncak kepala Aiza seolah Aiza adalah anak anjing kesayangannya. Pipi Aiza merah jambu memanas.
Tak ada satu kata pun yang mampu terucap oleh bibir Aiza. Dia diam membeku, kehabisan kata-kata, larut dalam aroma parfum Ramon yang memabukkannya.
"Eh, kalian berdua sudah makan? Ayo kita makan malam. Di luar aja. Sekalian cerita-cerita." Ramon bersuara lagi.
***
Aiza dan Delima saling pandang entah untuk kesekian kali dalam satu hari ini. Bagaimana tidak, sekali lagi mulut mereka menganga. Ramon membawa mereka ke sebuah restoran jepang nan mewah, menyajikan hidangan laut yang bisa membuat kantong jebol. Sarah tidak ikut serta sebab dia ada janji dengan temannya malam ini, dia mesti bersiap-siap.
Anehnya, Sarah masih tinggal di rumah Ramon. Dia bahkan melenggang bebas keluar masuk kamar Ramon. Dari situ, satu kesimpulan bisa ditarik Aiza dan Delima, Sarah tinggal bersama Ramon, mereka menetap di bawah atap yang sama. Satu fakta itu cukup mengiris hati Aiza, tapi dia belum sempat membicarakannya dengan Delima.
Delima tampaknya bahkan tak peduli soal itu, yang dia pikirkan sekarang hanya meja penuh makanan yang ada di depan matanya. Lain dengan Aiza yang bahkan tak tahu mau menyantap yang mana lebih dulu.
"Makan ..., kamu nggak suka makanan kayak gini? Mau pindah restoran?" tanya Ramon kepada Aiza.
"Nggak, Mas! Ini juga ..., lebih ..., lebih dari cukup!" jawab Aiza seraya mulai mengambil beberapa potong sushi lalu memasukkan ke dalam mulutnya.
"Jadi gimana? Apa kabar desa?" tanya Ramon santai dengan mulut mengunyah.
"Baik. Kabar Ibu yang nggak baik. Mikirin Mas terus, sampe makan hati." Delima mengoceh mewakili perasaan ibunya.
"Kok ngomong gitu sih? Kesannya Mas sudah durhaka sama Ibu."
"Ya habisnya ...," Delima meletakkan dulu sendok dan sumpit yang tak mahir dia gunakan. "Mas nggak pulang-pulang tuh kenapa? Ada masalah apa? Kasihan Ibu, Mas. Nahan rindu nahan kangen sama Mas."
"Ya ..., maaf deh, Mas emang terlalu asyik sendiri." Ramon meminta maaf tapi terdengar tak sungguh-sungguh. "Jadi kalian berdua berangkat berdua aja? Ckck, bisa-bisanya Ibu nih! Apa nggak mikirin keselamatan kalian? Kan bahaya, dua anak remaja pergi ke Jakarta tanpa pengalaman. Kalau nyasar gimana." Dia ubah arah pembicaraan dengan licinnya, tapi Delima tak akan terkecoh.
"Kami ini bukan anak-anak, Mas. Jangan ubah topik, deh. Serius ya, Mas mau balik kan? Kami ke sini tuh buat ngajak Mas balik. Ibu disuruh ke sini nggak mau, asyik juga ngurusin sawahnya, takut ada keong. Jadi gimana?" Delima tak tahan untuk langsung ke inti pembicaraan, maksud tujuan.
Ramon mengembuskan napas beratnya ke udara. "Mas pikir Mas nggak bakal bisa balik ke desa lagi. Justru Mas berniat mau memboyong kalian ke sini, tunggu rumah yang Mas bangun selesai dirampungkan. Rumah di desa ikut sawah-sawah itu ya kita jual aja. Kamu juga kan mau kuliah di sini?"
"Kenapa toh, Mas? Apa alasannya? Ibu kan mau selamanya di desa, sampai tua dan mati. Biar bisa dikubur sebelahan sama mendiang Bapak."
"Jangan ngomongin kematian begitu ah. Nggak baik. Lagian, mau sampai kapan Ibu bertani? Ibu sudah tua, udah sebaiknya santai aja, biar Mas yang atur semua."
"Itu juga aku penasaran, Mas. Mas kerja apa, sih? Kok tiba-tiba jadi kaya raya begini?" Delima tak segan-segan bertanya.
Ramon tersenyum miring. "Tiba-tiba? Sudahlah, Bocah ..., kamu pikirkan aja mau kuliah di mana. Jangan curiga sama Mas-mu sendiri."
Delima menggerutu, dia paling benci dipanggil Bocah oleh kakaknya meski dia pun sering menggunakan panggilan bernada ejekan itu kepada Cempaka.
***
Saat mereka bertiga pulang, Sarah sudah siap dengan gaun berpotongan penguin berwarna emas. Gaun bertali satu jari itu menunjukkan belahan dadanya yang cukup terbuka. Riasannya tak kalah tebal dan berwaran, dengan rambut dicepol kasar. Aiza langsung bisa merasakan ada hawa tak enak.
"Ramon! Kamu ikut, kan, babe?"
Ramon yang sedang berganti pakaian di kamar menyahut, "Ya! Aku ikut, Mbak!"
Aneh juga mengetahui Ramon memanggil Sarah dengan sapaan Mbak. Lantas hubungan mereka apa? Aiza membatin. Tak lama kemudian, Ramon keluar dengan kemeja hitam dan wajah lebih bersih cemerlang. Aiza yang sedang duduk di ruang tamu melirik kikuk, tak mengerti situasi apa yang tengah terjadi di depan matanya, sedang Delima sedang berada di kamar mandi.
Ramon menoleh sebentar pada Aiza. "Za, kami berangkat, ya. Mungkin subuh pulangnya. Bilang sama Delima, ya."
Kepala Aiza mengangguk pelan, kikuk. "Eh, dia nggak sekalian kita ajak? Kan dia daun muda boleh juga, tuh." Sarah berbisik dengan genit, tapi Aiza mampu mendengarnya.
"Hush, kamu jangan ngaco, Mbak. Dia masih anak-anak," tepis Ramon.
"Anak-anak? Udah dewasa dia, udah cukup umur, Sayang. Udah ada bulunya ..."Sarah mendesis genit lagi.
"Ngaco ah! Ayo buruan!" Agak kesal, ramon emnarik Sarah keluar, meninggalkan Aiza sendiri dengan muka bingung, dengan hati penuh tanda tanya dan hati yang teriris-iris.
***
Sampai tengah malam, mata Aiza belum juga terpejam, pikirannya masih melayang kepada Ramon. Ramon yang dulu dia ingat begitu soleh, manis, meski sikapnya misterius, sekarang dia terlihat sangat jauh berbeda. Bukan hanya karena dia bertambah usia dan kematangan serta wibawa, tapi ada sesuatu yang lain darinya.
Suara dari luar mengejutkan Aiza, dia bergegas bangkit untuk duduk. Dia lirik Delima yang masih tidur nyenyak di sampingnya. Aiza memasang telinga tajam-tajam, ada suara gedebuk. Aiza lekas keluar dari kamar. Matanya membulat saat dia lihat Ramon terjatuh ambruk di samping meja TV. Segera dia hampiri pria tinggi itu. Aroma alkohol dan bau rokok kuat menguar dari tubuhnya.
"Mas Ramon? Kok pulang sendirian? Mana Mbak Sarah?" Aiza tahu sia-sia bertanya kepada orang yang sedang dalam kondisi mabuk, tapi tetap saja dia memang heran kenapa Ramon pulang sendiri.
Aiza mengerahkan seluruh tenaga untuk membopong tubuh besar Ramon di atas pundaknya. Dia seret pria itu masuk ke dalam kamar. Sejenak Aiza terperangah melihat kamar Ramon yang bertema merah dan tampak begitu sensual, tapi dia alihkan fokus kembali kepada Ramon. Ada Ramon yang sedang mabuk di pegangannya.
Tubuh Ramon ambruk di atas tempat tidur king size berseprai merah maroon. Dengan sabar, Aiza melepas sepatu Ramon. Tiba-tiba saja, Ramon menarik kepala Aiza sampai gadis itu terjatuh di atas dadanya yang bidang.
"Sayang ...?" Suara Ramon parau.
"Kamu beneran nih nggak mau ikut nonton, Za?" Untuk kesekian kalinya Delima bertanya hal yang sama, berharap sahabatnya itu berubah pikiran.Bukan Aiza namanya kalau tidak bisa konsisten dan berpegang teguh pada keputusan. "Nggak deh, bisa masuk angin aku malam-malam di gedung bioskop pakai AC sedingin itu.""Ck! Terserah kamu, deh. Aku pergi dulu, ya!"Lagi-lagi Aiza ditinggal sendiri. Itu cuma alasan yang dibuat-buat saja, seperti biasa dia menunggu kepulangan Ramon sebetulnya. Sayangnya, baru pulang selama sepuluh menit, Ramon sudah akan pergi lagi bersama Sarah, dengan pakaian cukup rapi serta parfum yang menguar begitu kuatnya sampai membuat hidung Aiza gatal."Ditinggal sendiri lagi?" Ramon bertanya.Aiza mengangguk pelan. "Kita ajak ajalah, Mon. Kasihan banget anak gadis cantik nganggur di rumah begini," usul Sarah."Janganlah, Mbak ..., masih kecil dia--""Emang mau ke mana? Aiza boleh ikut?" Aiza menyambar tiba-tiba, memotong
Lama duduk membisu, akhirnya Aiza tak tahan lagi untuk bertanya kepada pria flamboyan di depannya, "Mas ..."Belum selesai kalimatnya, pria itu langsung terbelalak, "Mas?!Emangnya aku nih keliatan kayak mas-mas apa, ya?! Mas dua puluh empat karat?! Panggil aku Kak! Kak Bio!" Dia akhirnya memperkenalkan diri."Ah iya, maaf ..., maaf Kak Bio, gini ..., aku mau tanya ..." Suara Aiza terputus-putus. "Emangnya Mas Ramon ada urusan apa ya di sini? Siapa yang Kak Bio sebut papa tadi?"Tangannya Bio bergerak gemulai seiring matanya mengerling heran, "Kamu nggak tau apa kerjaan Ramon?"Aiza mengangguk."Kamu nih siapanya dia? Masa itu aja nggak tau?" selidik Bio."Aku sahabat adiknya, tapi ... keluarga Mas Ramon juga nggak tau apa kerjaan Mas Ramon," jawab Aiza polos.Bio mengembuskan napas panjang ikut sekepul asap rokok yang terbang di udara. "Itu sih panjang urusannya, Cinta. Bukan perkara mudah. Kamu kayaknya terlalu dini un
Levi tersenyum puas lantaran sasarannya telah berada di depan, tinggal membidik saja. Dia membawa Ramon dan Aiza ke sebuah bilik makan di restoran tiongkok dengan meja makan bundar besar. Terlalu berlebihan untuk tiga orang, seolah-olah ini benar makan malam bisnis.Sejak awal melihat Aiza, mata Levi memang tak bisa berpaling. Belum pernah dia melihat sekuntum bunga mekar seperti Aiza. Wajahnya yang teduh dan ekspresinya yanginnocentmembuat sekujur tubuh Levi bergetar hebat.Dan sebagai putera sulung dari pemilik klub malam besar dengan puluhan gurita bisnis lainnya, mana mungkin dia tak bisa mendapat apa yang dia mau, sekalipun dia tahu bahwa Aiza adalah orang yang dibawa oleh Ramon, rivalnya sendiri.***"Dimakan, silakan dimakan ..., pesan lagi kalau kurang." Levi mendekatkan mangkuk-mangkuk ke dekat Aiza. Aiza melirik Ramon takut, berharap segera pergi dari tempat ini."Jadi sebetulnya mau ngomongin apa? Langsung aja. Saya
Sarah yang dalam kondisi setengah mabuk baru saja keluar dari toilet saat sebuah tangan menariknya dan membekap mulutnya, dia terhuyung, tak bisa melawan. Tak lama, tubuhnya didorong sampai terhempas ke atas tempat tidur yang dia sendiri tak tahu di mana. Kepalanya pening, pandangannya kabur."Aduh ..., siapa sih nih ...?" tanyanya sambil memegang kepala yang berat. "Kalau mau, jangan kasar dong ..., aku kasih dengan senang hati ..." ucapnya melantur.Dia bisa melihat bayangan bertubuh besar berdiri di depannya dengan tangan bertumpu pada pinggang. Di pergelangan tangan kiri pria besar itu melingkar sebuah gelang emas berkilauan. Sarah langsung tahu siapa orang yang ada di depannya."Levi ...? Tumben ..., tumben kamu mau sama aku. Kenapa? Sekarang seleramu yang seperti aku, ya? Ha ha ..."Plak!!!Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sarah sampai tubuh bagian atasnya terpental lagi ke atas tempat tidur. "Jangan mimpi kamu, pelacur
Tanpa ada rasa curiga, Aiza ikut bersama Sarah ke sebuah mal. Awalnya baik-baik saja, Sarah membawa Aiza masuk ke satu butik ke butik lainnya. Dia belikan Aiza beberapa potong pakaian dengan menggesek kartu kredit yang dipinjamkan Ramon. Sepatu, sandal, baju tidur, semua dilengkapi tanpa ada yang terlewat.Sebelum pergi makan siang, Sarah bahkan mengajak Aiza ke salon. Mereka perawatan wajah dan kuku bersama. Aiza sempat menolak tawaran Sarah karena tak terbiasa, tapi lantaran Sarah memaksa, maka dia ikut saja.Namun, ada yang berbeda saat hendak pulang. Tiba-tiba Sarah meminta sopir taksi yang membawa mereka untuk berhenti di dalam sebuah gang asing yang sepi. Sarah mengajak Aiza untuk turun, katanya ada suatu tempat yang sedang dia cari. Aiza masih belum merasa curiga sampai Sarah mendadak berujar, "Za, kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya.""Loh, Mbak Sarah mau ke mana?!" Aiza celingak celinguk mulai panik, sekelilingnya sepi, dari ujung gang sebelah kanan s
Saat Aiza diantarkan sampai ke mansion, yang pertama dia temui adalah Ramon, rupanya Ramon sejak tadi sudah menunggu kedatangan Aiza. Tanpa ada terucap sepatah kata, Aiza langsung menghambur memeluk Ramon. Dan Ramon sendiri tanpa rasa canggung memeluk erat Aiza, luruh sudah kecemasan yang sejak tadi merasuki kepalanya.Dia cium rambut Aiza, dia pindahkan tangannya dari rambut Aiza sampai ke pundak Aiza yang terbuka. Sampai tak sadar mereka telah berpelukan selama lebih dari satu menit. Dengan canggung, Ramon akhirnya melepas pelukannya lalu bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Za? Dia apakan kamu?" tanya Ramon khawatir. Matanya sedikit berkaca-kaca. "Maaf Mas nggak bisa jemput kamu ke sana.""Nggak apa-apa, Mas. Aiza paham, terima kasih sudah bergerak cepat menyelamatkan Aiza, Mas. Aiza belum sempat diapa-apain sama dia." Air mata meluncur mulus di pipi ASiza yang halus.Pandangan mata Ramon tiba-tiba jatuh ke belahan dada Aiza yang terpampang. Dia kagok lalu dengan s
Bio tak main-main dengan niatnya. Dia bertekad untuk menyulap Aiza menjadi sosok yang baru, sosok yang kira-kira paling cocok untuk mendampingi Ramon.Rambut Aiza yang semula lurus saja, datar dan biasa, dia buat agak ikal seperti ombak, bahkan dia warnai dengan cat rambut warna coklat tanah.Tubuh Aiza yang memang dasarnya mungil dan manis dia coba pakaikan dengan berbagai macam busana sampai terpilih beberapa set yang sekiranya paling cocok. Dibalut dengan rok mini,tanktopberwarna pastel dan sepatu bertumit tinggi, Aiza terlihat seperti gadis kota yang modern dan modis. Ditambah lagi pulasan rias yang cukup berani dengan warna-warna terang seperti ungu dan merah muda, lalu diakhiri dengan sentuhan cat kuku merah di atas kuku-kukunya. Siapapun akan gemas melihat dirinya, termasuk Ramon."Kamu yang dulu udik nggak akan pernah mendapatkan cinta dari Ramon. Tapi kamu yang ini ..., hm ..., dia akan bertekuk lutut di depan kamu!" Bio mencuil uju
"Aku Aiza, pacarnya Mas Ramon." Aiza mengembangkan senyum kakunya. Setelah menunggu bertahun-tahun lamanya, akhirnya dia bisa memperkenalkan dirinya sebagai kekasih Ramon meskipun hanya pura-pura.Gadis-gadis seksi itu saling berbisik, ada wajah yang tampak mengejek, ada juga yang terlihat tak percaya, dan ada yang sedang menilai Aiza dari atas ke bawah."Nggak nyangka juga ya, Ramon akhirnya punya pacar lagi. Udah lama banget, kan?" Salah satu dari mereka berbisik."Tapi kalau dilihat-lihat sih, cewek ini emang gayanya mirip banget sama Asti."Siapa Asti?Aiza bertanya dalam hati."Yuk cari minum bentar ..." Gadis-gadis itu menjauh dari Aiza. Salah seorang dari mereka yang ditinggal mendekati Aiza lalu menjukurkan tangannya ke hadapan Aiza."Namaku Rina, tapi di sini biasa orang-orang manggil aku Nana." Senyumnya yang hangat dan tampak lembut membuat Aiza berani menyambut uluran tangannya. "Boleh aku panggil kamu Ai, kan?" tan
Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo
Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang
"Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi
"Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n
Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu
"Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke
Lebih dari sepuluh menit Aiza terbengong memandang tanaman di balkon apartemen. Bio datang mendekat dengan segelas air jahe panas di tangan."Minum dulu, Cintah. Kamu udah dari tadi bengong, hati-hati kesambet," selorohnya mencoba menghibur sedikit kegundahan Aiza."Nggak. Makasih. Aku nggak pingin," tolak Aiza."Ingat loh, kamu masih menyusui, kamu nggak boleh stres." Bio duduk di sampingnya."Gimana aku nggak stres, Bang? Suami aku secepatnya disidang dan aku nggak tau nanti hasilnya kayak apa. Kalau tuntutannya hukum mati gimana?!" Air mata Aiza langsung menumpuk lagi."Jangan berpikir sampai sejauh itu, nggak baik. Hati-hati loh, Sayang. Omongan jadi doa," hibur Bio masih bersikap tenang. "Lihat aja bayi kamu, ada tanggung jawab yang lebih penting buat kamu pikirin, kan ~"Setengah hati, Aiza mengangguk mengiyakan. Betul kata Bio, disamping dia harus memikirkan Ramon, dia juga harus memikirkab nasib puteri kecilnya, Aini. Bayi mungil itu
Seperti yang diinginkan Ramon dan kuasa hukum mereka, Aiza akhirnya memberi tahu kronologi kejadian sejujur-jujur dan seterang-terangnya. Tak lama berselang, Aiza diizinkan untuk pergi, dia dinyatakan tak bersalah.Namun, Aiza tak bisa semudah itu saja meninggalkan tempat itu, mengingat Ramon masih belum jelas bagaimana nasibnya."Bu ... tunggu dulu, gimana dengan suami saya? Apa yang akan terjadi sama dia?" tanya Aiza kepada pihak berwajib yang membawanya menuju pintu keluar."Itu bukan hak Ibu untuk tahu. Harusnya Ibu bersyukur karena Ibu sudah bisa menghirup udara bebas kembali. Kejadian malam itu terbukti adalah upaya membela diri. Jadi apa lagi yang Ibu tunggu? Ibu mau bermalam di sini?" Polisi wanita yang menarik tangannya tampak mulai kehilangan kesabaran.Aiza terdiam, benar juga, pikirnya. Dia seharusnya merasa beruntung, dia bisa lolos dengan mudah, dapat bertemu kembali dengan Aini. Bagaimanapun juga, Aini yang paling membutuhkan dirinya saat i
Berkali-kali Aiza menciumi Aini dengan mata yang sudah basah, dia tak bisa meninggalkan bayinya begitu saja tapi tak ada pilihan lain. Ramon berkata ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka jika Aiza mau hukumannya diperingan.Sementara Ramon, selain menyiapkan kuasa hukum terbaik, Ramon juga tak lupa meminta saran kepada Leo, kepada siapa lagi dia bisa mengadu di situasi kacau seperti ini?"Kamu yakin Mon, mau membiarkan Aiza menjalani pengadilan gitu aja? Ingat, kamu itu siapa. Bisa jadi ini umpan supaya kamu keluar." Leo berbicara dengan Ramon di luar kamar Aiza."Kamu punya ide yang lebih bagus? Aku nggak mau nama Aiza kotor, Yo. Ini harus diakhiri, sekali untuk selamanya. Aku juga udah capek, setelah Aiza selesai dengan urusan ini, aku udah bulat mau berhenti."Mata Leo terbelalak. "Ha? Mon, nggak ... nggak bisa, Mon.""Yo, berhenti. Hidupku bukan keputusan kamu. Ada anak kami yang harus kami besarkan. Aku udah pilih, Solo, kami akan sela