"Ingat perjanjian kita! Jangan kotori tempat ini. Bagianmu di luar masjid. Jika ingin bertarung carilah tempat yang lain, Mutik!"
"Cih! Baiklah, aku akan pergi, dan kau anak muda, aku akan menemuimu lagi!"
Sang kakek tersenyum kepada Anggara lalu perlahan menepuk bahu lelaki muda tersebut.
"Anak muda memang lebih berani dalam mengambil sikap, namun cenderung tergesa-gesa. Tidak segala sesuatu itu harus diselesaikan dengan tenaga, terkadang kita harus menggunakan otak dan kepintaran kita!"
Sang kakek melepaskan tangannya. Perlahan langkah kakinya bergerak mundur dengan tatapan masih di Anggara.
"Pulanglah Nak! Berhati-hatilah dengan perempuan cantik!"
"Hah...!"
Anggara terbangun. Ternyata dirinya tertidur sambil duduk bersila. Entah mengapa mimpi barusan terasa sangat nyata. Lalu apa maksud dari perkataan sang kakek tadi yang menyuruhku agar berhati-hati terhadap perempuan cantik? Anggara bermonolog dengan dirinya sendiri
"Jadi begini, Nak Anggara. Saya ingin mengajukan lamaran kepada Nak Anggara agar mau mempersunting anak saya, Lastri. Apakah Nak Anggara bersedia?"Anggara mendesah pelan, ini bukanlah sesuatu hal yang patut untuk dirinya banggakan, dikejar-kejar anak gadis kepala Desa Kalimas. Menikah bukanlah prioritasnya saat ini. Lastri memang seorang gadis dengan paras yang cantik dan tubuh indah tanpa cacat idaman para lelaki. Namun sayangnya tak ada rasa sedikitpun untuk Lastri dihati Anggara. Dirinya harus fokus dengan amanah mendiang kakek buyutnya. Selain itu juga hatinya sudah terisi nama perempuan lain.Pak Purnomo yang membaca ekspresi Anggara langsung mengerti."Jangan terburu-buru. Kami tidak meminta jawaban Nak Anggara saat ini juga. Nak Anggara boleh berpikir dengan tenang terlebih dahulu.""Maafkan saya Pak Purnomo. Sebenarnya….""Apa Kangmas Anggara menolakku karena perempuan lain?"Lastri langsung memotong
Pagi-pagi Anggara sudah berdiri di depan Masjid Tiban. Dirinya mematung."Apa yang harus aku lakukan?""Tahajudlah Nak! Berpuasalah!"Tiba-tiba ada suara kakek tua yang berbisik di telinganya. Anggara tersentak. Dirinya merasa lalai. Kenapa saat hatinya gundah dirinya justru menjauh dari sang pencipta. Tidak ada kekuatan yang lebih besar daripada kekuatan Allah Swt.Hujan turun deras dengan tiba-tiba. Anggara berlari menuju rumahnya. Dirinya mengurungkan niatnya untuk masuk ke Masjid Tiban hari ini. Sesampainya di depan rumah Anggara melihat perempuan yang memakai penutup wajah berdiri di depan rumahnya, seolah menunggu kedatangannya.Anggara merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi jika ia mendekati perempuan tersebut, sehingga dirinya membiarkan tubuhnya terus diguyur air hujan. Anggara berdiri di depan pagar rumahnya sementara si Perempuan dengan penutup wajah itu berdiri tepat mengha
Malam ini Anggara tengah bersimpuh memohon petunjuk. Tugasnya terasa sangat berat. Apakah dirinya harus menyerah saja? Dimulai dari Masjid Tiban, lalu Sumirah yang misterius yang telah membuatnya jatuh hati, dan terakhir masalah Lastri. Anggara rasa-rasanya ingin menyerah.Anggara tanpa terasa tertidur dan bermimpi, dalam mimpinya dirinya bertemu dengan almarhum kakek buyutnya. Sang kakek memberikan sorbannya lalu membisikkan kata-kata. Di akhir pertemuan sang kakek menyuruh Anggara untuk menikah. Dengan menikah Anggara akan terbebas dari godaan perempuan dari Desa Kalimas maupun godaan dari lelembut yang menyerupai perempuan. Setelah kata-kata terakhir sang kakek buyut terucap, Anggara terbangun dari tidurnya."Jadi aku harus kembali ke Pulau Seberang untuk menikah?"Anggara meremas dadanya yang terasa nyeri. Dirinya merasa seolah tak rela, dirinya juga merasa seseorang akan sangat kecewa jika ia menikah.Anggara yang masih tidak yakin terus melakukan sholat malam dan hasilnya masih
"Kau!"Anggara tak percaya melihat siapa yang kini muncul di hadapannya. Seseorang yang selalu ada di belakangnya dan tak mau menunjukkan wajahnya."Sumirah!"Sumirah mencekal kuat tangan Anggara yang hendak menyentuh kepala Nyai Mutik."Jadi, kau keturunan Mbah Parman, Kangmas Anggara?”Sumirah menghempaskan kasar tangan Anggara lalu berdiri di depan Nyai Mutik yang terduduk lemas. Berusaha melindunginya dari serangan Anggara."Jangan ganggu Nyai Mutik, segeralah pergi dari Desa Kalimas. Tak cukupkah selama ini aku memberimu peringatan kangmas Anggara!""Aku tahu jika selama ini yang ada di belakangku adalah kau Sumirah. Kenapa engkau tak pernah mau menunjukkan wajahmu?""Aku peringatkan sekali lagi. Jangan ganggu urusan kami. Pergilah, dan urungkan niatmu untuk membuka Masjid tiban kembali!""Maafkan aku Sumirah, aku sudah berjanji dengan almarhum kakek buyutku. Jadi aku mohon jangan halangi aku. Sungguh, aku tak ingin sedikitpun menyakitimu!""Hemph…. Manusia! Pulanglah kau ke Pula
Sumirah meniupkan serbuk hijau ke mata Anggara. Anggara yang lengah tak lagi mampu menghindar."Lihatlah dengan mata kepalamu sendiri betapa kejamnya mereka padaku, Kangmas Anggara!"Anggara menjerit kesakitan sambil menutup matanya yang terasa terbakar akibat dari serbuk hijau yang ditiupkan oleh Sumirah tepat di kedua matanya. Kaki Anggara mundur beberapa langkah hingga akhirnya tubuhnya limbung dan duduk tersungkur di atas pasir Pantai Laut Kidul.Sumirah diam menatap lelaki yang dia cinta itu tengah menahan sakit. Hatinya sedang berperang sendiri, akankah dirinya membiarkan Anggara hidup atau harus membunuh lelaki tersebut.Ini adalah waktu yang tepat untuk mengakhiri pertarungan ini. Anggara sedang dalam posisi yang lemah."Bunuh dia Sumirah, demi kelangsungan bangsa kita. Bangsa lelembut Rawa Ireng. "Sumirah menoleh ke belakang, entah sejak kapan Kanjen
Anggara berdiri di sebuah bangunan rumah yang begitu megah dan besar. Rumah yang kokoh, menggambarkan status dari si Empunya. Rumah dengan gaya klasik, khas rumah Bangsawan Jawa.Saat Anggara sibuk menatap megahnya bangunan itu, tiba-tiba seorang anak perempuan dengan muka khas pribumi berlari sambil tertawa riang. Anak kecil yang sangat cantik dengan berpakaian anak-anak khas Belanda. Di belakangnya menyusul seorang pria yang terlihat begitu priyayi, auranya terlihat begitu berkarisma. Anggara berpikir jika pria itu pasti ayah dari anak kecil tadi, muka mereka begitu mirip.Anggara kini melihat anak cantik tadi bersama ayahnya duduk di sebuah gazebo sambil memakan buah anggur."Bagaimana rasanya, Nduk? Enak?""Enak Rama. Sumirah suka. Sumirah suka buah anggur." Dahi Anggara berkerut mendengar percakapan ayah dan anaknya itu."Sumirah? Jadi anak kecil ini Sumirah?" Anggara bergumam. Kenapa dirinya bisa melihat Sumirah, wanita yang dicintainya itu. Anggaran melihat Sumirah dikala w
Sumirah tersadar dari pingsannya. Tenaganya telah pulih kembali. Anggara masih tetap tidur di pangkuan kakinya. Sumirah yakin saat ini Anggara pasti masih melihat masa lalunya. Sumirah menyeringai tatkala mengingat bagaimana dirinya membunuh sepasang iblis itu. Yaitu Permana dan Gendis.Sementara itu Anggara yang masih melihat kilas balik kehidupan Sumirah kini tengah menatap bagaimana nasib Permana dan Gendis di tangan Sumirah."Sumirah! Sumirah, lepaskan aku!" Klonteng… klonteng… klonteng...."Lepaskan aku, Sumirah. Dasar kau iblis!" Permana terus memukul-mukul kurungan besi yang mengurungnya sambil terus memanggil-manggil nama mantan istrinya itu. Tak lama Sumirah pun datang, Permana yang melihatnya langsung berteriak."Lepaskan aku, Sumirah!" Sumirah berdiri tepat di hadapan Permana, raut wajah Sumirah nampak datar."Kalau aku melepaskanmu, apa yang akan kau lakukan Permana!""Lepaskan aku. Aku harus mencari Gendis!" "Dasar bodoh! Sudah kubilang Gendis sudah hidup bahagia deng
"Kangmas Permana…!"Gendis berteriak histeris saat tahu jika yang memanggilnya adalah Permana suaminya. Tubuhnya gemetar hebat saat melihat Permana perlahan berjalan mendekatinya."Gendis...!" Permana berteriak memanggil istrinya sambil terus berlari mendekat, dirinya tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang menatap heran ke arahnya. Permana sudah kalap karena cemburu melihat wanita yang sangat dia cintai itu menggandeng mesra seorang pria Belanda yang wajahnya tak ia kenal sama sekali."Sini kau!"Permana langsung menarik lengan Gendis dengan kasar. "Kenapa kau di sini! Kenapa kau sama orang Londo itu hah! Mau jual diri kau, hah!" "Bukan begitu, Kangmas. Aku...!" Gendis berusaha menjelaskan namun Permana yang sedang emosi tak tahan Lagi. Dia Mendorong tubuh Gendis ke tanah.Tubuh kurus Gendis terpelanting lalu jatuh tersungkur di tanah."Bukannya kau kabur dengan Meneer sialan itu! Kenapa kau ada di tempat murahan seperti ini Gendis! Kau memang murahan! Sudah aku pungut dari t
“Bapak ….” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya itu telah kembali dengan selamat.“Bapak kenapa? Kenapa bapak menangis?” Lagi Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang telah basah oleh air mata.“Nggak apa-apa. Ayah tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Paman Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku jika dirinya begitu mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api.“Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak?” Nampaknya Seruni sama sekali tidak ingat dengan apa yang telah terjadi dengan nya barusan. Paman Ahmad yang mengerti pun langsung melepaskan pelukannya dari tubuh anak semata wayangnya itu.Paman Ahmad yang melihat anak gadisnya telah melupakan semuanya sedikit lega. Yang mana itu berarti Seruni yang ada di hadapannya saat ini adalah Seruni yang tubuhnya benar-benar berisi jiwa Seruni yang a
“Apa yang kamu lakukan, Kyai Ibrahim!” Paman Ahmad berteriak.Kyai Ibrahim kaget kenapa bisa bapak Seruni itu bisa berada di dunia yang bukan dunianya manusia.Paman Ahmad yang belum juga mendapatkan jawaban pun berlari mendekati sang Kyai dan begitu sampai Paman Ahmad langsung menarik pergi tangan Kyai agar menjauh dari hadapan sosok ular Sumirah yang sedang terbakar oleh api yang berkobar.“Ada apa ini sebenarnya, Kyai? Kenapa ada makhluk mengerikan itu di sana?” Paman Ahmad mengulang kembali pertanyaannya sambil menatap ular Sumirah.“Aku sedang berusaha mengembalikan sukma Satria ke tempat yang seharusnya, Pak Ahmad. Dan ini sangat mendesak. Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar sekarang.” Kyai Ibrahim berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas.“Satria? Bagaimana bisa?” Paman Ahmad masih belum percaya dengan ucapan sang Kyai.“Lihatlah disana.” Kyai Ibrahim menunjuk ke arah mana Satria masih duduk bengong tak bergerak sama sekali.“Itu Satria, Kyai?!” Paman Ahmad kaget kena
"Kenapa kamu kesini! Kamu tidak aku undang!" Wanita yang memeluk Satria langsung memasang wajah marah."Kembalikan apa yang seharusnya kamu kembalikan. Dia dan kamu bukan lah makhluk yang sama. Seberapapun kerasnya kamu berusaha takdir kalian tidak akan pernah bersama." Kyai Ibrahim dengan tegas meminta wanita cantik itu melepaskan Satria yang ada di cengkramannya."Tidak! Kangmas Satria akan ikut bersamaku dalam keabadian. Di dalam tubuhnya mengalir darah kekasihku! Selamanya dia akan menjadi milikku. Pergi lah kau wahai tua bangka! Aku benci auramu itu!" Lagi suara perempuan yang memeluk Satria menggelegar."Dia bukan milikmu, Sumirah! Jangan paksa aku untuk bertarung denganmu!" Kyai Ibrahim menyodorkan tasbih yang dirinya genggam ke arah Sumirah."Kau menantangku! Dasar tua bangka! Tak sadarkah kamu bahwa kamu sebentar lagi akan masuk ke liang lahat?! Jangan urusi urusanku dan pergilah, urusi saja umurmu yang tak lama lagi itu!" Sumira menatap dengan tatapan yang begitu tajam.“Kam
Bu Hafsah yang kebingungan melihat keadaan anaknya yang duduk bersandar di tembok dalam keadaan pingsan pun nekat pergi ke rumah Kyai Ibrahim menggunakan sepeda yang ada di rumahnya. Bu Hafsah melepaskan mukena nya dengan tergesa dan memakai kerudungnya. "Tunggu ibu, sebentar." Bu Hafsah menatap anaknya sebentar baru kemudian pergi keluar dari rumahnya. Di perjalanan menuju ke rumah Kyai Ibrahim Bu Hafsah tidak mempedulikan dirinya sendiri yang seolah dirinya tengah di tatap oleh ratusan pasang mata. Di pikiran Bu Hafsah saat ini adalah bagaimana caranya agar dirinya bisa segera sampai di rumah Kyai Ibrahim dan meminta tolong kepada beliau. Di pertengahan jalan, Bu Hafsah dihadang oleh seekor ular hijau yang ujung ekor dan kepalanya berwarna merah terang sebesar pohon bambu. "Astagfirullah!" Bu Hafsah menghentikan sepeda yang dirinya kendarai secara mendadak. Ular yang menghadang Bu Hafsah melotot tajam sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang dan terus berdesis. Kepala ular ter
Bu Hafsah duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Ibu paruh baya tersebut merasa jika dirinya sudah keterlaluan karena membiarkan anak lelakinya itu begitu saja di depan rumah, padahal Bu Hafsah sangat yakin jika anak semata wayangnya itu pasti belum makan karena satria hilang sejak subuh tadi. Tadi pagi, setelah sholat subuh, Bu Hafsah ingin membangunkan anak lelakinya yang sering kesiangan itu, Namun, alangkah kagetnya jika ternyata anak lelakinya tidak ada di kamarnya. Tentu saja Bu Hafsah kebingungan dan mencari anaknya. Ternyata anaknya itu benar-benar pergi dari rumah. Bu Hafsah pun resah. Namun, ketika sudah tenang, wanita tersebut berpikir jika anak lelakinya itu mungkin saja ada urusan mendadak jadi tidak sempat untuk pait dengannya. Tapi siapa sangka jika ternyata Saria itu pergi ke reruntuhan pondok pesantren. Padahal Bu Hafsah sudah melarang keras agar anaknya itu tidak pergi kesana. Namun, ternyata Satria nekat pergi kesana dan tidak berpamitan. Tentu saja Bu Hafsa
"Nggih, Bu. Saya dari reruntuhan pondok pesantren peninggalan Eyang Kakung Anggara." Satria berkata sambil menundukkan kepalanya karena takut melihat sorot tajam dari mata ibunya. Lelaki itu tak bisa untuk membohongi ibunya."Kamu ...!" Bu Hafsah berkata sambil menunjuk wajah anak semata wayangnya itu menggunakan jari telunjuk yang bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap."Bu, ada apa toh ini sebenarnya. Saya ini sudah dewasa, Bu. Kenapa ibu begitu banyak menyimpan rahasia?" Satria memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya yang sedang marah."Lupakan!" Bu Hafsah menarik telunjuknya dengan kasar, lalu membalik badannya hendak meninggalkan anaknya."Ibu, tunggu!" Satria mencengkram erat pergelangan tangan ibunya sehingga Bu Hafsah terpaksa menghentikan langkahnya."Ibu, Ibu kenapa toh? Kenapa Ibu tidak mau berterus terang kepada saya, Bu?" Satria menuntut penjelasan kepada sang ibu mengapa dirinya terus diperlakukan seperti seorang anak kecil.Namun, Bu Hafsah tetap saja membi
Pagi-pagi sekali Satria berjalan perlahan menuju tempat yang pernah dia datangi di dalam mimpi. Bahkan adzan subuh baru saja berkumandang dan sinar mentari pagi pun baru sedikit terlihat warna jingganya. Lelaki muda tersebut mengendap-ngendap keluar dari rumah ibunya. Tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Kemarin setelah siuman dari pingsan Satria sempat beradu pendapat dengan sang ibu. Ibunya yaitu Bu Hafsah sangat menyesali keputusan Satria yang mengusir Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad. Terlebih Satria berkata jika dirinya tidak mempercayai kedua orang tersebut. Padahal justru mereka berdua lah yang sangat perhatian dengan apa yang terjadi pada Satria. "Kamu sudah salah paham, Satria. Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Walau memang cara pandang kedua orang itu berbeda tapi ibu yakin jika Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad sangat mengkhawatirkanmu. Mereka peduli denganmu, Satria. Bagaimana mungkin kamu bisa tidak mempercayai mereka." Bu Hafsah terlihat beg
Di saat Kyai Ibrahim, Bu Hafsah dan Paman Ahmad bertengkar. Satria yang jiwanya telah lepas justru kini tengah melangkah bersama sosok yang begitu mirip dengan eyang putrinya, Eyang Putri Fatimah. Sosok perempuan cantik dengan gamis melayu dan rok senda, tak lupa juga selendang menutupi kepalanya yang membuat sosok tersebut terlihat anggun walaupun berpenampilan sederhana. Sosok yang begitu berbeda dengan Sumirah yang walaupun cantik tapi terasa begitu berbahaya.Jiwa Satria dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi Satria."Tempat ini kan ...." Satria tidak melanjutkan perkataannya, tapi justru memandang sosok yang berdiri di sampingnya.Sosok yang bersama Satria itu jarinya menunjuk ke sebuah arah di antara puing-puing bangunan sisa peninggalan dari suaminya. Sosok Fatimah muda tersenyum menatap Satria. Sosok tersebut hanya tersenyum, tapi tak berkata-kata."Aku harus ke sana?" Satria menunjuk dirinya sendiri.Sosok Fatimah mengangguk."Tapi disana tidak ada apapun, Eyang?"
"Pak Ahmad! Pak! Bapak tidak apa-apa?" Kyai Ibrahim menepuk pelan pundak Paman Ahmad yang sedari tadi membisu. Paman Ahmad menepis kasar tangan sang kyai yang menempel di pundaknya. Paman Ahmad kembali membuang muka sambil tangannya bersedekap. "Mari kita lupakan dulu permasalahan antara Saeruni dan Nur, Pak Ahmad. Terpenting untuk saat ini kita harus menyelamatkan Satria. Karena akar dari permasalahan ini ada pada Satria." Paman Ahmad mengendurkan raut wajahnya yang kaku. Terdengar hembusan nafas pelan. "Lalu, apa saranmu, Kyai?" Paman Ahmad berbicara dengan nada yang lebih lembut walaupun masih terkesan ketus. "Satria itu masih muda. Dia adalah lelaki yang berada di usia yang mana nafsunya sebagai seorang lelaki sedang berada di puncaknya. Satria sangat lemah jika berhadapan dengan kecantikan wanita. Jujur saja ini sangat berat mengingat yang mengikat jiwanya adalah perempuan yang jelita." Kata-kata dari Kyai Ibrahim seketika membuat bu Hafsah lemas karena kehilangan harapan un