Sumirah tersadar dari pingsannya. Tenaganya telah pulih kembali. Anggara masih tetap tidur di pangkuan kakinya. Sumirah yakin saat ini Anggara pasti masih melihat masa lalunya. Sumirah menyeringai tatkala mengingat bagaimana dirinya membunuh sepasang iblis itu. Yaitu Permana dan Gendis.Sementara itu Anggara yang masih melihat kilas balik kehidupan Sumirah kini tengah menatap bagaimana nasib Permana dan Gendis di tangan Sumirah."Sumirah! Sumirah, lepaskan aku!" Klonteng… klonteng… klonteng...."Lepaskan aku, Sumirah. Dasar kau iblis!" Permana terus memukul-mukul kurungan besi yang mengurungnya sambil terus memanggil-manggil nama mantan istrinya itu. Tak lama Sumirah pun datang, Permana yang melihatnya langsung berteriak."Lepaskan aku, Sumirah!" Sumirah berdiri tepat di hadapan Permana, raut wajah Sumirah nampak datar."Kalau aku melepaskanmu, apa yang akan kau lakukan Permana!""Lepaskan aku. Aku harus mencari Gendis!" "Dasar bodoh! Sudah kubilang Gendis sudah hidup bahagia deng
"Kangmas Permana…!"Gendis berteriak histeris saat tahu jika yang memanggilnya adalah Permana suaminya. Tubuhnya gemetar hebat saat melihat Permana perlahan berjalan mendekatinya."Gendis...!" Permana berteriak memanggil istrinya sambil terus berlari mendekat, dirinya tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang menatap heran ke arahnya. Permana sudah kalap karena cemburu melihat wanita yang sangat dia cintai itu menggandeng mesra seorang pria Belanda yang wajahnya tak ia kenal sama sekali."Sini kau!"Permana langsung menarik lengan Gendis dengan kasar. "Kenapa kau di sini! Kenapa kau sama orang Londo itu hah! Mau jual diri kau, hah!" "Bukan begitu, Kangmas. Aku...!" Gendis berusaha menjelaskan namun Permana yang sedang emosi tak tahan Lagi. Dia Mendorong tubuh Gendis ke tanah.Tubuh kurus Gendis terpelanting lalu jatuh tersungkur di tanah."Bukannya kau kabur dengan Meneer sialan itu! Kenapa kau ada di tempat murahan seperti ini Gendis! Kau memang murahan! Sudah aku pungut dari t
Anggara menangis sambil memeluk surat dari Sumirah. Ternyata perempuan itu tak berniat membunuhnya, tapi justru menolongnya. Anggara jadi teringat saat dirinya melukai Sumirah. Apakah dia baik-baik saja, atau justru terluka parah?.Anggara sungguh menyesali perbuatannya yang telah menyerang Sumirah.Namun saat itu dirinya juga terpaksa melakukannya. Anggara menekan kuat-kuat dadanya yang terasa sesak."Apa yang harus aku lakukan?"Anggara perlahan bangkit lalu berjalan menyusuri pantai untuk kembali pulang ke Desa Kalimas. Anggara kaget saat tahu jika ternyata dirinya telah berada di Pulau Seberang, bukan lagi di pulau tempat Desa Kalimas berada. Sumirah telah mengantar dirinya kembali ke pulau seberang."Apa yang kau pikirkan Sumirah! Kenapa kau antar aku pulang. Bagaimanakah nasibmu di sana?"Anggara berdiri sambil menatap deburan ombak, dirinya bingung, apa yang harus dia lakukan sekarang. Haruskah dirinya pulang ke pondok dan mence
"Berwudhulah dulu, Anggara.""Iya, Kyai."Saat Anggara berwudhu, Kyai Akbar dibantu oleh Fatimah dan beberapa murid yang lain menyiapkan peralatan ruqyah yang dibutuhkan seperti air putih dalam gelas, tembikar, daun bidara dan perlengkapan yang lain.“Abah, apa perlu kakak Anggara diruqyah? seandainya Kak Anggara menolak Fatimah, maka Fatimah tak keberatan, Abah. Bukankah dengan meruqyah Kak Anggara itu berarti Abah tidak mempercayai ketebalan iman Kak Anggara?”Kyai Akbar tersenyum lalu mengusap pelan puncak kepala anaknya yang tertutup kerudung tebal itu."Demi Allah, Abah menyayangi Anggara seperti Abah menyayangimu. Abah sudah menganggap Anggara seperti anak Abah sendiri, itu sebabnya Abah meruqyah Anggara kakakmu itu. Bukan karena tak mempercayainya, tapi ini adalah bukti cinta Abah kepada kakakmu, Anggara. Kalau Anggara menolak perjodohan yang Abah ajukan, demi All
Nyai Mutik dan Ireng datang menemui Sumirah yang tengah sekarat. Nyai Mutik menggelengkan kepalanya."Kenapa kamu jadi bodoh seperti ini Sumirah? hanya karena Anggara, cucu dari Parman!"Nyai Mutik berbicara sendiri saat melihat keadaan Sumirah yang mengenaskan."Bawa dia pulang, Ireng!""Tapi dia sudah berkhianat, Nyai!""Ini perintah Kanjeng Ratu, kita tidak bisa membangkangnya!""Baik, Nyai!"Ireng si ular hitam dengan tanduk emas di kepalanya itu melilit Sumirah dengan ekornya lalu perlahan merayap membawa Sumirah pulang ke Rawa Ireng.Sampainya di Rawa Ireng, Sumirah ditidurkan di atas meja batu. Kanjeng Ratu Lintang Pethak yang berwujud perempuan cantik mengelilingi tubuh Sumirah dan kemudian menggelengkan kepalanya."Raga manusianya sudah hampir hancur Mutik, semua ini karena serangan Anggara tempo hari.""Apa bisa ditolong, Kanjeng Ratu?""Satu-satunya cara adalah dengan mencari wadah yang baru.""Tapi Sumirah belum mempunyai calon wadah baru untuk jiwanya, Kanjeng Ratu?""Sud
"Bersemadilah selama 3 hari, Sumirah. Bertapalah kau di Pendopo Jati tempat kau dulu menyatukan sukmamu dengan teratai putih yang kau petik. Setidaknya dengan begitu ragamu yang rapuh itu perlahan bisa membaik dan bertahan selama 100 hari sebagai wadah dari susuk teratai putihmu sampai kau mendapatkan wadah yang baru!"Kanjeng Ratu Lintang Pethak berbicara dengan sangat lembut kepada Sumirah, suaranya bagaikan kelembutan seorang ibu yang mengkhawatirkan keadaan anaknya. Nyai Mutik sampai dibuat heran, sebab kanjeng ratu Lintang Pethak saat itu begitu murka kepada Sumirah tatkala dia lebih memilih untuk menyelamatkan Anggara daripada membunuhnya. Mengapa saat ini sang ratu yang jelita itu justru terlihat begitu peduli dengan keadaan Sumirah? Nyai Mutik yang heran hanya diam tanpa berani bertanya."Nggih, siap nampi dhawuh Kanjeng Ratu."Sumirah bergegas pergi ke Pendopo Jati untuk bersemedi selama 3 hari.Selepas kepergian Sumirah, Kanjeng Ratu menatap hamparan danau jelmaan Rawa Ire
Sepasang mata dengan pupil ular mengintip dari balik selendang hijau yang menutupi wajah dari pemilik mata tersebut. Dirinya menatap diantara kerumunan orang yang tengah menyambut kembalinya seseorang ke desa Kalimas."Loh,ini siapa, Nak Anggara?""Ini Fatimah, Pak Pur. Istri saya.""Oalah, jadi Nak Anggara yang tiba-tiba pergi ternyata mau menikah toh!""Iya Pak Pur, maafkan saya yang tak sempat berpamitan.""Ya sudah tak apa, silakan Nak Anggara masuk ke dalam rumah dan beristirahat.""Iya Pak, nanti malam Insya Allah saya akan ke rumah Bapak.""Iya, silahkan Nak Anggara istirahat dulu. Saya permisi."Pak Purnomo pun berpamitan pergi sambil membubarkan kerumunan warga yang penasaran dengan kepergian Anggara secara tiba-tiba itu."Tunggu!"Tiba-tiba Anggara berteriak saat melihat seorang perempuan dengan selendang hijau menutupi waja
Hari ini Anggara dan Fatimah dibantu oleh ibu-ibu tetangga membuat nasi kuning sebagai tanda syukur atas pernikahan mereka. Sekaligus sebagai cara agar Fatimah dapat mengenal warga yang lain.Di dapur Fatimah tanpa sengaja mendengar ibu-ibu yang tengah berbincang sesuatu."Duduk sini toh, Mbak Fatimah, ikut gabung. Jangan berdiri sendirian!"Fatimah diseret paksa agar mau duduk lesehan di atas tikar pandan bersama ibu-ibu yang lain yang tengah sibuk meletakkan nasi kuning di dalam tempat yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut dengan besek. Mau tak mau, Fatimah pun ikut bercengkrama dengan mereka."Ibu-ibu tahu tidak. Istrinya Wage saat ini sedang kebingungan dan menangis."Bu Surti, istri Kepala Desa memulai percakapan."Lah kenapa toh, Bu Surti?"Bu Paijem menimpali dengan tangan yang masih cekatan menata nasi kuning di dalam besek."Iya Bu Surti, ada apa toh?"Kini giliran ibu-ibu yang lain ikut menimpali."Tadi pagi istrinya Wage, pakai nangis segala datang ke rumah saya Bu,
Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek
"Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di
“Kiai sudah di sini dari tadi?” Seseorang menepuk pelan pundak Kiai Ibrahim dengan lembut.Kiai Ibrahim menoleh dan tersenyum saat tahu yang menepuknya adalah manusia, bukan jin. “Sudah dari tadi, sekalian nunggu adzan, Fauzi.”Rupanya, yang menepuk pundak sang Kiai adalah Fauzi, marbot masjid sekaligus muadzin yang biasanya mengumandangkan adzan di Masjid Tiban.“Maaf, Kiai. Tadi saya pulang dulu, lapar, lalu mandi,” ujar Fauzi sambil cengar-cengir, tampak malu karena Kiai Ibrahim sudah lebih dulu datang ke masjid.“Tidak apa-apa, Fauzi. Ini sudah masuk waktu sholat. Kamu adzan dulu,” jawab Kiai Ibrahim sambil tersenyum ke arah Fauzi.“Nggih, Kiai.” Fauzi pun bergegas menuju tempat adzan untuk mengumandangkannya, menandakan waktu sholat Ashar telah tiba.Lantunan suara Fauzi yang merdu memenuhi ruang masjid, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Kiai Ibrahim menutup mata sejenak, meresapi setiap lafaz adzan yang terasa sejuk di hati. Meski suasana masjid masih sepi, ada ket
Kiai Ibrahim pulang bersama kedua muridnya setelah urusannya dengan Pak Ahmad selesai. Langkah mereka pelan menyusuri jalan yang sunyi, hanya suara serangga malam yang sesekali terdengar.“Kalian berdua jangan sebarkan apa pun tentang apa yang kalian lihat di rumah Seruni. Jika kalian bertamu ke rumah orang lain, maka ketika kalian pulang, mata kalian harus buta, mulut harus bisu, dan telinga harus tuli. Paham, kan?” ujar Kiai Ibrahim dengan nada tegas, pandangannya tajam mengarah pada kedua muridnya.“Baik, Kiai,” jawab kedua murid itu serempak, mengangguk tanpa berani membantah.Perjalanan mereka dilanjutkan dalam keheningan. Kiai Ibrahim berjalan paling depan, sementara kedua muridnya mengikutinya dengan langkah penuh kehati-hatian. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, terutama Kiai Ibrahim.Hati kiai sepuh itu dipenuhi berbagai tanda tanya. Ia tidak menyangka keadaan Seruni sedemikian mengkhawatirkan. Apakah Pak Ahmad benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya?
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia
Seruni menggeliat kesakitan di lantai, tubuhnya yang tadi tegang seperti ular kini mulai melonggar. Wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh penderitaan. Kedua matanya yang tadi berkilau tajam dengan warna kuning keemasan perlahan mulai memudar, kembali menjadi seperti mata manusia biasa, meskipun pupilnya masih terlihat aneh.Kiai Ibrahim segera berjongkok mendekat, tangannya gemetar namun penuh niat untuk membantu. "Seruni, Nak, bertahanlah! Kamu harus melawan apa pun yang menguasaimu ini!" katanya dengan suara lembut namun tegas.Dua pemuda yang tadi mendampingi Kiai Ibrahim saling berpandangan, bingung dan ketakutan. Namun, mereka tetap mendekat dengan hati-hati, mengikuti aba-aba Kiai Ibrahim.“A-apa yang harus kita lakukan, Kyai?” salah satu dari mereka bertanya dengan nada gemetar.Kiai Ibrahim tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Seruni yang kini terengah-engah di lantai. Tubuh gadis itu tampak gemetar hebat, seolah sedang berperang melawan sesuatu yang tak terli
Seruni terlihat sibuk mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil sesekali menengok ke jendela, berharap bapaknya segera pulang.Sudah tiga hari bapaknya tidak pulang, dan hal itu membuat Seruni semakin khawatir.Malam terakhir sebelum kepergiannya, Seruni sempat melihat sang bapak panik sambil berkata sesuatu yang tidak terlalu ia pahami—"Aku harus ke karang bolong secepatnya." Malam itu pula sang bapak berpamitan, mengatakan bahwa ia harus pergi ke suatu tempat dan akan kembali dalam tiga hari.Seruni sebenarnya tidak terlalu kaget dengan kebiasaan bapaknya. Sejak dulu, Pak Ahmad memang sering pergi ke tempat-tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu. Namun, kali ini berbeda.“Jangan terima tamu siapa pun di malam hari, kecuali itu bapak,” pesan Pak Ahmad sebelum pergi.Seruni hanya mengangguk, melepas kepergian bapaknya tanpa banyak bertanya. Namun, kini dua malam sudah berlalu tanpa ada tanda-tanda kepulangan bapaknya. Ini sudah pagi ketiga, dan Pak Ahmad belum juga kembali.Malam-
Mbah Bejo mengepulkan asap rokok menyannya tinggi-tinggi sambil memandang ke arah laut dari pintu gubuk tuanya yang terbuka lebar. Matahari mulai tenggelam, mengenakan selendang senja berwarna jingga yang indah namun menyimpan aura mencekam.Gubuk tua itu sunyi, hanya dihuni Mbah Bejo seorang diri setelah Pak Ahmad pulang membawa cerita tentang Sumirah.Di rumah itu juga ada setitik sinar dari lampu teplok minyak tanah yang mana apinya yang berwarna jingga terang itu sesekali bergoyang karena angin cukup kencang padahal nyala api kecil itu dilindungi oleh kaca dari lampu teplok tua itu.Suasana yang tadinya hanya sepi kini mulai berubah. Hawa di sekitarnya menjadi berat, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang.Mbah Bejo menghisap rokok menyannya dalam-dalam, matanya tak lepas dari laut yang perlahan berubah kelam. Angin dingin tiba-tiba berhembus kencang, membawa aroma asin yang bercampur bau amis. Ia menghela nafas panjang, mengamati bagaimana langit berganti dar
"Jadi, makhluk yang bikin kamu jauh-jauh cari ilmu kanuragan sampai rela kasih tumbal tujuh darah perawan itu si Sumirah? Aduh, tobat!" Mbah Bejo tampak frustasi, mengusap wajahnya dengan kesal."Lah, apa salahnya, Mbah? Kan waktu itu Mbah sendiri yang bilang, kalau saya kasih tumbal tujuh darah perawan, Mbah bakal kasih keris wulu ireng. Lagian, keris itu beneran berfungsi, kok," Pak Ahmad masih mencoba membela diri."Tapi waktu itu kamu cuma bilang kalau keponakanmu kesurupan Jin Nasab! Dasar sontoloyo! Kalau tahu begini, aku nggak bakal mau bantu kamu!" Mbah Bejo melotot tajam ke arah Pak Ahmad, suaranya meninggi.Pak Ahmad menunduk dalam, tak berani menatap langsung ke mata Mbah Bejo. Tatapan dukun tua itu seolah-olah menusuk sampai ke tulang, membuat seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan, bernafas pun terasa sulit. Dadanya sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya.Mbah Bejo, yang masih marah, mengambil sebatang rokok menyan dari kantongnya. Ia menyulut rokok itu