"Berwudhulah dulu, Anggara."
"Iya, Kyai."
Saat Anggara berwudhu, Kyai Akbar dibantu oleh Fatimah dan beberapa murid yang lain menyiapkan peralatan ruqyah yang dibutuhkan seperti air putih dalam gelas, tembikar, daun bidara dan perlengkapan yang lain.
“Abah, apa perlu kakak Anggara diruqyah? seandainya Kak Anggara menolak Fatimah, maka Fatimah tak keberatan, Abah. Bukankah dengan meruqyah Kak Anggara itu berarti Abah tidak mempercayai ketebalan iman Kak Anggara?”
Kyai Akbar tersenyum lalu mengusap pelan puncak kepala anaknya yang tertutup kerudung tebal itu.
"Demi Allah, Abah menyayangi Anggara seperti Abah menyayangimu. Abah sudah menganggap Anggara seperti anak Abah sendiri, itu sebabnya Abah meruqyah Anggara kakakmu itu. Bukan karena tak mempercayainya, tapi ini adalah bukti cinta Abah kepada kakakmu, Anggara. Kalau Anggara menolak perjodohan yang Abah ajukan, demi All
Nyai Mutik dan Ireng datang menemui Sumirah yang tengah sekarat. Nyai Mutik menggelengkan kepalanya."Kenapa kamu jadi bodoh seperti ini Sumirah? hanya karena Anggara, cucu dari Parman!"Nyai Mutik berbicara sendiri saat melihat keadaan Sumirah yang mengenaskan."Bawa dia pulang, Ireng!""Tapi dia sudah berkhianat, Nyai!""Ini perintah Kanjeng Ratu, kita tidak bisa membangkangnya!""Baik, Nyai!"Ireng si ular hitam dengan tanduk emas di kepalanya itu melilit Sumirah dengan ekornya lalu perlahan merayap membawa Sumirah pulang ke Rawa Ireng.Sampainya di Rawa Ireng, Sumirah ditidurkan di atas meja batu. Kanjeng Ratu Lintang Pethak yang berwujud perempuan cantik mengelilingi tubuh Sumirah dan kemudian menggelengkan kepalanya."Raga manusianya sudah hampir hancur Mutik, semua ini karena serangan Anggara tempo hari.""Apa bisa ditolong, Kanjeng Ratu?""Satu-satunya cara adalah dengan mencari wadah yang baru.""Tapi Sumirah belum mempunyai calon wadah baru untuk jiwanya, Kanjeng Ratu?""Sud
"Bersemadilah selama 3 hari, Sumirah. Bertapalah kau di Pendopo Jati tempat kau dulu menyatukan sukmamu dengan teratai putih yang kau petik. Setidaknya dengan begitu ragamu yang rapuh itu perlahan bisa membaik dan bertahan selama 100 hari sebagai wadah dari susuk teratai putihmu sampai kau mendapatkan wadah yang baru!"Kanjeng Ratu Lintang Pethak berbicara dengan sangat lembut kepada Sumirah, suaranya bagaikan kelembutan seorang ibu yang mengkhawatirkan keadaan anaknya. Nyai Mutik sampai dibuat heran, sebab kanjeng ratu Lintang Pethak saat itu begitu murka kepada Sumirah tatkala dia lebih memilih untuk menyelamatkan Anggara daripada membunuhnya. Mengapa saat ini sang ratu yang jelita itu justru terlihat begitu peduli dengan keadaan Sumirah? Nyai Mutik yang heran hanya diam tanpa berani bertanya."Nggih, siap nampi dhawuh Kanjeng Ratu."Sumirah bergegas pergi ke Pendopo Jati untuk bersemedi selama 3 hari.Selepas kepergian Sumirah, Kanjeng Ratu menatap hamparan danau jelmaan Rawa Ire
Sepasang mata dengan pupil ular mengintip dari balik selendang hijau yang menutupi wajah dari pemilik mata tersebut. Dirinya menatap diantara kerumunan orang yang tengah menyambut kembalinya seseorang ke desa Kalimas."Loh,ini siapa, Nak Anggara?""Ini Fatimah, Pak Pur. Istri saya.""Oalah, jadi Nak Anggara yang tiba-tiba pergi ternyata mau menikah toh!""Iya Pak Pur, maafkan saya yang tak sempat berpamitan.""Ya sudah tak apa, silakan Nak Anggara masuk ke dalam rumah dan beristirahat.""Iya Pak, nanti malam Insya Allah saya akan ke rumah Bapak.""Iya, silahkan Nak Anggara istirahat dulu. Saya permisi."Pak Purnomo pun berpamitan pergi sambil membubarkan kerumunan warga yang penasaran dengan kepergian Anggara secara tiba-tiba itu."Tunggu!"Tiba-tiba Anggara berteriak saat melihat seorang perempuan dengan selendang hijau menutupi waja
Hari ini Anggara dan Fatimah dibantu oleh ibu-ibu tetangga membuat nasi kuning sebagai tanda syukur atas pernikahan mereka. Sekaligus sebagai cara agar Fatimah dapat mengenal warga yang lain.Di dapur Fatimah tanpa sengaja mendengar ibu-ibu yang tengah berbincang sesuatu."Duduk sini toh, Mbak Fatimah, ikut gabung. Jangan berdiri sendirian!"Fatimah diseret paksa agar mau duduk lesehan di atas tikar pandan bersama ibu-ibu yang lain yang tengah sibuk meletakkan nasi kuning di dalam tempat yang terbuat dari anyaman bambu yang disebut dengan besek. Mau tak mau, Fatimah pun ikut bercengkrama dengan mereka."Ibu-ibu tahu tidak. Istrinya Wage saat ini sedang kebingungan dan menangis."Bu Surti, istri Kepala Desa memulai percakapan."Lah kenapa toh, Bu Surti?"Bu Paijem menimpali dengan tangan yang masih cekatan menata nasi kuning di dalam besek."Iya Bu Surti, ada apa toh?"Kini giliran ibu-ibu yang lain ikut menimpali."Tadi pagi istrinya Wage, pakai nangis segala datang ke rumah saya Bu,
"Dengarkan aku baik-baik Fatimah, karena kau adalah istriku, maka aku akan berkata yang sejujurnya padamu. Tapi sebelum aku bercerita, aku minta satu hal padamu. Berjanjilah kau akan tetap bersamaku dan mendampingiku."Anggara mendudukkan istrinya di tepi ranjang, menggenggam kedua tangan istrinya yang kini tengah kebingungan."Sebenarnya ada apa, Kak Anggara?""Berjanjilah terlebih dahulu kalau kau akan selalu bersamaku, Fatimah."Anggara semakin erat memegang tangan sang istri. Pandangan matanya tepat di bola mata Fatimah. Fatimah pun menganggukkan kepalanya."Baiklah, Kak Anggara. Insya Allah aku akan selalu bersamamu, mendampingimu sebagai seorang istri. Sekarang ceritakanlah apa yang sebenarnya terjadi.""Ini tentang Sumirah, Fatimah!""Sumirah? Perempuan yang kau cintai itu, Kak?"Mendengar nama Sumirah. Fatimah ingin melepaskan tangannya dari genggaman suaminya. Namun bukannya terlepas, Anggara semakin mempererat genggaman tangannya."Dengarkan aku dulu, Fatimah. Aku tahu kamu
"Siap nampi dhawuh, Kanjeng Ratu."Segera Sumirah dan Nyai Mutik saling berhadapan, mereka memiliki alasan masing-masing kenapa tetap melanjutkan pertarungan ini.Nyai Mutik demi bisa mempertahankan Masjid Tiban, karena Masjid itu adalah hal yang sangat penting baginya. Masjid yang menjadi satu-satunya peninggalan dari Mbah Parman, lelaki yang teramat dia cintai.Sementara itu Sumirah berusaha mendapatkan Masjid Tiban karena itu satu-satunya cara baginya agar dapat mengambil Fatimah sebagai wadahnya yang baru. Menjadikan masjid itu sebagai umpan agar dapat memperoleh sorban milik Anggara. Dengan begitu dirinya dapat mengalahkan Anggara. Menjadikan Fatimah sebagai pengganti wadahnya yang dirusak Anggara dan mendapatkan kembali Anggara, lelaki yang dia cinta.Demi Cinta, pertempuran saudara ini tak terelakkan lagi. Sang ratu penguasa Rawa Ireng tersenyum puas melihatnya Nyai Mutik dan Sumirah akan bertarung."Nah, siapa yang akan tetap bertahan, menjadi dayang abadiku. Bertarunglah kali
Pagi-pagi Fatimah dan Anggara sudah berada di depan Masjid Tiban. Anggara merasakan hal yang aneh karena Masjid Tiban yang biasanya bersih kini nampak kotor sekali. Daun-daun kering yang berguguran menghiasi halaman masjid. Rumput-rumput pun tumbuh dengan suburnya padahal biasanya halaman masjid begitu rapi dan bersih seolah ada yang membersihkannya setiap hari walaupun Masjid Tiban sama sekali tak ada yang menggunakannya."Apa ini masjidnya, Kak? Kenapa kotor sekali?""Ya Fatimah, tapi ini aneh, biasanya Masjid ini sangat bersih walaupun tak ada yang memakainya. Tapi mengapa sekarang Masjid ini menjadi sangat kotor, seolah sudah bertahun-tahun tak terurus.”Ketika dirinya masih bingung dengan suasana Masjid Tiban, tiba-tiba Anggara merasa seorang kakek tua yang dulu ditemuinya kini tengah berdiri di belakangnya sambil membisikkan kata-kata. Setelahnya sang kakek menghilang entah kenapa"Aku sudah tak ada perjanjian dengan pemilik Masjid ini. Pemilik Masjid ini telah berganti dan ak
"Kanjeng Ratu nimbali kawula?” (Kanjeng ratu memanggil saya?)Seekor ular hitam sebesar pohon kelapa dengan tanduk emas di kepalanya menundukkan kepalanya di hadapan penguasa Rawa Ireng yang cantik jelita. Ratu Lintang Pethak. Sang Ratu tengah menghadap danau yang airnya jernih dan memantulkan cahaya bulan yang keemasan.Biasanya dirinya ditemani oleh Nyai Mutik sang dayang abadinya. Namun karena dia sudah meninggal kini dirinya memanggil si Ireng. Tak Mungkin Sang ratu memanggil Sumirah, karena bagi sang ratu wanita tersebut ibaratkan sebuah mainan yang sangat menyenangkan baginya saat ini. Sang ratu melepaskan kepalanya namun memegang erat ekor Sumirah. Membiarkan dia seolah bebas namun sebenarnya mempermainkan nasibnya sesuka hati."Perang yang sangat mendebarkan sebentar lagi akan terjadi Ireng. Sama seperti 200 tahun yang lalu.""Nggih, Kanjeng Ratu.""Tapi aku juga sudah kehilangan dayang setiaku Ir
“Bapak ….” Seruni yang sudah sadar menyebut nama bapaknya. Sementara itu Pak Ahmad memeluk tubuh Seruni dengan tangan yang gemetar. Lelaki itu begitu senang karena anaknya itu telah kembali dengan selamat.“Bapak kenapa? Kenapa bapak menangis?” Lagi Seruni bertanya, kini tangannya dengan pelan mengusap pipi ayahnya yang telah basah oleh air mata.“Nggak apa-apa. Ayah tidak apa-apa. Kamu masih kepanasan?” Paman Ahmad tentu saja tidak ingin mengaku jika dirinya begitu mengkhawatirkan anaknya yang tiba-tiba menjerit kepanasan seperti tenggelam dalam kobaran api.“Panas? Aku nggak kepanasan kok, Pak?” Nampaknya Seruni sama sekali tidak ingat dengan apa yang telah terjadi dengan nya barusan. Paman Ahmad yang mengerti pun langsung melepaskan pelukannya dari tubuh anak semata wayangnya itu.Paman Ahmad yang melihat anak gadisnya telah melupakan semuanya sedikit lega. Yang mana itu berarti Seruni yang ada di hadapannya saat ini adalah Seruni yang tubuhnya benar-benar berisi jiwa Seruni yang a
“Apa yang kamu lakukan, Kyai Ibrahim!” Paman Ahmad berteriak.Kyai Ibrahim kaget kenapa bisa bapak Seruni itu bisa berada di dunia yang bukan dunianya manusia.Paman Ahmad yang belum juga mendapatkan jawaban pun berlari mendekati sang Kyai dan begitu sampai Paman Ahmad langsung menarik pergi tangan Kyai agar menjauh dari hadapan sosok ular Sumirah yang sedang terbakar oleh api yang berkobar.“Ada apa ini sebenarnya, Kyai? Kenapa ada makhluk mengerikan itu di sana?” Paman Ahmad mengulang kembali pertanyaannya sambil menatap ular Sumirah.“Aku sedang berusaha mengembalikan sukma Satria ke tempat yang seharusnya, Pak Ahmad. Dan ini sangat mendesak. Aku tidak bisa menjelaskan panjang lebar sekarang.” Kyai Ibrahim berusaha menjelaskan dengan singkat dan jelas.“Satria? Bagaimana bisa?” Paman Ahmad masih belum percaya dengan ucapan sang Kyai.“Lihatlah disana.” Kyai Ibrahim menunjuk ke arah mana Satria masih duduk bengong tak bergerak sama sekali.“Itu Satria, Kyai?!” Paman Ahmad kaget kena
"Kenapa kamu kesini! Kamu tidak aku undang!" Wanita yang memeluk Satria langsung memasang wajah marah."Kembalikan apa yang seharusnya kamu kembalikan. Dia dan kamu bukan lah makhluk yang sama. Seberapapun kerasnya kamu berusaha takdir kalian tidak akan pernah bersama." Kyai Ibrahim dengan tegas meminta wanita cantik itu melepaskan Satria yang ada di cengkramannya."Tidak! Kangmas Satria akan ikut bersamaku dalam keabadian. Di dalam tubuhnya mengalir darah kekasihku! Selamanya dia akan menjadi milikku. Pergi lah kau wahai tua bangka! Aku benci auramu itu!" Lagi suara perempuan yang memeluk Satria menggelegar."Dia bukan milikmu, Sumirah! Jangan paksa aku untuk bertarung denganmu!" Kyai Ibrahim menyodorkan tasbih yang dirinya genggam ke arah Sumirah."Kau menantangku! Dasar tua bangka! Tak sadarkah kamu bahwa kamu sebentar lagi akan masuk ke liang lahat?! Jangan urusi urusanku dan pergilah, urusi saja umurmu yang tak lama lagi itu!" Sumira menatap dengan tatapan yang begitu tajam.“Kam
Bu Hafsah yang kebingungan melihat keadaan anaknya yang duduk bersandar di tembok dalam keadaan pingsan pun nekat pergi ke rumah Kyai Ibrahim menggunakan sepeda yang ada di rumahnya. Bu Hafsah melepaskan mukena nya dengan tergesa dan memakai kerudungnya. "Tunggu ibu, sebentar." Bu Hafsah menatap anaknya sebentar baru kemudian pergi keluar dari rumahnya. Di perjalanan menuju ke rumah Kyai Ibrahim Bu Hafsah tidak mempedulikan dirinya sendiri yang seolah dirinya tengah di tatap oleh ratusan pasang mata. Di pikiran Bu Hafsah saat ini adalah bagaimana caranya agar dirinya bisa segera sampai di rumah Kyai Ibrahim dan meminta tolong kepada beliau. Di pertengahan jalan, Bu Hafsah dihadang oleh seekor ular hijau yang ujung ekor dan kepalanya berwarna merah terang sebesar pohon bambu. "Astagfirullah!" Bu Hafsah menghentikan sepeda yang dirinya kendarai secara mendadak. Ular yang menghadang Bu Hafsah melotot tajam sambil menjulurkan lidahnya yang bercabang dan terus berdesis. Kepala ular ter
Bu Hafsah duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Ibu paruh baya tersebut merasa jika dirinya sudah keterlaluan karena membiarkan anak lelakinya itu begitu saja di depan rumah, padahal Bu Hafsah sangat yakin jika anak semata wayangnya itu pasti belum makan karena satria hilang sejak subuh tadi. Tadi pagi, setelah sholat subuh, Bu Hafsah ingin membangunkan anak lelakinya yang sering kesiangan itu, Namun, alangkah kagetnya jika ternyata anak lelakinya tidak ada di kamarnya. Tentu saja Bu Hafsah kebingungan dan mencari anaknya. Ternyata anaknya itu benar-benar pergi dari rumah. Bu Hafsah pun resah. Namun, ketika sudah tenang, wanita tersebut berpikir jika anak lelakinya itu mungkin saja ada urusan mendadak jadi tidak sempat untuk pait dengannya. Tapi siapa sangka jika ternyata Saria itu pergi ke reruntuhan pondok pesantren. Padahal Bu Hafsah sudah melarang keras agar anaknya itu tidak pergi kesana. Namun, ternyata Satria nekat pergi kesana dan tidak berpamitan. Tentu saja Bu Hafsa
"Nggih, Bu. Saya dari reruntuhan pondok pesantren peninggalan Eyang Kakung Anggara." Satria berkata sambil menundukkan kepalanya karena takut melihat sorot tajam dari mata ibunya. Lelaki itu tak bisa untuk membohongi ibunya."Kamu ...!" Bu Hafsah berkata sambil menunjuk wajah anak semata wayangnya itu menggunakan jari telunjuk yang bergetar karena menahan emosi yang meluap-luap."Bu, ada apa toh ini sebenarnya. Saya ini sudah dewasa, Bu. Kenapa ibu begitu banyak menyimpan rahasia?" Satria memberanikan diri untuk menatap wajah ibunya yang sedang marah."Lupakan!" Bu Hafsah menarik telunjuknya dengan kasar, lalu membalik badannya hendak meninggalkan anaknya."Ibu, tunggu!" Satria mencengkram erat pergelangan tangan ibunya sehingga Bu Hafsah terpaksa menghentikan langkahnya."Ibu, Ibu kenapa toh? Kenapa Ibu tidak mau berterus terang kepada saya, Bu?" Satria menuntut penjelasan kepada sang ibu mengapa dirinya terus diperlakukan seperti seorang anak kecil.Namun, Bu Hafsah tetap saja membi
Pagi-pagi sekali Satria berjalan perlahan menuju tempat yang pernah dia datangi di dalam mimpi. Bahkan adzan subuh baru saja berkumandang dan sinar mentari pagi pun baru sedikit terlihat warna jingganya. Lelaki muda tersebut mengendap-ngendap keluar dari rumah ibunya. Tidak ingin membuat sang ibu khawatir. Kemarin setelah siuman dari pingsan Satria sempat beradu pendapat dengan sang ibu. Ibunya yaitu Bu Hafsah sangat menyesali keputusan Satria yang mengusir Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad. Terlebih Satria berkata jika dirinya tidak mempercayai kedua orang tersebut. Padahal justru mereka berdua lah yang sangat perhatian dengan apa yang terjadi pada Satria. "Kamu sudah salah paham, Satria. Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad itu sangat mengkhawatirkan keadaanmu. Walau memang cara pandang kedua orang itu berbeda tapi ibu yakin jika Kyai Ibrahim dan Paman Ahmad sangat mengkhawatirkanmu. Mereka peduli denganmu, Satria. Bagaimana mungkin kamu bisa tidak mempercayai mereka." Bu Hafsah terlihat beg
Di saat Kyai Ibrahim, Bu Hafsah dan Paman Ahmad bertengkar. Satria yang jiwanya telah lepas justru kini tengah melangkah bersama sosok yang begitu mirip dengan eyang putrinya, Eyang Putri Fatimah. Sosok perempuan cantik dengan gamis melayu dan rok senda, tak lupa juga selendang menutupi kepalanya yang membuat sosok tersebut terlihat anggun walaupun berpenampilan sederhana. Sosok yang begitu berbeda dengan Sumirah yang walaupun cantik tapi terasa begitu berbahaya.Jiwa Satria dibawa pergi ke suatu tempat yang tidak asing bagi Satria."Tempat ini kan ...." Satria tidak melanjutkan perkataannya, tapi justru memandang sosok yang berdiri di sampingnya.Sosok yang bersama Satria itu jarinya menunjuk ke sebuah arah di antara puing-puing bangunan sisa peninggalan dari suaminya. Sosok Fatimah muda tersenyum menatap Satria. Sosok tersebut hanya tersenyum, tapi tak berkata-kata."Aku harus ke sana?" Satria menunjuk dirinya sendiri.Sosok Fatimah mengangguk."Tapi disana tidak ada apapun, Eyang?"
"Pak Ahmad! Pak! Bapak tidak apa-apa?" Kyai Ibrahim menepuk pelan pundak Paman Ahmad yang sedari tadi membisu. Paman Ahmad menepis kasar tangan sang kyai yang menempel di pundaknya. Paman Ahmad kembali membuang muka sambil tangannya bersedekap. "Mari kita lupakan dulu permasalahan antara Saeruni dan Nur, Pak Ahmad. Terpenting untuk saat ini kita harus menyelamatkan Satria. Karena akar dari permasalahan ini ada pada Satria." Paman Ahmad mengendurkan raut wajahnya yang kaku. Terdengar hembusan nafas pelan. "Lalu, apa saranmu, Kyai?" Paman Ahmad berbicara dengan nada yang lebih lembut walaupun masih terkesan ketus. "Satria itu masih muda. Dia adalah lelaki yang berada di usia yang mana nafsunya sebagai seorang lelaki sedang berada di puncaknya. Satria sangat lemah jika berhadapan dengan kecantikan wanita. Jujur saja ini sangat berat mengingat yang mengikat jiwanya adalah perempuan yang jelita." Kata-kata dari Kyai Ibrahim seketika membuat bu Hafsah lemas karena kehilangan harapan un