"Kanjeng Ratu nimbali kawula?” (Kanjeng ratu memanggil saya?)Seekor ular hitam sebesar pohon kelapa dengan tanduk emas di kepalanya menundukkan kepalanya di hadapan penguasa Rawa Ireng yang cantik jelita. Ratu Lintang Pethak. Sang Ratu tengah menghadap danau yang airnya jernih dan memantulkan cahaya bulan yang keemasan.Biasanya dirinya ditemani oleh Nyai Mutik sang dayang abadinya. Namun karena dia sudah meninggal kini dirinya memanggil si Ireng. Tak Mungkin Sang ratu memanggil Sumirah, karena bagi sang ratu wanita tersebut ibaratkan sebuah mainan yang sangat menyenangkan baginya saat ini. Sang ratu melepaskan kepalanya namun memegang erat ekor Sumirah. Membiarkan dia seolah bebas namun sebenarnya mempermainkan nasibnya sesuka hati."Perang yang sangat mendebarkan sebentar lagi akan terjadi Ireng. Sama seperti 200 tahun yang lalu.""Nggih, Kanjeng Ratu.""Tapi aku juga sudah kehilangan dayang setiaku Ir
Hari yang ditentukan pun tiba. Anggara dan Fatimah perlahan berjalan beriringan menuju tempat perjanjian. Fatimah dan Anggara hanya diam membisu, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada di antara mereka yang ingin membuka percakapan.Dalam diam, Fatimah teringat dengan percakapan semalam antara dirinya dengan sang suami, yang tak lain dan tak bukan percakapan itu berisi tentang asal muasal sorban yang akan diberikan kepada Sumirah."Kak? Dari mana Kakak, mendapatkan sorban ini? Apa pemberian langsung dari kakek buyutmu?"Fatimah bertanya sambil melipat sorban yang akan ditukarkan besok pagi sambil sesekali dahinya berkerut. Sebab seteliti apapun dirinya melihat, bagi Fatimah sorban yang tengah ia sentuh saat ini tetaplah sebuah sorban biasa. Tak ada istimewanya sama sekali. Sama seperti sorban pada umumnya. Dirinya kebingungan, kenapa Sumirah begitu terobsesi dengan sorban milik suaminya ini. Sungguh perem
"Benar sekali Kangmas Anggara, aku terluka karena serangan darimu kala itu dan asal kau tahu, umurku hanya sampai di ujung purnama."Sang bayu lagi melintas di antara mereka bertiga, menerbangkan sekuntum bunga kamboja yang menghiasi gelungan rambut Sumirah.Anggara terdiam, sungguh saat ini hatinya dipenuhi oleh rasa bersalah karena membuat wanita di hadapannya kini terluka begitu parah. Bahkan dia mengatakan jika umurnya hanya sampai di ujung purnama."Maafkan aku Sumirah!" Anggara mengucap kata maaf.Sumirah tersenyum lebar, merasa apa yang dirinya katakan telah mempengaruhi lelaki di hadapannya itu. Namun saat mulutnya akan kembali terbuka untuk mengobrak-abrik perasaan Anggara, Fatimah yang sudah merasakan akal licik dari Sumirah segera memotong pembicaraan antara Sumirah dan suaminya."Tak perlu Kakak meminta maaf. Ingatlah Kak, Kakak melakukan hal tersebut karena dalam bahaya. Fatimah mohon Kak Anggara. Sadarlah! Jangan lagi Ka
"Jika kau ingin istrimu kembali, temui aku di Rawa Ireng! Kangmas Anggara!"Setelah mengucap kata-kata terakhirnya, kepala ular raksasa jelmaan Sumirah menyelam sepenuhnya ke dalam sungai dan akhirnya menghilang.Meninggalkan Anggara yang linglung, bingung antara sedih, kecewa dan marah. Dirinya merasa dibodohi oleh Sumirah sekaligus merasa menjadi suami dan ayah yang gagal."Cepat ambil sorban itu dan kejar, Sumirah! Sebelum nyawa istrimu dan calon anakmu menjadi tumbal keserakahan wanita itu!"Suara serak kakek tua terdengar di telinga, Anggara segera membalik badan ke belakang. Entah Sejak kapan telah berdiri kakek tua penjaga masjid tiban."Cepat Nak! waktumu tak banyak! Segera ambil sorban peninggalan sahabatku, dan segera tolong istrimu."Lagi terdengar sang kakak memperingatkan Anggara yang tengah linglung karena Sumirah. Anggara yang sadar segera beristighfar."Astagfirullah!" Anggara bergegas berdiri, d
"Ayo kita mulai ritualnya, Fatimah!"Lidah bercabang milik Sumirah menjulur keluar masuk mulutnya. Tangannya mengambil tusuk konde yang menancap di gelungan rambut yang membuat rambutnya tergerai. Kemudian mengarahkan ujungnya yang runcing tepat di kepala Fatimah. Fatimah hanya pasrah, menutup matanya sambil berdoa meminta pertolongan kepada Allah. Sumirah tersenyum sinis melihat tingkah Fatimah."Bersiaplah, mari kita mulai ritual Sungsang Sukma ini Fatimah. Tuhanmu takkan bisa menolongmu ha ha ha!"Sumirah tertawa terbahak-bahak. suaranya menggelegar ke penjuru Rama Ireng. Sumirah tak tahu jika dirinya tengah diawasi oleh penguasa Rawa Ireng yang dia sembah. Ratu yang jelita itu tengah memantau gerak-gerik Sumirah dari pantulan cermin. Dirinya tengah duduk di singgasananya dengan elegan dan anggun. Para dayang dan pengawal berdiri berjajar dengan rapi.Hanya penghuni asli Rawa Ireng yang diperbolehkan oleh Kanjeng Ratu Lintang Pethak untuk memasuki istana megahnya. Manusia biasa tak
"Fatimah!"Anggara berteriak kencang tatkala melihat sang istri tergeletak di atas meja batu dengan hanya berbusana sehelai kain kemben. Tanpa penutup kepala hingga auratnya terbuka. Hati Lelaki tersebut terasa tercabik-cabik melihat keadaan sang istri yang begitu mengenaskan. Detik kemudian pandangannya beralih menatap tajam kearah perempuan yang bertubuh separuh manusia dan separuhnya lagi bertubuh ular. Perempuan yang namanya pernah dia sebut diam-diam."Sumirah! Keterlaluan sekali kau! Apa yang kau lakukan pada istriku!""Ha ha, dasar lelaki bodoh!" Sumirah tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan Anggara.Puas tertawa, matanya kembali nyalang menatap Anggara yang dengan bodohnya datang ke Rawa Ireng. Tak tahukah dia kalau Rawa Ireng adalah rumahnya lelembut. Tabu bagi manusia biasa untuk memasukinya. Jika nekat masuk, nyawa taruhannya."Lepaskan istriku sekarang juga, Sumirah!""Untuk apa, Kangmas? Bukankah engkau
"Mati kau! Anggara!"Mulut ular Sumirah terbuka lebar, siap menelan Anggara hidup-hidup.Terdengar ledakan sangat keras tatkala mulut sang ular tinggal sedikit lagi menyantap mangsanya, yaitu Anggara.Mulut ular Sumirah terbakar, dan mau tak mau Anggara yang terlilit ekornya harus dia lepaskan. Ular Sumirah meraung kesakitan. Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru tempat para lelembut itu tinggal."Bedebah kau lelaki bodoh! Berani-beraninya kau melukaiku, hah! Mati kau! Lelaki sialan!"Kepala ular Sumirah yang telah terluka membuat penglihatannya kabur tak jelas. Ekor runcingnya sengaja diakibatkan ke segala arah dengan sangat brutal. Itu karena dirinya tak mampu melihat keberadaan Anggara dengan jelas.Pepohonan di sekitar tumbang dengan keadaan yang kacau balau. Rawa Ireng porak-poranda karena serangan Sumirah yang membabi-buta tersebut. Anggara yang sedikit kesulitan menghi
"Cah Ayu, anakku, masuklah kau ke Rawa Ireng tempat kau mengambil teratai putih. Dengan begitu kau akan selamat."Sumirah tersentak mendengar bisikan dari ratunya. Tak bisakah junjungannya itu menariknya saja agar terbebas dari serangan Rajawali api jelmaan sorban peninggalan Mbah Parman yang kini ada di tangan Anggara. Tanpa harus dirinya berendam ke Rawa Ireng.Sumirah paham akan resiko yang harus dirinya tanggung jika menceburkan diri ke Rawa Ireng tempat dirinya dulu memetik teratai putih guna menjadi cantik kembali. Dirinya akan malih rupa dan harus bertapa bahkan tertidur dalam wujudnya yang baru. Bahkan tak dapat dipastikan kapan dirinya akan terbangun dari tidurnya itu. Bisa 10 tahun, 50 tahun, 100 tahun bahkan 1000 tahun atau kemungkinan terburuknya dirinya akan tertidur dalam pertapaannya selamanya."Kanjeng Ratu, tolong saya Kanjeng Ratu. Saya mohon!"Sumirah masih terus mengemis memohon pertolongan dari ratunya. Namun ratu yang menjadi junjungannya itu tak lagi menjawab pe
Pak Ahmad masih duduk termenung di ruang tamu rumahnya. Lelaki itu ingin segera bertemu dengan Kyai Ibrahim agar bisa lebih jelas menanyakan perihal apa yang terjadi dengan Seruni.Namun, entah mengapa, ada keraguan yang menahannya untuk melangkah. Pada akhirnya, ia masih saja tetap duduk di sofa, terpaku dalam lamunannya.“Hah~” Pak Ahmad menghela napas panjang.Tubuhnya terasa begitu lelah. Ia baru saja pulang setelah bertemu dengan Mbah Bejo, dan kini pikirannya kembali dipenuhi kebingungan akibat tingkah aneh Seruni. Lebih parahnya lagi, Kyai Ibrahimlah yang saat itu ada di rumahnya saat kejadian aneh itu terjadi."Apa yang sebenarnya terjadi..." gumam Pak Ahmad sambil memijat pelipisnya yang terasa nyeri karena terlalu banyak beban yang menghimpit pikirannya.Dalam hati, ia ingin sekali menyeruput secangkir kopi hitam kental dan pahit, dengan sedikit gula, serta menikmati sebatang rokok tembakau kesukaannya. Namun, tubuhnya yang letih membuatnya enggan beranjak ke dapur untuk sek
"Argh! Sialan! Manusia keparat! Dasar Kyai keparat! Berani-beraninya dia membuatku seperti ini! Akan ku bunuh kau!"Sumirah berteriak sambil memegangi wajahnya yang sudah tak elok dipandang.Wajah wanita yang pernah menyerahkan jiwanya kepada iblis itu kini terlihat pecah-pecah, seperti tanah tandus yang merekah di musim kemarau panjang."Kyai Ibrahim! Melihat dia, aku jadi teringat pada tua bangka yang menjadi cinta dari Nyai Mutik yang kini telah musnah itu! Kenapa makhluk-makhluk yang hampir mati itu terus saja mengganggu rencanaku?!" Sumirah terus mengumpat."Arrgh! Keparat! Sialan!" Sumirah kembali berteriak, melampiaskan emosinya yang meluap-luap.Setiap kali ia berteriak, kulit wajahnya yang penuh retakan akan terkelupas, jatuh ke air rawa dengan warna hitam pekat dan bau menyengat yang memuakkan.Ya…Kini Sumirah berada di dimensi lain, sebuah dunia di mana hanya ada malam yang abadi, tempat para lelembut pemuja Kanjeng Ratu Lintang Pethak tinggal.Tempat ini adalah tempat di
“Kiai sudah di sini dari tadi?” Seseorang menepuk pelan pundak Kiai Ibrahim dengan lembut.Kiai Ibrahim menoleh dan tersenyum saat tahu yang menepuknya adalah manusia, bukan jin. “Sudah dari tadi, sekalian nunggu adzan, Fauzi.”Rupanya, yang menepuk pundak sang Kiai adalah Fauzi, marbot masjid sekaligus muadzin yang biasanya mengumandangkan adzan di Masjid Tiban.“Maaf, Kiai. Tadi saya pulang dulu, lapar, lalu mandi,” ujar Fauzi sambil cengar-cengir, tampak malu karena Kiai Ibrahim sudah lebih dulu datang ke masjid.“Tidak apa-apa, Fauzi. Ini sudah masuk waktu sholat. Kamu adzan dulu,” jawab Kiai Ibrahim sambil tersenyum ke arah Fauzi.“Nggih, Kiai.” Fauzi pun bergegas menuju tempat adzan untuk mengumandangkannya, menandakan waktu sholat Ashar telah tiba.Lantunan suara Fauzi yang merdu memenuhi ruang masjid, menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Kiai Ibrahim menutup mata sejenak, meresapi setiap lafaz adzan yang terasa sejuk di hati. Meski suasana masjid masih sepi, ada ket
Kiai Ibrahim pulang bersama kedua muridnya setelah urusannya dengan Pak Ahmad selesai. Langkah mereka pelan menyusuri jalan yang sunyi, hanya suara serangga malam yang sesekali terdengar.“Kalian berdua jangan sebarkan apa pun tentang apa yang kalian lihat di rumah Seruni. Jika kalian bertamu ke rumah orang lain, maka ketika kalian pulang, mata kalian harus buta, mulut harus bisu, dan telinga harus tuli. Paham, kan?” ujar Kiai Ibrahim dengan nada tegas, pandangannya tajam mengarah pada kedua muridnya.“Baik, Kiai,” jawab kedua murid itu serempak, mengangguk tanpa berani membantah.Perjalanan mereka dilanjutkan dalam keheningan. Kiai Ibrahim berjalan paling depan, sementara kedua muridnya mengikutinya dengan langkah penuh kehati-hatian. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, terutama Kiai Ibrahim.Hati kiai sepuh itu dipenuhi berbagai tanda tanya. Ia tidak menyangka keadaan Seruni sedemikian mengkhawatirkan. Apakah Pak Ahmad benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada putrinya?
“Bapak?” suara Seruni terdengar lirih, wajahnya pucat pasi setelah melalui pengalaman yang melampaui akal sehatnya. Namun, ekspresi lega menyelimuti wajahnya saat melihat sang ayah, Pak Ahmad, berdiri di depan pintu rumah.Pak Ahmad yang baru tiba langsung berlari menghampiri Seruni. Sandalnya bahkan tidak sempat dilepas. Ia memeluk erat anak gadisnya dengan perasaan campur aduk—antara lega, lelah, dan khawatir.Kiai Ibrahim yang menyaksikan momen itu memilih menyingkir, memberikan ruang bagi ayah dan anak tersebut. Beliau bergabung dengan para muridnya yang menunggu di sudut ruangan. Para murid tampak tegang, menyadari situasi yang mungkin berubah menjadi lebih rumit.“Bapak akhirnya pulang,” ucap Seruni sambil terisak. Tubuhnya gemetar, tapi pelukan ayahnya memberinya sedikit ketenangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya mengalir deras, membasahi bahu Pak Ahmad.Namun, suasana haru itu tak bertahan lama. Wajah Pak Ahmad yang awalnya penuh kasih berubah menjadi tegang. Ia
Seruni menggeliat kesakitan di lantai, tubuhnya yang tadi tegang seperti ular kini mulai melonggar. Wajahnya berubah menjadi ekspresi penuh penderitaan. Kedua matanya yang tadi berkilau tajam dengan warna kuning keemasan perlahan mulai memudar, kembali menjadi seperti mata manusia biasa, meskipun pupilnya masih terlihat aneh.Kiai Ibrahim segera berjongkok mendekat, tangannya gemetar namun penuh niat untuk membantu. "Seruni, Nak, bertahanlah! Kamu harus melawan apa pun yang menguasaimu ini!" katanya dengan suara lembut namun tegas.Dua pemuda yang tadi mendampingi Kiai Ibrahim saling berpandangan, bingung dan ketakutan. Namun, mereka tetap mendekat dengan hati-hati, mengikuti aba-aba Kiai Ibrahim.“A-apa yang harus kita lakukan, Kyai?” salah satu dari mereka bertanya dengan nada gemetar.Kiai Ibrahim tidak langsung menjawab. Matanya tetap tertuju pada Seruni yang kini terengah-engah di lantai. Tubuh gadis itu tampak gemetar hebat, seolah sedang berperang melawan sesuatu yang tak terli
Seruni terlihat sibuk mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil sesekali menengok ke jendela, berharap bapaknya segera pulang.Sudah tiga hari bapaknya tidak pulang, dan hal itu membuat Seruni semakin khawatir.Malam terakhir sebelum kepergiannya, Seruni sempat melihat sang bapak panik sambil berkata sesuatu yang tidak terlalu ia pahami—"Aku harus ke karang bolong secepatnya." Malam itu pula sang bapak berpamitan, mengatakan bahwa ia harus pergi ke suatu tempat dan akan kembali dalam tiga hari.Seruni sebenarnya tidak terlalu kaget dengan kebiasaan bapaknya. Sejak dulu, Pak Ahmad memang sering pergi ke tempat-tempat yang bahkan ia sendiri tidak tahu. Namun, kali ini berbeda.“Jangan terima tamu siapa pun di malam hari, kecuali itu bapak,” pesan Pak Ahmad sebelum pergi.Seruni hanya mengangguk, melepas kepergian bapaknya tanpa banyak bertanya. Namun, kini dua malam sudah berlalu tanpa ada tanda-tanda kepulangan bapaknya. Ini sudah pagi ketiga, dan Pak Ahmad belum juga kembali.Malam-
Mbah Bejo mengepulkan asap rokok menyannya tinggi-tinggi sambil memandang ke arah laut dari pintu gubuk tuanya yang terbuka lebar. Matahari mulai tenggelam, mengenakan selendang senja berwarna jingga yang indah namun menyimpan aura mencekam.Gubuk tua itu sunyi, hanya dihuni Mbah Bejo seorang diri setelah Pak Ahmad pulang membawa cerita tentang Sumirah.Di rumah itu juga ada setitik sinar dari lampu teplok minyak tanah yang mana apinya yang berwarna jingga terang itu sesekali bergoyang karena angin cukup kencang padahal nyala api kecil itu dilindungi oleh kaca dari lampu teplok tua itu.Suasana yang tadinya hanya sepi kini mulai berubah. Hawa di sekitarnya menjadi berat, seperti ada sesuatu yang mengintai dari balik bayang-bayang.Mbah Bejo menghisap rokok menyannya dalam-dalam, matanya tak lepas dari laut yang perlahan berubah kelam. Angin dingin tiba-tiba berhembus kencang, membawa aroma asin yang bercampur bau amis. Ia menghela nafas panjang, mengamati bagaimana langit berganti dar
"Jadi, makhluk yang bikin kamu jauh-jauh cari ilmu kanuragan sampai rela kasih tumbal tujuh darah perawan itu si Sumirah? Aduh, tobat!" Mbah Bejo tampak frustasi, mengusap wajahnya dengan kesal."Lah, apa salahnya, Mbah? Kan waktu itu Mbah sendiri yang bilang, kalau saya kasih tumbal tujuh darah perawan, Mbah bakal kasih keris wulu ireng. Lagian, keris itu beneran berfungsi, kok," Pak Ahmad masih mencoba membela diri."Tapi waktu itu kamu cuma bilang kalau keponakanmu kesurupan Jin Nasab! Dasar sontoloyo! Kalau tahu begini, aku nggak bakal mau bantu kamu!" Mbah Bejo melotot tajam ke arah Pak Ahmad, suaranya meninggi.Pak Ahmad menunduk dalam, tak berani menatap langsung ke mata Mbah Bejo. Tatapan dukun tua itu seolah-olah menusuk sampai ke tulang, membuat seluruh tubuhnya gemetar. Bahkan, bernafas pun terasa sulit. Dadanya sesak, seperti ada tangan tak terlihat yang meremas jantungnya.Mbah Bejo, yang masih marah, mengambil sebatang rokok menyan dari kantongnya. Ia menyulut rokok itu