Cepat sekali ya susuk itu bekerja, perasaan baru saja. Ibu warung langgananku mengatakan aku terlihat berbeda hari ini. Aku masih berdiri di depan etalase warung sebuah kantin dekat tempat kerjaku, menunggu pesanan makanku sedang di ambilkan.
Perasaanku sepertinya beberapa mata memperhatikanku, segera aku menoleh ke belakang, eh iya! Benar saja. Dua orang Lelaki yang tengah duduk sembari makan melihatiku. Ketahuan deh kamu ... Gumamku dan aku lontarkan senyum tipis kepada dua Lelaki itu, setipis gorengan tempe yang aku pesan ini, hehee.
Ih, senyumku dibalasnya lagi. Aku menengok ke arah Fani yang sedang memesan makanan juga di tempat lain. Selera makan kami berdua berbeda, masing-masing dari kami mempunyai warung makan langganan namun kini, pantangan kami sama.
"Makannya ini saja, ya," ucap Ibu warung memberikan sepiring nasi dan lauk pauknya.
"Udah Bu, itu saja," jawabku dan meraih piring itu.
Kemudian aku berjalan dengan sedikit genit menuju meja makan yang tidak jauh dari warung. Langkahku layaknya seorang model karena sedang diperhatikan.
Meletakkan piring di meja dan duduk dengan perlahan, posisi mejaku tidak jauh dari dua Lelaki itu. Aku masih menunggu Fani datang supaya barengan makannya. Menikmati minum terlebih dahulu sambil mataku melihat ke arah Fani
Masih saja mereka berdua mencuri pandang sesekali melirik. Dih, Fani juga dilirik mereka, haaa. Bener-bener itu susuknya.
"Sory lama, Cin," Fani duduk berhadapan di depanku dengan tersenyum.
"Kok senyum-senyum Fan, kenapa?" Tanyaku.
"Warung langganan tadi bilang lucu deh, katanya wajahku berbeda, ya gue cuma jawab, masa sih!"
"Lah, Ibu warung juga tadi bilang gitu, kok samain sih. Jangan-jangan ...."
"Hahahahaaa ...."
Kami berdua tertawa menyimpan rahasia dan tidak meneruskan obrolan.
"Eh, Fan, lihat dua orang Lelaki sebelah kita, dari tadi salting melirik terus." (Salah tingkah)
"Iya, gue dah perhatiin dari sana tadi, udah! Abaikan saja. Yuk kita mulai makan."
"Ayuk."
Kami berdua menikmati makanan dengan selalu mengingat apa yang menjadi pantangan. Karena berbahaya untuk kedepan, bisa-bisa jadi berantakan apa yang kami impi-impikan.
Segala harapan berharap mampu membalaskan dendam kepada teman satu kerjaan. Merebut kembali semua pelanggan-pelanggan.
"Udah yuk, bayar dulu."
Aku mengajak Fani membayar makan dan sudah waktunya masuk kerja mencari cuan.
Kami beranjak bangun dan berjalan ke warung langganan masing-masing, masih saja Lelaki itu ada di mejanya. Aku dan Fani saling senggolan memberi kode, mengasih tahu karena mata Lelaki itu menatap kita yang berjalan.
Tanpa kata, meneruskan melangkah, aku sampai terlebih dahulu ke warung langgananku dan Fani masih di ujung sana tempat langganannya.
"Ibu, tadi berapa," tanyaku.
"Lima belas ribu, cantik."
Jawabnya menyebut cantik, biasanya enggak gitu, heee.
"Ini Bu, uangnya, makasih ya, Bu."
"Iya cantik, sama-sama."
Aku menunggu Fani datang dan masih berdiri, tiba-tiba salah seorang Lelaki itu menghampiriku.
"Hai, boleh kenalan?" Sapanya dan memberikan tangannya mengajak salaman.
"Ya, boleh," aku sok jual mahal.
Lelaki itu bernama Danu, keren sih seukuran om-om seperti dia.
"Makannya, sudah?" Om Danu mulai bertanya.
"Udah Om, telat, heee."
"Kok telat."
"Telat aku sudah bayar, hahaa, canda Om."
"Hahaa, iya Om telat, coba Om yang bayarin."
"Canda Om, lagian cuma lima belas ribu Om, enggak usahlah."
"Kamu kerja di situ, ya."
Om Danu menunjuk tempat kerjaku, sepertinya dia sudah mengetahui atau pernah melihatku.
"Udah Fan," Fani sudah selesai membayar dan berdiri di antara aku dan Om Danu.
"Udah, yuk kita masuk," ajakan Fani.
"Oh iya Fan, ini kenalin," aku meminta Fani berkenalan.
"Sudah ya, Om Danu, kita mau masuk dulu, di tunggu nanti malam, heee."
Aku meledek Om Danu, mungkin saja mau buka room nanti.
"Oke deh, nanti Om kesana," cetusnya.
"Ah yang bener, Om," tanyaku.
"Beneran! Gini deh, Om kasih seratus ribu biar percaya," Om Danu mengeluarkan uang selembar.
"Eh si Om, beneran nih, aku ambil enggak nih," gegasku.
"Ya udah kamu ambil De, bener kok, andai Om enggak jadi datang ya untuk kamulah uangnya," jawab Om Danu.
"Oke Om, terima kasih, ya. Aku masuk dulu. Sudah jamnya soalnya," aku pamit dan bersalaman dengan Om Danu, Fani juga demikian.
"Oke De."
Om Danu tersenyum, kita berdua berjalan melewati temannya Om Danu yang masih duduk, aku dan Fani memberikan senyuman.
"Cepet yuk jalannya."
Celetuk Fani dan aku mengikutinya.
Bersambung.
Aku dan Fani sedang mengganti pakaian di ruang ganti, teman-teman seprofesi juga ada dan mereka sudah lebih dulu datang dan rapih termasuk si Burik sainganku. Ia rupaya telah rapih dan standby.Hanya pekerjaan ini yang aku bisa lakukan, sekolah saja hanya lulusan menengah pertama, bukan aku tidak mau mencari pekerjaan lain, sudah aku coba namun sulit, sedangkan kebutuhan dan tanggungan yang aku punya terus berjalan. Terpaksa aku menjalani pekerjaan ini sebagai pemandu lagu. Aku juga memiliki keahlian dalam bernyanyi.Kami telah selesai ganti baju dan berjalan keluar dari ruang ganti bergabung bersama teman-teman yang lainnya."Siska ... Sini deh," temanku bernama Meli memanggil."Ada apa Mel?" Jawabku menghampirinya sambil merapikan rambutku."Coba diam dulu dah."Meli memandangi wajahku dengan teliti, tangannya mengelus-elus pipiku. Entah apa yang ada dipikirannya.
Aku dan Fani masih menikmati malam ini di ruangan berukuran sedang bersama dua Lelaki berumur separuh baya, aku memanggilnya dengan sebutan Om. Ruangan ini tempat aku menunjukkan suaraku dan mendengarkan pelangganku bernyanyi, tidak mesti suaranya bagus, walaupun suaranya terkadang menyakitkan telingaku, tetap saja aku selalu berusaha terlihat senang dan baik-baik saja. Yang terpenting bagiku adalah uang pemberiannya.Kebetulan yang saat ini sedang bersamaku dan Fani Omnya keren-keren. Aku melihat si Om nampak senang sekali, sesekali tangan nakalnya memegang pinggangku, mendekapku di sela ia bernyanyi. Aku seperti biasa tiada hari tanpa akting dan bersandiwara. Menunjukkan diriku seolah-olah ikut nyaman dan senang bersamanya. Tapi ... Kalau tangannya lebih nakal lagi, tentu saja aku mengeluarkan jurusku yaitu menolaknya secara perlahan dan baik-baik agar tidak menyinggungnya.Makanan dan minuman yang aku mau apapun itu telah dijamin Om
"Om, aku dan Fani temanku sudah sepakat dan mau dengan tawaran Om tadi."Setelah aku dan Fani berunding akhirnya menyepakati, tadi dari toilet berdua Fani, lalu ku berjalan ke sofa dan duduk di sebelah Om Rudi. Tangannya kembali lagi merangkul pinggangku, sepertinya memang Om Rudi sudah tidak tertahankan."Ya sudah, nanti jam berapa Om jemput," tanya Om Rudi padaku."Masalah harga gimana Om," aku mempertegas mengenai uang nantinya."Ya kamu maunya berapa sayang, jadi berdua berapa? Sebut saja," tanya Om Rudi."Duh Om, aku kan enggak pernah," sandiwara akting aku perankan."Oalaa, kamu belum pernah toh, serius! Tapi sudah pernah berhubungankan, apa kamu masih perawan?" Tegas Om Rudi serius."Ya berhubungan pernah Om, duh si Om pertanyaannya, heee," ucapku sambil mesem-mesem."Eh, kirain, ya udah gini saja, nanti Om kasih sebesar ....," Om Rudi mengatakan kepadaku uang yang akan diberikanny
Aku dan Fani tengah berada pada sebuah parkiran mobil, menunggu Om Rudi yang sedang on the way. Ada perasaan grogi juga sih, gemetar gitu, sudah sekian lama juga aku tidak pernah mau diajak kencan di luaran gini.Malam itu angin serasa lebih menusuk, waktu telah menunjukkan pukul 12, hati memang tidak bisa dibohongi, biar bagaimanapun juga, merasa jadi pusat perhatian di luaran ini. Maklum waktunya memang sudah semestinya berada di dalam rumah.Lama menunggu akhirnya datang juga, sebuah mobil sport keren seharga M-an, mungkin, melaju mendekatiku.Brem ... Brem ....Suara mobilnya yang mengikat mata beberapa orang yang melihatnya."Ayuk sayang, kita jalan sekarang," sapa Om Rudi dari dalam mobilnya."Yuk Om, senyumku menyambutnya dan aku mencolek Fani, kemudian kami berdua melangkah dan masuk ke dalam mobil."Ok, kita berangkat," Om Rudi melaju lambat mobilnya.Keluar area da
Om Rudi kuat sekali, aku kelabakan melayaninya, pasti dia meminum obat kuat, huft," dalam hati berucap.Berbaring di atas ranjang tanpa sehelai pakaian dan hanya menutupi dengan selimut, menghela nafas merasakan lelah yang sangat luar biasa, sudah lama sekali aku tidak bergelut dengan kenikmatan ini, tapi ini lebih dari wajarnya. Memandangi Om Rudi dengan badannya yang atletis menuju kamar mandi. Nafasku masih terengah-engah. Andai boleh, mungkin aku memintanya untuk menyudahi, tapi ... Tugasku ya, melayaninya."Siska, makan dulu yuk, kamu mau makan apa?"Sembari melangkah menghampiriku menawarkan makanan, Om Rudi duduk di sebelahku, usapan lembut tangannya merapikan rambutku, aku sangat senang sekali dengan sikap penyayangnya."Makan apa saja deh Om, terserah Om saja.""Oke, sebentar Om pesan dulu."Menakan tombol telepon yang terhubung dengan resepsionis. Aku sedikit bangun dan menyandarkan tubuhku, terbayang setelah makan, apa
Aku dan Fani masih di dalam kamar hotel, Fani mendatangi kamar hotelku. Waktu chekout masih beberapa jam lagi, sembari berdandan kami bercerita tentam semalam."Gila! Fan, Om Rudi kuat banget, gue sampai pegel-pegel, minum obat kuat kali, ya," aku menceritakannya."Pastinya Siska, enggak mungkin Om-om seumuran seperti mereka kuat senggama, Om yang sama gue juga gitu, buas banget, huaah, nambah pula," ujar Fani menarik nafas."Jiah, senasib dah Fan dan tahu enggak Fan, minggu depan mau mengajak kita lagi dengan bayaran yang sama, gimana?" Tanyaku pada Fani."Sikatlah Sis, lumayan lah, heee. By the way, gue enggak masuk ah, hari ini, mau belanja kebutuhan dan cape banget," tutur Fani."Yah gue juga dah Fan, gue mau luluran dan pijat, memanjakan diri lah, enak kayaknya nih," inginku."Ide bagus tuh Sis, yuk bareng.""Udah yuk, kita cekout sekarang."Ajakan Fani aku setujui, merapikan diri dan bersiap keluar dari kamar.
Memanjakan diri, menikmati hidup duniawi dengan merabat tubuh, berbaring pada sebuah ruangan, aroma terapi yang aku hirup membuatku terhempas pada segemgam rasa. Pijatan lembut kaki dan seluruh badanku merenggut kewarasanku. Aku dibuatnya mengantuk, lemas lunglai tidak berdaya. Benar-benar sensasi luar biasa yang aku rasakan, berharap segala kelelahan di setiap saraf dan otot pulih kembali.Hingga, aku tertidur dengan lelapnya."Mba, sudah selesai," colekan lembut karyawati itu setelah selesai memijat."Mmm ... Sudah selesai ya Mba, maaf aku ketiduran," aku paksakan membuka mata dan beranjak bangun.Aku mencium lengan tanganku, wangi aromanya sungguh tidak membosankan, sehelai handuk yang aku pegang dengan tanganku menutupi separuh badanku. Melanjutkan mandi dengan air hangat, membasuh secara perlahan sedikit demi sedikit kulitku yang berkilau, sambung lagi dengan ritual mandi seperti biasa, ah! Segarnya.Selesai memakai pakaian aku keluar da
"Dih, perasaan cantikan gue, warna kulit juga putihan gue, kenapa dia selalu diperebutkan Lelaki, ya."Siska iri melihat temannya dari kejauhan yang selalu di dekati Lelaki dan mengobrol dengan dekatnya."Fani ...! Sini deh."Temannya Fani menghampiri."Eh, lo lihat deh si sok cantik itu, kenapa dia selalu di dekati para Lelaki, ya, coba lo lihat gue, cantikan mana gue sama dia! Jawab jujur," tanyaku pada Fani."Secara fisik cantikan elo, tapi kalau lihat auranya kenapa dia lebih enak di lihat, ya. Kalau warna kulit jelas elo Say, putih bersih, nah yang gue bingung ya, itu tadi. Si sok cantik itu ronanya kayaknya wah gimana, gitu."Fani juga menjadi berpikir dan terheran-heran, memang sempat mengucap juga hal yang sama seperti Siska. Kenapa bisa lengket Lelaki kalau sudah mengobrol dengannya."Nah itu dia Fan, sudah dari bulan lalu gue perhatiin tuh burik, lihat aja