Tiga tahun lalu, keduanya baru mulai menjalani hubungan. Pasangan kekasih baru, masih menebar semburat pada pipi masing-masing setiap kali dua pasang mata bertemu.
Alex terpesona pada pandangan pertama, seorang perempuan tertangkap pandangan tengah berdiri sendiri di sekitar backstage. Surai pirangnya diurai sampai ke lengan, sementara wajah yang memerah tampak gelisah tak tahu kenapa.
“You need help?”
“Oh, yeah—hi.”
Dilihat dari dekat, Regina semakin kelihatan memikat. Jangan bilang-bilang bahwa sebenarnya Alex sudah menatap si perempuan saat berjalan mendekatinya, paduan atasan crop top berwarna hitam serta jaket denim dan rok selutut berwarna gelap tampak sangat apik ditambah wajah si perempuan yang terlampau cantik.
“I got lost. My friend just—he was here but—“
 
[15]Lorna berdiri mematung. Dengan badan bergetar, rintikan air ikut mengguyur bumi seakan alam ikut mengerti ada hati yang tengah disakiti. Netra coklat disapu kelopak. Berulang kali, runtutan kedipan refleks itu kian menjadi. Rutup hujan menggema di telinga, dua manusia saling bertatap seakan tengah bertengkar hebat namun tak mau ada yang melihat."I can’t keep doing this." Gadis itu berkata pelan.Dengan sorot tatap yang terlempar dari banyak orang sekitar, keduanya tak peduli. Meskipun si laki-laki dulunya khawatir bukan main soal image dari keduanya, karena membangun karir dengan persona sedemikianrupa bukanlah hal yang mudah. Kali ini Robert juga mengalah, biarkan emosi mengalir dari ujung kepala sampai ujung kaki.Tengkuk diusap beberapa kali, rahang mengeras sekali jadi. Laki-laki itu tak pernah malu menunjukan lemah di hadapan perempuan tersayang, seperti sekarang, k
Jam tiga dini hari, berakhirnya malam berganti tanggal baru, sisanya segera ditelan angin pagi. Waktu saat seharusnya, siapapun yang tengah memunguti patah hati, mengistirahatkan diri.Bukankah begitu? Semakin larut, semakin jujur. Kira-kiranya, karena sunyi senyap tidak ada lagi yang akan mendengar. Suara sekecil apapun akan menggema di tengah ruang, menghantui hati-hati yang kesepian.Lorna Lehnserr terdiam di balkon apartemen pribadi miliknya dan seorang laki-laki yang baru ia kenal hampir setahun kebelakang, terletak di wilayah sub-urban yang agak jauh dari pusat kota. Dengan sebatang rokok terselip diantara dua jemari, netra terang memandang sepi.Ada yang sedang tidak baik-baik saja.Perempuan itu bukan perokok akut, tidak sama sekali. Ia punya kesehatan diri sendiri serta reputasi mengikat nama keluarga yang harus selalu dijaga."Fucking hell."
**** Sesi potong pita telah selesai, sekarang semua tamu undangan kembali dipersilahkan masuk. Waktunya selebrasi, semua sudut ruangan mulai terisi. Minuman-minuman tersaji percuma di atas meja, obrolan-obrolan santai terdengar memasuki telinga. "Terima kasih sudah datang," Kata David. Pemilik Bar sekaligus adik kandung Senator Lehnserr ini tak lupa mengundang pejabat yang ia kenal. Tujuannya agar memudahkan urusan birokrasi, mengurus segala izin usaha serta sekalian meminta proteksi. Perempuan muda dengan iris coklat tersenyum tipis, "Santai saja, Paman. Hari ini aku sedang libur. Maafkan ayah yang tak bisa datang ya?" Laki-laki paruh baya itu tertawa kecil, "Si tua bangka itu masih saja mengurusi politik. Mau sampai kapan?" Pengacara kondang bernama Lorna Leh
Hari Jumat. Gedung Firma Hukum milik keluarga Lehnserr tengah memberlakukan protokol baru. Perubahan ruangan-ruangan pegawai yang menjabat, serta transfer berkas lama ke kantor arsip Kejaksaan Agung akan dilakukan hari itu. Tanpa mengetuk, salah satu pintu ruangan dibuka pelan, "Hei." Lorna melirik tajam, "Mau apa?" Aneh. Lorna mengira jarak pertemuannya dengan Alex akan berkisar dua minggu, atau bahkan lebih. Bisa jadi mereka tak akan bertemu lagi, mengingat sama-sama dirundung kesibukan. Namun– tak sampai 48 jam berlalu, iris gelap kembali menatap netra terang. Lorna mengucap sumpah serapah dalam hati karena terlalu mabuk semalam, berakibat dirinya harus berurusan dengan orang ini lagi. "Galak." Alex tersenyum miring, bibir manisnya didekatkan pada telinga si gadis. "Kemarin malam saja sampai memohon-mohon minta disentuh."
Hari Minggu, pukul 6 pagi. Alex dan Regina sudah sampai di Bandara. Mengejar penerbangan menuju Maldives, tercetak pukul 8 pagi pada tiket mereka. Liburan yang telah lama direncanakan ini akhirnya terlaksana, butuh waktu lama untuk keduanya bisa menemui jadwal kosong yang sama."Minggu depan aku ada pemotretan untuk majalah Vogue." Kata Regina saat keduanya telah duduk santai di kursi penumpang, Alex merespon dengan senyum manis."Begitu?"Regina mengangguk, "Aku yakin beberapa pertanyaan dalam wawancara itu akan menyinggung kau.""Kau tak harus menjawabnya, sayang." Alex mengusap pipi sang kekasih, "Bilang saja melalui manajermu kau tak nyaman."Perempuan dengan mahkota blonde itu mendengus kesal, tangan kasar si pemuda ditepis. "Tidak mempan."
“Jadinya mau dibelikan apa?” Suara Alex terdengar redam akibat jarak, padahal ponsel si perempuan sudah diletakan di meja dengan speaker menyala. Lorna menautkan alis, “Kenapa bisik-bisik begitu.” Ia sendiri tengah berada di ruangan baru tempat kerjanya– lantai tiga gedung firma hukum milik keluarga Lehnserr. Alex waktu itu membantu Lorna membereskan berkas lama, renovasi kecil itu selesai dan hampir semua staff melalui penyesuain tempat lagi. “Sedang di toilet.” “Menjijikan.” Alex mendesah pelan, “Jadi?” Perempuan itu terdiam, berpikir lama tentang jawaban dari pertanyaan aneh yang dilontarkan si pemuda. Sejujurnya ia tak mau dibelikan apa-apa, baik itu makanan ataupun barang. Apapun deh, Lorna bukan tipe orang yang suka membeli barang secara impulsif. Lalu sang pengacara cukup tahu bahwa Leon Alexander ialah keras kepala menyamai dirinya, maka Lorna tak mau capek-capek mendebat pem
'Maverick?'"Ya?"Laki-laki itu melirik jam dinding, pukul tiga pagi."Kenapa?"'Ah, aku hanya ingin bertanya. Apa Al ada di rumahmu?'Jeda hening sepersekian detik, Regina melanjutkan penjelasan atas pertanyaannya barusan.'Semalam kami baru saja sampai dan aku langsung tidur, terlalu lelah. Sekarang aku hanya sendirian. Selama perjalanan ia terus memikirkan ulang tahun Cassie yang terlewat. Jadi–'"Ada kok, Cassie tak mau lepas dari Alex. Makannya i
Allison Kathryn Rhode, 26 tahun.Lahir di Long Island, pindah ke Los Angeles saat mulai berpacaran dengan Julius Christian.Lorna mencerna satu persatu bagian dokumen milik si klien. Gadis itu punya kebiasaan membuat catatan kecil sebagai summary atas garis besar serta benang merah yang terjadi pada kasus yang akan ia tangani, selanjutnya baru mencari bukti serta melengkapi dengan keterangan saksi. Proses akhir dari persiapan awalnya sebelum sidang adalah menyusun argumen atas nama sang klien.Sejak usia anak-anak hingga remaja, Allison punya prestasi baik, di bidang akademik maupun non-akademik. Punya bakat seni yang tampak pada usia muda, dikenal piawai menuangkan rasa dalam untaian kata; Allison jago berpuisi."Ally bertemu Julius di Klub Perpustakaan yang ada di SMU mereka," Seru Ibu yang menemani putrinya untuk pertemuan pertama dengan sang pengacara.