****
Sesi potong pita telah selesai, sekarang semua tamu undangan kembali dipersilahkan masuk. Waktunya selebrasi, semua sudut ruangan mulai terisi. Minuman-minuman tersaji percuma di atas meja, obrolan-obrolan santai terdengar memasuki telinga.
"Terima kasih sudah datang," Kata David. Pemilik Bar sekaligus adik kandung Senator Lehnserr ini tak lupa mengundang pejabat yang ia kenal. Tujuannya agar memudahkan urusan birokrasi, mengurus segala izin usaha serta sekalian meminta proteksi.
Perempuan muda dengan iris coklat tersenyum tipis, "Santai saja, Paman. Hari ini aku sedang libur. Maafkan ayah yang tak bisa datang ya?"
Laki-laki paruh baya itu tertawa kecil, "Si tua bangka itu masih saja mengurusi politik. Mau sampai kapan?"
Pengacara kondang bernama Lorna Lehnserr itu menggeram kesal, diteguknya segelas whiskey yang sedari tadi digenggam. "Tak tahu, kudengar pemilihan tahun depan ia diajak maju menjadi Wakil Presiden."
"Selamat sore, semuanya." Suara serak dari panggung kecil yang disediakan mengalihkan atensi. Lorna melirik dari ujung mata, mendapati seorang pemuda tak terlalu tinggi dengan wajah tampan– cocok dipadukan dengan suara serak yang terdengar. Memberi kesan seksi.
David sedikit mendekatkan mulutnya pada telinga Lorna, "Alex."
"Siapa?"
"Vokalis band Kubrick's Perspective."
"Oh." Lorna kembali menuang cairan keras ke dalam gelas kecilnya. "Mereka sempat masuk koran The Washington Post, aku tahu. Tapi ... kukira mereka sangat sibuk?"
David mengendikan bahu, "Mungkin sedang luang, bocah itu– Leon Alexander, adalah muridku semasa sekolah."
"Damn, kau sudah setua itu ternyata."
David mendecih, "Mulutmu masiu kurang ajar ternyata."
Lorna tertawa geli. Punggung tegapnya sedikit dilemaskan dengan bersender pada kursi. Netra coklat beralih pada seorang laki-laki yang baru saja disinggung, diam-diam mengagumi ketampanan yang pemuda itu miliki.
Alex mengenakan kaus hitam dengan jeans biru, hidung mancung dengan raut tegas menambah kesan maskulin yang dimilikinya sejak terlahir ke dunia. Meskipun tinggi badannya agak dibawah pria berkulit putih pada umumnya, pesona Alex tetap memancar sempurna.
Badannya padat, Lorna bisa melihat garis-garis otot yang mengalir dari leher hingga punggung tangan. Membuat gadis itu penasaran dengan friksi yang tersembunyi di balik kaus hitam.
"Coba ajak bicara." Celetuk David setelah sadar Lorna menatap Alex terlalu lama dari seharusnya.
Si perempuan menaikan alis, "Kenapa memangnya?"
"Kupikir sikap kalian mirip."
Suara musik akustik mulai menyapa telinga, Lorna kembali dibuat terpana. Para pengunjung yang ada di sana pun tak jauh beda, kebanyakan mengekspresikan antusiasnya dengan bertepuk tangan atau sekedar menyapa satu persatu anggota Band itu.
Bahkan saat membawakan lagu akustik pun, cowok tampan itu tak hilang kharisma. Padahal biasanya tampil di panggung besar dengan set megah, tak lupa tensi pertunjukan yang seringkali membuat adrenalinnya terpacu jauh. Kali ini, Alex terlihat slowing down. Alex terlihat soft. Alex telihat lembut.
Lorna mendekatkan diri pada sang Paman, takut perkataannya tak terdengar diredam suara di sekitar. "Aku tidak tertarik dengan anak band, terima kasih."
Tatapan aneh kembali dilayangkan David, "Aku mulai berpikir kau menyukai perempuan."
Lorna tersedak, kedua bola matanya
menatap sinis. Sudah bukan rahasia kalau perempuan itu lama sekali tak menjalin kasih dengan siapapun, terakhir adalah Robert Douglass. Sekarang bekerja sebagai Kepala Staff Wakil Presiden.
Dua jam berlalu, hari makin gelap. Ponsel gadis itu beberapa kali berkedip, menandakan notifikasi penting yang harus segera dibuka. Namun– persetan. Semenjak memiliki ponsel pintar Lorna langsung memasang mode sunyi, terlalu banyak pekerjaan yang sangat melelahkan apabila semuanya ia layani.
Tangan kurus itu bergerak, kembali menuang gelas kosongnya dengan cairan panas. Free time kali ini tak boleh disia-siakan, Lorna berniat minum sampai puas. Tak banyak yang tahu bahwa gadis ini adalah pemabuk, namun sejak terlahir ke dunia pun Lorna diberkati bakat alami mengatur waktu. Sesibuk apapun, sebanyak apapun pekerjaan, semabuk apapun ia pada suatu malam, nasib baik selalu mendampingi. Seakan semuanya telah dipersiapkan Tuhan kalau-kalau badan kecilnya berada dalam bahaya.
Sebelum sempat diminum, seseorang mengambil gelas yang Lorna genggam dengan paksa. Telapak itu besar, terasa kasar rekata menggesek jemari si perempuan.
"Ugh, apa maumu?" Lorna menatap kesal, sedang tidak mau diganggu di waktu luangnya yang sangat langka ini.
Laki-laki yang tadi Lorna perhatikan secara berlebihan itu menatap intens, badannya dipenuhi keringat sisa euforia set yang baru saja selesai. "Lorna?"
"Apa?"
Alex meneguk dari gelas kecil yang ia rebut, matanya tak berhenti terpaut pada figur si perempuan. Badan padatnya mendekat, kini berjarak sekian inci dari Lorna sendiri.
"Oh, ayolah! Aku sedang tak ingin main-main." Netra coklat mengkilat tajam, "Sudah cukup para bajingan tua itu merepotkanku seminggu kebelakang. Sekarang aku mau melepas beban dulu, pergi sana."
Alex mulai melayangkan tatapan nakal, ujung bibirnya sedikit tertarik membentuk sesimpul senyum. "Namamu Lorna?"
"Iya apa?" Diam-diam perempuan itu merutuki diri karena menatap langsung mata sang pemudam. Pantulan sempurna, seakan cermin yang menampilkan hal sama.
Netra Alex pun berwarna coklat, bedanya lebih gelap. Sementara iris Lorna berwarna coklat terang, akan sangat terlihat kentara jika terkena sinar matahari secara langsung. Gelap dan terang yang menjadi pembeda cara mereka menjalani masing-masing hidupnya.
"Kau teman dekat David? Pemilik Bar ini." Tanya laki-laki itu dengan niat basa-basi.
"Dia Pamanku."
"Begitu."
Alex masih belum menyerah, ada sesuatu dari perempuan ini yang mengganggunya sedari tadi. Mungkin karena helaian rambut yang jatuh di sekitar wajah padahal gadis itu mengikat cepol, atau bisa saja karena pakaiannya yang terlihat santai.
Lorna mengenakan kemeja pendek dengan dalaman tanktop hitam serta celana jeans yang menutupi 3/4 kaki jenjangnya.
"Tadi katamu apa?"
Alex menelisik, tatapannya menggerayangi badan si perempuan dari kaki hingga kepala. Damn, kemeja oversize itu tak bisa menutupi lekuk tubuh yang biasa Alex lihat pada model-model pakaian dalam. Mungkin badan Lorna memang kurus, perawakannya tinggi ditambah air muka ketus. Namun jika diperhatikan lebih lama, gadis ini cocok sekali mengisi sampul majalah fashion wanita maskulin. Golongan wanita pemegang Gen Alpha, para wanita yang memiliki kuasa.
"Hah?" Lorna terlihat jengah, ia juga sadar laki-laki ini menatap lebih lama dari seharusnya.
Risi dengan first impression yang didapat, Lorna memilih berkata tanpa menatap. "Alex? Namamu Alex 'kan? Dengar, aku sedang benar-benar tak mau diganggu. Jadi–"
"Kudengar kau ingin melepas beban?" Suara berat khas seorang rocker itu menggema di telinga sang pengacara, apalagi bibir tipis yang mengucap hanya berjarak beberapa senti. Lorna mulai merasa panas.
"... sopan sekali memotong pembicaraan orang lain."
Alex mengulum senyum, "Mau kubantu?"
Netra coklat memutar ke atas, tangannya bergerak meraih kunci mobil yang terletak tak jauh dari pandangan. Sesi minum-minumnya harus disudahi, pikiran itu mulai pusing dan serasa dikabuti asap sejak laki-laki ini mengajaknya berbicara. Lorna merasa sedang berada dalam bahaya, takut-takut dirinya tak bisa menahan diri dan jatuh pada pesona si penyanyi. Kini niat perempuan itu hanya satu; pulang.
Saat baru melangkahkan satu kaki, tetiba lengan ditarik ke belakang. Badan lunglai hanya bisa mengikuti gravitasi, berakhir terduduk di pangkuan sang laki-laki.
Alex mengurungnya dalam kungkungan erat. Menatapnya lamat, tak melewatkan desahan yang terselip dari bibir sang pengacara. Wajahnya kian memerah, gesturnya mulai terlihat resah.
Tangan kekar menarik leher jenjang, diikuti suara becek yang cukup keras karena ternyata Alex menyimpan cairan alkohol di balik gigi– memindahkannya ke mulut si perempuan melalui ciuman panas. Lorna mendesah pasrah, cairan itu ia telan meninggalkan rasa terbakar pada tenggorokan. Satu tangan mulusnya bergerak memeluk badan si pemuda, tangan yang lain berpetualang di balik jeans biru yang membungkus batang.
Alex menggeram.
Saat ciuman terlepas, Lorna terkekeh dengan tatapan merendahkan. Ditatapnya netra coklat milik Alex yang memiliki pantulan dirinya sendiri, sementara tangan kiri tak berhenti meremas kejantanan yang makin mengeras.
"Alex." Laki-laki itu mengeraskan rahang.
Tak pernah ia merasa sebegini terangsang gegara namanya didesahkan seorang perempuan.
"Alexander." Lorna semakin merapatkan badan, kedua paha mulus itu terus menggesek satu sama lain tak peduli tengah duduk di atas Alex.
Helaan nafas keras terdengar mengikuti erangan yang keluar dari mulut si pemuda. Lorna menatap penuh gairah, "Sepertinya kau yang butuh pertolongan."
Alex segera menepis tangan Lorna, berdiri cepat, serta buru-buru menarik sang pengacara menuju tempat yang lebih aman. Beruntung David Omalley adalah orang kaya, mengingat hampir semua kerabat dekat keluarga Lehnserr adalah konglomerat. Bar yang baru diresmikan ini berfasilitas lengkap, salah satunya– kamar yang disediakan khusus untuk para tamu melakukan aktivitas tertentu.
Kali ini Alex yang terdorong di balik pintu, punggungnya menabrak potongan kayu dengan suara keras. Lorna memegang kembali sepenuhnya, tak berhenti menggesek milik Alex dengan ujung lutut.
Ciuman kasar makin terasa panas ketika dibumbui hisapan keras, suara basah memenuhi ruangan. Lorna menarik ujung kaus yang Alex kenakan, merasa tak nyaman dengan friksi yang dirasakan, tangannya ingin menyentuh lebih banyak.
Si pemuda mengikuti keinginannya, biarkan dulu saja. Alex ingin melihat sejauh mana Lorna akan bertindak. Salah satu hasrat tersembunyi, sekali dua kali dibayangi perempuan yang menggagahi. Nyatanya, sang pengacara kembali menyusupkan tangan ke dalam jeans yang Alex kenakan. Tak perlu sampai menarik resleting– tangan Lorna cukup kecil untuk disusupkan kesana-kemari.
Alex kembali mengerang nikmat. Kali ini egonya mulai terganggu, ia tak biasa dikendalikan oleh orang lain apalagi seorang wanita. Tangan kanannya mulai meremas puncak dada Lorna yang mengeras sepenuhnya, berefek pada desahan keras yang tak tertahan keluar memicu gairah keduanya.
"Ahh–Al."
"Apa? Suaramu tidak jelas."
Alex mengusap, mencubit gemas, serta meremas kalung cantik yang menempel pada tubuh itu. Lorna bergerak tak karuan, badannya bergetar, Alex bahkan belum menyentuh pusat tubuh. Namun dirinya telah dikendalikan seperti itu.
Lorna menghentikan aktivitasnya yang terjadi di balik celana si penyanyi, "Bajingan."
Alex makin berani, kini satu tangannya bergerak ke bawah. Mengusap dinding basah yang masih tertutup celana pendek, Lorna berusaha merapatkan kakinya dengan harapan mendapat friksi lebih banyak.
"Alex–"
"Mhm."
Pemuda itu membuka celana yang Lorna kenakan dengan cepat, tangannya yang cekatan langsung meraba pelan milik si perempuan.
"Kau pikir kau siapa?" Alex menggigit gemas telinga di hadapan mata. Kedua tangannya tak henti mengacaukan bagian tubuh si pengacara. Gestur itu sangat mengganggu Lorna, telebih karena Alex melakukannya dengan sangat perlahan. Seakan gadis itu adalah benda yang terbuat dari kaca, harus diperlakukan dengan hati-hati agar tidak rusak.
Tindakan Alex terasa sayang.
Sudah lama sekali sejak Lorna melakukan aktivitas fisik dengan seorang laki-laki, ia selalu sulit untuk didekati. Kali ini, dinding yang ia bangun untuk menjaga hati mulai runtuh dengan sendiri. Segala sentuhan yang Alex berikan, kalimat-kalimat angkuh yang ia ucapkan, semuanya terasa memabukkan.
Lorna mengalungkan dua tangannya erat di balik punggung si pemuda, diam-diam merasa hangat. Belum sudi mengakui bahwa hati tingginya telah jatuh pada pesona si penyanyi
Lorna mengeraskan rahang, sebisa mungkin menahan desahan dari dasar tenggorokan. "Berbicara padaku dengan nada seperti itu, kau pikir kau siapa?"
Berkebalikan dengan perbuatan, setiap kalimat yang keluar dari mulut Alex justru tajam menusuk belikat. Surai hitam itu harga dirinya sangat tinggi, terbiasa dengan pujian serta orang-orang yang tunduk melayani. Biasanya saat ada seseorang yang tak sejalan dengan pikirannya, Alex akan abaikan. Tidak peduli.
Banyak bukti menyatakan pertentangan yang dipaksa terus relevan memicu konflik berkepanjangan, Alex tak punya energi untuk melayani itu semua. Terlebih reputasinya sendiri sudah tercemar akibat beberapa skandal yang melibatkan perempuan. Makannya ia selalu memilih melakukan seks dengan groupie, supaya mulut mereka tak berani mengatakan apapun pada papparazzi.
Entah apa yang membuat Lorna berbeda dari orang lain. Pemuda itu– ingin sekali membuat sang pengacara tunduk pada kuasanya.
Alex sedikit menarik diri, niat hati ingin melihat ekspresi dari hasil kerja tangan kekar yang berpengalaman. Netra gelapnya menangkap figur Lorna yang menanggah, kedua netra tertutup sempurna. Bibir bawahnya digigit sampai terlihat merah, "Aku– ahh– Alex!"
Si penyanyi terkekeh sinis, "Apa? Hm? Kehilangan kosa katamu? Tak kusangka pengacara terbaik di kota ini hanya bisa memanggil namaku tanpa mengatakan apa-apa lagi. Bagaimana kalau orang-orang tahu?"
Alex seketika menghentikan kedua tangannya, berharap menjahili seraya menunggu respon dari si perempuan yang masih terlihat menikmati.
Lorna menarik nafas, netra coklat itu ia tatap dengan iris berwarna sama. "Tahu apa? Tahu bahwa seorang Leon Alexander, rock star ternama di dunia, hanya mampu menggunakan kedua tangannya? Hampir selesai hanya karena miliknya kusentuh sebentar? Serius? Aku bertaruh kau tak akan bertahan menerima Blow Job lebih dari satu menit karen–ngghhhhh Alex!"
Cukup. Ego si pemuda tak bisa lebih digores lagi. Sialnya Alex marah sekaligus makin bergairah, ia bisa saja meninggalkan si perempuan dalam keadaan seperti ini. Mungkin akan lebih mudah jika pemuda itu mencari pekerja seks sungguhan daripada wanita yang bersifat jalang di hadapannya.
Tangan kasar itu menampar bokong yang mencuat, melemahkan si perempuan yang langsung jatuh ke pelukan. Alex membopong Lorna ke atas ranjang, memposisikannya dengan badan yang menungging.
"Hitung."
Satu tamparan.
Lorna mengeraskan rahang. Diam, tahu cara menyiksa si laki-laki dan memuaskan dirinya sendiri dalam waktu bersamaan.
"Hitung atau aku akan meninggalkanmu di keadaan seperti ini." Ancam Alex seraya memasukan dua jarinya ke dalam lubang sempit si perempuan, Lorna mendesah tajam.
"S–satu."
Malam itu berjalan lebih lama dari biasanya, suara tamparan baru berhenti di hitungan lima belas.
Pukul dua belas, Alex dan Lorna baru tertidur pulas. Keduanya tak sempat mengunjungi kamar mandi– terlalu lelah berakhir langsung tidur dengan posisi bertumpuk. Badan lengket Lorna tidur di atas Alex, sementara si pemuda memeluk pinggang sang pengacara.
Pukul tiga, saat dimana Alex terbiasa memulai aktivitasnya. Netra coklat gelap itu membuka pelan, kepingan ingatan mulai masuk ke pikiran. Setelah beberapa detik, badan tegapnya terbangun. Mendapati ruangan yang ia tempati kosong– Alex seorang diri.
Perempuan itu, Lorna Lehnserr, yang semalaman tak henti menggores harga diri si pemuda, telah pergi lebih dulu entah kemana. Meninggalkannya, serang diri. Di kamar tempat mereka saling menikmati yang kini terasa sepi.
Alex mengeraskan rahang. Egonya semakin terguncang.
****
"Enjoying yourself?" Sepasang alis David naik turun dengan tatapan menggoda.
Alex mendengus kesal, "Kau masih bangun?"
"Al, Bar ini buka 24 jam. Pukul segini justru paling ramai."
"Begitu."
David kembali melancarkan pertanyaan, "Hebat juga kau bisa meniduri anak itu."
"Tunggu– kau tahu?" Alex menatap kaget.
Bisa bahaya kalau sampai ketahuan publik, apalagi di kota Los Angeles ini. Semua Reporter dan Paparazzi bersikap sangat ganas. Tak peduli gambar yang diambil memiliki cerita yang berbeda dari narasi yang digaungkan, pembunuh karakter yang sebenarnya.
Terlebih, Leon Alexander telah memiliki kekasih. Regina George, penyandang gelar America's Sweetheart karena imej serta pubicist yang dimiliki sangat baik.
"Semalam ia keluar dari kamar itu terburu-buru, mungkin dijemput ayahnya." Jawab David santai.
Laki-laki itu menatap satu persatu pengunjung yang terlihat masih nyaman diam di tempat itu, dalam hati bersyukur atas lancarnya usaha yang baru didirikan hari pertama.
Alex menggaruk belakang kepalanya yang tak gatal, gestur canggung yang jarang sekali diperlihatkan. "... kau tak marah?"
"Untuk apa? Ia kelihatan senang." David malah tertawa kecil, mengingat ekspresi horror keponakannya tiga jam yang lalu.
"Senang?"
"Wajahnya sangat merah, Al. Sudah lama sejak aku melihat Lorna mengeluarkan ekspresi lain selain kesal dan marah. She's one of a kind."
Alex mendecak, "Tapi dia sangat–"
"Bitchy?" David menatap geli.
"Yeah." Pemuda itu mengulum senyum, merasa aneh menyebut perempuan yang baru saja ia temui dengan sebutan sedemikian rupa. Tapi ia merasa begitu adanya, terlebih David juga mengkonfirmasi.
"She is." David tersenyum, "It's not like you're better than her anyway. Lihat saja sampai kali kedua, kali ketiga kalian bertemu. Nanti sifat penyayangnya keluar sendiri."
Si pemuda tetiba berdeham, "Funny, Paman. Aku tak pernah tidur dengan perempuan yang sama dua kali."
"That we might see."
Figur yang tak terlalu tinggi itu masih kelihatan cemas, bertahun-tahun memiliki karir di dunia hiburan membuatnya hafal betul dengan segala kultur yang berlaku.
Pikirannya sempat terbang ke beberapa tahun lalu, saat awal-awal band yang ia dirikan mencapai pasar internasional. Skandal yang tercium jurnalis langsung menjadi buah bibir di kalangan penggemar, terlebih kebanyakan dari mereka menyalahkan Alex atas berakhirnya hubungan dirinya sendiri dengan seorang model asal Inggris.
"Tapi tak ada jurnalis yang kau udang 'kan?" Tanya cowok itu setelah melamun agak lama.
David melirik singkat, "Ada."
"Fuck."
"Tidak usah khawatir, jurnalis serta pemilik media di sini tak berani memberitakan yang jelek-jelek tentang keluarga Lehnserr. Kau aman." Laki-laki itu menggulung lengan kemeja yang ia kenakan sampai siku.
Alex menghela nafas lega, meski kedua tangan sempat menjambak rambut sendiri. Hatinya berusaha menenangkan tanpa berpikir yang tidak-tidak, mungkin waktunya ia juga pulang.
"Baiklah, Pak. Aku pamit dulu."
"Hati-hati."
Kaki jenjang mulai berjalan dengan niat pulang ke rumahnya yang terletak tak terlalu jauh. Saat sampai di depan pintu mobil yang terparkir, pemilik tempat kembali memanggil nama pemuda itu.
"Kenapa?"
David menyodorkan sepucuk kartu nama.
Lorna Lehnserr
1 424 -8333
"Aku tak butuh."
"Oh shut the hell up." David mengibaskan tangan, "Tak berniat jelek pun kau bisa berteman dengannya. She's a great listener you know?"
"Ugh, fine."
Alex meraih kartu itu kasar, diikuti tawa menggoda dari pemilik tempat. Ia masuk ke dalam mobil, memutar kunci kemudian buru-buru pergi.
Lampu depan Mercedes SLS AMG itu membelah gulita, pikiran si pengendara masih melayang kemana-mana.
***
"Kau berhubungan seks dengan seorang pengacara!?" James– si Gitaris berparas manis bertanya dengan nada terkejut.
Alex menatap kosong.
Kini para anggota band yang baru beres memproduksi album baru itu tengah berkumpul di rumah Alex. Pemuda itu sengaja memanggil para rekan merangkap saudara beda orang tua dengan niat menjelaskan kejadian semalam.
Terlebih karena Alex menghilang begitu saja. Setelah selesai tampil, Nicholas, James, serta Maverick sempat mencarinya kemana-mana. Tahu-tahu pulang pagi tadi, meminta pertemuan siang ini.
Maverick, si Drummer sopan, ikut menegur pelan. "Al, kami tahu kau terbiasa melakukan hal seperti itu … dengan groupie. Tapi ini seorang pengacara, reputasinya jauh dengan kita. Kau tak takut?"
James menghela nafas saat Maverick menyinggung groupie, alias wanita yang biasanya disediakan untuk kebutuhan khusus para anggota band saat sedang tour di negara asing. Alex memang terkenal memiliki pesona kuat, dengan wajah tampan serta badan padat bak titisan dewa mitologi, laki-laki itu selalu membuat wanita membuka kakinya sendiri.
"Kupikir justru hal itu bagus," Alex mematri senyum tipis.
Nicholas mendengus pelan, seperti tahu apa yang tengah laki-laki itu pikirkan.
"Reputasi Lorna bagus 'kan?"
"Iya," Maverick menaikan kedua alis. Ikut merasa ada yang aneh dari perilaku sobat lamanya ini, ia mulai curiga.
"Ia putri seorang Senator dan terkenal sebagai pengacara terbaik di kota ini. Memangnya kenapa?" Lanjut Maverick masih dengan nada menerka.
"Yah, maksudku ... suatu saat mungkin ia bisa dimintai bantuan." Jawab Alex, menempatkan kedua telapak menempel pada leher. Kepalanya menanggah, iris coklatnya terpejam.
"Bantuan?" Intuisi buruk Maverick terverifikasi dengan jawaban si penyanyi, terlebih rekata tatapannya dengan Nicholas beradu padu. Si Bassis, William Nicholas, juga teman dekat Alex. Cowok bersurai sedikit keriting ini memang tak banyakbicara, namun ia lihai membaca ekspresi orang di sekitarnya.
"Kau tahu, kalau-kalau kita terlibat kasus seperti yang kemarin lagi."
"Kau gila!?"
Maverick menghela nafas mendengar
"Kudengar dari Pak tua David jurnalis di sini, di Los Angeles, kalian tahun seburuk apa etika mereka. Tak pernah berani memberitakan hal buruk mengenai keluarga Lehnserr."
"Jelas, Alexander. Sang Ayah, Andrew Lehnserr, adalah Senator California. Sang Ibu, Elija Lehnserr, menjabat sebagai CEO utama majalah Politico. Sekarang anaknya, yang baru saja kau tiduri semalam. Sudah tak perlu kujelaskan bukan?"
"Kudengar kakeknya juga pernah menjabat di administrasi presiden Nixon dulu."
"Tunggu– kenapa kalian lebih tahu mengenai perempuan ini dibalik aku sendiri!?"
"Benar, Al. Ironis. Makannya kuperingatkan." James beranjak dari sofa, bergerak menuju lemari pendingin untuk membawa beberapa botol bir.
"Kupikir kau akan membiarkannya." Celetuk Nicholas datar.
"Apa?"
"Membiarkannya, seperti perempuan-perempuan yang pernah kau tiduri di masa lalu. Abaikan saja."
"Ouch, William. Kau menyakiti hatiku." Air muka Alex berubah kecut. Pemuda itu menyenderkan badan pada kursi empuk, berpikir harus melakukan apa kedepannya.
"Al," Maverick menepuk bahu teman dekatnya.
"You don't wanna go near politicians."
It's a bad idea. Alex seharusnya berhenti sampai di sini. Pamor adalah satu dari beberapa hal yang menjelma jadi anugerah sekaligus kutukan bagi manusia. Alex tak akan pernah bisa punya kehidupan normal, Lorna juga akan sulit menemui stabilitas di hidupnya. Relasi Alex dan Lorna bisa saja membawa kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi di riwayat hidup keduanya jadi nyata.
Hari Jumat. Gedung Firma Hukum milik keluarga Lehnserr tengah memberlakukan protokol baru. Perubahan ruangan-ruangan pegawai yang menjabat, serta transfer berkas lama ke kantor arsip Kejaksaan Agung akan dilakukan hari itu. Tanpa mengetuk, salah satu pintu ruangan dibuka pelan, "Hei." Lorna melirik tajam, "Mau apa?" Aneh. Lorna mengira jarak pertemuannya dengan Alex akan berkisar dua minggu, atau bahkan lebih. Bisa jadi mereka tak akan bertemu lagi, mengingat sama-sama dirundung kesibukan. Namun– tak sampai 48 jam berlalu, iris gelap kembali menatap netra terang. Lorna mengucap sumpah serapah dalam hati karena terlalu mabuk semalam, berakibat dirinya harus berurusan dengan orang ini lagi. "Galak." Alex tersenyum miring, bibir manisnya didekatkan pada telinga si gadis. "Kemarin malam saja sampai memohon-mohon minta disentuh."
Hari Minggu, pukul 6 pagi. Alex dan Regina sudah sampai di Bandara. Mengejar penerbangan menuju Maldives, tercetak pukul 8 pagi pada tiket mereka. Liburan yang telah lama direncanakan ini akhirnya terlaksana, butuh waktu lama untuk keduanya bisa menemui jadwal kosong yang sama."Minggu depan aku ada pemotretan untuk majalah Vogue." Kata Regina saat keduanya telah duduk santai di kursi penumpang, Alex merespon dengan senyum manis."Begitu?"Regina mengangguk, "Aku yakin beberapa pertanyaan dalam wawancara itu akan menyinggung kau.""Kau tak harus menjawabnya, sayang." Alex mengusap pipi sang kekasih, "Bilang saja melalui manajermu kau tak nyaman."Perempuan dengan mahkota blonde itu mendengus kesal, tangan kasar si pemuda ditepis. "Tidak mempan."
“Jadinya mau dibelikan apa?” Suara Alex terdengar redam akibat jarak, padahal ponsel si perempuan sudah diletakan di meja dengan speaker menyala. Lorna menautkan alis, “Kenapa bisik-bisik begitu.” Ia sendiri tengah berada di ruangan baru tempat kerjanya– lantai tiga gedung firma hukum milik keluarga Lehnserr. Alex waktu itu membantu Lorna membereskan berkas lama, renovasi kecil itu selesai dan hampir semua staff melalui penyesuain tempat lagi. “Sedang di toilet.” “Menjijikan.” Alex mendesah pelan, “Jadi?” Perempuan itu terdiam, berpikir lama tentang jawaban dari pertanyaan aneh yang dilontarkan si pemuda. Sejujurnya ia tak mau dibelikan apa-apa, baik itu makanan ataupun barang. Apapun deh, Lorna bukan tipe orang yang suka membeli barang secara impulsif. Lalu sang pengacara cukup tahu bahwa Leon Alexander ialah keras kepala menyamai dirinya, maka Lorna tak mau capek-capek mendebat pem
'Maverick?'"Ya?"Laki-laki itu melirik jam dinding, pukul tiga pagi."Kenapa?"'Ah, aku hanya ingin bertanya. Apa Al ada di rumahmu?'Jeda hening sepersekian detik, Regina melanjutkan penjelasan atas pertanyaannya barusan.'Semalam kami baru saja sampai dan aku langsung tidur, terlalu lelah. Sekarang aku hanya sendirian. Selama perjalanan ia terus memikirkan ulang tahun Cassie yang terlewat. Jadi–'"Ada kok, Cassie tak mau lepas dari Alex. Makannya i
Allison Kathryn Rhode, 26 tahun.Lahir di Long Island, pindah ke Los Angeles saat mulai berpacaran dengan Julius Christian.Lorna mencerna satu persatu bagian dokumen milik si klien. Gadis itu punya kebiasaan membuat catatan kecil sebagai summary atas garis besar serta benang merah yang terjadi pada kasus yang akan ia tangani, selanjutnya baru mencari bukti serta melengkapi dengan keterangan saksi. Proses akhir dari persiapan awalnya sebelum sidang adalah menyusun argumen atas nama sang klien.Sejak usia anak-anak hingga remaja, Allison punya prestasi baik, di bidang akademik maupun non-akademik. Punya bakat seni yang tampak pada usia muda, dikenal piawai menuangkan rasa dalam untaian kata; Allison jago berpuisi."Ally bertemu Julius di Klub Perpustakaan yang ada di SMU mereka," Seru Ibu yang menemani putrinya untuk pertemuan pertama dengan sang pengacara.
Pukul 7.15 malam. Cassandra O’Connor mengikat Lorna dalam kungkuhan erat, kedua tangan mungilnya tak mau lepas dari figur si perempuan kuat. Sudah hampir satu bulan setelah gempar berita beredar mengenai dua manusia yang belakangan perasaannya dipermainkan semesta, belum ada kontak apapun setelah berita-berita itu menyapa.“Aunty? Apakah masih lama?”Cassie sedikit menjauh guna menatap sepasang netra coklat, Lorna tersenyum kecil sebagai balasan.“Sebentar lagi.”Keduanya tengah menunggu kepulangan pemuda-pemuda yang baru selesai merekam album terbaru mereka. Lebih spesifiknya, Lorna hanya ingin mengembalikan Cassie pada Maverick. Konflik batin berhasil diabaikan sepanjang hari akibat presensi Alex pun akan ikut hadir. Begitu pula dengan James dan Nicholas, bayang-bayang secanggung apa suasananya nanti sudah beberapa kali menyelimuti.&nb
"Nona Lehnserr?" "Hey!" Lorna buru-buru berjalan beberapa langkah, mendekati si pemilik suara yang memanggilnya pelan. Dengan perasaan sedikit tak karuan—meninggalkan Regina dan Alex yang baru saja berbicara sebentar. "Allison ... you're blooming." Gadis itu tertawa, "Kau juga, Nona. I—can’t put it into words." Setelah beberapa saat, hal yang paling mungkin terjadi akhirnya kesampaian. Allison dan Lorna jadi lumayan akrab, alasannya karena memiliki banyak persamaan juga. Perempuan, pintar, kesulitan menafsirkan perasaan. Si penggugat sendiri datang dengan seorang laki-laki yang tak Lorna sangka, saat Neil menyapa– gadis itu menatap geli. "Aah, you're fucking smooth." "The fuck you're talking about?"
Janji.Banyak arti minim realisasi.Niatnya mengurangi sakit hati, berakhir menggali kubur sendiri.Dari tujuh miliar manusia yang ada di dunia, puluhan ribu spektrum warna yang tampak oleh mata, ratusan ras dan suku bangsa yang berbicara ribuan bahasa, juga segala makhluk bentukan debu kosmik yang tercecer di alam semesta, kenapa orang-orang selalu jatuh pada mereka yang jauh?Ada yang disatukan oleh iman yang sama namun dipisahkan amin yang berbeda. Yang lainnya dipertemukan dalam suatu keadaan, terbiasa dengan kehadiran, lalu malah kembali ditinggalkan. Jarak tak terhingga, negara yang berbeda. Halangan yang terlihat maupun yang tak tampak oleh mata; semuanya tak akan pernah meninggalkan bahagia tanpa diikuti derita.Presensi manusia lain bisa dirasakan Alex saat lembar per
Jam tiga dini hari, berakhirnya malam berganti tanggal baru, sisanya segera ditelan angin pagi. Waktu saat seharusnya, siapapun yang tengah memunguti patah hati, mengistirahatkan diri.Bukankah begitu? Semakin larut, semakin jujur. Kira-kiranya, karena sunyi senyap tidak ada lagi yang akan mendengar. Suara sekecil apapun akan menggema di tengah ruang, menghantui hati-hati yang kesepian.Lorna Lehnserr terdiam di balkon apartemen pribadi miliknya dan seorang laki-laki yang baru ia kenal hampir setahun kebelakang, terletak di wilayah sub-urban yang agak jauh dari pusat kota. Dengan sebatang rokok terselip diantara dua jemari, netra terang memandang sepi.Ada yang sedang tidak baik-baik saja.Perempuan itu bukan perokok akut, tidak sama sekali. Ia punya kesehatan diri sendiri serta reputasi mengikat nama keluarga yang harus selalu dijaga."Fucking hell."
[15]Lorna berdiri mematung. Dengan badan bergetar, rintikan air ikut mengguyur bumi seakan alam ikut mengerti ada hati yang tengah disakiti. Netra coklat disapu kelopak. Berulang kali, runtutan kedipan refleks itu kian menjadi. Rutup hujan menggema di telinga, dua manusia saling bertatap seakan tengah bertengkar hebat namun tak mau ada yang melihat."I can’t keep doing this." Gadis itu berkata pelan.Dengan sorot tatap yang terlempar dari banyak orang sekitar, keduanya tak peduli. Meskipun si laki-laki dulunya khawatir bukan main soal image dari keduanya, karena membangun karir dengan persona sedemikianrupa bukanlah hal yang mudah. Kali ini Robert juga mengalah, biarkan emosi mengalir dari ujung kepala sampai ujung kaki.Tengkuk diusap beberapa kali, rahang mengeras sekali jadi. Laki-laki itu tak pernah malu menunjukan lemah di hadapan perempuan tersayang, seperti sekarang, k
Tiga tahun lalu, keduanya baru mulai menjalani hubungan. Pasangan kekasih baru, masih menebar semburat pada pipi masing-masing setiap kali dua pasang mata bertemu.Alex terpesona pada pandangan pertama, seorang perempuan tertangkap pandangan tengah berdiri sendiri di sekitar backstage. Surai pirangnya diurai sampai ke lengan, sementara wajah yang memerah tampak gelisah tak tahu kenapa.“You need help?”“Oh, yeah—hi.”Dilihat dari dekat, Regina semakin kelihatan memikat. Jangan bilang-bilang bahwa sebenarnya Alex sudah menatap si perempuan saat berjalan mendekatinya, paduan atasan crop top berwarna hitam serta jaket denim dan rok selutut berwarna gelap tampak sangat apik ditambah wajah si perempuan yang terlampau cantik.“I got lost. My friend just—he was here but—“ 
Fr: Leon AlexanderHeyIt’s weeksWhy did you never text meeeeeAlex memandangi layar ponselnya, tertulis nama kontak seorang perempuan—dengan keterangan last online 5 hours ago. Perbedaan waktu jadi pengganggu bagi siapapun yang harus rela menahan temu, Alex dan Kubrick’s Perspective tengah berada di Berlin. Sementara Lorna, kemungkinan besar masih berkutat di Los Angeles.Karena kesibukan rutin yang tak bisa ditinggalkan, juga si pemuda tak punya alasan untuk meninggalkan, semua media sosial miliknya diacuhkan begitu saja. Beberapa diurus oleh orang-orang label, mengingat sampai sekarang band mereka belum menemukan tim managemen baru. Maka sebagai usaha dokumentasi, serta promosi, semua kegiatan selama tour diabadikan oleh crew panggung. Begitu yang terjadi selama beberapa minggu kebelakang, masalah yang terdengar cukup bodoh
[12]“I hope you had a good ass sleep.”Neil berjalan cepat menyamai langkah kaki jenjang Lorna, berkomentar singkat bahkan saat perempuan itu belum berkata sepatah kata.Lorna melirik dari ujung mata, “If you’ve been wondering then—yes. He fucked me hard i slept like a corpse.”Si pemuda bersurai blonde tertawa kencang, seraya masih berjalan cepat karena keduanya sedikit terlambat. "That was a good shag then?”“Too good.” Si pengacara menghentikan langkah di depan pintu ruangan meeting yang terletak di gedungnya sendiri, menatap Neil yang ikut berhenti seraya memasang ekspresi geli.“I almost said I love him.”“Ouch.”Keduanya terdiam sesaat. Lorna mengendikan bahu, tangannya bertengger pada kenop pintu sementara batin mempersiapkan diri un
"Is he okay?" Kali ini, suara pelan Nicholas yang terdengar membuka percakapan. Raut mukanya resah, gundah. Kelihatan si bassist sedang khawatir bukan main.Beberapa kepala berkumpul di satu tempat yang sama. Di Studio, dua hari sebelum keberangkatan tour biasanya diisi obrolan-obrolan mengenai teknis. Sudah bukan waktunya rehearsal apalagi pusing menyesuaikan tempo bagian masing-masing, selepas produksi selesai semuanya langsung mengistirahatkan diri.Dari sebrang arah, Maverick menyimpan ponselnya di atas meja, seraya menatap sekilas dan menjawab singkat. "I don't know.""Well we all concern about HIS stake, not HER. Remind me again whose car got crushed."Tiba-tiba si gitaris berseru dengan nada menekan di beberapa bagian, cowok itu duduk sendiri di kursi kecil yang terletak di ujung ruangan. Kedua tangan sibuk menggenggam ponsel yang tersambung pada stop kontak di dindi
“Is that Aunty Lorna?”Pertanyaan singkat yang dilayangkan Cassie menyita perhatian Maverick.Pemuda itu baru beres menyelesaikan olahraga rutin yang ia lakukan setiap pagi. Badan besarnya masih berkeringat, dengan handuk kecil yang tersampir di leher. Berdiri di depan kulkas yang terbuka, tangan menggenggam botol sementara kepala mengara ke ruang tamu.“Where, Honey?”“In TV! Aunty’s on TV!”Maverick berjalan dengan tangan yang masih mencengkram minuman dingin, duduk di samping sang putri yang kelihatan asyik sendiri. Tatapan penasaran ikut dilayangkan pada figur di balik layar, benar saja. Tampak Lorna yang berjalan cepat didampingi dua orang bodyguard, badannya tegak namun kepala menunduk. Kamera yang bergerak mengikuti langkah kaki si pengacara malah sempoyongan menghasilkan gambar yang tak terlalu jelas dil
Janji.Banyak arti minim realisasi.Niatnya mengurangi sakit hati, berakhir menggali kubur sendiri.Dari tujuh miliar manusia yang ada di dunia, puluhan ribu spektrum warna yang tampak oleh mata, ratusan ras dan suku bangsa yang berbicara ribuan bahasa, juga segala makhluk bentukan debu kosmik yang tercecer di alam semesta, kenapa orang-orang selalu jatuh pada mereka yang jauh?Ada yang disatukan oleh iman yang sama namun dipisahkan amin yang berbeda. Yang lainnya dipertemukan dalam suatu keadaan, terbiasa dengan kehadiran, lalu malah kembali ditinggalkan. Jarak tak terhingga, negara yang berbeda. Halangan yang terlihat maupun yang tak tampak oleh mata; semuanya tak akan pernah meninggalkan bahagia tanpa diikuti derita.Presensi manusia lain bisa dirasakan Alex saat lembar per
"Nona Lehnserr?" "Hey!" Lorna buru-buru berjalan beberapa langkah, mendekati si pemilik suara yang memanggilnya pelan. Dengan perasaan sedikit tak karuan—meninggalkan Regina dan Alex yang baru saja berbicara sebentar. "Allison ... you're blooming." Gadis itu tertawa, "Kau juga, Nona. I—can’t put it into words." Setelah beberapa saat, hal yang paling mungkin terjadi akhirnya kesampaian. Allison dan Lorna jadi lumayan akrab, alasannya karena memiliki banyak persamaan juga. Perempuan, pintar, kesulitan menafsirkan perasaan. Si penggugat sendiri datang dengan seorang laki-laki yang tak Lorna sangka, saat Neil menyapa– gadis itu menatap geli. "Aah, you're fucking smooth." "The fuck you're talking about?"