"Den, jangan naik kasur! Kusut lagi, kan!" Suara omelan seorang wanita menimpali jeritan Rendi pun tidak kalah heboh. Dokter Pamela yang mendengar suara mereka, seketika tertawa terpingkal-pingkal. "Itu pasti si Rendi liat kupu-kupu." "Kupu-kupu, Nyonya?"tanya Adista sambil mengernyitkan dahi. Perawat muda ini ikut vibe bahagia yang ditularkan oleh Dokter Pamela. Dia yang tidak pernah senyum sejak peristiwa tragis yang dialaminya, baru saja bisa tersenyum meski tipis. Adista merasakan bahwa atmosfer dalam lingkungan Dokter Pamela sangat menyenangkan. Rasa takut, marah, khawatir yang semula membelenggu dirinya sedikit-sedikit mulai terlepas. "Ayo, lihat Rendi!"ajak Dokter Pamela sambil berjalan cepat ke arah kamar. Mau tidak mau, Adista jadi menyusul langkahnya. Saat mereka sampai di ambang pintu, tampak Rendi dengan wajah pucat pasi duduk menekuk lutut sambil memandangi kupu-kupu yang terbang mengitari ranjang. Binatang bersayap cantik tersebut seperti sengaja menggoda pria tamp
"Ada apa dengan Adista, Mbok?"tanya Dokter Pamela dengan ekspresi cemas mendekati ranjang. Rendi mengikuti ke ranjang lalu meminta aroma terapi dari Mbok Darmi. Pria ini memijat kaki Adista dengan minyak tersebut."Saya tadi bercerita soal kecelakaan pesawat. Nona Adista tiba-tiba pingsan,"jelas Mbok Darmi."Kecelakaan pesawat?"tanya Dokter Pamela bingung."Maaf, Nyonya. Soal Tuan dan Nona Alena. Maaf,"balas Mbok Darmi merasa bersalah. Wanita tua ini berkata dengan menundukkan kepala.Dokter Pamela merenung sejenak seusai Mbok Darmi berkata. Wanita ini merasa ada sesuatu pada Adista. Sejak mereka bertemu pertama kali saat interview, Dokter Pamela merasakan sebuah chemistry unik di antara dirinya dengan perawat tersebut."Apa mungkin dia punya pengalaman tak mengenakan dengan pesawat terbang?"tanya Dokter Pamela sembari merapikan anak rambut yang menutupi wajah Adista. Tiba-tiba pandangan Dokter Pamela tercengang pada saat melihat ada luka bekas jahitan di kening Adista sebelah kanan.
"Oh my God! Aku jadi ingat semua. Bang Rendi dapat ini dari mana?"tanya Adista dengan berurai air mata. Meski masih samar-samar dalam ingatan, tetapi Adista sudah bisa mengingat sedikit demi sedikit peristiwa tragis yang pernah dialaminya saat masa kanak-kanak dulu."Boneka ini jatuh, saat Nona diselamatkan oleh seorang bapak-bapak. Sebelum pesawat terbang meledak,"ungkap Rendi menceritakan kembali peristiwa tragis yang sempat disaksikan belasan tahun yang lalu.Oleh karena dia saksi utama, maka dari itu Dokter Pamela merengkrutnya jadi staf ahli di laboratorium klinik. Kini, boneka yang disimpan oleh Rendi telah menemukan tuan putrinya. "Akhirnya, semua jadi jelas. Nona pasti tahu dengan maksudku," ucap Rendi dengan ekspresi lega. Dokter Pamela kehabisan kata-kata karena saking bahagianya. Dari kedua pelupuk mata mengalir deras bulir-bulir bening.Ya, wanita yang telah belasan tahun dalam kesendirian tak berujung dan hanya punya satu keyakinan bahwa sang putri akan kembali ke peluka
"Anak Nyonya dirawat di Rumah Sakit Mayapada Medica Gedung Seroja laantai 8 nomor 2204." "Terima kasih atas bantuannya, Pak,"ucap Adista sembari memberikan lembaran uang. "Saya harus lekas ke rumah sakit. Silakan lanjutkan tugas Anda. Maaf, merepotkan.""Baik, Nyonya. Saya permisi."Adista berjalan penuh percaya diri. Dia dulu hanya seorang perawat junior yang selalu mengemis pekerjaan dan tidak pernah memakai pakaian bagus bahkan jarang makan menu mahal karena kemiskinan.Dia lakukan penghematan biaya demi mencukupi kebutuhan keluarga, terutama biaya pengobatan bapaknya. Adista merasa bangga sebagai anak orang miskin yang bisa mengenyam pendidikan tinggi hingga menjadi seorang perawat. Namun, itu kisah masa lalu Adista yang gadis lugu dan miskin, meskipun cantik.Kini, dirinya seperti terlahir kembali sebagai wanita cantik yang terlahir dalam keluarga konglomerat. Adista telah memiliki semua impian para wanita. Dia memiliki segala kualifikasi yang tinggi, lulusan kedokteran luar n
"Dokter akan memeriksa pasien." Tiba-tiba Femy muncul memberitahu jadwal pemeriksaan. Adista menoleh dan kaget begitu bertatap mata dengan perawat tersebut, lagi. Ini orang dibayar berapa oleh Vira, batin Adista. Perawat dekat ranjang Gilbert mengamati Adista dan menjadi terkesiap. Ya, dia merasa mengenali gesture tubuh wanita cantik di depannya. Tali kasih persahabatan di antara keduanya masih kuat terasa. Wanita perawat ini mendekat ke arah Adista. "Apa kabar?" Sapaan dari Maya membuat Adista mati kutu sesaat dan beruntung bisa segera mengendalikan diri. Dokter cantik lulusan University of Auckland tersenyum manis lalu balik menyapa,"I'm fine. Thanks you " Maya pun dibuat tercengang saat mendengar suara Adista yang familiar di telinganya. Namun, perawat ini buru-buru menyangkal bahwa Adista tidak sefasih itu dalam berbahasa Inggris. Dirinya telah salah orang. Padahal, andai benar seperti dugaannya, Maya akan bercerita banyak tentang sikap intimidasi Femy dan Vira terhadap diriny
"Alergi seafood bisa sakit macam gitu? Dia sempat pingsan tadi.""Ya, memang itu salah satu gejala alergi seafood. Macam-macam gejala alergi itu. 1. Ada yang kulit terasa gatal dan kering (eksim), sakit perut, diare, mual, dan muntah. 2. Hidung tersumbat, mengi, dan sesak napas. Bengkak di bibir, wajah, lidah, dan tenggorokan. 3. Kepala terasa pusing hingga pingsan. Pada kondisi tertentu, reaksi alergi bisa menjadi sangat serius dan membahayakan nyawa penderitanya. Kondisi ini disebut juga syok anafilaktik. Paham?"Dylan mendengar penjelasan dari Nugraha langsung tersenyum. Semakin yakin dirinya akan status Gilbert. "Oke. Gue bahagia dengar penjelasan lu. Pamit dulu.""Gila, lu. Ada yang sakit, malah bahagia.""Lu mau ke mana?"tanya Nugraha heran."Yang gue tahu, alergi itu dipengaruhi oleh gen dan alergi dia sama kayak gue. Thanks, Bro." Dylan beranjak meninggalkan ruangan dengan senyum lebar menghiasi kedua pipi. Pria ini hanya perlu sebuah pernyataan resmi secara medis bahwa kromos
Buat apa mereka sengaja sembunyi? Bersikap sewajarnya bahkan bisa mengecoh diriku, batin Dylan. Namun tak bisa disangkal, hatinya semakin tenang setelah satu per satu bukti memperjelas akan status Gilbert dengan dirinya.Dylan menuju lantai empat tempat management rumah sakit berada. Dylan telah beberapa kali menginjakkan kaki kemari pada saat mewujudkan impian Tuan Wildan agar anak satu-satunya mau pulang. Kini, meskipun beliau telah meninggal dunia, tetap memberi jalan bagi Dylan untuk bersama dengan Adista serta anak mereka.Tok! Tok! Tok!"Permisi!"teriak Dylan di depan pintu."Masuk!"balas seorang pria dari dalam ruangan.Dylan memutar handle pintu lalu mendorongnya hingga terbuka separuh. Kepala dokter muda ini melongok melihat ke dalam"Wah, mimpi apa owner Rumah Sakit Mayapada Medica mampir kemari?" Pria berjas putih yang berada di dalam lalu berjalan menghampiri Dylan. "Mimpi lu nikah kaga kasih undangan ke gue,"sindir Dylan terhadap kerabat dekatnya ini.Mereka pun berpeluk
"Oke. Selamat bertugas. Thanks telah dibantu," balas Dylan sambil keluar begitu lift terbuka. Sementara Hendra tetap di dalam untuk kembali ke lantai tiga.Dylan berjalan sambil mencari nomor kamar yang disebutkan oleh Hendra tadi. Tiba-tiba ada seorang wanita hamil besar sedang kesakitan sambil memegang perut. Darah segar mengalir dari sela-sela kakinya. Beberapa pengunjung hanya bisa melihat tanpa berani mengambil tindakan. Dylan dengan cekatan membopongnya masuk lift lalu meminta seseorang untuk menekan tombol lantai dasar ke UGD.Beberapa menit kemudian, keduanya telah sampai dan Dylan segera membawa ke bilik pemeriksaan. Pria ini merebahkan si wanita ke ranjang dengan hati-hati. Tanpa sengaja Adista yang sedang lewat melihat adegan itu. Wanita itu buru-buru melengos dan Dylan jadi salah tingkah."Alena, ikut saya periksa pasien UGD!"ajak salah satu dokter senior saat Adista akan masuk lift. Alena yang berencana ke kamar Gilbert langsung menoleh ke sumber suara."Baik, Dokter Abra
"Rendi, kamu ditangkap!" seru Bara. Rendi mencoba melawan, tetapi Dylan cepat mengatasi situasi tersebut. Rendi dibawa ke kantor polisi untuk diinterogasi. Bara dan Dylan lega karena berhasil menangkap pelaku. Dokter Pamela dan Alena telah mendengar kabar penangkapan Rendi. Namun, mereka masih cemas tentang motif Rendi dan dampaknya pada keluarga serta reputasi klinik. Beberapa hari kemudian Pengadilan dimulai. Pengacara Umaya berhasil membuktikan bahwa tindakan Umaya kepada Anton adalah murni kecelakaan. Ada rekaman CCTV soal hal itu. Hakim memutuskan bahwa Umaya dibebaskan dari segala tuduhan. Namun ada kewajiban wajib rapor dan tidak boleh keluar kota sementara waktu sampai kasus Anton dan Gopar selesai diusut. Hati Umaya, Alena dan Dokter Pamela belum bisa lega 100% karena harus menunggu keputusan negosiasi interpol dengan pihak kepolisian Singapura soal kasus Alan. Mereka masih harus menunggu kepastian. Pada suatu hari Dokter Pamela menerima panggilan misterius dari seseor
"Dia sedang ambil cuti dua hari untuk riset. Ada apa?"tanya balik Dokter Pamela dengan raut wajah heran. "Sedari pagi hapenya gak aktif. Padahal bilang akan bawain obat buat aku." "Obat apa lagi? Bukankah kamu sudah gak perlu obat lagi?" "Bukan, Mom. Ini obat herbal sekaligus buat terapi." Tak berapa lama terdengar langkah kaki mendekat ke arah mereka. Kedua wanita tersebut menoleh ke belakang. Tampak Dylan dan Bara tersenyum ke arah mereka. "Selamat siang,"sapa kedua pria bersamaan. "Selamat siang,"balas dua wanita. Mereka berdiri berhadapan lalu saling menjabat tangan. Dokter Pamela mengajak kedua pria untuk duduk di ruang keluarga. Setelah mereka duduk di tempat masing-masing, barulah Alena bertanya,"Ada apa, nih, kalian barengan kemari?" Dylan segera menjawab,"Yang punya kepentingan si Bara, tuh." Pria yang dimaksud pun tersenyum ke arah kedua wanita. Ia berkata,"Maaf, gak kasih kabar dahulu. Saya dapat kabar mendadak dari kantor." Dokter Pamela dan Alena segera mengara
"Apakah kamu masih mau bersahabat dengan seorang pembunuh?" Alena terkejut dan mundur selangkah. "Apaan, sih, kamu! Apa yang terjadi padamu, Uma?"tanya Alena dengan kedua mata berkaca-kaca. Kini hatinya semakin tidak enak. Ada peristiwa dahsyat yang baru dialami oleh sahabatnya itu. Namun, kata pembunuh yang diucapkan oleh Umaya membuat pikiran Alena sempat oleng. Ia lalu bertanya dengan tubuh gemetar. "Apa maksudmu? Siapa yang kamu bunuh?" Umaya menunduk, air matanya jatuh. "Aku... aku membunuh Bang Anton." Alena terkejut. "Bang Anton? Bagaimana bisa? Kau selalu sangat perhatian padanya." Umaya mengisahkan peristiwa tragis tersebut. "Aku marah karena Bang Anton telah menjebak Alan. Adikku itu sekarang terancam hukuman mati di Singapura. Ia tertangkap tangan sedang membawa paket sabu-sabu seberat 500 gram. Bang Anton sengaja menyelipkan paket sabu-sabu pada makanan kemasan kaleng." "Alan ke Singapura dalam rangka apa?"tanya Alena penasaran. "Ia disuruh Bang Anton untuk mengirim
Di tempat lain, Umaya menatap foto Alena dengan perasaan menyesal. "Alena, maafkan aku. Besok aku jelaskan semua." "Semoga Alena gak kaget melihat keadaan kamu,"sahut Bara yang langsung ditanggapi linangan air mata oleh Umaya. "Saya gak pernah menyangka nasib persahabatan kami harus terpisah,"balas Umaya seraya menyeka sisa air mata. Bara tersenyum lalu berdiri dan menepuk pundak Umaya. Perwira polisi ini berkata,"Kamu telah berjasa terhadap kepolisian. Pasti ada keringanan hukuman. Nanti saya akan sewakan pengacara terbaik." "Terima kasih, Tuan Bara,"balas Umaya yang langsung dikawal seorang polwan masuk ke bagian belakang. *** Pukul 7 pagi Alena telah tiba di kantor polisi dengan diantar oleh Dylan. Dari semalam dokter muda ini tidak nyenyak tidur karena memikirkan kondisi yang terjadi dengan Umaya. "Tuan Bara sama sekali gak kasih bocoran?"tanya Alena kepada Dylan sambil mereka berjalan menuju ruang pemeriksaan. "Bara enggak mau kasih tahu. Katanya biar Umaya ngomong langs
"Kita tinggal ambil rekaman CCTV saat kejadian. Begitu tertangkap langsung bikin laporan,"ucap Rendi yang langsung diacungi jempol oleh Dylan. "Kita akan tahu, modus Pak Gopar merusak kepercayaan Dokter Pamela,"balas Dylan. Dorr! Terdengar tembakan dari arah pintu gerbang. Rendi segera memberi peringatan kepada kedua wanita. "Ma, Alena, tutup semua pintu dan jendela! Kalian bisa jadi incaran penjahat!" Kedua pria membantu menutup jendela dan pintu bagian depan lalu berlari ke halaman. "Ada apa ini?"tanya Dokter Pamela yang muncul dari ruang tengah. Alena berlari menyusul mommynya. Alena juga bingung dengan situasi yang menegangkan tersebut. "Mom, penjahat apa?" "Kita tutup semua jendela dan pintu. Kamu bagian belakang, Mommy cek depan,"ucap Dokter Pamela kepada Alena. Kedua wanita bergerak cepat. Mereka menutup semua pintu dan jendela. Benar yang diucapkan oleh Rendi, begitu terdengar langkah kejar-kejaran lalu suara pintu didobrak dari luar. Brakk! Pyaarr! Beruntung jendela
"Tentu saja benar. Aku sengaja bikin menu favorit Mommy,"balas Alena. "Wah, kebetulan. Hari ini Tuan Dylan akan datang untuk memberikan resep menu khusus untuk kamu. Bisa jadi sambil praktek cara bikinnya." Pernyataan Dokter Pamela barusan, membuat hati Rendi memanas. Bagaimanapun hatinya berharap bisa segera menikah dengan Alena. Sementara waktu, ia diminta Dokter Pamela untuk mengabaikan keinginan itu sampai emosi Alena stabil. Rendi gegas pergi ke luar rumah untuk menghindari hatinya bertambah panas. Hal itu bisa merusak rencana mama angkatnya untuk memberi rasa tenang kepada Alena. Sekitar sepuluh menit kemudian, datang sebuah mobil yang dikemudikan oleh Dylan. "Apa kabar, Bang?"sapa Dylan begitu keluar dari mobil. Tampak pria ini menenteng sebuah kantong plastik besar. "Baik. Kelihatannya bisnis lo semakin maju,"sahut Rendi sambil menghampiri Dylan. "Masih merintis kedai menu khusus,"balas Dylan sambil menjabat tangan Rendi. "Ini juga mau praktek buat menu khusus Alena. Aban
"Iya. Mama paham. Alena cinta Dylan dan kamu dianggap sebagai Abang." "Buat apa mencintai pria yang sering menyakiti hati? Aku baru kali ini bikin luka hati Alena, itu pun terpaksa kulakukan. Aku ingin Alena hanya untukku dan rasa cinta bisa ditumbuhkan pelan-pelan." Dokter Pamela sudah tidak bisa menanggapi omongan Rendi. Dia akan pasrahkan keputusan akhir kepada Alena. Padahal saat ini kondisi psikis Alena belum stabil. Pemilik klinik kesehatan ini harus pandai-pandai mengatur strategi agar sama-sama nyaman. "Kali ini Mama mohon belas kasihan dari kamu. Tunggu keadaan Alena sampai sehat dulu. Tolong jangan ganggu dengan situasi yang bisa memicu kepanikan dia. Bisa, kan?" Permintaan dari Dokter Pamela ini layaknya buah simalakama bagi Rendi. Di satu sisi, ia ingin segera menikah dengan Alena dan di sisi yang lain, dia terpaksa menuruti kemauan wanita yang telah banyak berjasa dalam hidupnya itu. Tiada lagi yang bisa Rendi lakukan, selain .... "Baik, Ma! Aku akan tunggu sampe Alen
Setelah itu, Dokter itu menutup pintu lalu buru-buru ke ruang kemudi. Mereka harus segera menemui psikiater langganan Alena. Sejak kasus penculikan dan pelecehan di gudang milik Pak Gunadi, Alena menjadi pelanggan setia psikiater. Hal ini sudah berhasil disembuhkan, akan tetapi kambuh kembali karena guncangan yang dialaminya kembali. Anxiety disorder yang dialami oleh Alena, sudah lama sembuh. Namun gangguan tersebut sekarang mulai terlihat gejalanya kembali. Wanita cantik ini tampak gelisah, sekujur tubuh gemetar dengan keringat membasahi raut wajah dan leher. Dalam waktu 30 menit, mereka pun telah sampai tujuan. Alena yang masih dilanda kecemasan duduk meringkuk dengan tubuh menggigil. Dokter Pamela langsung memeluknya. Wanita ini berkata,"Tenang, Sayang! Mama ada sama kamu." Beberapa saat, Dokter Pamela perlu memberi waktu pada Alena agar bisa stabil emosinya. Setelah Alena sedikit tenang, akhirnya mereka keluar mobil dan langsung menuju ruang pemeriksaan. Psikiater melakukan pe
"Syok! Bangun dari tidur tanpa pakaian ditutup selimut." "Oke. Kita lapor polisi. Bisa-bisanya, tadi di kafe, dia gak bilang apa-apa ke Mommy." Baru juga mulut Dokter Pamela berhenti berucap, terdengar nada dering ponsel. Wanita ini mengambilnya dari dalam tas. Ia menatap layar ponsel lalu menoleh ke arah Alena. "Rendi,"ucapnya hampir seperti orang berbisik. "Apa pun ucapan dia, Mommy gak boleh pergi!"pinta Alena segera. Dokter Pamela pun mengangguk lalu menerima panggilan masuk. $Iya, Ren. Ada apa?"tanyanya kepada anak angkatnya itu. "Mama ada di mana? Aku mau bicara empat mata,"balas Rendi dari ujung telepon. "Mama lagi home care, nih,"jawab Dokter Pamela yang langsung diacungi jempol oleh Alena. "Kapan selesai, Ma?" "Bisa sejam atau lebih. Setelah perawatan biasanya ada sesi diskusi. Ada apa, sih? Macam emergency saja,"sahut Dokter Pamela berniat memancing omongan lawan bicaranya. "Bisa dibilang gitu. Hari ini aku harus bisa bicara dengan Mama." "Ngomong saja sekarang. S