Terpisah dari KelompokUntuk beberapa saat Tuba Lilin, Minak Hijau dan Pancah Ungu terdiam. Seolah mereka baru saja dihadapkan pada mimpi yang sedikit menguras emosi. Terlebih Tuba Lilin, dirinya merasa paling bersalah saat ini. Jika bukan karena hendak menyelamatkan nyawanya, Sunan Zunungga takkan mungkin melakukan hal gila dengan melompat ke punggung elang berkepala sembilan. Tetapi perbuatan nekad itu tetap dilakukan Nanzu. Sedangkan mereka bahkan terlalu sering berkata ketus kepadanya. Hanya saja Nanzu, bukanlah tipikal pendendam. Ia bahkan sosok yang setia kawan dan bertanggung jawab. Mereka bertiga saat ini, duduk dan mengatur nafas masing-masing. Setelah pertarungan yang begitu sengit, mereka membutuhkan jeda untuk memulihkan tenaga dan mental mereka. Khususnya Pancah Ungu. Sewaktu ia mencoba memecut leher burung besar itu tetapi ia malah terkena lemparan cadas dan membuatnya muntah darah. Bahkan saat ini, dadanya masih terasa sesak. Ia tak lupa memanfaatkan momen ini untuk
Tersesat“Akhirnya kita sama-sama terjatuh, elang besar!” Sunan Zunungga mendudukkan tubuhnya yang kepayahan bersandar di bawah pohon. Satu depa di sampingnya, tergeletak elang berkepala sembilan yang hampir sekarat. Nafasnya megap-megap. Saat ini sebenarnya adalah kesempatan terbaik bagi dirinya untuk membunuh elang besar ini dan melarikan diri. Tetapi, entah kenapa ada sesuatu dalam jiwanya yang menahan perbuatan ini.Rasa iba! Sebuas-buasnya seekor makhluk elang berkepala sembilan, nyatanya ia tak lebih makhluk hutan yang mengikuti instingnya untuk makan dan bertahan hidup.Yah walaupun makhluk ini harus membunuh mangsanya agar tetap dapat bertahan di siklus rantai makanan Ranting Sembah. Tetapi saat ini, makhluk buas tersebut hanyalah seonggok daging tak berdaya dan pasrah.Jika kita merasa kuat, haruskah kita menyakiti mereka yang lemah?Kali ini Nanzu menatap ke arah burung itu.“Hei, elang! Gara-gara dirimu, sekarang aku terpisah dari kelompokku. Entah kita berada di mana sa
Musuh yang Menjadi TemanTak terasa saat ini Sunan Zunungga telah memasuki kawasan Tirta Amerta. Tampak di muka, kolam kehidupan berkilau dengan air berwarna bening seperti kristal tatkala tepercik pantulan surya.Sunan memperhatikan sekelilingnya, ada banyak air mancur kecil di kolam ini dengan tumbuhan dan bunga-bunga liar. Serta merta, langkahnya mulai mendekati pelataran kolam dan meminum air bening dari mulut air mancur kecil yang mengalir. Sungguh terasa sejuk di kerongkongannya yang kering. Perutnya yang lapar telah terisi dengan air Tirta Amerta. Secara ajaib, rasa lapar itu juga berubah menjadi rasa kenyang yang nyaman. Apakah air ini memang benar-benar seperti yang dilegendakan?Tetapi inilah yang terjadi. Rasa kenyang yang dirasakannya bukanlah rasa kenyang karena kembung lantaran dipenuhi oleh air. Tetapi memang benar-benar rasa kenyang yang natural. Syukurlah. Sunan pun teringat pada sosok elang yang terluka. Kasihan juga burung itu, pasti saat ini elang besar itu san
Membuat RencanaSetelah ditinggalkan oleh elang besar, Sunan Zunungga merasa kewajiban moralnya telah terpenuhi. Kini saatnya ia mulai memikirkan kembali langkah-langkah apa yang harus diambilnya ke depan. Kembali ke tujuan awal yang sempat tertunda. Melanjutkan Biak Peri dan menjadi seorang Asta. Untuk ini tentu saja Nanzu harus membuat beberapa persiapan ulang. Termasuk menemukan kembali jejak para kawanan kelompoknya. Entah apa yang terjadi pada Tuba Lilin, Minak Hijau dan Pancah Ungu sekarang. Yah walaupun mereka sedikit ketus terutama Pancah Ungu, tetapi Nanzu menghargai kebersamaan mereka. Setiap orang memiliki sifat dan corak beragam. Itulah seninya berkelompok dan memiliki komunitas. Lagipula tak semua sifat mereka buruk, pada saat dihadapkan pada suatu masalah besar, perbedaan dan konflik akhirnya dapat melebur menjadi satu kerjasama. Ini telah dibuktikan pada saat mereka melawan elang berkepala sembilan tempo hari. Intinya hanya satu, persamaan tujuan! Di awal mereka te
Sebuah ArtiDi bagian lain Ranting Sembah…Lima orang peserta Biak Peri lainnya saat ini masih juga berjibaku dengan seekor kadal besar. Mereka adalah Bading, Badang Selatan, Kucul Rinci, dan dua orang lainnya.Mereka mengelilingi kadal besar berwarna coklat tua. Dari kepekatan aura makhluk mistik ini, mungkin berkisar antara 3000 tahun. Tetapi kadal mistik adalah salah satu makhluk mistik pemangsa yang lincah dan buas.“Keke Badang, awas kakimu!” Bading berteriak tatkala kadal coklat menjulurkan lidahnya yang bercabang dan mencoba menyerang ke arah Badang Selatan.“Kau Rinci bodoh! Cepat kau pancing kadal coklat itu ke arahmu. Dasar pengecut kau!” Kucul Rinci yang paling lemah dari mereka berlima hanya bisa menerima cacian dan makian. Tapi walaupun begitu ia sungguh tak mau menjadi umpan bagi si kadal buas.“Bading, kau serang dari kiri dan aku akan mengalihkan perhatian kadal jelek ini dari sini.”“Baik Keke Badang!” Bading dengan sigap melemparkan tombak kecil berjeruji dari kedu
Kadal BakarMinak Hijau dan Pancah Ungu yang memperhatikan Tuba Lilin membantu kelompok Badang Selatan, akhirnya turut pula bergerak. Kini, ada delapan Ashokans remaja silih berganti bertukar serang dengan seekor elang pejantan muda berkepala sembilan. Biasanya elang berkepala sembilan sangat buas terhadap daging makhluk yang hidup, tetapi entah karena musim kawin bagi mereka di mana saat ini yang sedang memasuki musim semi. Kawanan makhluk bersayap ini menjadi sangat sensitif terhadap bau-bauan yang menyengat.Bukankah elang berkepala sembilan betina juga memiliki bau aroma yang berciri khas? Bau khusus yang menguar dari tubuh mereka secara alami juga akan menarik elang pejantan dari segala penjuru untuk menawarkan cinta. Karena makhluk mistik elang berkepala sembilan memiliki daya penciuman yang sangat tajam. Selain penglihatan mereka yang utama. Bahkan, seekor elang pejantan berkepala sembilan dapat mengenal lawan dan mangsanya hanya berdasarkan bau-bauan saja.Makhluk ini juga t
Telepati“Minak, apakah kau juga menyaksikan apa yang sedang aku lihat?” Tuba Lilin bergumam pelan kepada adik seperguruannya Minak Hijau yang berjarak paling dekat dengannya saat ini.“Iya, Keke Tuba, aku juga melihatnya. Itu… yang di atas elang itu sangat mirip dengan Nanzu!”“Hahahaha...Kalian jangan bermimpi di siang bolong!” Badang berteriak kasar. “Mana mungkin bocah lemah seperti Nanzu menunggangi elang berkepala sembilan! Jika kalian ingin membelanya jangan terlalu berlebihan dan mengarang cerita omong kosong!”“Hei Bading! Bukankah kau juga melihatnya? Kita semua juga menyaksikannya. Elang berkepala sembilan yang sedang melintas tadi ditunggangi oleh Nanzu!”“Kita?! Kalian saja yang melihatnya! Kami tidak!”“Terserahlah, malas berdebat dengan orang-orang seperti kalian! Kami akan melanjutkan perjalanan lebih dulu!”Keempat remaja itupun akhirnya bergegas meninggalkan kekesalan mereka di belakang. Kucul Rinci yang terluka juga memutuskan ikut bersama rombongan Tuba Lilin, Min
KebersamaanDari atas tampak air terjun Pangkung mengalir deras. Elang berkepala sembilan yang membawa Sunan Zunungga mendarat di salah satu tepian sungai. “Igel, terima kasih kau sudah mengantarku. Aku akan menunggu teman-teman kelompokku di sini.”“Bocah Nanzu, aku akan pergi sekarang. Aku tak suka bertemu dengan temanmu yang sudah menusuk mataku. Jika kau membutuhkan bantuan, kau boleh memanggil diriku.”“Tetapi bagaimana caranya, Igel?”Huak huak “Kau sebut namaku tiga kali sambil menahan nafas. Aku akan segera mencarimu setelah menerima sinyal yang kau kirimkan.”“Terima kasih, Igel.” Dalam sekejap elang besar itu meninggalkan Sunan Zunungga yang berdiri di atas bebatuan tak jauh dari air terjun Pangkung. Dari tempatnya berdiri, Nanzu dapat menikmati kemegahan alami yang seolah bersinar putih. Mengalir gagah di antara cadas hitam yang curam dan licin.Aku akan menunggu Tuba, Minak dan Pancah Ungu. Kuharap mereka baik-baik saja. Nanzu akhirnya mengambil sikap duduk di salah sat