Telepati“Minak, apakah kau juga menyaksikan apa yang sedang aku lihat?” Tuba Lilin bergumam pelan kepada adik seperguruannya Minak Hijau yang berjarak paling dekat dengannya saat ini.“Iya, Keke Tuba, aku juga melihatnya. Itu… yang di atas elang itu sangat mirip dengan Nanzu!”“Hahahaha...Kalian jangan bermimpi di siang bolong!” Badang berteriak kasar. “Mana mungkin bocah lemah seperti Nanzu menunggangi elang berkepala sembilan! Jika kalian ingin membelanya jangan terlalu berlebihan dan mengarang cerita omong kosong!”“Hei Bading! Bukankah kau juga melihatnya? Kita semua juga menyaksikannya. Elang berkepala sembilan yang sedang melintas tadi ditunggangi oleh Nanzu!”“Kita?! Kalian saja yang melihatnya! Kami tidak!”“Terserahlah, malas berdebat dengan orang-orang seperti kalian! Kami akan melanjutkan perjalanan lebih dulu!”Keempat remaja itupun akhirnya bergegas meninggalkan kekesalan mereka di belakang. Kucul Rinci yang terluka juga memutuskan ikut bersama rombongan Tuba Lilin, Min
KebersamaanDari atas tampak air terjun Pangkung mengalir deras. Elang berkepala sembilan yang membawa Sunan Zunungga mendarat di salah satu tepian sungai. “Igel, terima kasih kau sudah mengantarku. Aku akan menunggu teman-teman kelompokku di sini.”“Bocah Nanzu, aku akan pergi sekarang. Aku tak suka bertemu dengan temanmu yang sudah menusuk mataku. Jika kau membutuhkan bantuan, kau boleh memanggil diriku.”“Tetapi bagaimana caranya, Igel?”Huak huak “Kau sebut namaku tiga kali sambil menahan nafas. Aku akan segera mencarimu setelah menerima sinyal yang kau kirimkan.”“Terima kasih, Igel.” Dalam sekejap elang besar itu meninggalkan Sunan Zunungga yang berdiri di atas bebatuan tak jauh dari air terjun Pangkung. Dari tempatnya berdiri, Nanzu dapat menikmati kemegahan alami yang seolah bersinar putih. Mengalir gagah di antara cadas hitam yang curam dan licin.Aku akan menunggu Tuba, Minak dan Pancah Ungu. Kuharap mereka baik-baik saja. Nanzu akhirnya mengambil sikap duduk di salah sat
Kebersamaan II Dari kejauhan, Badang Selatan dan kelompoknya juga nampak menuju ke arah barat. Gemuruh air terjun Pangkung telah terdengar dari tempat mereka berdiri. “Suara ini, sepertinya kita sudah dekat dengan air terjun yang disebutkan dalam peta, Keke Badang.” Bading sesekali memperhatikan titik peta Ranting Sembah di tangannya. “Iya, kau benar. Ayo kita bergerak, sepertinya sedikit lagi kita sampai ke lokasi air terjun itu. Kebetulan aku juga ingin mandi. Sudah gerah rasanya bertarung dengan para makhluk jelek di hutan ini.”“Baik Keke.”Mereka berempatpun segera melanjutkan perjalanan. Sementara kelompok Sunan Zunungga dan yang lainnya mulai sibuk mengumpulkan beberapa potongan kayu dan dedaunan liar untuk dijadikan atap berteduh.Mereka membangun sebuah gubuk kecil untuk dijadikan sebagai penampungan sementara selama di Ranting Sembah. Sebuah kamp yang dirasa cukup aman bagi mereka untuk beristirahat dari serangan makhluk-makhluk hutan. Sunan Zunungga yang memiliki keahli
Putri SophiaSementara itu di negeri lainnya, negeri di mana kaum Lor berdiam.“Di mana Ayahku?” Istana batu atau tepatnya Coral Kastil itu begitu hening. Warna abu-abu tua mendominasi seluruh pahatan batu. Membentuk pola-pola menawan yang berbeda dari dimensi manapun.Langkah seorang gadis belia menjejaki lantai coral yang kokoh. Sedikit berlari kecil dengan langkah yang tergesa. “Maaf Putri, Sophia, Yang Mulia Hans Muda saat ini sedang memimpin rapat di aula dalam.”“Belum selesaikah? Sudah hampir dua jam Ayahanda belum keluar dari ruang membosankan itu. Apa beliau sudah lupa pada janjinya untuk berburu denganku.” Wajah cantik itu memberengut kesal. Siapa lagi kalau bukan si gadis manja, putri Sophia! Ia adalah putri tunggal Hans Muda, pemimpin kaum Lor saat ini. “Siapa yang berani membuat putri ayah kesal?”Tiba-tiba saja dari belakang, sosok Hans Muda keluar dari aula utama dan berjalan mendekati Sophia yang saat ini berdiri di lobi depan istana coral. “Ayah… Bukankah hari in
Penaklukan Dimensi TredorDimensi Tredor. Sebuah tempat yang berbeda dari dimensi lainnya. Para kurcaci dan liliput dengan ukuran tubuh mini mendiami hampir seluruh hutan yang tersebar luas di berbagai sudut dimensi. Mereka membangun koloni di dalam tanah, dengan menjadikan pohon-pohon besar sebagai gerbang masuknya. Ada yang berbeda dengan dimensi ini, baik rerumputan dan bunga-bunga liar, terlebih pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang wilayah, memiliki ukuran yang super dari tanaman kebanyakan di dimensi lainnya. Bunga rumput putih yang cantik, tumbuh menjulang setinggi kurcaci dewasa, dan ini hanya setinggi satu hasta saja. Semak belukar yang menjulang, lebih seperti hutan hijau dengan dedaunan tinggi. Dan pohon-pohon yang tumbuh, hampir rata-rata berukuran diameter tiga atau empat hasta dengan ketinggian hampir menjangkau awan.Walaupun begitu, dimensi Tredor adalah dimensi yang sangat aman bagi para kurcaci. Semua makhluk yang hidup di dalam hutan tidak pernah menggangu komuni
Portal yang TerbukaKembali ke Ranting Sembah.Sunan Zunungga dan ketiga remaja Ashokans lainnya mulai menyusuri sisi hutan terdalam dari bagian barat hutan ini. Suara makhluk-makhluk yang bersahutan ramai terdengar. Mulai dari kawanan monyet hingga suara jangkrik liar. Di bagian hutan yang mereka lalui, ada semacam lorong lurus di depan mereka yang terbentuk dari semak belukar yang merapat. Tanda tak ada Ashokans yang mengambil rute tersebut sebelumnya.“Kita ambil jalur ini?”Yang lainnya tanpa banyak bicara langsung mengikuti langkah yang mencoba menerobos pekatnya semak-semak itu. Dahan kayu dan senjata pedang dan tombak mereka gunakan untuk membuka jalan.Sesekali lengan mereka tergores sayatan daun semak yang sedikit tajam hingga meninggalkan bercak merah yang sedikit gatal.“Hati-hati, teman-teman. Kita tidak tahu jenis planta-planta liar ini apakah memiliki racun atau tidak.” “Nanzu, ini bubuk obat dari dasau kami, lenganmu banyak tergores daun tajam dan ranting.”Pancah men
Telur yang Bukan TelurPerlahan tapi pasti langkah para Ashokans muda menapak alam baru tanpa peta. Menyibak gundukan dedaunan kering yang tebal dengan sikap waspada. Mereka berjalan beriringan agar tak ada yang tertinggal dari kelompok. Saling menjaga satu sama lain. Sambil sesekali memberi bekas petunjuk untuk meninggalkan jejak nantinya.“Nanzu, apa kau masih ingat titik di mana tadi kita datang.”“Sebenarnya masih agak samar, tapi aku yakin kita bisa kembali, dengan mengikuti jejak yang kita buat ini.”"Baiklah.”Merekapun terus melangkah, tetapi hutan itu seperti tak berujung. Selain jalanan pekat tanpa cahaya yang berarti karena dedaunan yang terlalu rimbun dan pohon-pohon yang berukuran terlalu besar dan rapat.Cukup lama kelima langkah Ashokans muda itu tak kenal lelah, terus bergerak hingga akhirnya….“Aku sudah lelah. Kakiku terasa kram teman-teman.” Kucul Rinci terengah menghentikan langkahnya tiba-tiba. Dan ini diikuti juga oleh yang lainnya.“Kau benar, Rinci. Aku juga…”
Penguasa Negeri AsingSaat ini di dimensi Tredor begitu porak poranda. Seluruh pasukan kurcaci dewasa semuanya tewas dengan keadaan mengenaskan. Hanya tersisa beberapa liliput saja. Itupun sekedar untuk dijadikan koleksi hidup di Kastil Bintang.Salah satunya adalah ketua suku, si penyihir topi rumbai. Namun, tak ada bangsa Lor yang mengetahui hal ini. Dirinya dan beberapa kurcaci lain, tergeletak tak berdaya dan terikat oleh tali sulur sihir.“Cepat carikan di dalam setiap rumah mereka, peta bintang putih.” Hans Muda memerintahkan seluruh pasukannya menggeledah setiap rumah yang ada untuk mencari keberadaan sebuah peta.Peta ini bernama Bintang Putih. Satu dari sekian banyak harta karun bangsa liliput yang berisi pemetaan sihir di berbagai portal.Kaum mereka, dianugrahi kelebihan yang unik, mereka dapat memetakan berbagai wilayah portal di banyak dimensi. Dan Hans Muda sangat mengincar benda ini.Tentu saja untuk memperluas dan memenuhi rasa serakahnya terhadap penaklukan yang tanp