Sebuah ArtiDi bagian lain Ranting Sembah…Lima orang peserta Biak Peri lainnya saat ini masih juga berjibaku dengan seekor kadal besar. Mereka adalah Bading, Badang Selatan, Kucul Rinci, dan dua orang lainnya.Mereka mengelilingi kadal besar berwarna coklat tua. Dari kepekatan aura makhluk mistik ini, mungkin berkisar antara 3000 tahun. Tetapi kadal mistik adalah salah satu makhluk mistik pemangsa yang lincah dan buas.“Keke Badang, awas kakimu!” Bading berteriak tatkala kadal coklat menjulurkan lidahnya yang bercabang dan mencoba menyerang ke arah Badang Selatan.“Kau Rinci bodoh! Cepat kau pancing kadal coklat itu ke arahmu. Dasar pengecut kau!” Kucul Rinci yang paling lemah dari mereka berlima hanya bisa menerima cacian dan makian. Tapi walaupun begitu ia sungguh tak mau menjadi umpan bagi si kadal buas.“Bading, kau serang dari kiri dan aku akan mengalihkan perhatian kadal jelek ini dari sini.”“Baik Keke Badang!” Bading dengan sigap melemparkan tombak kecil berjeruji dari kedu
Kadal BakarMinak Hijau dan Pancah Ungu yang memperhatikan Tuba Lilin membantu kelompok Badang Selatan, akhirnya turut pula bergerak. Kini, ada delapan Ashokans remaja silih berganti bertukar serang dengan seekor elang pejantan muda berkepala sembilan. Biasanya elang berkepala sembilan sangat buas terhadap daging makhluk yang hidup, tetapi entah karena musim kawin bagi mereka di mana saat ini yang sedang memasuki musim semi. Kawanan makhluk bersayap ini menjadi sangat sensitif terhadap bau-bauan yang menyengat.Bukankah elang berkepala sembilan betina juga memiliki bau aroma yang berciri khas? Bau khusus yang menguar dari tubuh mereka secara alami juga akan menarik elang pejantan dari segala penjuru untuk menawarkan cinta. Karena makhluk mistik elang berkepala sembilan memiliki daya penciuman yang sangat tajam. Selain penglihatan mereka yang utama. Bahkan, seekor elang pejantan berkepala sembilan dapat mengenal lawan dan mangsanya hanya berdasarkan bau-bauan saja.Makhluk ini juga t
Telepati“Minak, apakah kau juga menyaksikan apa yang sedang aku lihat?” Tuba Lilin bergumam pelan kepada adik seperguruannya Minak Hijau yang berjarak paling dekat dengannya saat ini.“Iya, Keke Tuba, aku juga melihatnya. Itu… yang di atas elang itu sangat mirip dengan Nanzu!”“Hahahaha...Kalian jangan bermimpi di siang bolong!” Badang berteriak kasar. “Mana mungkin bocah lemah seperti Nanzu menunggangi elang berkepala sembilan! Jika kalian ingin membelanya jangan terlalu berlebihan dan mengarang cerita omong kosong!”“Hei Bading! Bukankah kau juga melihatnya? Kita semua juga menyaksikannya. Elang berkepala sembilan yang sedang melintas tadi ditunggangi oleh Nanzu!”“Kita?! Kalian saja yang melihatnya! Kami tidak!”“Terserahlah, malas berdebat dengan orang-orang seperti kalian! Kami akan melanjutkan perjalanan lebih dulu!”Keempat remaja itupun akhirnya bergegas meninggalkan kekesalan mereka di belakang. Kucul Rinci yang terluka juga memutuskan ikut bersama rombongan Tuba Lilin, Min
KebersamaanDari atas tampak air terjun Pangkung mengalir deras. Elang berkepala sembilan yang membawa Sunan Zunungga mendarat di salah satu tepian sungai. “Igel, terima kasih kau sudah mengantarku. Aku akan menunggu teman-teman kelompokku di sini.”“Bocah Nanzu, aku akan pergi sekarang. Aku tak suka bertemu dengan temanmu yang sudah menusuk mataku. Jika kau membutuhkan bantuan, kau boleh memanggil diriku.”“Tetapi bagaimana caranya, Igel?”Huak huak “Kau sebut namaku tiga kali sambil menahan nafas. Aku akan segera mencarimu setelah menerima sinyal yang kau kirimkan.”“Terima kasih, Igel.” Dalam sekejap elang besar itu meninggalkan Sunan Zunungga yang berdiri di atas bebatuan tak jauh dari air terjun Pangkung. Dari tempatnya berdiri, Nanzu dapat menikmati kemegahan alami yang seolah bersinar putih. Mengalir gagah di antara cadas hitam yang curam dan licin.Aku akan menunggu Tuba, Minak dan Pancah Ungu. Kuharap mereka baik-baik saja. Nanzu akhirnya mengambil sikap duduk di salah sat
Kebersamaan II Dari kejauhan, Badang Selatan dan kelompoknya juga nampak menuju ke arah barat. Gemuruh air terjun Pangkung telah terdengar dari tempat mereka berdiri. “Suara ini, sepertinya kita sudah dekat dengan air terjun yang disebutkan dalam peta, Keke Badang.” Bading sesekali memperhatikan titik peta Ranting Sembah di tangannya. “Iya, kau benar. Ayo kita bergerak, sepertinya sedikit lagi kita sampai ke lokasi air terjun itu. Kebetulan aku juga ingin mandi. Sudah gerah rasanya bertarung dengan para makhluk jelek di hutan ini.”“Baik Keke.”Mereka berempatpun segera melanjutkan perjalanan. Sementara kelompok Sunan Zunungga dan yang lainnya mulai sibuk mengumpulkan beberapa potongan kayu dan dedaunan liar untuk dijadikan atap berteduh.Mereka membangun sebuah gubuk kecil untuk dijadikan sebagai penampungan sementara selama di Ranting Sembah. Sebuah kamp yang dirasa cukup aman bagi mereka untuk beristirahat dari serangan makhluk-makhluk hutan. Sunan Zunungga yang memiliki keahli
Putri SophiaSementara itu di negeri lainnya, negeri di mana kaum Lor berdiam.“Di mana Ayahku?” Istana batu atau tepatnya Coral Kastil itu begitu hening. Warna abu-abu tua mendominasi seluruh pahatan batu. Membentuk pola-pola menawan yang berbeda dari dimensi manapun.Langkah seorang gadis belia menjejaki lantai coral yang kokoh. Sedikit berlari kecil dengan langkah yang tergesa. “Maaf Putri, Sophia, Yang Mulia Hans Muda saat ini sedang memimpin rapat di aula dalam.”“Belum selesaikah? Sudah hampir dua jam Ayahanda belum keluar dari ruang membosankan itu. Apa beliau sudah lupa pada janjinya untuk berburu denganku.” Wajah cantik itu memberengut kesal. Siapa lagi kalau bukan si gadis manja, putri Sophia! Ia adalah putri tunggal Hans Muda, pemimpin kaum Lor saat ini. “Siapa yang berani membuat putri ayah kesal?”Tiba-tiba saja dari belakang, sosok Hans Muda keluar dari aula utama dan berjalan mendekati Sophia yang saat ini berdiri di lobi depan istana coral. “Ayah… Bukankah hari in
Penaklukan Dimensi TredorDimensi Tredor. Sebuah tempat yang berbeda dari dimensi lainnya. Para kurcaci dan liliput dengan ukuran tubuh mini mendiami hampir seluruh hutan yang tersebar luas di berbagai sudut dimensi. Mereka membangun koloni di dalam tanah, dengan menjadikan pohon-pohon besar sebagai gerbang masuknya. Ada yang berbeda dengan dimensi ini, baik rerumputan dan bunga-bunga liar, terlebih pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang wilayah, memiliki ukuran yang super dari tanaman kebanyakan di dimensi lainnya. Bunga rumput putih yang cantik, tumbuh menjulang setinggi kurcaci dewasa, dan ini hanya setinggi satu hasta saja. Semak belukar yang menjulang, lebih seperti hutan hijau dengan dedaunan tinggi. Dan pohon-pohon yang tumbuh, hampir rata-rata berukuran diameter tiga atau empat hasta dengan ketinggian hampir menjangkau awan.Walaupun begitu, dimensi Tredor adalah dimensi yang sangat aman bagi para kurcaci. Semua makhluk yang hidup di dalam hutan tidak pernah menggangu komuni
Portal yang TerbukaKembali ke Ranting Sembah.Sunan Zunungga dan ketiga remaja Ashokans lainnya mulai menyusuri sisi hutan terdalam dari bagian barat hutan ini. Suara makhluk-makhluk yang bersahutan ramai terdengar. Mulai dari kawanan monyet hingga suara jangkrik liar. Di bagian hutan yang mereka lalui, ada semacam lorong lurus di depan mereka yang terbentuk dari semak belukar yang merapat. Tanda tak ada Ashokans yang mengambil rute tersebut sebelumnya.“Kita ambil jalur ini?”Yang lainnya tanpa banyak bicara langsung mengikuti langkah yang mencoba menerobos pekatnya semak-semak itu. Dahan kayu dan senjata pedang dan tombak mereka gunakan untuk membuka jalan.Sesekali lengan mereka tergores sayatan daun semak yang sedikit tajam hingga meninggalkan bercak merah yang sedikit gatal.“Hati-hati, teman-teman. Kita tidak tahu jenis planta-planta liar ini apakah memiliki racun atau tidak.” “Nanzu, ini bubuk obat dari dasau kami, lenganmu banyak tergores daun tajam dan ranting.”Pancah men