"Kok bawa-bawa Om Haris dan papah sih, Bang?" tegur Gavin tidak habis pikir, "nggak usah ngadi-ngadi deh, Bang!" omelnya cukup kesal. "Kalo pergaulan kamu wajar-wajar saja, Abang juga gak akan ngubungin Papah," sahut Gibran membela diri. "Makanya kalau ada orang ngomong dengerin dulu!" Emosi membuat Gavin meninggikan suaranya. "Bi, coba lu deh yang ngomong. Sapa tau Abang gue mau dengerin cerita elu. Kan pawangnya dia cuma elu," suruhnya pada Abrina. Gibran yang paham tengah disindir segera menatap Abrina. "Oke, coba Bina ngomong gitu sama kakak," pintanya dengan gesture yang santai. "Jadi gini, Kak." Abrina menatap Gibran yang juga menunduk untuk balas memandangnya, "aku dan Gavin lagi mau menyelesaikan misi."Gibran langsung mendesah pelan. "Masih pake istilah misi untuk mengganti kata kencan," gumamnya tidak percaya. "Ini serius kita mau menyelesaikan misi, Kak," timpal Abrina begitu mendengar gumamnya Gibran, "Kak Gibran tahu adik laki-lakinya Mbak Livia?"Gibran mengangguk p
Eza mengambil ponsel dari saku jaket Jeans. Dia mengetik ide Gavin, lalu mengirim pesan tersebut ke nomor dua temannya. Cuma beberapa detik pesannya langsung centang dua. Karena mereka memang sedang online. Kedua kawan esai juga kompak menjawab oke. Eza lantas menunjukkan chatnya pada sang bos. Gavin manggut-manggut melihat isi chat. Setelah itu keduanya keluar lagi. Mereka menemui Leon dan yang lainnya di ruang keluarga. Pesta-pestaan Gavin dimulai. Pemuda itu mengajak Abrina untuk berduet. Lagi-lagi dia sengaja memancing kecemburuan sang kakak. Abrina sendiri juga tidak bisa menolak. Terlebih dia ingin rencananya berhasil. Sehingga gadis itu harus total dalam berakting menjadi pacarnya Gavin. "Mau nyanyi lagu apa sih, Vin?" tanya Abrina ogah-ogahan. "Jodohku lagunya Anang Hermansyah.""Ya Allah Vin itu lagu jadul banget. Ogah ah!" Penolakan langsung dari Abrina membuat Gibran dan teman-teman Gavin tersenyum geli. "Ya udah kalau gitu Kaulah Takdirku punya Raffi Gigi. Dan gue
"Permintaan Bang Arman? Maksudnya apa sih, Le?" cecar Abrina cukup penasaran. Leon tidak menyahut. Pemuda itu kembali menaruh kepalanya di meja. Dirinya mulai merasa mengantuk. "Ayo jawab dong, Le!" Kesal membuat Abrina menggoyangkan tubuh Leon. "Biar gue aja," ujar Gavin mencegah Abrina menarik tangannya Leon. Abrina menurut. Gadis itu melepas pegangan tangannya pada Leon. "Le, emang ada hubungan apa antara kakak lu dengan si Arman itu?" korek Gavin pelan. Leon masih tidak menjawab. Pemuda itu justru memejamkan mata. "Leon!" Kini Gavin yang menarik tangannya Leon. "Apa sih, Vin?" Leon menggeliat, "gue pengen molor nih," balasnya masih terpejam. "Jangan dulu molor dong! Kan kita belum selesai ngomong," cegah Gavin sambil menepuk pundak Leon. "Emang mau ngomongin apa sih, Vin? Gue udah ngantuk berat nih," rengek Leon seraya memukul meja. "Nih makan pizza nih biar gak ngantuk," tawar Gavin langsung menyodorkan sekotak pizza. "Gak mau!" Leon langsung menyingkirkan kotak terse
"Stop!" Jeritan dari Abrina yang cukup melengking membuat Gavin tidak jadi membalas ucapan sang kakak. "Kenapa sih kalian malah berdebat?" protes gadis itu menatap Gavin dan Gibran setelah bergantian dengan sebal.Sementara Eza dan kedua temannya hanya bisa terbengong mendengar perdebatan antara adik dan kakak itu. "Udah yuk, Za! Anterin aku balik," ajak Abrina pada Eza, "kepalaku pusing mendengar pengakuan Leon. Tambah pusing lagi mendengar mereka berantem," tuturnya sambil mengarahkan matanya pada Gavin dan Gibran. "Sama gue aja." Gavin langsung menawarkan diri. "Bina, ikut kakak saja. Ini udah mau maghrib, anginnya juga kenceng." Gibran pun tidak kalah memberi penawaran. "Aduh pusing!" Abrina memegang kepalanya, "yuk ah, Za!"Gadis itu menarik lengan Eza untuk meninggalkan tempat tersebut. Keduanya melangkah sampai ke halaman depan. Abrina langsung mengambil helm dan memasangnya. "Lu punya ilmu apa sih? Sampai Kakak Adik itu naksir berat sama lu?" canda Eza mulai menyalakan
Kaget, marah, dan kecewa bercampur jadi satu di hati Haris. Dia tidak menyangka, jika perempuan yang selama ini dipilihnya untuk menjadi pendamping hidup ternyata adalah seorang ular.Dada Haris menjadi sesak dan sakit. Benar-benar seperti habis ditikam dengan senjata tajam. Pria itu sampai harus me re mas dadanya untuk menahan rasa sakit."Papah kenapa?" tanya Abrina begitu mendengar suara desisan Haris. Meski benci tetap saja ada rasa khawatir melihat mimik kesakitannya Haris.Haris tidak menyahut. Pria masih saja meringis. Sehingga pertanyaan dari anaknya tidak ia hiraukan."Pah." Abrina bangkit dari duduknya. Dia memutari meja untuk memeriksa keadaan sang ayah. "Papah kenapa?" tanyanya peduli.Haris menggeleng lemah. Dia menunjuk dinding di depannya. Sebuah dispenser sebagai fasilitas.Abrina yang paham langsung mengangguk. Gadis itu bergerak cepat menuju tempat yang ditunjuk. Dia pun mengambil gelas kosong yang tersedia untuk diisi."Ini, Pah," ujarnya begitu mendekati Haris kemb
Usai berkata demikian Abrina pun beranjak pergi. Gadis itu meninggalkan ruang kerja hari tanpa menoleh lagi.Haris sendiri hanya bisa memandangi kepergian anaknya. Namun, dia segera meraih ponselnya. Tanpa berpikir panjang pria itu menghubungi nomornya Geri. Orang kepercayaannya."Cepat datang ke sini!" titah Haris datar."Baik, Pak," sahut Geri di telepon.Haris memutuskan sambungan telepon. Sekarang tangannya menyentuh tombol intercom. Pria itu menghubungi OB di pantry."Tolong buatkan saya kopi susu," suruhnya pada si OB."Baik, Pak."Haris menaruh gagang intro com kembali ke tempatnya. Tidak berapa lama Geri masuk. Pria bertubuh gegap dan gagah itu datang dengan membawa map."Gimana hasil penyelidikan kamu?" tanya Haris tanpa basa-basi.Geri langsung menyerahkan map berwarna biru itu pada Haris. "Kalo dari nomor yang biasa dipakai Ibu Lusi, gak ada chat atau panggilan yang aneh. Tapi kalo dari nomor yang satunya lagi yang alasannya hape baru buat Leon, ada banyak interaksi antara
"Pak Haris, ini cuma kesalahan pahaman saja," ujar Bondan mencoba membela diri."Kamu gelapin duit perusahaan kamu bilang cuma kesalahpahaman?" Mata Haris menyipit sinis."Maksudnya saya salah memasukan datanya.""Salah dan dilakukan secara berulang, begitu?"Bondan tidak berkutik."Ini baru yang dicek sama Geri, Ndan, belum yang lalu-lalu," tutur Haris dengan sedikit bergetar. Rasa kecewa karena merasa dikhianati adalah penyebabnya."Saya akan menyuruh Geri untuk mengaudit semua laporan buatan kamu selama kerja di sini. Dan kamu siap-siap saja tanggung akibatnya kalo main-main dengan saya," putus Haris dengan wajah tegas.Badan Bondan kian panas dingin. "Saya memang khilaf, Pak Haris. Tapi mohon jangan bawa masalah ini ke ranah hukum," mohonnya langsung menangkup kedua tangan, "saya ini masih kakaknya Lusi, jadi tolong selesaikan masalah ini secara kekeluargaan saja.""Untuk masalah uang tidak ada yang namanya kekeluargaan. Apalagi kamu bukan hanya sekali melakukannya," tutur Haris t
Perempuan itu segera membuka lemari. Lusi bergegas meraih dress pergi berwarna putih tanpa lengan. Pakaian tersebut ia padukan dengan outer berwarna hitam.Lusi yang tidak pede jika pergi tanpa make up segera merias wajahnya. Hari ini cukup tipis saja karena sedang buru-buru. Usai menjangkau tas Hermes koleksinya, wanita menghambur keluar kamar. Di ruang keluarga Lusi berteriak memanggil nama Eva."Saya ada keperluan sebentar mau mengunjungi Mas Bondan, tolong jaga Al ya," pamitnya pada suster Eva."Baik, Bu." Gadis berseragam putih itu mengangguk patuh.Lusi dengan wedges warna hitamnya bergegas meninggalkan rumah. Perempuan itu lekas mengendarai sedan BMW. Rumah Bondan pun ia tuju."Ini kan baru pukul dua. Kenapa Bang Bondan sudah ada di rumah, ya?" gumam Lusi ketika melihat waktu di pergelangan tangan.Tidak bisa menjawab membuat Lusi mempercepat laju mobilnya. Dia cukup penasaran. Karena jarang sekali Bondan menyuruhnya datang dengan buru-buru.Akhirnya setelah melewati jalanan ya
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar