"Stop!" Jeritan dari Abrina yang cukup melengking membuat Gavin tidak jadi membalas ucapan sang kakak. "Kenapa sih kalian malah berdebat?" protes gadis itu menatap Gavin dan Gibran setelah bergantian dengan sebal.Sementara Eza dan kedua temannya hanya bisa terbengong mendengar perdebatan antara adik dan kakak itu. "Udah yuk, Za! Anterin aku balik," ajak Abrina pada Eza, "kepalaku pusing mendengar pengakuan Leon. Tambah pusing lagi mendengar mereka berantem," tuturnya sambil mengarahkan matanya pada Gavin dan Gibran. "Sama gue aja." Gavin langsung menawarkan diri. "Bina, ikut kakak saja. Ini udah mau maghrib, anginnya juga kenceng." Gibran pun tidak kalah memberi penawaran. "Aduh pusing!" Abrina memegang kepalanya, "yuk ah, Za!"Gadis itu menarik lengan Eza untuk meninggalkan tempat tersebut. Keduanya melangkah sampai ke halaman depan. Abrina langsung mengambil helm dan memasangnya. "Lu punya ilmu apa sih? Sampai Kakak Adik itu naksir berat sama lu?" canda Eza mulai menyalakan
Kaget, marah, dan kecewa bercampur jadi satu di hati Haris. Dia tidak menyangka, jika perempuan yang selama ini dipilihnya untuk menjadi pendamping hidup ternyata adalah seorang ular.Dada Haris menjadi sesak dan sakit. Benar-benar seperti habis ditikam dengan senjata tajam. Pria itu sampai harus me re mas dadanya untuk menahan rasa sakit."Papah kenapa?" tanya Abrina begitu mendengar suara desisan Haris. Meski benci tetap saja ada rasa khawatir melihat mimik kesakitannya Haris.Haris tidak menyahut. Pria masih saja meringis. Sehingga pertanyaan dari anaknya tidak ia hiraukan."Pah." Abrina bangkit dari duduknya. Dia memutari meja untuk memeriksa keadaan sang ayah. "Papah kenapa?" tanyanya peduli.Haris menggeleng lemah. Dia menunjuk dinding di depannya. Sebuah dispenser sebagai fasilitas.Abrina yang paham langsung mengangguk. Gadis itu bergerak cepat menuju tempat yang ditunjuk. Dia pun mengambil gelas kosong yang tersedia untuk diisi."Ini, Pah," ujarnya begitu mendekati Haris kemb
Usai berkata demikian Abrina pun beranjak pergi. Gadis itu meninggalkan ruang kerja hari tanpa menoleh lagi.Haris sendiri hanya bisa memandangi kepergian anaknya. Namun, dia segera meraih ponselnya. Tanpa berpikir panjang pria itu menghubungi nomornya Geri. Orang kepercayaannya."Cepat datang ke sini!" titah Haris datar."Baik, Pak," sahut Geri di telepon.Haris memutuskan sambungan telepon. Sekarang tangannya menyentuh tombol intercom. Pria itu menghubungi OB di pantry."Tolong buatkan saya kopi susu," suruhnya pada si OB."Baik, Pak."Haris menaruh gagang intro com kembali ke tempatnya. Tidak berapa lama Geri masuk. Pria bertubuh gegap dan gagah itu datang dengan membawa map."Gimana hasil penyelidikan kamu?" tanya Haris tanpa basa-basi.Geri langsung menyerahkan map berwarna biru itu pada Haris. "Kalo dari nomor yang biasa dipakai Ibu Lusi, gak ada chat atau panggilan yang aneh. Tapi kalo dari nomor yang satunya lagi yang alasannya hape baru buat Leon, ada banyak interaksi antara
"Pak Haris, ini cuma kesalahan pahaman saja," ujar Bondan mencoba membela diri."Kamu gelapin duit perusahaan kamu bilang cuma kesalahpahaman?" Mata Haris menyipit sinis."Maksudnya saya salah memasukan datanya.""Salah dan dilakukan secara berulang, begitu?"Bondan tidak berkutik."Ini baru yang dicek sama Geri, Ndan, belum yang lalu-lalu," tutur Haris dengan sedikit bergetar. Rasa kecewa karena merasa dikhianati adalah penyebabnya."Saya akan menyuruh Geri untuk mengaudit semua laporan buatan kamu selama kerja di sini. Dan kamu siap-siap saja tanggung akibatnya kalo main-main dengan saya," putus Haris dengan wajah tegas.Badan Bondan kian panas dingin. "Saya memang khilaf, Pak Haris. Tapi mohon jangan bawa masalah ini ke ranah hukum," mohonnya langsung menangkup kedua tangan, "saya ini masih kakaknya Lusi, jadi tolong selesaikan masalah ini secara kekeluargaan saja.""Untuk masalah uang tidak ada yang namanya kekeluargaan. Apalagi kamu bukan hanya sekali melakukannya," tutur Haris t
Perempuan itu segera membuka lemari. Lusi bergegas meraih dress pergi berwarna putih tanpa lengan. Pakaian tersebut ia padukan dengan outer berwarna hitam.Lusi yang tidak pede jika pergi tanpa make up segera merias wajahnya. Hari ini cukup tipis saja karena sedang buru-buru. Usai menjangkau tas Hermes koleksinya, wanita menghambur keluar kamar. Di ruang keluarga Lusi berteriak memanggil nama Eva."Saya ada keperluan sebentar mau mengunjungi Mas Bondan, tolong jaga Al ya," pamitnya pada suster Eva."Baik, Bu." Gadis berseragam putih itu mengangguk patuh.Lusi dengan wedges warna hitamnya bergegas meninggalkan rumah. Perempuan itu lekas mengendarai sedan BMW. Rumah Bondan pun ia tuju."Ini kan baru pukul dua. Kenapa Bang Bondan sudah ada di rumah, ya?" gumam Lusi ketika melihat waktu di pergelangan tangan.Tidak bisa menjawab membuat Lusi mempercepat laju mobilnya. Dia cukup penasaran. Karena jarang sekali Bondan menyuruhnya datang dengan buru-buru.Akhirnya setelah melewati jalanan ya
"Udah-udah ... gak usah pada tegang begitu," ujar Arman mencoba untuk menenangkan Bondan dan Lusi, "sekarang kamu tenang saja dulu, Bon. Biar aku dan Lusi yang akan carikan solusi," lanjutnya sambil menepuk pundak Bondan dengan lembut.Bondan terdiam. Sejujurnya saat ini hatinya sedang tidak baik-baik saja. Dia paham wataknya Haris. Pria itu tidak pernah main-main dengan ancamannya."Daripada kamu khawatir begitu bagaimana kalo kita bertiga hang out saja? Cari kesenangan di luar biar otak kamu gak stress," saran Arman berusaha membujuk Bondan."Sorry aku gak bisa." Lusi langsung menolak, "ini aja aku nyuri-nyuri waktu buat datang ke sini," kilahnya sambil bangkit dari duduknya.Wanita itu lekas mencangklong tasnya. "Oke, balik," pamitnya pada Arman dan juga Bondan, "Bang, kamu percaya sama Arman, pasti dia akan nyari solusinya buat kamu," pesannya sembari memegang tangan Bondan.Bondan hanya bisa menghempaskan napasnya. Meski Arman dan Lusi berulang kali menenangkannya, tetap saja ras
Livia melongo karena bingung."Pak Haris mungkin sedang sibuk, gak masalah kalo kita yang datang ke sana," jelas Gibran dengan santainya."Oh iya ... baik akan saya sampaikan ke pihak Pak Haris."Gibran memberikan anggukan tanda setuju."Baik, kalo begitu saya permisi," pamit Livia dengan menyematkan senyum ramah.Lagi Gibran memilih untuk mengangguk. Pria itu menatap kepergian asistennya hingga menghilang di balik pintu. Dirinya lantas mulai bersiap-siap. Baru saja menutup layar monitor pesawat intekom berbunyi."Ya, Vi," ucap Gibran begitu mengangkat gagang telepon."Saya sudah menyampaikan saran, Bapak. Pihak Haris Jaya Company sangat menyetujui dan bersiap menunggu kita," jelas Livia di meja kerjanya."Ya sudah ayo kita berangkat.""Baik."Gibran menaruh kembali gagang intekom ke tempatnya. Pemuda itu lekas mengenakan jasnya yang terlampir di sandaran kursi. Usai meraih ponselnya, dirinya bergegas meninggalkan meja kerja.Begitu membuka pintu, Gibran langsung mendapati Livia yang
"Saya dan Abrina berselisih paham dan sampai detik ini anak itu membenci saya," terang Haris jujur."Oh."Hanya itu yang keluar dari mulut Gibran. Tidak sopan baginya jika harus bertanya lebih. Sedangkan Livia yang tahu alasannya memilih untuk menyimak saja. Tentu dia tahu penyebab putusnya hubungan antara ayah dan anak itu adalah masuknya sang kakak ke dalam kehidupan Haris."Tapi, Pak Haris, kalo saya perkenalkan Abrina pada teman produser saya ini bagaimana?" izin Gibran kemudian."Tentu saya senang karena karir menyanyi Abrina akan ada kemajuan, tapi balik lagi. Semua keputusan ada di tangan dia," balas Haris terdengar jujur."Intinya Pak Haris setuju kan?""Iya."Bibir Gibran tersenyum tipis. Entah mengapa dia merasa bahagia. Seolah baru saja mendapatkan lampu hijau dari calon mertua.Waktu pun beranjak kian sore. Gibran berpamitan pada Haris. Pemuda itu meningalkan kantor Haris dengan perasaan berbunga. Langkahnya diringi Livia hingga masuk mobil.Sementara itu Haris bergegas me