"Ante Ama, tolongin Ibu. Ibu jerit-jerit kesakitan," teriak anak laki-laki pertama Dania, Raihan, yang berusia tujuh tahun, di depan rumah sepupu ibunya itu.
"Hah, kenapa, Han?" sahut Salma cemas sambil membuka pintu rumahnya. Salma adalah anak dari sepupunya Dania. Ia baru saja lulus sekolah menengah kejuruan dan sedang melamar pekerjaan melalui online. "Ibu jerit-jerit kesakitan sambil nangis, Te. Tolong bantuin. Ibu kenapa," katanya sambil menyeka air mata yang menetes. "Ya Allah, ayo kita ke rumah!" Jarak rumah yang hanya bersebelahan tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di sana. Salma langsung bergegas membawa Dania ke IGD rumah sakit. "Salma..." sapa Dania dengan lirih menahan rasa sakit. "Iya, Kak?" "Jangan hubungi siapa-siapa. Biarin saja. Apalagi kalau kamu hubungi Mas Rizal, jangan, ya." Salma yang sedari tadi memang sibuk mengutak-atik ponselnya pun terdiam dan mematung. "Lho, kenapa, Kak?" tanyanya heran. Belum sempat Dania menjelaskan alasannya, mereka tiba di IGD rumah sakit dan segera ditangani. Sementara itu, Salma pergi ke bagian administrasi untuk mengurus data. Setelah selesai, Salma kembali memegang ponselnya. Namun, ia teringat pesan Dania sebelumnya. "Gimana ya, hubungin? Atau nggak? Ya Allah, bingung banget! Huh, apa nggak usah ya? Toh juga nggak bakalan kenapa-kenapa ini," gumamnya dengan hati yang bimbang. Salma pun enggan menghubungi siapa pun. Hanya dia dan anak-anak Dania yang mengetahui kejadian itu. "Keluarga Ibu Dania?" sapa seorang dokter muda, laki-laki dengan paras tampan nan gagah, yang baru saja selesai memeriksa Dania. "I-iya, Dok. Saya. Saya Salma, saudara Bu Dania," jawab Salma sambil menatap dokter itu tanpa berkedip. "Bu Dania ingin bertemu dengan Anda. Saya tinggal dulu sebentar ya, sambil mengurus surat-surat persetujuan," ujar dokter muda itu sambil pergi, diikuti dua perawat di belakangnya. Salma bergegas masuk ke dalam ruangan dan menanyakan keadaan Dania saat ini. "Kak Dania, gimana? Udah mendingan?" tanyanya cemas. "Emangnya kenapa sih awalnya?" "Udah, Sal, udah. Nggak usah khawatir. By the way, makasih ya. Untung ada kamu, lho." "Oh iya, anak-anak di mana, Sal?" tanya Dania sambil melirik ke sudut ruangan. "Nggak dibawa, Kak. Emangnya kenapa?" sahut Salma. Dania pun merasa lega karena anak-anaknya ditinggal di rumah diawasi oleh Meli, sahabat lama Dania. Ia lalu menjelaskan maksud mengapa tidak memperbolehkan Salma menghubungi siapa pun, termasuk suaminya, Rizal. "Seriusan? Nggak bercanda, kan, ini?" Salma terkejut dengan apa yang baru saja diceritakan Dania. Di tengah situasi tegang dan sedih, tiba-tiba Dokter Boby masuk membawa beberapa lembar kertas putih bertinta hitam—kertas perjanjian. "Permisi, Bu Dania, Mbak Salma," sapa dokter Boby. "Iya, Dok," sahut mereka serempak, saling tatap. "Ada apa ya, Dok? Apa saya sudah boleh pulang?" Dokter Boby menjelaskan bahwa benturan yang terjadi di pinggul Dania merupakan masalah serius. Ditambah lagi, ia sedang mengandung tujuh bulan dan harus segera menjalani tindakan operasi caesar. "Ya sudah, Dok, tidak apa-apa. Saya siap," ujar Dania dengan mata yang berlinang. "Baik, Bu. Ini ada surat pernyataan dan persetujuan yang harus ditandatangani oleh suami Anda ya," kata dokter Boby sambil menyerahkan kertas-kertas tersebut. "Dok, saya saja yang tanda tangan. Suami saya lagi sibuk. Dia tidak punya waktu untuk saya dan anak-anak, termasuk calon anaknya ini." "Bu, mohon maaf, bukan maksud..." Belum sempat dokter Boby menyelesaikan kalimatnya, Dania sudah langsung menandatangani surat di atas materai. "Dok, maaf, kali ini saya yang harus segera memutuskan sendiri. Saya tidak mau menunggu terlalu lama. Takut calon anak saya kenapa-kenapa," ucap Dania. "Dok, kalau nanti saya dalam keadaan darurat yang mengharuskan dokter memilih siapa yang diselamatkan, tolong selamatkan saya," pintanya. Salma yang sedari tadi diam, terkejut mendengar permintaan Dania. "Lho, Kak. Nggak bisa gitu. Harus dua-duanya selamat dong," tegas Salma. "Dok, tolongin saya. Kali ini saya harus mengikuti kata hati saya karena semuanya sudah saya pikirkan matang-matang. Ada sebab dan alasannya, Dok," ujar Dania. Dokter Boby menggeleng pelan. Baginya, jika memungkinkan menyelamatkan keduanya, ia akan berusaha sekuat tenaga. Namun biasanya, pasien memilih agar bayinya diselamatkan. "Beri tahu saya alasannya, Bu," pinta dokter Boby. "Saya masih punya dua anak laki-laki, Dok, masih kecil. Kalau saya harus mati, gimana nasib mereka bertiga nanti? Sedangkan suami saya tidak peduli pada mereka," jelas Dania. "Baiklah, Bu. Saya akan membuat satu surat pernyataan lagi yang akan ditandatangani sekaligus didokumentasi sebagai bukti," jawab dokter Boby. "Baik, Dokter. Terima kasih sebelumnya." * Semua persyaratan dan surat-menyurat pun selesai. Dania sudah masuk ruang operasi, dan beberapa menit lagi akan menjalani operasi caesar. Sebelumnya, ia belum pernah merasakan operasi ini. Di kehamilan ketiga ini, niat awalnya adalah melahirkan normal seperti dua anak sebelumnya. Namun, takdir berkata lain. Salma, yang sedang menunggu di depan ruang operasi, tampak cemas dan tegang. Ia bingung harus berbuat apa selain berdoa agar semua berjalan lancar dan ibu serta bayinya selamat. Ia seorang diri di sana, bukan karena tidak ada yang mau menemani, tetapi karena sejak awal Dania melarangnya untuk memberi tahu siapa pun. Sudah satu jam berlalu. Ponsel Salma berdering, sebuah panggilan video masuk dari kontak orang yang menjaga anak-anak Dania di rumah. "Halo, Sayang," sapa Salma, berusaha menyapa Raihan dan Hafiz. Mereka adalah anak-anak Dania dan Rizal. Setelah berbincang beberapa menit, tiba-tiba saja sirine darurat di atas pintu ruang operasi berbunyi, menandakan adanya keadaan darurat dari dalam ruang operasi. Seketika, beberapa dokter tambahan dan perawat bergegas masuk ke ruang operasi. Salma pun segera mematikan panggilan video, dan...Salma pun segera mematikan panggilan video dan berjalan beberapa langkah untuk menanyakan apa yang terjadi. Namun, belum sempat bertanya, perempuan yang berprofesi sebagai perawat menghalanginya sambil menutup pintu ruangan dan berkata,"Mba, tunggu di luar. Kami akan berusaha semampu kami."Salma tertegun. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. Ia merasa menyesal karena menuruti permintaan Dania untuk tidak memberitahu siapa pun.---"Loh, kok mati teleponnya?" Raihan terheran melihat layar ponsel, yang semula sedang video call tiba-tiba mati begitu saja."Sini, sayang. Ante lihat dulu, kenapa ya kok dimatiin?" bujuk Meli, sahabat Dania yang dimintai tolong untuk menjaga anak-anaknya sementara waktu."Iya, Ante."Meli terlihat mengetik pesan singkat ke kontak bernama Salma.[Salma, kenapa? Kok dimatikan? Apa yang sebenarnya terjadi?]Tak butuh waktu lama, ia mengirim pesan tersebut, dan Salma la
Rizal heran, apa yang sebenarnya terjadi pada Dania. Kenapa dia tiba-tiba saja masuk rumah sakit dan menjalani operasi sesar? Tanpa berlama-lama, ia menghubungi keluarganya untuk menanyakan di mana rumah sakit tempat Dania ditindak."Hallo, Kak... Kamu di mana?""Lho, ya aku di rumah. Memangnya kenapa?" sahut Linda dari seberang sana."Serius? Aku pikir kamu ada menemani Dania lahiran, Kak," tanyanya terkejut."Lahiran? Kamu kok nggak ngabarin keluarga kalau istrimu itu sudah lahiran, Zal?" terdengar Linda menyalahkan adiknya."Boro-boro, aku aja dapet kabar dari sahabatnya Dania, si Meli. Ya udah, Kak, nanti ku kabari lagi."Rizal menutup sambungan teleponnya. Ia bingung harus mencari ke mana tempat Dania ditindak operasi. Tiba-tiba saja terlintas di pikirannya untuk menghubungi keluarga Dania. Namun, tidak ada yang mengetahuinya juga dan malah dirinya yang dicaci maki sebab dianggap tidak becus mengurus istri sendiri.
Dobrakan pintu yang sangat keras membangunkan kedua pasangan yang sedang bermesraan di atas kasur kesayangan mereka.Rizal berjalan menuju pintu kontrakannya untuk mengecek, namun ia tidak menemukan siapa pun. Yang ia temui hanyalah pintu yang terbuka dan berlubang akibat timpukan sebuah batu besar yang dililit kertas bertuliskan pesan menggunakan cairan berwarna merah, meskipun bukan darah."KAMU HARUS MEMBAYAR SEMUANYA!!! BRENGSEK!"Rizal mematung seketika. Rasa takut dan cemas tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Tubuhnya pucat dan dingin. Entah siapa yang mengirim pesan itu, ia merasa tidak memiliki musuh.“Mas, siapa sih?” Anggi bertanya sambil menepuk pundak Rizal pelan.Rizal, yang sejak tadi diam mematung, terkejut dan hampir saja melempar batu yang digenggamnya ke arah Anggi.“Hah, kamu ini ngagetin saja!”“Ih, apa-apaan sih, Mas? Mas mau lempar aku pakai batu itu? Iya?!” Anggi terlihat takut dengan sikap Riza
"Wanita jalang!" Dania berdesis pelan."Halo, Dania. Gimana keadaanmu?" Anggi menyapa dengan tatapan penuh makna jahat.Dania pun tidak menjawab sepatah kata pun, memalingkan wajahnya dengan tatapan sinis dan sedikit linangan air mata yang hendak menetes. Ia ingin sekali memaki dan mencabik wajah perempuan murahan itu, tetapi ia ingat bahwa kondisinya saat ini sedang lemah. Ia harus menunggu pulih terlebih dahulu untuk membalas semua perlakuan manusia-manusia bejat di hadapannya itu."Mohon maaf, jika tidak ada keperluan lagi, alangkah baiknya Bapak dan Ibu keluar. Bu Dania harus banyak istirahat," ujar Dokter Boby, berusaha mengusir secara halus manusia tidak tahu diri itu."Lho! Apa hak Anda mengusir saya?" Rizal menjawab dengan bentakan."Saya ini suaminya! Saya berhak tahu kondisinya!" ucapnya lagi sambil membulatkan kedua bola matanya seolah-olah ingin copot."Maaf, Pak, sebelumnya. Saya di sini sebagai dokter yang menangani
Ketika hendak membuka pintu kamar dan keluar, mereka dikejutkan oleh kakak dan adik Rizal yang tak lain adalah ipar Dania. Mereka datang bersamaan."Mana Dania?!" Linda mencari Dania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.Salma enggan menjawab, ia hanya memicingkan mata ke arah Dania yang sedang disuapi buah namun terhenti seketika.Salma dan anak-anak Dania pun bergegas keluar tanpa menghiraukan mereka yang datang."Gimana? Tukang drama? Apa sudah pulihan?!" cetus Linda."Kamu, kalau ada apa-apa tuh kabarin keluarga, bukan orang lain!" ucapnya lagi sambil melirik ke arah Meli.Dania hanya menyunggingkan senyum sinis. Selama ini, ia berpikir iparnya adalah sosok yang baik, karena mereka sesama wanita dan pasti mengerti bagaimana rasanya dikhianati."Keluarga? Oh ya, aku pun ke sini diantar keluargaku, kok! Apa urusannya denganmu?" Suara Dania terdengar datar. Ia tahu, menghadapi orang-orang tukang tindas seperti in
Ponsel Dania kembali berdering. Nomor tidak dikenal menghubunginya. Bimbang, Dania akhirnya mengangkatnya. Ia terkejut bahwa yang menelepon adalah seorang laki-laki muda yang entah siapa; ia pun tidak mengetahuinya."Hallo, selamat siang. Benar dengan Ibu Dania Indah Pertiwi?""Iya, siang. Maaf, ini siapa ya?""Perkenalkan, saya Armando Syahputra. Saya pengacara yang diberi kuasa untuk mengurus dan menyerahkan surat warisan dari mendiang Ibu Denada Pratiwi," sahut suara laki-laki itu dengan nada gagah."Warisan? Warisan apa ya? Apa Anda salah sambung? Mendiang nenek saya itu bukan dari kalangan orang berada yang bisa meninggalkan warisan begitu, Pak," sahut Dania, terkejut dengan apa yang dikatakan laki-laki itu."Untuk lebih jelasnya, nanti saya jelaskan secara terperinci saat saya bertemu dengan Ibu Dania. Saya akan segera atur waktu untuk bertemu dan membicarakan hal ini.""Iya, baik, Pak.""Terima kasih. Selamat sian
"Kebetulan itu saya temukan di lemari pribadi milik nenek saya, dan saya perhatikan kalau surat ini belum diurus untuk sampai ke ahli waris yang tertera namanya disitu, yakni Dania Indah Pertiwi. Bisa dilihat, surat ini sudah ada sejak tahun..."Dania pun kembali teringat, tahun surat itu dibuat adalah saat tahun dimana mendiang neneknya masih hidup. Ia tidak menyangka kalau kehidupan sebenarnya adalah kehidupan yang sangat jauh dari kata kekurangan, Dania bersyukur akan hal itu. Saat pengcara muda itu, Arman menyerahkan surat-surat untuk di tandatangani dan diberikan ke Dania, Meli mendokumentasikannya dari jarak yang lumayan dekat. Hingga akhirnya keduanya saling berjabat tangan atas kesepakatan bersama. Setelah urusan selesai, Arman berpamitan untuk pulang terlebih dahulu. Ada beberapa hal penting yang harus ia kerjakan, "Semua sudah clear, surat sudah saya sampaikan dan berikan ke Mba Dania. Saya izin pamit duluan, karena masih ada bebera
Anggi menyusul Rizal yang meninggalkannya ke dalam kamar."Kamu kenapa? Mencari-cari Dania? Kan ada aku di sini, Mas?" Anggi mulai memainkan perannya, berbicara dengan suara halus nan lembut agar Rizal kembali merasakan bahwa Anggi lah satu-satunya wanita yang bisa mengerti dia."Enggak apa-apa, aku hanya..." Tiba-tiba Rizal terhenti. Ia enggan memberi tahu Anggi kalau ia akan menceraikan Dania, tetapi ia harus bertemu dengannya untuk membicarakan perihal hak asuh."Hanya? Hanya apa? Kok berhenti?" cecar Anggi, menatap sinis laki-laki yang ia gelendoti bahunya itu."Ah sudahlah, aku mau istirahat dulu," sahut Rizal.Anggi yang terlihat kesal dengan apa yang diucapkan Rizal merasa ada sesuatu yang ditutupi Rizal darinya."Baiklah, kalau kamu tidak mau jujur, aku yang akan mencari tahu sendiri, Mas!" gumamnya dalam hati.---Hari itu, Anggi bangun seperti biasa pada jam sembilan pagi. Ia yang semalam dibuat k
"Hallo, Mel?"Setelah tidak mendapat jawaban dan mengetahui bahwa ponselnya lobet, Dania segera mengecasnya di dalam mobil yang ia kendarai. Tidak lama setelah telepon tadi, Dania sudah selesai mengerjakan semua tugas-tugasnya dan bergegas pulang.Ia sudah menjadi wanita mandiri pada umumnya. Kali ini, ia siap kembali ke kehidupan nyata tanpa harus bersembunyi, walaupun tetap menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya saat ini.Malam harinya, sekitar jam tujuh malam, Dania menelepon Meli untuk melanjutkan pembahasan tadi."Hallo, Mel," Dania menyapa ketika teleponnya diangkat."Iya, hallo, Dania. Ih, lo kenapa tadi tiba-tiba hape lo mati?" Meli terdengar cemas."Iya, sorry. Tadi baterai hape gue habis. Udah, tenang aja, gue nggak apa-apa kok. Makasih ya udah cemasin gue.""Itu gimana? Jadi nggak lo ngajakin ketemu nih?" tanya Dania lagi."Ini lo udah di rumah? Besok aja deh, Dania. Lo istirahat aja dulu, ya."
"Mas, kalau tidak, kamu dekati saja perempuan itu. Cucu pemilik perusahaan tempatmu bekerja. Tapi hanya untuk kamu kuasai hartanya."Rizal masih terngiang dengan ide konyol yang Anggi tadi ucapkan. Saat Anggi berkata seperti itu, dirinya tampak terkejut hingga membelalakkan kedua bola matanya tanpa berucap sekata dua kata pun.Mereka akhirnya memutuskan untuk tidur dan melanjutkan pembicaraan esok hari setelah Rizal pulang bekerja.Keesokan paginya pukul 07.30, Rizal yang masih terlelap tidur pun terbangun tiba-tiba setelah mendengar suara alarm ponselnya yang berbunyi persis di samping telinga kanannya.Ia terbangun dengan hati gelisah setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi."Sial, aku kesiangan," decaknya kesal.Rizal bergegas cuci muka dan sikat gigi. Kali ini ia tidak mandi karena sudah kesiangan dan pasti akan terlambat sampai kantor."Anggi...""Sayang...?"Rizal memangg
Mereka seperti orang suruhan yang diperintah untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.Meli dan Dania memperhatikan dari dalam mobil. Sepuluh menit sudah mereka memerhatikan Linda, hingga akhirnya Linda pergi meninggalkan mereka bertiga. Sebelum pergi, Linda memberikan sebuah amplop kecil berwarna cokelat, yang entah berisi apa. Namun, ketebalan amplop itu cukup mencolok."Itu apaan, ya, yang dikasih Linda ke orang-orang itu?" tanya Meli heran."Gue rasa sih uang. Tapi nggak tahu untuk apa," jawab Dania."Lagi pula, palingan dia nyuruh orang-orang itu buat ngelakuin sesuatu ke gue," ujar Dania lagi."Yah elah, masih aja pakai cash. Zaman udah canggih, lho," kata Meli sambil cekikikan kecil."Mel, justru kayaknya kalau urusan begini emang rata-rata pakai cash, deh. Nggak ada yang transfer-transfer gitu, soalnya bakal ketahuan.""Lo tahu dari mana, emang?""Lihat di film-film." Dania tertawa terbahak-bahak hi
"Lancang mulutmu itu, ya! Baru bercerai saja sudah berani menjelekkan aku. Kamu pikir kamu bisa apa tanpa Rizal, hah?!" cecar Linda dengan emosi yang menggebu. Dania terlihat memegang pipinya yang memerah. Ia berjalan maju menghampiri Linda. Perlahan ia melangkahkan kakinya sambil menatap wajah Linda dengan penuh dendam. "Kamu dengar ini baik-baik! Pertama, mulut saya tidak akan lancang kalau mulutmu bisa dijaga!" Linda berjalan mundur, dan tubuhnya mentok pada tembok bercat putih tulang yang berada di belakangnya. "Kedua, kapan saya bilang tidak berani menjelekkanmu? Sebelumnya, saya menghargai kamu sebagai ipar, tapi sekarang tidak! Kamu bagaikan sampah, sama seperti adikmu!" Dania menghentikan langkahnya. Ia tepat berada persis di depan tubuh Linda yang terhenti karena sudah mentok tembok. Dania semakin emosi. "Dan saya akan pastikan, saya mampu hidup dan membiayai anak-anak saya sendiri tanpa bantuan kali
"Lho! Itu kan..." ungkap Meli sambil menunjuk perempuan pelakor itu."Siapa sih, Mel?""Anggi!" Meli menyahut dengan mata yang masih tertuju pada wanita tersebut.Dengan langkah terburu-buru, Anggi sepertinya sedang mencari seseorang. Dania melihat penampilannya yang begitu serba minim."Pantas saja Mas Rizal tertarik dengannya," pekik Dania dalam hati."Ya sudah, yuk! Ngapain kita berhenti di sini, Mel?" Raut wajah dendam mulai muncul di wajah cantik Dania."Tapi kok dia sendirian, ya? Si Rizal ke mana? Kan nggak mungkin dia sendirian doang, iya kan?" Meli masih saja nyerocos tentang perempuan jalang itu."Iya... mana gue tahu."Tepat sebelum dekat dengan tempat Meli dan Dania berada, Anggi berhenti seketika. Ia mengeluarkan ponsel dan terlihat sedang menghubungi seseorang yang entah siapa.Tanpa mau berlama-lama, Dania mengajak Meli pergi dari situ. Namun, Meli menolak karena ia ingin mengetahui siapa
Mereka pun langsung mengarahkan pandangan menuju pintu tersebut."Rizal...!" suara Linda memanggil adik laki-lakinya itu."E-eh, iya, Kak," Rizal bergegas menuju pintu. Ternyata, tanpa sengaja pintu terkunci oleh mereka berdua."Lama banget sih! Lagian, kenapa pintu harus dikunci? Biasanya Kakak gak pernah ngunci-ngunci pintu!""Iya, Kak. Sepertinya tadi tidak sengaja terkunci."Rizal dan Linda berlalu ke kamar mereka masing-masing. Sementara itu, Anggi, yang masih terlihat kesal dengan Rizal, pun memilih untuk tiduran di ranjang.---Sementara itu, Dania dan anak-anak mereka sedang bersiap. Dania harus pergi ke rumah sakit untuk kontrol terakhir jahitan bekas operasinya. Sementara Raihan dan Hafiz, sebelum mendaftar di sekolah baru, mereka akan berlibur bersama Salma ke kampung halaman yang sudah direncanakan jauh sebelum Dania harus melahirkan mendadak.Dania tidak mau merepotkan Salma, yang hanya sendiri
"Sial, belum apa-apa sudah berani membentakku! Perempuan murahan!" gumam Linda yang terlihat jengkel dengan omongan Anggi tadi.Keesokan paginya, mereka bangun untuk bersiap menjalankan aktivitas seperti biasanya. Rizal, yang tengah bersiap bekerja di sebuah perusahaan kecil, menjabat sebagai staf keuangan. Sedangkan Linda, ia hanya mengurus anak satu-satunya di rumah. Meskipun suaminya jarang pulang, ia tetap diberi uang untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama anaknya."Mah, aku mau berangkat sekolah dulu," kata Radit sambil turun dengan tergesa-gesa."Sebentar, Mamah lagi nyiapin sarapan, Dit. Tunggu ya, sebentar lagi matang," teriak Linda dari dalam dapur yang sibuk memasak sarapan untuk anaknya dan yang lain.Sarapan sudah jadi. Linda memorsikan ke dalam tiga piring—untuk dirinya, anaknya, dan Amarta. Amarta adalah adik Rizal dan Linda yang baru saja bekerja di sebuah perusahaan sebagai karyawan magang. Ia memiliki karakter yang pendiam dan tid
"Maaf, Pak, sebelumnya, ini dari mana ya? Dan tahu alamat Dania dari mana?"Dania dan yang lainnya tidak langsung menjawab. Mereka ingin memastikan dari mana bapak itu mendapatkan alamat Dania."Waduh, saya kurang tahu. Ini saya hanya diminta untuk mengantarkan paket surat, Mbak. Alamatnya cuma ditulis sekitar TK Cahaya Insani. Saya disuruh mencari sendiri, Mbak. Tapi sampai sekarang saya belum menemukan rumahnya," ucap lesu bapak itu.Dania dan yang lainnya memelas melihat bapak itu menjelaskan, namun mereka tidak mudah percaya."Ya sudah, Pak, titip ke saya saja. Nanti saya kasihkan ke orangnya, kebetulan saya kenal dengan dia.""Wah, alhamdulillah. Yasudah kalau begitu, Mbak. Terima kasih sudah membantu saya."Meli pun menyelipkan sedikit uang untuk bapak tua tersebut. Ia merasa kasihan melihat bapak itu. Meskipun sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya, rasanya tidak tega membiarkan bapak itu mencari-cari ke sana kemari den
Anggi menyusul Rizal yang meninggalkannya ke dalam kamar."Kamu kenapa? Mencari-cari Dania? Kan ada aku di sini, Mas?" Anggi mulai memainkan perannya, berbicara dengan suara halus nan lembut agar Rizal kembali merasakan bahwa Anggi lah satu-satunya wanita yang bisa mengerti dia."Enggak apa-apa, aku hanya..." Tiba-tiba Rizal terhenti. Ia enggan memberi tahu Anggi kalau ia akan menceraikan Dania, tetapi ia harus bertemu dengannya untuk membicarakan perihal hak asuh."Hanya? Hanya apa? Kok berhenti?" cecar Anggi, menatap sinis laki-laki yang ia gelendoti bahunya itu."Ah sudahlah, aku mau istirahat dulu," sahut Rizal.Anggi yang terlihat kesal dengan apa yang diucapkan Rizal merasa ada sesuatu yang ditutupi Rizal darinya."Baiklah, kalau kamu tidak mau jujur, aku yang akan mencari tahu sendiri, Mas!" gumamnya dalam hati.---Hari itu, Anggi bangun seperti biasa pada jam sembilan pagi. Ia yang semalam dibuat k