Dobrakan pintu yang sangat keras membangunkan kedua pasangan yang sedang bermesraan di atas kasur kesayangan mereka.
Rizal berjalan menuju pintu kontrakannya untuk mengecek, namun ia tidak menemukan siapa pun. Yang ia temui hanyalah pintu yang terbuka dan berlubang akibat timpukan sebuah batu besar yang dililit kertas bertuliskan pesan menggunakan cairan berwarna merah, meskipun bukan darah. "KAMU HARUS MEMBAYAR SEMUANYA!!! BRENGSEK!" Rizal mematung seketika. Rasa takut dan cemas tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Tubuhnya pucat dan dingin. Entah siapa yang mengirim pesan itu, ia merasa tidak memiliki musuh. “Mas, siapa sih?” Anggi bertanya sambil menepuk pundak Rizal pelan. Rizal, yang sejak tadi diam mematung, terkejut dan hampir saja melempar batu yang digenggamnya ke arah Anggi. “Hah, kamu ini ngagetin saja!” “Ih, apa-apaan sih, Mas? Mas mau lempar aku pakai batu itu? Iya?!” Anggi terlihat takut dengan sikap Rizal barusan. “Bukan begitu. Ya sudahlah, kita tidur saja. Istirahat. Besok kita lihat keadaannya Dania ke rumah sakit.” Rizal kembali masuk ke dalam kontrakan, meninggalkan Anggi yang berdiri sendiri di depan pintu. Ia heran sebenarnya apa yang terjadi, sampai-sampai Rizal tidak menyadari bahwa pintunya rusak dan berlubang. --- Keesokan paginya, Dania sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Namun, kondisinya yang cukup mengkhawatirkan membuatnya harus menjalani perawatan intensif lebih lama. “Gimana, Kak? Apa sudah baikan?” tanya Salma, yang selalu setia menemani Dania hingga kondisinya membaik. “Alhamdulillah, Salma. Aku sudah jauh lebih baik dan tenang, meskipun terasa berat dan sulit,” jawab Dania lirih. “Syukurlah. Harus tetap semangat ya, Kak. Semoga ini jadi jalan yang terbaik. Aamiin.” “Oh iya, Kak. Aku izin pulang sebentar ya. Aku mau bawa baju-baju kotor pulang ke rumah. Sekalian orang rumah mau menjenguk Kak Dania.” Salma menenteng tas travel yang berisi baju kotor selama berada di rumah sakit. “Lho, emangnya kamu sudah kasih tahu kabar tentang aku ke orang lain, Sal?” “Hmm, sudah, Kak. Maaf ya. Aku bingung soalnya. Kalau Kakak kenapa-kenapa nanti aku yang salah karena nggak ngasih kabar,” jawab Salma dengan wajah penuh penyesalan. “Hem, ya sudah nggak apa-apa, Sal. Malah aku berterima kasih banyak sama kamu, sudah mau nemenin aku di sini. Kan jenuh juga.” Dania memeluk Salma, terharu dengan pengorbanan Salma yang hanya seorang saudara. Tidak seperti suaminya, yang acuh dan tidak ada kecemasan sama sekali. “Makasih ya, Kak. Pokoknya Kakak harus semangat. Ingat, masih ada dua bocil ganteng yang menunggu senyum Kakak lagi. Ya sudah, aku pamit ya, Kak.” Salma melangkah keluar kamar rawat dan berjalan menuju lobi rumah sakit. Taksi online yang ia pesan sedari tadi pun sudah sampai, dan Salma segera pergi meninggalkan rumah sakit. --- “Selamat pagi, Bu Dania,” sapa Dokter Boby dengan seorang perawat di belakangnya yang membawa peralatan medis untuk memeriksa kondisi Dania. “Eh, iya, Dokter. Selamat pagi,” jawab Dania dengan senyum manis. “Gimana keadaannya? Sudah membaik?” tanya Dokter Boby sambil memeriksa dengan beberapa alat sederhana. “Alhamdulillah, sudah, Dok. Kalau boleh, malah tadi saya ingin ikut pulang bareng Salma.” “Salma? Oh, pantas saja saya tidak melihatnya sejak tadi. Ternyata dia sudah pulang.” “Iya, Dok. Nggak apa-apa, dia pulang. Lagi pula, yang harusnya di sini bukan dia, kan? Harusnya suami saya. Tapi dia entah ke mana.” Dania merasa sudah dekat dengan Dokter Boby karena ia sudah lama dirawat di sana, dan Dokter Boby lebih sering menanganinya karena ia adalah dokter spesialis obgyn. “Kamu yang sabar. Sebenarnya suamimu itu sempat ke sini, mencari keberadaanmu, tapi...” Ucapan Dokter Boby tiba-tiba terhenti. Matanya mengarah ke sudut ruangan. “Mas Rizal?!” sapa Dania sambil mengangkat kedua alisnya. Dokter Boby dan Dania saling bertatapan heran. Bagaimana mungkin Rizal datang di waktu yang begitu pas seperti ini? “Pagi, Pak. Bapak suaminya Bu Dania?” sapa Dokter Boby ramah. “Iya, Dok. Saya Rizal, suaminya Dania. Bagaimana keadaan istri saya?” tanya Rizal tanpa menunjukkan sedikit pun rasa cemas. “Peduli apa kamu? Nanyain keadaanku, Mas?!” tiba-tiba saja Dania menjawab pertanyaan Rizal. “Keluar kamu dari sini!” titahnya dengan nada meninggi. Rizal tersenyum tipis sambil memandangi Dokter Boby dan Dania bergantian. Tak lama kemudian, Anggi masuk ke kamar rawat Dania. Dania, yang sedari awal sudah mengetahui bahwa suaminya berselingkuh, berpura-pura tidak mengetahuinya. Ia ingat betul bagaimana acuhnya Rizal saat ia merasakan sakit yang amat sangat. Berkali-kali ia mencoba menghubungi Rizal, namun tidak ada jawaban. Hingga akhirnya, ia mengirim pesan singkat bahwa dirinya dalam keadaan darurat dan harus segera dibawa ke rumah sakit. Pesan itu hanya dibaca, lalu dibalas dengan sebuah gambar. Dalam gambar tersebut, Rizal tampak terlelap di samping seorang wanita. “Wanita jalang!”"Wanita jalang!" Dania berdesis pelan."Halo, Dania. Gimana keadaanmu?" Anggi menyapa dengan tatapan penuh makna jahat.Dania pun tidak menjawab sepatah kata pun, memalingkan wajahnya dengan tatapan sinis dan sedikit linangan air mata yang hendak menetes. Ia ingin sekali memaki dan mencabik wajah perempuan murahan itu, tetapi ia ingat bahwa kondisinya saat ini sedang lemah. Ia harus menunggu pulih terlebih dahulu untuk membalas semua perlakuan manusia-manusia bejat di hadapannya itu."Mohon maaf, jika tidak ada keperluan lagi, alangkah baiknya Bapak dan Ibu keluar. Bu Dania harus banyak istirahat," ujar Dokter Boby, berusaha mengusir secara halus manusia tidak tahu diri itu."Lho! Apa hak Anda mengusir saya?" Rizal menjawab dengan bentakan."Saya ini suaminya! Saya berhak tahu kondisinya!" ucapnya lagi sambil membulatkan kedua bola matanya seolah-olah ingin copot."Maaf, Pak, sebelumnya. Saya di sini sebagai dokter yang menangani
Ketika hendak membuka pintu kamar dan keluar, mereka dikejutkan oleh kakak dan adik Rizal yang tak lain adalah ipar Dania. Mereka datang bersamaan."Mana Dania?!" Linda mencari Dania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.Salma enggan menjawab, ia hanya memicingkan mata ke arah Dania yang sedang disuapi buah namun terhenti seketika.Salma dan anak-anak Dania pun bergegas keluar tanpa menghiraukan mereka yang datang."Gimana? Tukang drama? Apa sudah pulihan?!" cetus Linda."Kamu, kalau ada apa-apa tuh kabarin keluarga, bukan orang lain!" ucapnya lagi sambil melirik ke arah Meli.Dania hanya menyunggingkan senyum sinis. Selama ini, ia berpikir iparnya adalah sosok yang baik, karena mereka sesama wanita dan pasti mengerti bagaimana rasanya dikhianati."Keluarga? Oh ya, aku pun ke sini diantar keluargaku, kok! Apa urusannya denganmu?" Suara Dania terdengar datar. Ia tahu, menghadapi orang-orang tukang tindas seperti in
Ponsel Dania kembali berdering. Nomor tidak dikenal menghubunginya. Bimbang, Dania akhirnya mengangkatnya. Ia terkejut bahwa yang menelepon adalah seorang laki-laki muda yang entah siapa; ia pun tidak mengetahuinya."Hallo, selamat siang. Benar dengan Ibu Dania Indah Pertiwi?""Iya, siang. Maaf, ini siapa ya?""Perkenalkan, saya Armando Syahputra. Saya pengacara yang diberi kuasa untuk mengurus dan menyerahkan surat warisan dari mendiang Ibu Denada Pratiwi," sahut suara laki-laki itu dengan nada gagah."Warisan? Warisan apa ya? Apa Anda salah sambung? Mendiang nenek saya itu bukan dari kalangan orang berada yang bisa meninggalkan warisan begitu, Pak," sahut Dania, terkejut dengan apa yang dikatakan laki-laki itu."Untuk lebih jelasnya, nanti saya jelaskan secara terperinci saat saya bertemu dengan Ibu Dania. Saya akan segera atur waktu untuk bertemu dan membicarakan hal ini.""Iya, baik, Pak.""Terima kasih. Selamat sian
"Kebetulan itu saya temukan di lemari pribadi milik nenek saya, dan saya perhatikan kalau surat ini belum diurus untuk sampai ke ahli waris yang tertera namanya disitu, yakni Dania Indah Pertiwi. Bisa dilihat, surat ini sudah ada sejak tahun..."Dania pun kembali teringat, tahun surat itu dibuat adalah saat tahun dimana mendiang neneknya masih hidup. Ia tidak menyangka kalau kehidupan sebenarnya adalah kehidupan yang sangat jauh dari kata kekurangan, Dania bersyukur akan hal itu. Saat pengcara muda itu, Arman menyerahkan surat-surat untuk di tandatangani dan diberikan ke Dania, Meli mendokumentasikannya dari jarak yang lumayan dekat. Hingga akhirnya keduanya saling berjabat tangan atas kesepakatan bersama. Setelah urusan selesai, Arman berpamitan untuk pulang terlebih dahulu. Ada beberapa hal penting yang harus ia kerjakan, "Semua sudah clear, surat sudah saya sampaikan dan berikan ke Mba Dania. Saya izin pamit duluan, karena masih ada bebera
Anggi menyusul Rizal yang meninggalkannya ke dalam kamar."Kamu kenapa? Mencari-cari Dania? Kan ada aku di sini, Mas?" Anggi mulai memainkan perannya, berbicara dengan suara halus nan lembut agar Rizal kembali merasakan bahwa Anggi lah satu-satunya wanita yang bisa mengerti dia."Enggak apa-apa, aku hanya..." Tiba-tiba Rizal terhenti. Ia enggan memberi tahu Anggi kalau ia akan menceraikan Dania, tetapi ia harus bertemu dengannya untuk membicarakan perihal hak asuh."Hanya? Hanya apa? Kok berhenti?" cecar Anggi, menatap sinis laki-laki yang ia gelendoti bahunya itu."Ah sudahlah, aku mau istirahat dulu," sahut Rizal.Anggi yang terlihat kesal dengan apa yang diucapkan Rizal merasa ada sesuatu yang ditutupi Rizal darinya."Baiklah, kalau kamu tidak mau jujur, aku yang akan mencari tahu sendiri, Mas!" gumamnya dalam hati.---Hari itu, Anggi bangun seperti biasa pada jam sembilan pagi. Ia yang semalam dibuat k
"Maaf, Pak, sebelumnya, ini dari mana ya? Dan tahu alamat Dania dari mana?"Dania dan yang lainnya tidak langsung menjawab. Mereka ingin memastikan dari mana bapak itu mendapatkan alamat Dania."Waduh, saya kurang tahu. Ini saya hanya diminta untuk mengantarkan paket surat, Mbak. Alamatnya cuma ditulis sekitar TK Cahaya Insani. Saya disuruh mencari sendiri, Mbak. Tapi sampai sekarang saya belum menemukan rumahnya," ucap lesu bapak itu.Dania dan yang lainnya memelas melihat bapak itu menjelaskan, namun mereka tidak mudah percaya."Ya sudah, Pak, titip ke saya saja. Nanti saya kasihkan ke orangnya, kebetulan saya kenal dengan dia.""Wah, alhamdulillah. Yasudah kalau begitu, Mbak. Terima kasih sudah membantu saya."Meli pun menyelipkan sedikit uang untuk bapak tua tersebut. Ia merasa kasihan melihat bapak itu. Meskipun sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya, rasanya tidak tega membiarkan bapak itu mencari-cari ke sana kemari den
"Sial, belum apa-apa sudah berani membentakku! Perempuan murahan!" gumam Linda yang terlihat jengkel dengan omongan Anggi tadi.Keesokan paginya, mereka bangun untuk bersiap menjalankan aktivitas seperti biasanya. Rizal, yang tengah bersiap bekerja di sebuah perusahaan kecil, menjabat sebagai staf keuangan. Sedangkan Linda, ia hanya mengurus anak satu-satunya di rumah. Meskipun suaminya jarang pulang, ia tetap diberi uang untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama anaknya."Mah, aku mau berangkat sekolah dulu," kata Radit sambil turun dengan tergesa-gesa."Sebentar, Mamah lagi nyiapin sarapan, Dit. Tunggu ya, sebentar lagi matang," teriak Linda dari dalam dapur yang sibuk memasak sarapan untuk anaknya dan yang lain.Sarapan sudah jadi. Linda memorsikan ke dalam tiga piring—untuk dirinya, anaknya, dan Amarta. Amarta adalah adik Rizal dan Linda yang baru saja bekerja di sebuah perusahaan sebagai karyawan magang. Ia memiliki karakter yang pendiam dan tid
Mereka pun langsung mengarahkan pandangan menuju pintu tersebut."Rizal...!" suara Linda memanggil adik laki-lakinya itu."E-eh, iya, Kak," Rizal bergegas menuju pintu. Ternyata, tanpa sengaja pintu terkunci oleh mereka berdua."Lama banget sih! Lagian, kenapa pintu harus dikunci? Biasanya Kakak gak pernah ngunci-ngunci pintu!""Iya, Kak. Sepertinya tadi tidak sengaja terkunci."Rizal dan Linda berlalu ke kamar mereka masing-masing. Sementara itu, Anggi, yang masih terlihat kesal dengan Rizal, pun memilih untuk tiduran di ranjang.---Sementara itu, Dania dan anak-anak mereka sedang bersiap. Dania harus pergi ke rumah sakit untuk kontrol terakhir jahitan bekas operasinya. Sementara Raihan dan Hafiz, sebelum mendaftar di sekolah baru, mereka akan berlibur bersama Salma ke kampung halaman yang sudah direncanakan jauh sebelum Dania harus melahirkan mendadak.Dania tidak mau merepotkan Salma, yang hanya sendiri
Berselang enam bulan ke depan, Danar mendapat kabar bahwa dirinya memenangkan tender yang selama ini diincarnya sejak lama.Ia langsung menghubungi istri tercintanya, yang tidak lama kemudian mengangkat teleponnya."Assalamu'alaikum, iya, Mas?""Kamu di mana? Aku punya kabar gembira, Sayang."Suara Danar terdengar sangat riang dan antusias untuk memberi tahu istrinya."Kabar gembira? Wah, apa nih?" Dania menanggapinya dengan antusias."Hmm, gimana kalau nanti malam kita bermalam di hotel bintang lima? Nanti Mas pulang cepat biar kita packing sama-sama. Gimana?""Iya, Mas. Asalkan kamu tidak kecapekan, aku selalu ikut rencanamu." Dania menjawab dengan penuh sukacita."Oke, Sayang. See you."Danar mematikan sambungan teleponnya.Semenjak menikah dengan Dania, Danar merasa rezekinya selalu mengalir deras. Ada saja keberhasilan yang datang dari berbagai sisi.Ia menganggap semua ini sebaga
"Rizal?" ucap Dania dengan heran dan penuh kekhawatiran, khawatir akan anak-anaknya.Sementara Danar maju untuk mengambil pesanan yang sudah dipesannya, mereka segera menutup pintu. Namun, Rizal menahannya."Pantas saja kamu tidak berada di rumahmu. Dan aku susah mencarimu, tahunya kamu berada di sini? Bersama selingkuhan berkedok sahabat kecil!" ucap Rizal dengan tatapan sinis.Mereka mengabaikan ucapan Rizal barusan dan langsung menutup pintu rapat-rapat. Dania teringat anak-anaknya. Ia khawatir Rizal akan melakukan hal yang tidak diinginkan lagi.Saat sampai di kamar anak-anaknya, mereka sedang bermain. Dania merasa lega."Ibu, apakah Ibu mau memanggil kami untuk makan malam?" tanya Raihan lirih."Iya, sayang. Ibu baru saja membeli makanan secara online. Yuk, kita makan sama-sama," ajaknya.Raihan lari terlebih dahulu, sedangkan Hafiz digendong oleh Dania untuk bergegas menuju meja makan.Di sana, terlihat Da
Plakkkkk!!!!Terdengar tamparan keras dari tangan Dania yang mendarat di pipi Radist. Kali ini, kesabarannya tidak dapat dibendung lagi.Danar tidak menghiraukan Dania yang menampar Radist barusan. Ia tetap memperlihatkan rekaman itu dengan terburu-buru.Dan... benar saja dugaan Danar. Radist sudah menjebaknya dengan memasukkan serbuk ke dalam makanan yang sedang dimasak tadi saat makan malam bersama. Namun, hanya makanan yang akan dimakan oleh Danar."Ketahuan, kan, belangnya? Perempuan ini bagaimana?!" ucap Danar."Kamu itu tidak tahu malu, Radist!"Danar memaki perempuan yang kini terdiam, namun tidak menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatannya."Apa motifmu? Dan kenapa kamu bisa tahu vila ini? Padahal Mas Danar berkata kalau vila ini belum banyak yang tahu, termasuk kamu!"Dengan wajah yang terlihat menantang, Radist maju perlahan sambil melipat tangan ke dada."Lalu... kamu percaya begitu saja? B
"Hmm, apakah kamu tidak suka melihat Dania bahagia?"Terdengar suara perempuan menyahuti gumaman Anggi.Anggi menoleh dengan kasar. Ia terkejut dengan pertanyaan seseorang yang menanggapi gumamannya itu."Bukan urusanmu!" Anggi terlihat panik. Ia berpikir perempuan tersebut adalah seseorang dari keluarga mereka."Tentu jadi urusanku! Siapa pun yang tidak suka dengan kebahagiaan mereka akan menjadi partnerku untuk bersama menjatuhkan mereka, iya bukan?""Oh iya, perkenalkan, aku Radisty," katanya sambil mengulurkan tangan ke hadapan Anggi. Anggi hanya menanggapi sebisanya.Saat mendengarkan rencana demi rencana Radisty, Anggi pun enggan mengikutinya. Ia akan menggunakan caranya sendiri.---Dua hari setelahnya, Dania menikah dengan Danar. Mereka sepakat untuk mengambil cuti kerja selama sebulan. Mereka memutuskan untuk berlibur sekaligus berbulan madu.Sore itu, sepulang mereka berbelanja keperluan untuk libu
Lima bulan ke depan, Rizal dan yang lainnya sudah dipenjara. Mereka berpasrah diri, tidak ada yang dapat dilakukan selain menjalani hukuman tersebut.Saat bulan keenam mereka menjalani masa hukuman, siang itu Anggi dipanggil karena ada yang membesuk.Saat ditemui di ruang khusus kunjungan, ia terperangah melihat Anton yang berada di jajaran meja pengunjung tahanan."An-Anton?" sapa Anggi ragu-ragu.Anton, yang semula sedang memainkan ponsel sambil menunduk, menengadahkan pandangannya ke depan."Hai, gimana kabarnya?""Ya, gini-gini aja. Tumben kamu punya waktu untuk membesukku.""Hmm, sebenarnya ini kejutan. Tapi..."Belum selesai Anton meneruskan pembicaraannya, petugas datang untuk memberitahu kalau Anggi telah terbebas dari hukuman dan tuntutan."Permisi, benar dengan Saudari Anggi Noviyanthi?""Iya, Pak. Kenapa ya? Apa jam besuknya sudah habis?""Silakan ikut kami ke ruang Kepala P
"Si Danar, Mel. Bener kata lo, dia barusan ngirim pesan ke gue kalau katering nanti bakalan datang," ujar Dania sambil menunjukan ponselnya ke Meli."Kan gue bilang juga apa," sahut Meli."Iya, tapi kan boros banget. Udah ah, nanti gue mau bilang stop aja. Gak usah katering-katering lagi."Meli terdiam sambil memperhatikan Dania.Tanpa sadar, mereka sudah lama berbincang di dapur hingga karyawan katering yang mengantar makanan pun sampai.Dania mulai menyiapkan semua menu yang dipesan dan menatanya di meja makan."Ya ampun, sampai nasi aja dibeli," keluh Dania.Meli hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.Semua makanan sudah tersaji dan tertata. Dania mengabadikannya dengan memfoto makanan sebelum disantap, lalu mengirimkan foto itu ke Danar."Sudah sampai, terima kasih.""Makan yang banyak, ya. Itu untuk sekali makan jadi langsung habiskan."Tak lama, Raihan dan Haf
"Bu Dania sudah membaik dan mendingan, secara fisik," ucap dokter. "Hanya saja…"Ucapan dokter itu terhenti saat ingin menjelaskan kondisi lain yang terjadi pada Dania."Hanya saja? Hanya saja apa, Dok?""Dia harus berobat ke psikiater. Khawatir nanti ke depannya muncul trauma-trauma yang menyakitkan hati dan kembali kumat."Danar mendengarkan dengan fokus penjelasan dokter saat di dalam tadi.Danar pun langsung bertindak. Ia mencari psikiater terbaik dan memulai pengobatan Dania hingga sembuh.---"Danar, bagaimana? Apakah aku sudah bisa pulang?" Dania bertanya penasaran."Sudah, tapi nanti kamu harus rutin pergi ke psikiater, ya. Pokoknya kamu harus dengar apa kata aku, Dan." Danar menatap Dania serius, membuat Dania terdiam dan tidak berkutik ataupun membantah."I-Iya, Nar," ucapnya terbata.Danar membereskan barang-barang milik Dania, lalu Meli membantu Dania untuk berganti pakaian.
"Dania..."Meli masuk tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Danar yang tegang kini nampak lega."Lo gak apa-apa? Gue kaget, sumpah, waktu sampai rumah lo. Banyak banget polisi. Ya Allah, gimana bisa kayak gitu?" cecar Meli tanpa henti.Dania hanya tersenyum tipis melihat ekspresi Danar yang berdiri di belakang Meli."Ehmm... Ini saya lho ada di sini. Kamu belakangi?""Ehh, i-iya, Pak. Maaf, maaf. Saya terlalu khawatir sama Dania, Pak. Maafin saya.""Mel, lo dari mana aja kok baru kelihatan sekarang ini?""Iya, Dan. Panjang ceritanya. Nanti kalau lo udah mendingan aja ya gue ceritain. Oh iya, lo udah makan belum?" Meli mengeluarkan bubur ayam yang dibelinya sebanyak dua porsi saat hendak menjenguk Dania."Gue udah makan. Danar kayaknya yang belum, deh," jawab Dania sambil menatap ke arah Danar.Meli menepuk jidatnya, merasa bersalah karena dari tadi hanya fokus mengajak ngobrol sahabatnya itu."Oh iy
"Ucapkan lagi apa yang kau katakan barusan!" Rasa takut yang sedikit menggelayuti Linda tidak ditunjukkan di depan Anggi. "Memang benar kenyataannya, bahkan kamu ini seorang pelakor. Gimana bisa kamu memiliki anak? Karena kalau sampai kamu mempunyai anak, anak itu nggak akan punya ayah, saking banyaknya ayah yang meniduri ibunya. Miris!" Linda melipat kedua tangannya di dada dan berdecak pelan. Anggi, yang sedari tadi sudah tersulut emosi, melemparkan keramik pajangan berbentuk kura-kura kecil. Benda itu melesat mengenai TV LED berukuran besar. Anggi berteriak keras. Linda bergegas melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu, meninggalkan Anggi sendiri di dalam. "Kamu lihat saja! Kamu dan adikmu sudah membuatku sengsara! Terutama kamu, Dania, perempuan picik yang nggak pernah lupus dari pikiran Mas Rizal!" Anggi menyusul kakak-beradik itu yang sudah pergi terlebih dulu. Mereka meninggalkan rumah