Anggi menyusul Rizal yang meninggalkannya ke dalam kamar.
"Kamu kenapa? Mencari-cari Dania? Kan ada aku di sini, Mas?" Anggi mulai memainkan perannya, berbicara dengan suara halus nan lembut agar Rizal kembali merasakan bahwa Anggi lah satu-satunya wanita yang bisa mengerti dia."Enggak apa-apa, aku hanya..." Tiba-tiba Rizal terhenti. Ia enggan memberi tahu Anggi kalau ia akan menceraikan Dania, tetapi ia harus bertemu dengannya untuk membicarakan perihal hak asuh."Hanya? Hanya apa? Kok berhenti?" cecar Anggi, menatap sinis laki-laki yang ia gelendoti bahunya itu."Ah sudahlah, aku mau istirahat dulu," sahut Rizal.Anggi yang terlihat kesal dengan apa yang diucapkan Rizal merasa ada sesuatu yang ditutupi Rizal darinya."Baiklah, kalau kamu tidak mau jujur, aku yang akan mencari tahu sendiri, Mas!" gumamnya dalam hati.---Hari itu, Anggi bangun seperti biasa pada jam sembilan pagi. Ia yang semalam dibuat k"Maaf, Pak, sebelumnya, ini dari mana ya? Dan tahu alamat Dania dari mana?"Dania dan yang lainnya tidak langsung menjawab. Mereka ingin memastikan dari mana bapak itu mendapatkan alamat Dania."Waduh, saya kurang tahu. Ini saya hanya diminta untuk mengantarkan paket surat, Mbak. Alamatnya cuma ditulis sekitar TK Cahaya Insani. Saya disuruh mencari sendiri, Mbak. Tapi sampai sekarang saya belum menemukan rumahnya," ucap lesu bapak itu.Dania dan yang lainnya memelas melihat bapak itu menjelaskan, namun mereka tidak mudah percaya."Ya sudah, Pak, titip ke saya saja. Nanti saya kasihkan ke orangnya, kebetulan saya kenal dengan dia.""Wah, alhamdulillah. Yasudah kalau begitu, Mbak. Terima kasih sudah membantu saya."Meli pun menyelipkan sedikit uang untuk bapak tua tersebut. Ia merasa kasihan melihat bapak itu. Meskipun sudah menjadi tugas dan tanggung jawabnya, rasanya tidak tega membiarkan bapak itu mencari-cari ke sana kemari den
"Sial, belum apa-apa sudah berani membentakku! Perempuan murahan!" gumam Linda yang terlihat jengkel dengan omongan Anggi tadi.Keesokan paginya, mereka bangun untuk bersiap menjalankan aktivitas seperti biasanya. Rizal, yang tengah bersiap bekerja di sebuah perusahaan kecil, menjabat sebagai staf keuangan. Sedangkan Linda, ia hanya mengurus anak satu-satunya di rumah. Meskipun suaminya jarang pulang, ia tetap diberi uang untuk memenuhi kebutuhan hidup bersama anaknya."Mah, aku mau berangkat sekolah dulu," kata Radit sambil turun dengan tergesa-gesa."Sebentar, Mamah lagi nyiapin sarapan, Dit. Tunggu ya, sebentar lagi matang," teriak Linda dari dalam dapur yang sibuk memasak sarapan untuk anaknya dan yang lain.Sarapan sudah jadi. Linda memorsikan ke dalam tiga piring—untuk dirinya, anaknya, dan Amarta. Amarta adalah adik Rizal dan Linda yang baru saja bekerja di sebuah perusahaan sebagai karyawan magang. Ia memiliki karakter yang pendiam dan tid
Mereka pun langsung mengarahkan pandangan menuju pintu tersebut."Rizal...!" suara Linda memanggil adik laki-lakinya itu."E-eh, iya, Kak," Rizal bergegas menuju pintu. Ternyata, tanpa sengaja pintu terkunci oleh mereka berdua."Lama banget sih! Lagian, kenapa pintu harus dikunci? Biasanya Kakak gak pernah ngunci-ngunci pintu!""Iya, Kak. Sepertinya tadi tidak sengaja terkunci."Rizal dan Linda berlalu ke kamar mereka masing-masing. Sementara itu, Anggi, yang masih terlihat kesal dengan Rizal, pun memilih untuk tiduran di ranjang.---Sementara itu, Dania dan anak-anak mereka sedang bersiap. Dania harus pergi ke rumah sakit untuk kontrol terakhir jahitan bekas operasinya. Sementara Raihan dan Hafiz, sebelum mendaftar di sekolah baru, mereka akan berlibur bersama Salma ke kampung halaman yang sudah direncanakan jauh sebelum Dania harus melahirkan mendadak.Dania tidak mau merepotkan Salma, yang hanya sendiri
"Lho! Itu kan..." ungkap Meli sambil menunjuk perempuan pelakor itu."Siapa sih, Mel?""Anggi!" Meli menyahut dengan mata yang masih tertuju pada wanita tersebut.Dengan langkah terburu-buru, Anggi sepertinya sedang mencari seseorang. Dania melihat penampilannya yang begitu serba minim."Pantas saja Mas Rizal tertarik dengannya," pekik Dania dalam hati."Ya sudah, yuk! Ngapain kita berhenti di sini, Mel?" Raut wajah dendam mulai muncul di wajah cantik Dania."Tapi kok dia sendirian, ya? Si Rizal ke mana? Kan nggak mungkin dia sendirian doang, iya kan?" Meli masih saja nyerocos tentang perempuan jalang itu."Iya... mana gue tahu."Tepat sebelum dekat dengan tempat Meli dan Dania berada, Anggi berhenti seketika. Ia mengeluarkan ponsel dan terlihat sedang menghubungi seseorang yang entah siapa.Tanpa mau berlama-lama, Dania mengajak Meli pergi dari situ. Namun, Meli menolak karena ia ingin mengetahui siapa
"Lancang mulutmu itu, ya! Baru bercerai saja sudah berani menjelekkan aku. Kamu pikir kamu bisa apa tanpa Rizal, hah?!" cecar Linda dengan emosi yang menggebu. Dania terlihat memegang pipinya yang memerah. Ia berjalan maju menghampiri Linda. Perlahan ia melangkahkan kakinya sambil menatap wajah Linda dengan penuh dendam. "Kamu dengar ini baik-baik! Pertama, mulut saya tidak akan lancang kalau mulutmu bisa dijaga!" Linda berjalan mundur, dan tubuhnya mentok pada tembok bercat putih tulang yang berada di belakangnya. "Kedua, kapan saya bilang tidak berani menjelekkanmu? Sebelumnya, saya menghargai kamu sebagai ipar, tapi sekarang tidak! Kamu bagaikan sampah, sama seperti adikmu!" Dania menghentikan langkahnya. Ia tepat berada persis di depan tubuh Linda yang terhenti karena sudah mentok tembok. Dania semakin emosi. "Dan saya akan pastikan, saya mampu hidup dan membiayai anak-anak saya sendiri tanpa bantuan kali
Mereka seperti orang suruhan yang diperintah untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan.Meli dan Dania memperhatikan dari dalam mobil. Sepuluh menit sudah mereka memerhatikan Linda, hingga akhirnya Linda pergi meninggalkan mereka bertiga. Sebelum pergi, Linda memberikan sebuah amplop kecil berwarna cokelat, yang entah berisi apa. Namun, ketebalan amplop itu cukup mencolok."Itu apaan, ya, yang dikasih Linda ke orang-orang itu?" tanya Meli heran."Gue rasa sih uang. Tapi nggak tahu untuk apa," jawab Dania."Lagi pula, palingan dia nyuruh orang-orang itu buat ngelakuin sesuatu ke gue," ujar Dania lagi."Yah elah, masih aja pakai cash. Zaman udah canggih, lho," kata Meli sambil cekikikan kecil."Mel, justru kayaknya kalau urusan begini emang rata-rata pakai cash, deh. Nggak ada yang transfer-transfer gitu, soalnya bakal ketahuan.""Lo tahu dari mana, emang?""Lihat di film-film." Dania tertawa terbahak-bahak hi
"Mas, kalau tidak, kamu dekati saja perempuan itu. Cucu pemilik perusahaan tempatmu bekerja. Tapi hanya untuk kamu kuasai hartanya."Rizal masih terngiang dengan ide konyol yang Anggi tadi ucapkan. Saat Anggi berkata seperti itu, dirinya tampak terkejut hingga membelalakkan kedua bola matanya tanpa berucap sekata dua kata pun.Mereka akhirnya memutuskan untuk tidur dan melanjutkan pembicaraan esok hari setelah Rizal pulang bekerja.Keesokan paginya pukul 07.30, Rizal yang masih terlelap tidur pun terbangun tiba-tiba setelah mendengar suara alarm ponselnya yang berbunyi persis di samping telinga kanannya.Ia terbangun dengan hati gelisah setelah melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi."Sial, aku kesiangan," decaknya kesal.Rizal bergegas cuci muka dan sikat gigi. Kali ini ia tidak mandi karena sudah kesiangan dan pasti akan terlambat sampai kantor."Anggi...""Sayang...?"Rizal memangg
"Hallo, Mel?"Setelah tidak mendapat jawaban dan mengetahui bahwa ponselnya lobet, Dania segera mengecasnya di dalam mobil yang ia kendarai. Tidak lama setelah telepon tadi, Dania sudah selesai mengerjakan semua tugas-tugasnya dan bergegas pulang.Ia sudah menjadi wanita mandiri pada umumnya. Kali ini, ia siap kembali ke kehidupan nyata tanpa harus bersembunyi, walaupun tetap menyembunyikan siapa dirinya yang sebenarnya saat ini.Malam harinya, sekitar jam tujuh malam, Dania menelepon Meli untuk melanjutkan pembahasan tadi."Hallo, Mel," Dania menyapa ketika teleponnya diangkat."Iya, hallo, Dania. Ih, lo kenapa tadi tiba-tiba hape lo mati?" Meli terdengar cemas."Iya, sorry. Tadi baterai hape gue habis. Udah, tenang aja, gue nggak apa-apa kok. Makasih ya udah cemasin gue.""Itu gimana? Jadi nggak lo ngajakin ketemu nih?" tanya Dania lagi."Ini lo udah di rumah? Besok aja deh, Dania. Lo istirahat aja dulu, ya."
Berselang enam bulan ke depan, Danar mendapat kabar bahwa dirinya memenangkan tender yang selama ini diincarnya sejak lama.Ia langsung menghubungi istri tercintanya, yang tidak lama kemudian mengangkat teleponnya."Assalamu'alaikum, iya, Mas?""Kamu di mana? Aku punya kabar gembira, Sayang."Suara Danar terdengar sangat riang dan antusias untuk memberi tahu istrinya."Kabar gembira? Wah, apa nih?" Dania menanggapinya dengan antusias."Hmm, gimana kalau nanti malam kita bermalam di hotel bintang lima? Nanti Mas pulang cepat biar kita packing sama-sama. Gimana?""Iya, Mas. Asalkan kamu tidak kecapekan, aku selalu ikut rencanamu." Dania menjawab dengan penuh sukacita."Oke, Sayang. See you."Danar mematikan sambungan teleponnya.Semenjak menikah dengan Dania, Danar merasa rezekinya selalu mengalir deras. Ada saja keberhasilan yang datang dari berbagai sisi.Ia menganggap semua ini sebaga
"Rizal?" ucap Dania dengan heran dan penuh kekhawatiran, khawatir akan anak-anaknya.Sementara Danar maju untuk mengambil pesanan yang sudah dipesannya, mereka segera menutup pintu. Namun, Rizal menahannya."Pantas saja kamu tidak berada di rumahmu. Dan aku susah mencarimu, tahunya kamu berada di sini? Bersama selingkuhan berkedok sahabat kecil!" ucap Rizal dengan tatapan sinis.Mereka mengabaikan ucapan Rizal barusan dan langsung menutup pintu rapat-rapat. Dania teringat anak-anaknya. Ia khawatir Rizal akan melakukan hal yang tidak diinginkan lagi.Saat sampai di kamar anak-anaknya, mereka sedang bermain. Dania merasa lega."Ibu, apakah Ibu mau memanggil kami untuk makan malam?" tanya Raihan lirih."Iya, sayang. Ibu baru saja membeli makanan secara online. Yuk, kita makan sama-sama," ajaknya.Raihan lari terlebih dahulu, sedangkan Hafiz digendong oleh Dania untuk bergegas menuju meja makan.Di sana, terlihat Da
Plakkkkk!!!!Terdengar tamparan keras dari tangan Dania yang mendarat di pipi Radist. Kali ini, kesabarannya tidak dapat dibendung lagi.Danar tidak menghiraukan Dania yang menampar Radist barusan. Ia tetap memperlihatkan rekaman itu dengan terburu-buru.Dan... benar saja dugaan Danar. Radist sudah menjebaknya dengan memasukkan serbuk ke dalam makanan yang sedang dimasak tadi saat makan malam bersama. Namun, hanya makanan yang akan dimakan oleh Danar."Ketahuan, kan, belangnya? Perempuan ini bagaimana?!" ucap Danar."Kamu itu tidak tahu malu, Radist!"Danar memaki perempuan yang kini terdiam, namun tidak menunjukkan rasa penyesalan atas perbuatannya."Apa motifmu? Dan kenapa kamu bisa tahu vila ini? Padahal Mas Danar berkata kalau vila ini belum banyak yang tahu, termasuk kamu!"Dengan wajah yang terlihat menantang, Radist maju perlahan sambil melipat tangan ke dada."Lalu... kamu percaya begitu saja? B
"Hmm, apakah kamu tidak suka melihat Dania bahagia?"Terdengar suara perempuan menyahuti gumaman Anggi.Anggi menoleh dengan kasar. Ia terkejut dengan pertanyaan seseorang yang menanggapi gumamannya itu."Bukan urusanmu!" Anggi terlihat panik. Ia berpikir perempuan tersebut adalah seseorang dari keluarga mereka."Tentu jadi urusanku! Siapa pun yang tidak suka dengan kebahagiaan mereka akan menjadi partnerku untuk bersama menjatuhkan mereka, iya bukan?""Oh iya, perkenalkan, aku Radisty," katanya sambil mengulurkan tangan ke hadapan Anggi. Anggi hanya menanggapi sebisanya.Saat mendengarkan rencana demi rencana Radisty, Anggi pun enggan mengikutinya. Ia akan menggunakan caranya sendiri.---Dua hari setelahnya, Dania menikah dengan Danar. Mereka sepakat untuk mengambil cuti kerja selama sebulan. Mereka memutuskan untuk berlibur sekaligus berbulan madu.Sore itu, sepulang mereka berbelanja keperluan untuk libu
Lima bulan ke depan, Rizal dan yang lainnya sudah dipenjara. Mereka berpasrah diri, tidak ada yang dapat dilakukan selain menjalani hukuman tersebut.Saat bulan keenam mereka menjalani masa hukuman, siang itu Anggi dipanggil karena ada yang membesuk.Saat ditemui di ruang khusus kunjungan, ia terperangah melihat Anton yang berada di jajaran meja pengunjung tahanan."An-Anton?" sapa Anggi ragu-ragu.Anton, yang semula sedang memainkan ponsel sambil menunduk, menengadahkan pandangannya ke depan."Hai, gimana kabarnya?""Ya, gini-gini aja. Tumben kamu punya waktu untuk membesukku.""Hmm, sebenarnya ini kejutan. Tapi..."Belum selesai Anton meneruskan pembicaraannya, petugas datang untuk memberitahu kalau Anggi telah terbebas dari hukuman dan tuntutan."Permisi, benar dengan Saudari Anggi Noviyanthi?""Iya, Pak. Kenapa ya? Apa jam besuknya sudah habis?""Silakan ikut kami ke ruang Kepala P
"Si Danar, Mel. Bener kata lo, dia barusan ngirim pesan ke gue kalau katering nanti bakalan datang," ujar Dania sambil menunjukan ponselnya ke Meli."Kan gue bilang juga apa," sahut Meli."Iya, tapi kan boros banget. Udah ah, nanti gue mau bilang stop aja. Gak usah katering-katering lagi."Meli terdiam sambil memperhatikan Dania.Tanpa sadar, mereka sudah lama berbincang di dapur hingga karyawan katering yang mengantar makanan pun sampai.Dania mulai menyiapkan semua menu yang dipesan dan menatanya di meja makan."Ya ampun, sampai nasi aja dibeli," keluh Dania.Meli hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah sahabatnya itu.Semua makanan sudah tersaji dan tertata. Dania mengabadikannya dengan memfoto makanan sebelum disantap, lalu mengirimkan foto itu ke Danar."Sudah sampai, terima kasih.""Makan yang banyak, ya. Itu untuk sekali makan jadi langsung habiskan."Tak lama, Raihan dan Haf
"Bu Dania sudah membaik dan mendingan, secara fisik," ucap dokter. "Hanya saja…"Ucapan dokter itu terhenti saat ingin menjelaskan kondisi lain yang terjadi pada Dania."Hanya saja? Hanya saja apa, Dok?""Dia harus berobat ke psikiater. Khawatir nanti ke depannya muncul trauma-trauma yang menyakitkan hati dan kembali kumat."Danar mendengarkan dengan fokus penjelasan dokter saat di dalam tadi.Danar pun langsung bertindak. Ia mencari psikiater terbaik dan memulai pengobatan Dania hingga sembuh.---"Danar, bagaimana? Apakah aku sudah bisa pulang?" Dania bertanya penasaran."Sudah, tapi nanti kamu harus rutin pergi ke psikiater, ya. Pokoknya kamu harus dengar apa kata aku, Dan." Danar menatap Dania serius, membuat Dania terdiam dan tidak berkutik ataupun membantah."I-Iya, Nar," ucapnya terbata.Danar membereskan barang-barang milik Dania, lalu Meli membantu Dania untuk berganti pakaian.
"Dania..."Meli masuk tanpa mengucap salam terlebih dahulu. Danar yang tegang kini nampak lega."Lo gak apa-apa? Gue kaget, sumpah, waktu sampai rumah lo. Banyak banget polisi. Ya Allah, gimana bisa kayak gitu?" cecar Meli tanpa henti.Dania hanya tersenyum tipis melihat ekspresi Danar yang berdiri di belakang Meli."Ehmm... Ini saya lho ada di sini. Kamu belakangi?""Ehh, i-iya, Pak. Maaf, maaf. Saya terlalu khawatir sama Dania, Pak. Maafin saya.""Mel, lo dari mana aja kok baru kelihatan sekarang ini?""Iya, Dan. Panjang ceritanya. Nanti kalau lo udah mendingan aja ya gue ceritain. Oh iya, lo udah makan belum?" Meli mengeluarkan bubur ayam yang dibelinya sebanyak dua porsi saat hendak menjenguk Dania."Gue udah makan. Danar kayaknya yang belum, deh," jawab Dania sambil menatap ke arah Danar.Meli menepuk jidatnya, merasa bersalah karena dari tadi hanya fokus mengajak ngobrol sahabatnya itu."Oh iy
"Ucapkan lagi apa yang kau katakan barusan!" Rasa takut yang sedikit menggelayuti Linda tidak ditunjukkan di depan Anggi. "Memang benar kenyataannya, bahkan kamu ini seorang pelakor. Gimana bisa kamu memiliki anak? Karena kalau sampai kamu mempunyai anak, anak itu nggak akan punya ayah, saking banyaknya ayah yang meniduri ibunya. Miris!" Linda melipat kedua tangannya di dada dan berdecak pelan. Anggi, yang sedari tadi sudah tersulut emosi, melemparkan keramik pajangan berbentuk kura-kura kecil. Benda itu melesat mengenai TV LED berukuran besar. Anggi berteriak keras. Linda bergegas melangkahkan kakinya keluar dari rumah itu, meninggalkan Anggi sendiri di dalam. "Kamu lihat saja! Kamu dan adikmu sudah membuatku sengsara! Terutama kamu, Dania, perempuan picik yang nggak pernah lupus dari pikiran Mas Rizal!" Anggi menyusul kakak-beradik itu yang sudah pergi terlebih dulu. Mereka meninggalkan rumah