“Tapi kan…” Chika cemberut dan tampak keberatan.
Aku mengelus rambutnya sambil tersenyum, lalu membawanya kembali turun. Sampai di lobi, aku menitipkan makan siang yang kubawa kepada Resepsionis.
“Loh, gak jadi ketemu Pak Arlan, Bu?” tanya gadis beralis tebal itu dengan raut wajah heran.
Aku menggeleng. “Lain kali aja. Kamu benar, ternyata dia sedang sibuk di ruangannya,” ucapku sambil mendelikkan mata.
Gadis itu menunduk salah tingkah. Aku tahu dia sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkin saja pria berjas tadi mempunyai jabatan tinggi di perusahaan ini, makanya dia pun terpaksa memperbolehkanku naik.
“Jangan lupa! Kasih tau Pak Arlan, kalau tadi saya datang mengantar makan siang untuknya!” tegasku dengan mata sedikit melotot.
Resepsionis itu mengangguk cepat. Aku segera menggenggam tangan Chika untuk keluar. Kalau saja tadi tidak ada anakku ini, sudah pasti aku akan memergokinya. Apa iya, sesama rekan kerja semanja itu? Mana aku sedikit mendengar wanita itu mendesah kecil.
“Aww… kamu nakal banget, sih! Lain kali jangan telat jemput aku, dong! Kan bete,” ucap seorang perempuan. Meski suaranya pelan, tapi aku yakin tidak salah dengar, karena aku sempat menempelkan telinga di daun pintu. Aku berharap Chika tidak mendengarnya tadi.
Kuputuskan untuk kembali ke rumah saja. Berkunjung ke rumah Ibu pun batal, sebab hatiku sedang bergemuruh hebat. Tak mungkin aku membawa perasaan hancur ini ke rumah Ibu. Aku takut tidak bisa mengontrol ekspresi dan perasaanku saat disana dan membuat Ibu khawatir.
“Maaf ya, Bu. Insya Allah lain waktu kami kesana, soalnya Gita lupa kalau ada acara di rumah tetangga. Gak enak kalau Gita gak dateng, Bu.” Aku beralasan saat mengabari Ibuku.
Dalam perjalanan pulang, sejak tadi Chika hanya cemberut dan melipat tangannya ke depan dada.
“Maafin Bunda ya, Nak. Kita ketemu Ayahnya batal, ke rumah Nini juga batal. Apa kita mau beli es krim aja, gimana?” tawarku untuk membujuknya.
Chika menggeleng. Dia sedikit keras kepala, membuat gejolak amarah di dadaku bergemuruh dan hampir melampiaskan emosiku padanya. Cepat-cepat aku menarik napas dalam-dalam.
“Chika sebel! Pagi hari, Chika berangkat sekolah Ayah belum bangun. Malam hari, Ayah pulang kerja, Chika udah tidur. Ketemu Ayah cuman pas hari libur doang, Bund. Itu pun kadang-kadang Ayah ada urusan mendadak.” Anak berumur 7 tahun itu meluapkan keluh kesahnya, membuat air mataku terbendung. Namun, segera kutahan agar tak membuat tangisnya meledak, karena sempat kulihat matanya mulai berair dan merah.
Aku memeluknya beberapa detik untuk membuatnya tenang. Hampir saja aku melampiaskan emosi pada anak yang saat ini juga sedang emosi menahan kerinduannya pada sang Ayah.
“Ayah cari uang untuk kita, pekerjaanya banyak. Jadi kita harus ngertiin,” jelasku memberinya pengertian. “Oke! Sekarang kita beli jajan yang kamu suka, gimana? Kamu mau beli apa?” Aku berujar dengan semangat sambil mengangkat tangannya. Sesekali kuusap setetes bulir bening yang terbendung di sudut mataku.
“Ya udah deh, es krim boleh. Tapi sama waffle dan kebab ya, Bund!”
Buset, nih anak emang benar anaknya Bang Arlan. Gampang melow juga gampang banget diimingin makanan. Aku tertawa dan meminta supir taksi untuk mengantar kami ke tukang jajajan terdekat.
****
Malamnya, saat aku sudah memastikan Chika tidur, aku duduk di ruang tengah sambil menunggu Bang Arlan pulang. Saat ini sudah pukul 22.00 WIB. Kopi menemaniku agar mata tidak cepat mengantuk. Hari ini, aku ingin menyambut suamiku di depan pintu, tidak di kamar lagi dengan keadaan setengah tertidur.
[Masih lama Ayah pulang?] Aku mengirim pesan.
Tak menunggu waktu lama, Bang Arlan membalasnya..
[Iya nih, Bund. Banyak banget kerjaan. Salam sama Ibu, ya!]
[Aku gak jadi ke rumah Ibu, karna Ibu lagi keluar kota,] bohongku. [Oya, gimana makan siangnya?] tanyaku lagi.
[Aman. Ayah makan di kantin kantor kayak biasa, Bund]
[Enak gak cumi balado petenya?]
[Hahah… sok nebak ih. Ayah tadi makan pakai gulai otak, Bund.]
Apa ini? Apakah dia tidak menerima bekal dariku? Atau dia memang tidak tahu kalau tadi siang aku datang ke kantornya? Baiklah, tak kulanjutkan chattingan kami, aku masih berusaha untuk menyimpan semuanya sebelum aku menemukan sendiri apa yang terjadi. Jika siang tadi Bang Arlan tak menerima bekalku, itu artinya si Resepsionis itu sengaja tidak memberitahunya.
Pukul 01.05 dini hari. Akhirnya orang yang kutunggu pulang. Lampu ruang tamu sengaja kubiarkan mati, sedang aku menunggunya di depan pintu ketika suara mobil suamiku memasuki garasi. Ketika membuka pintu, Bang Arlan terkejut sampai hampir terjungkang ke belakang saat melihat wajahku yang masih menggunakan masker berwarna putih.
“Bunda sengaja mau buat Ayah jantungan, ya? Kenapa belum tidur, sih?” gerutunya sembari berjalan masuk. Sedang aku menutup kembali pintu.
“Belum bisa tidur, jadi maskeran dulu biar wajah Bunda glowing, biar Ayah gak berpaling ke lain hati,” ucapku menyindir.
Pria berkumis tipis itu tertawa sambil melepas dasinya. “Kamu tetap cantik dimata Ayah, Bund.”
Tak kulihat dia membawa kembali kotak bekal tadi siang. Tetapi sengaja tidak kupertanyakan, karena aku punya rencana untuk mencari tahu sendiri.
Aku membantu membereskan pakaiannya. Lalu suamiku itu pergi mandi. Ini kesempatanku untuk memeriksa ponselnya lagi. Namun sialnya, ponsel yang sebelumnya tidak dikunci itu, kini sudah dipasangi kata sandi. Aku mencoba mengetik tanggal lahirnya, tetapi gagal. Lalu tanggal lahirku, tanggal lahir Chika dan yang terakhir tanggal pernikahan kami. Semua sudah kucoba dan tetap gagal. Sampai akhirnya suara air sudah mati, menandakan suamiku sudah selesai mandi. Segera kuletakkan kembali benda pipih itu ke dalam tas kerjanya, lalu aku pura-pura berbaring memunggungi posisi tidurnya.
Suara dengkuran kubuat seolah aku benar-benar sudah tertidur. Dengan mata sedikit mengintip, aku melihat Bang Arlan mengambil ponselnya dari dalam tas kerja yang tercantol di rak dekat lemari. Redupnya lampu tidur yang meremangkan ruangan, membuat wajah suamiku itu jelas terlihat saat tersorot cahaya dari ponselnya. Bibirnya tersenyum, entah apa yang dia lihat disana. Lalu dia seperti mengetikkan pesan. Tak lama, suamiku itu seperti melakukan foto selfie dan kembali mengetikkan sesuatu sambil terus tersenyum. Seketika aku terngiang kembali suara perempuan yang berucap manja di ruangannya siang tadi.
Jelas, ada yang tidak beres. Dadaku bergemuruh hebat. Tubuhku tiba-tiba terasa panas dingin. Masih berharap jika pikiran-pikiran buruk yang terus menduga-duga di otakku adalah salah. ‘Selingkuh? Gak mungkin!’ tolak batinku.
Beberapa jam kemudian, suamiku sudah lelap dalam tidurnya. Terbukti dari suara dengkuran halus yang keluar dari mulutnya yang sedikit menganga. Aku yang sejak tadi tidak bisa tidur, memutuskan untuk menjadi detektif malam ini.
Kuambil ponselnya yang dia taruh diatas nakas dengan tangan sedikit gemetar, lalu menempelkan jari jempolnya ke fitur kunci sidik jari.
Tap! Ponsel berhasil terbuka. Jantungku semakin berdebar tak karuan. Sejenak aku memejamkan mata dan mengatur napas, bersiap untuk melihat apa yang ada pada ponselnya dan dengan siapa dia tadi bertukar pesan hingga membuatnya tersenyum seperti ABG yang sedang mengalami pubertas.
Beberapa menit, aku masih berkutat di aplikasi W******p, namun tak kutemukan apapun. Tentu, dia tidak bodoh. Pasti pesan tadi segera dihapusnya. Aku masuk ke album foto, juga tak kutemukan apapun. Hanya foto Chika dan sejumlah dokumen-dokumen pekerjaan. Dalam kekalutanku karena bingung harus mencari apa lagi, aku teringat Suparman. Entah kenapa, aku masih penasaran dengan teman Bang Arlan yang satu ini. Aku pun mencatat nomornya, lalu kembali merebahkan tubuh.
Entah sejak kapan aku tertidur. Saat aku bangun, Bang Arlan sudah tidak ada di sampingku. Jam di dinding menunjukkan pukul 05.30 pagi, segera kutunaikan wajib dua rakaat, berharap masih diterima karena aku tak sengaja bangun telat.
Setelah menutup sajadah, aku mendengar sesuatu pecah dari dapur. Bergegas aku mempercepat langkah.
“Ya Allah, Chika!” pekikku panik, setelah tiba di dapur.
“Ada apa, Nak?” Aku menghampiri putri kecilku itu. Tangannya mengeluarkan sedikit darah akibat tergores pecahan gelas.“Kita obati dulu lukanya, ya!” Aku hendak menggendongnya, tetapi gadis itu malah menangis kencang.“Apa sakit sekali? Ayo bunda obati lukanya,” ajakku lagi.Gadis kecilku itu tidak menghiraukan dan tetap menangis kencang. Aku bergegas mengambil kotak P3K. Sebenarnya luka goresan itu sangat kecil, mirip luka bekas tusukan jarum saja, tetapi kenapa Chika menangis histeris?“Ayah!” teriakku, memanggil. Entah kemana lelaki itu pagi-pagi buta begini. Biasanya dia baru bangun pukul 07.00, kenapa jam segini sudah menghilang?Setelah selesai menempelkan plester ke jari Chika, gadis kecilku itu mulai tenang dan duduk di kursi meja makan. Aku membuatkannya susu hangat dan roti selai kesukannya. Setelah itu aku mengambil ponsel di kamar untuk menghubungi suamiku, dan aku baru sadar kalau tas kerjanya sudah tidak ada.“Chika tadi kenapa? Kok gak panggil bunda kalau mau minum?” ta
“Halo, Ras. Ada apa?”Sedang dalam suasana hati yang tak karuan, Laras—Mamanya Cecil, yang juga tetanggaku, menelepon.“Lo dimana, Git?” Suara Laras terdengar agak panik.Aku mengerutkan kening. “Emang kenapa?” Tanpa menjawab pertanyaannya, aku balik bertanya.“Aduh, gimana ya ngomongnya..” Terdengar helaan napas kasar di seberang sana.Aku sudah bisa menebak apa yang akan dia katakan. Karena dari kejauhan, aku melihat Laras mondar mandir di terasnya sambil sesekali menatap rumahku.“Ngomong aja ih!” desakku.“Ta-tapi lo jangan kaget ya, anu.. bisa jadi bukan apa-apa, sih.” Masih bertele-tele, Laras seakan tidak bisa menyampaikan apa yang dia lihat.“Gue tau, lo mau bilang kalo Bang Arlan ke rumah bawa cewek, kan?” tebakku seketika.Aku masih berdiri di dekat pohon besar di persimpangan. Masih belum melangkah, sebab hati dan otakku beradu sengit. Seakan tak ingin menyaksikan apa yang nantinya terjadi di depan mataku. Sedangkan di sisi lain, aku tidak ingin memergokinya sekarang. Aku
“Chika?” Aku menghampirinya dengan sedikit panik, takut dia mendengar ucapanku tadi. “Kamu kenapa bangun? Mau pipis, ya? Atau mau minum?” tanyaku.Chika menggelengkan kepalanya lemah. “Ayah gak ikut kesini, Bund?” tanyanya dengan bibir mencebik kecewa.Aku mengusap rambutnya, lalu membawanya kembali masuk ke kamar.“Ayah lagi sibuk banget, tadi pas Bunda pulang Ayah masih kerja.” Aku berdusta, berharap Chika mengerti dan tidak mendengar apa saja yang tadi kuceritakan pada Ibu.“Tapi kenapa Bunda nangis?” Gadis kecil itu menatapku sambil memeluk bonekanya.Segera aku mengusap-usap wajah sambil tertawa kecil. “Ah, mana ada. Ini kayaknya karena Bunda udah ngantuk banget, deh.” Aku pura-pura menguap. “Tidur, yuk!” Kurebahkan kepala Chika ke bantal, lalu kutarik selimut menutupi tubuhnya sampai ke dada. kutepuk-tepuk lengannya dengan lembut. Namun yang terjadi, tanpa sadar aku pun ikut tertidur. Mataku terasa berat sekali setelah menangis seharian. Tetapi, setelah kupikir-pikir, betapa ru
“Nak… apa kamu mau pindah sekolah ke tempat Nini?” tanyaku saat perjalanan pulang kembali ke Jakarta.Chika tampak berpikir. Matanya menatap ke atas sejenak, lalu menoleh padaku. “Sebenarnya … Chika suka tinggal di rumah Nini, disana sejuk, banyak bunga-bunga dan kupu-kupu. Tapi … Chika nanti kangen sama Ayah sama Bunda,” cicitnya.Aku merangkul tubuh mungilnya. Membawa ke pelukanku. Gadis kecil ini tidak akan tahu bagaimana nasib rumah tangga orang tuanya setelah aku membalas Bang Arlan. Tetapi, aku tetap harus mengambil keputusan. Bertahan untuk terus sakit hati demi anak? Awalnya pikiran itu terlintas di benakku. Namun, aku pikir hal itu salah dan bodoh. Jika kelak Chika telah tumbuh dan mengerti, dia pasti akan sakit hati dan kecewa. Aku yakin, dia juga tidak ingin melihat Ibunya disakiti.“Kalau kamu emang mau tinggal bersama Nini, gak apa-apa, Sayang. Nanti bunda sering jenguk kamu,” ucapku membujuk.“Terus nanti Bunda ngapain disana? Kan Ayah kerja, kalau gak ada Chika, apa bun
“Bu-bunda …” Bang Arlan terlihat pucat melihat apa yang sedang aku pegang. Dia mungkin menyadari kalau itu milik kekasihnya.Aku tertawa dan buru-buru menyembunyikan benda itu di belakang pungguung.“Ini kayaknya punya Aku yang ilang, Bang.” Aku lanjut berjongkok dan merogoh bawah kolong tempat tidur. Dan ternyata aku menemukan dalaman lainnya. Kali ini sebuah bra berukuran lumayan besar yang sama sekali bukan ukuranku.Aku berdiri dan kembali memegang benda itu dengan jijik sambil memperlihatkannya pada Bang Arlan.“Ini juga kayaknya punya aku, Bang. Kok bisa ada di bawah kolong, ya?” Aku berpura-pura bodoh.Bang Arlan tertawa. Wajahnya tampak lega, melihat aku tak curiga dengan benda yang sebenarnya tidak pernah aku pakai. CD berenda? Bra ukuran besar? Sungguh bukan aku.Tapi Bang Arlan gak peduli dan menganggap keadaan aman karena aku menganggap benda ini milikku yang hilang. Dia berganti baju dan naik ke atas ranjang. Matanya sibuk mencari benda yang mungkin tadi aku jatuhkan.Aku
“Iya, Mas. Eh, Pak.” Aku jadi salah tingkah dan gugup. Bingung mau memanggilnya dengan sebutan apa. Sementara aku tidak tahu dia menjabat apa di kantor ini.Dilihat dari setelannya yang terlihat mahal dan mewah, membuatnya semakin berwibawa dan juga …“Tampan,” batinku.Pria itu menyeringai, terlihat sangat sombong. Tak lama pintu lift terbuka. Dia keluar dengan langkah lebarnya. Aku pun menyusul, karena tujuan kami ada di lantai yang sama.Dia berbelok ke kanan, dan aku ke kiri.“Tunggu!” panggilnya. Seketika aku pun menoleh ke belakang. Karena tidak ada orang lain disana selain kami berdua.Aku menunjuk diriku sendiri, sembari menaikkan alis. Bertanya lewat gestur bingung.“Kamu mau ngelamar kerja disini?” tanya pria itu sambil memperhatikan amplop coklat yang dipegang.“Oh, ini. Enggak. Aku cuman mau …” Aku bingung mau menjawab apa. Kalau aku bilang tidak ingin melamar pekerjaan disini, nanti aku diusir, tapi kalau aku bilang mau melamar, gimana kalau dia membuka isi amplop ini.Aku
“Git, gue minta maaf,” cicit Yunita akhirnya.“Kenapa harus suami gue?!” bentakku.“Bund, Abang bisa jelasin,” ucap Bang Arlan masih berusaha menyentuhku.Aku mengangkat tangan dan meminta Bang Arlan untuk tidak mendekatiku. Aku mundur perlahan dan menjauh sembari berusaha menenangkan diri.“Sudah berapa lama?” Aku bertanya dengan suara serak dan lemah.Tak ada yang menjawab. Mereka berdua bergeming.“SUDAH BERAPA LAMA KALIAN SELINGKUH????!!!!” Aku kembali berteriak dengan sisa suara yang kupunya.Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Mungkin mendengar keributan yang kubuat di dalam sini.“Ada apa ini?” tanya pria yang masih berdiri di ambang pintu. Matanya menatap tajam pada kami satu persatu.Aku masih terisak. Tapi segera kuseka air mataku yang tak mau berhenti mengalir. Sungguh air mata ini teramat mahal untuk menangisi pria berengsek seperti Bang Arlan. Tapi hatiku benar-benar perih. Mungkin, aku tidak akan merasa sesakit ini jika Bang Arlan berselingkuh dengan wanita yang tidak kuken
Pak Angga tersenyum menanggapi Ucapan Bang Arlan, aku semakin kecewa. Sia-sia saja rasanya kami bermusyawarah disini kalau aku tetap tidak akan mendapat keadilan."Kalau begitu, maaf Pak Angga." Aku langsung nyerobot bicara sebelum Pak Angga kembali angkat suara. "Saya akan dengan terpaksa mengungkap perbuatan mereka berdua ke sosial media milik saya, dan pastinya... nama perusahaan Bapak akan ikut terseret," ancamku penuh kekecewaan.Pak Angga yang tadinya senyum, kembali pada ekspresi datar setelah mendengar ucapanku. Masih tak kusangka, jika ternyata tidak ada yang mempedulikanku sebagai korban disini. seorang Angga hanya mempedulikan citra dan nama baik perusahaannya saja. Dia pasti akan mencegahku untuk mengungkap cerita yang akan aku buat di sosial media nantinya."Tenang dulu, Mbak. Saya belum selesai menjelaskan.." ujarnya, membuat Bang Arlan seketika menegang kembali."Memang peraturannya seperti itu, saya tidak bisa melakukan pemecatan karena terikat kontrak, tapi ... saya b
“Memang saya pelakunya,” ucap Tante Rusni dengan kepala menunduk.Setelah ketahuan bahwa dirinya menemui Aditya yang merupakan mantan calon menantunya untuk membantunya mencari Yunita yang beberapa hari ini menghilang, aku tidak berhenti bertanya hingga akhirnya tante Rusni lelah dan mengakui bahwa dirinyalah yang telah menjebakku di acara reuni sekaligus pengumuman oleh Yunita bahwa dirinya akan menikah. Saat itu, aku bahkan tidak mengingat wajah calon suami Yunita.“Kenapa tante tega ngelakuin itu sama Gita? Apa salah Gita sama tante?” Aku mulai terisak. Perih sekali hati ini ketika wanita yang sama kuhormati seperti ibuku sendiri ternyata diam-diam menyakiti lahir dan batinku.Percakapan kami saat ini sedang direkam video oleh Angga sebagai bukti untuk berjaga-jaga. Sebab, orang jahat dan licik bisa mengulangi perbuatannya jika ada kesempatan.“Tante minta maaf, Gita. Tante sudah memberikanmu minuman untuk menghilangkan kesadaranmu, lalu menyuruh Aditya untuk berhati-hati dan janga
“Kamu yakin gak mau ambil lagi rumah itu? Atau kamu mau aku renovasi semua bentuknya agar kamu bisa melupakan Arlan?” Angga berujar tanpa menoleh padaku, sedang tangannya sibuk menyusun berbagai stok makanan di dalam kulkas.Aku tidak mengindahkan ucapannya, yang kuperhatikan sejak tadi adalah, perhatiannya soal makanan. Lelaki ini sangat hobi membelikan makanan untuk orang lain. Aku duduk di mini bar dengan tangan menyanggah dagu. Semakin kuperhatikan, Angga semakin tampan meski wajahnya terlihat kaku dan jarang tersenyum, apalagi ekspresinya yang datar itu.“Kamu denger aku ngomong, gak?” Angga menyalakan kompor dan mendidihkan air, lalu menatapku dari dekat.Aku terkesiap ketika tiba-tiba mendapati dua bola matanya berada tepat di depanku. Bersamaan dengan degup jantung yang berdebar tak menentu.“Malah senyam-senyum sendiri. Apa aku terlihat seperti suami idaman?”Aku mendecih. “PD amat,” gumamku sambil melipat tangan ke dada.Dia tertawa keras dan menyiapkan mie instan ke dalam m
“Baru kali ini aku mengenal orang segila Angga.” Aku menghela napas panjang dengan mata menatap langit-langit kamar.Hari yang melelahkan. Akhirnya aku kembali ke butik dan menginap di kamar lantai tiga, sebab rumah itu sudah kuserahkan pada Angga.Aku memang ingin menjualnya dan menebus kembali tanah peninggalan ayah. Tetapi, uang itu sudah diserahkan seluruhnya pada Bang Arlan.Kemarin, saat pertemuan terakhir kami, Bang Arlan masih dengan rasa gengsinya dan merasa harga dirinya dijatuhkan oleh Angga.“Saya tidak bisa menerima uang ini!” tegas Bang Arlan. Dari raut wajahnya, sepertinya dia memang serius. Aku jadi heran, kenapa dia menolak, padahal selama ini yang dia kejar hanya uang.“Apa permintaan saya susah, Pak Arlan?” tanya Angga dengan wajah yang ketat.Aku pun mengira setelah menerima uang miliaran, mereka akan pergi dan berhenti mengangguku, tapi ternyata Bang Arlan belum selesai.“Apa lagi yang kamu inginkan, Bang?” tanyaku dengan perasaan putus asa. “Kita selesaikan sampa
“Pak Angga?” Yunita bersuara, memecahkan keheningan suasana yang menegang.Bang Arlan yang tadinya terpelongo karena terkejut, kini berubah pandangan menjadi sinis.“Kamu?” Aku juga tak sabar, kenapa bisa Angga yang menjadi pembelinya.“Apa anda tidak mau melayani saya sebagai pembeli rumah ini?” Angga bertanya dengan angkuh pada Bang Arlan yang seketika memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menekan tombol merah, mengakhiri panggilan.“Si*l!” Bang Arlan menggerutu dengan tangan mengepal dan rahang mengeras. “Sampai kapan kau akan terus ikut campur urusanku, hah?” Mata Bang Arlan melotot pada Angga dengan gigi yang dirapatkan, geram.Angga tertawa kecil dan melangkah maju, mendekati Bang Arlan.“Sampai kamu berhenti menganggu Gita.” Angga menyondongkan wajahnya dan sedikit berbisik pada Bang Arlan.“Wah, Cah Bagus! Apa kamu akan memberikan uang pada ibu kalau ibu berhasil membujuk Arlan untuk berhenti mengganggu Gita?” tanya Mamanya Bang Arlan dengan mata berbinar. Di kepalanya han
“Chika ingat!” Putri kecilku itu berujar dengan tegas. “Nomornya B xx23 NJ.”Aku terperangah mendengar ucapan Chika. “Kamu cerdas sekali, Nak.” Aku berlutut, meraih tangannya. Dia hanya diam dengan ekspresi datar. Biasanya dia akan tersenyum manis jika kupuji, tapi hari ini, dia berubah sensi.“Chika mau ke kamar Nini dulu. Bunda boleh pergi selesaikan urusan dengan Ayah. Chika disini aja sama Nini.” Gadis kecilku itu melepas genggaman tanganku. “Nini, Chika ke kamar dulu ya, tinggal digoreng aja kan, donatnya?” Dia mengalihkan pandangan pada ibuku sambil berdiri, bersiap untuk meninggalkan dapur.Ibuku hanya mengangguk dengan senyum cerah. Gadis kecilku itu langsung pergi ke kamar Nini-nya dan mengunci pintu.Ibu mengusap bahuku dengan lembut. “Kamu yang sabar, ya, Nak. Chika, anak sekecil itu terlihat aneh jika bersikap seperti orang dewasa, tapi itu semua terjadi sebab tekanan batin yang dia rasakan. Bagaimana bisa dia menerima kenyataan secara tidak sengaja bahwa seorang pria yang
“Sayang … sini, biar bunda jelasin.” Aku merentangkan tangan, memintanya untuk datang ke pelukanku.Chika menggelengkan kepalanya sambil menangis sesenggukan. “Bunda sama ayah jahat! Bunda sama ayah gak sayang Chika!” Dia menjerit, meluapkan emosinya.“Chika … cucu Nini … sini sama Nini, Nak!” Ibuku yang sudah tenang berusaha membujuk gadis kecil itu, sedang aku terduduk di lantai menundukkan kepala.Meski dia benci dengan ayah bundanya, beruntung masih ada Nini yang menjadi labuhan hatinya.“Jangan terus menyalahkan bunda, Nak. Nanti kalau kamu udah besar, pasti mengerti kenapa semua ini terjadi,” ujar Ibuku memberikan Chika nasihat.Chika menenggelamkan kepalanya dalam pelukan ibu. “Tapi Chika gak mau ayah sama bunda pisah dan berantem, Nini. Chika maunya tante itu pergi jangan ganggu ayah lagi. Chika mau buang aja semua bonek itu!” Gadis kecil dengan dress rumahan berwarna merah muda itu membalik badan seketika dan menunjuk mainan baru yang diberikan Yunita.“Kalau Chika benci sama
“Astaghfirullah …” Ibu meneteskan air mata.Beliau sangat terkejut setelah mendengar semua ceritaku tentang Bang Arlan dan Yunita. Setelah tadi ibu memegangi dadanya dan mengatakan dia baik-baik saja, hanya reaksi terkejut saat merespon berita yang kusampaikan. Ibu memintaku menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.“Bu … tapi Gita sekarang baik-baik aja. Ibu gak usah khawatir.” Aku berusaha menghiburnya yang tampak sangat terpukul menatapku dengan mata yang bergetar.“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik aja kalau ternyata Chika itu bukan anaknya Arlan. Lalu dia anaknya siapa, Nak?” Ibu sedikit berbisik dan mendekatkan wajahnya padaku. Air mata ibu akhirnya lolos setelah sejak tadi dia tahan.Aku terdiam sesaat.“Tentang itu, Gita juga sedang mencari tau, Bu. Dan sekarang sudah mendapat titik terang. Ada Angga yang membantu Gita.” Aku menjelaskan semuanya agar membuat Ibu tidak berpikir keras.Wanita yang melahirkanku itu menangis. Kepalanya menunduk dalam, dengan bahu terguncan
“Kamu…” Tante Rusni menunjukku dengan tangan gemetar. Dia seperti hendak protes. Dan mempertahankan sandiwaranya.Namun, aku mengalihkan keadaan ketika mendengar ponsel yang terus bergetar dari dalam tas.Aku menyibak rambut baru yang lurus sebahu berwarna kecoklatan ini lalu merogoh tas. Seketika panggilan yang sejak tadi berdering mati. Aku tak sempat menjawab panggilan dari ibu. Bola mataku melebar ketika pesan dari ibu sudah sejak tadi memberitahukan bahwa mantan suamiku datang bersama Yunita dan Mamanya Arlan.“Gita permisi dulu, Tante. Urusan kita belum selesai. Ada hal yang lebih penting saat ini.” Aku segra menyandang menyandang tasnya dan berlari terburu-buru menuju mobil.Tante Rusni ikut berjalan menuju pintu keluar dan melihatku dengan perasaan heran. Belum sempat dia mengutarakan apa pun yang sebenarnya sangat ingin kudengar, tetapi aku langsung pergi tanpa mendengarkan penjelasannya.“Ibu… ayo dong angkat telepon Gita!” Berkali-kali aku menekan tombol panggilan pada nomo
“Tante, gimana kabarnya? Tante lagi dimana?” Aku menelepon Tante Rusni, alias Mamanya Yunita dengan niat mengajaknya bertemu.“Kabar tante baik, Tante lagi di Bandung, ada apa, Git? Apa Yunita bikin masalah lagi sama kamu?” Suaranya terdengar mendayu terdengar sedang tak enak hati. “Tante minta maaf banget sama kamu ya, Gita. Kamu…”“Tante, maaf saya potong. Gimana kalau kita ketemuan aja buat bicarain semuanya?” ajakku.Dari seberang telepon aku mendengar desahan napas beratnya. Aku menerka, dia sedang keberatan dengan ajakanku.“Emm… gimana ya, tante agak sibuk belakangan ini, Git.” Dia akhirnya menolak.“Biar Gita aja yang ke Bandung, Tante. Gita sekalian mau ke rumah ibu. biar Gita mampir ke tempat tante,” ujarku menepis tolakannya.Dia terdiam sesaat, namun akhirnya menyetujui.“Oke deh. Kapan kamu mau datang?” tanya wanita itu.“Hari ini, Tante.”“Oke,” sahutnya dan telepon berakhir.Setelah kemarin mendengar penjelasan dari karyawanku yang bernama Chika, ciri-ciri yang dia sebu