Pak Angga tersenyum menanggapi Ucapan Bang Arlan, aku semakin kecewa. Sia-sia saja rasanya kami bermusyawarah disini kalau aku tetap tidak akan mendapat keadilan."Kalau begitu, maaf Pak Angga." Aku langsung nyerobot bicara sebelum Pak Angga kembali angkat suara. "Saya akan dengan terpaksa mengungkap perbuatan mereka berdua ke sosial media milik saya, dan pastinya... nama perusahaan Bapak akan ikut terseret," ancamku penuh kekecewaan.Pak Angga yang tadinya senyum, kembali pada ekspresi datar setelah mendengar ucapanku. Masih tak kusangka, jika ternyata tidak ada yang mempedulikanku sebagai korban disini. seorang Angga hanya mempedulikan citra dan nama baik perusahaannya saja. Dia pasti akan mencegahku untuk mengungkap cerita yang akan aku buat di sosial media nantinya."Tenang dulu, Mbak. Saya belum selesai menjelaskan.." ujarnya, membuat Bang Arlan seketika menegang kembali."Memang peraturannya seperti itu, saya tidak bisa melakukan pemecatan karena terikat kontrak, tapi ... saya b
"Ibu Yunita! Tolong hentikan, atau saya akan panggil petugas keamanan untuk menyeret paksa anda keluar!" Suara Pak Angga sedikit meninggi, membuat Yunita segera melepaskan tangannya dari rambutku.Gila saja, bahkan saat aku tengah diserang si Kunti ngamuk, Bang Arlan justru menyeringai puas. Dia sama sekali tidak menolongku, padahal akulah wanita yang delapan tahun menemaninya dalam suka dan duka. Wanita yang sudah melahirkan anak untuknya dan mengabdikan diri padanya. Semua itu rusak hanya karna cintanya yang berpaling kepada Yunita. Dadaku tiba-tiba sesak memikirkan hal itu. Kenapa hatiku terasa sakit. Ah, tapi kini aku sudah mati rasa. Cintaku pada Bang Arlan benar-benar sirna seketika. Kini hanya kebencian yang membelenggu hatiku."Sekarang silahkan keluar! Dan untuk Pak Arlan, saya tunggu keputusan anda," ucap Pak Angga. Dia berdiri sejenak, lalu berjalan menuju kursi kerjanya.Bang Arlan mengacak rambut dengan kasar. "Kita harus bicara serius di rumah," desisnya padaku dengan ma
"GUE TUNGGU DENGAN SENANG HATI!!!"Tinggallah aku berdua dengan Pak Angga. Aku merapikan rambut yang sejak tadi acak-acakan akibat ulah Yunita. Sesekali memegangi kedua pipiku yang terasa perih."Pak Angga, terima kasih atas bantuannya. Saya permisi pulang dulu," ucapku berpamitan."Tunggu, Mbak Gita!" Pak Angga mendekat. "Jangan sungkan untuk menghubungi saya jika Mbak memerlukan bantuan saya," ujarnya dengan wajah tanpa ekspresi.Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu pergi dari sana.****Sampai di rumah, aku melihat Bang Arlan duduk dengan tangan terlipat ke dada. wajahnya bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya.“Ngapain dia masih kesini? Dasar gak tau malu!” rutukku dengan suara berbisik, lalu menghampirinya yang sedang menatap TV yang tidak menyala. “Apa aku harus memperjelas kalau ini rumah pemberian orang tuaku?”Aku berdiri di sisi sofa yang dia duduki.“Ngapain kamu masih disini? Pergi sana bersama kekasihmu itu! Aku akan menggugat cerai dalam waktu dekat.”B
“Aku akan pergi ke rumah Mama dan tinggal disana untuk sementara sampai hasil tes itu keluar.” Bang Arlan berujar setelah keluar dari kamar, dia mengemas beberapa pakaian ke dalam ransel miliknya. Sedang aku, duduk di ruang tengah menatap TV yang tidak menyala.Setelah melakukan tes di rumah sakit tadi, Dokter Haris mengatakan hasil tesnya akan keluar paling cepat setelah dua puluh empat jam atau paling lama seminggu.“Baguslah kalo kamu sadar! Lagian rumah ini milikku, seharusnya kamu pergi dari sini sebelum aku usir,” cetusku dengan suara agak keras agar dia mendengar.“Kita lihat saja nanti, apakah kamu akan tetap mengusirku, atau justru mempertahankanku!” ucapnya percaya diri.Aku tertawa meremehkan. “Bagiku, tidak ada kesempatan kedua untuk pengkhianat, Bang! Mungkin aku bisa memaafkan perbuatanmu, tapi untuk bersama lagi … maaf.”Bang Arlan mengangguk dengan sudut bibir tertarik, lalu pergi meninggalkan rumah ini. Kini hanya aku seorang diri. Aku merindukan Chika. Aku rindu suar
“Ada apa, Mbak?” tanyaku penasaran.Mbak Ranti masih terlihat ragu untuk mengatakan sesuatu itu, tapi aku terus mendesaknya. “Aku baik-baik aja, Mbak. katakan saja!”“Tapi kamu jangan terkejut, ya?”Aku mengangguk dan tersenyum meyakinkannya.“Minggu lalu, waktu Mbak pergi refreshing ke sebuah tempat wisata, Mbak melihat suami kamu dengan perempuan lain,” tuturnya.Aku terdiam. Lalu tersenyum simpul, melihat kesungkanan Mbak Ranti dalam menyampaikan berita ini.“Maafkan Mbak kalau lancang dan ikut campur urusan rumah tangga kamu, Git, tapi rasanya Mbak gak tega untuk menyembunyikan ini. kamu berhak tau dan membicarakan hal itu dengan suamimu,” sambung Mbak Ranti. Tangannya mengusap bahuku dengan lembut.Aku semakin mengembangkan senyum membalas kehangantan yang Mbak Ranti berikan.“Aku udah tau semuanya kok, Mbak. Dan sekarang aku sedang mengurus proses perceraian,” ungkapku.Mbak Ranti tampak terkejut, tapi kemudian berekspresi prihatin.“Apa karena kamu berteman dengan Mbak, sehing
“Ibu gak punya simpanan sebanyak itu, Nak.”Aku bersalah, kenapa aku harus menanyakan uang pada ibuku. Bukankah seharusnya aku yang memberinya uang karena telah mengurus Chika. Aku mengacak rambutku hingga berantakan.Berani membuka usaha, ya berani menanggung resiko. Tetapi, jika aku tidak memulainya sekarang, kapan aku akan menghasilkan. Tidak ada yang menafkahiku lagi, aku harus menjadi satu-satunya orang tua yang bertanggung jawab dan membesarkan Chika dengan baik.“Maafin Gita, Bu. Gak seharusnya Gita menambah beban ibu,” sahutku dari seberang telepon.Karena tidak fokus mengendarai motor sambil menelepon, aku hampir menabrak seseorang yang akan menyeberang dari depan minimarket. Aku harus menggunakan kekuatan rem tiga dimensi, yaitu rem depan, rem belakang dan juga kedua kakiku ikut turut serta. Namun, tetap saja aku menabrak seseorang itu.“Maaf, Mas. Ya Allah…” Aku turun dari motorku yang juga ikut terguling. Kubiarkan saja motor itu, aku berlari menghampiri korban yang kutabr
“Bang Arlan mengidap Oligospermia, dimana kondisi tersebut membuat jumlah sp*rma sangat sedikit. Maka, kemungkinan untuk membuahi sel telur sangatlah kecil. Jadi, Chika anak siapa ya Allah?”Aku menangis sesenggukan di sudut kamar. Ada rasa kasihan pada Bang Arlan karena kondisinya itu, tapi aku juga tidak bersalah. Aku sungguh tidak tahu apa yang terjadi sehinggta Chika bisa terlahir.Kubuka laci nakas dan mengambil helai rambut Bang Arlan yang waktu itu dia berikan padaku, sudah kusimpan rapi dalam plastik OPP untuk berjaga-jaga, meski sebenarnya aku malas melakukan tes yang satu ini. ada rasa takut yang menyelimutiku.Bang Arlan sudah menunjukkan hasil tes DNA Chika dengan dirinya, tetapi aku masih tidak percaya, bisa saja itu hanya akal-akalannya. Penyakit yang dia derita itu hanya kemungkinan saja tidak bisa memiliki keturunan. Namun, tidak ada yang tidak mungkin, kan?“Aarrggg!” Kuremas rambutku karena kepalaku semakin berdenyut.Tiba-tiba lelaki yang sedang kupikirkan menelepon.
“Mama gak mau tau! Kamu sekarang sudah sukses, punya butik besar dan mewah. Masak untuk melakukan permintaan seenteng itu saja ndak bisa, tho?!”Ah, sial! kata-kata Mama tadi siang masih saja terngiang dan menggangguku. Wanita itu sama sekali tidak mau peduli bahwa aku juga dirugikan atas perbuatan Bang Arlan. Bagaimana bisa keluarganya memintaku untuk membiayai hidup mereka yang selalu ingin terlihat mewah di depan orang, padahal yang aku tahu, mereka bahkan rela makan hanya dengan ikan asin demi bisa membeli tas dan baju mewah.“Aku bisa benar-benar gila!” gumamku sambil meremas tangan. Rasa kesal dan amarah yang membuncah membuatku ingin sekali meluapkan emosi.[Kalau hasil tes DNA yang kamu lakukan sudah keluar dan terbukti bahwa Chika bukan anak kandungku, lebih baik kamu turuti kemauan Mama sebelum aib kamu aku bongkar!] ancaman Bang Arlan masuk melalui pesan dari aplikasi hijau.“Git… Gita!” Seseorang memanggil dari luar sana. pintu pagar memang aku kunci jadi suaranya terdenga
“Memang saya pelakunya,” ucap Tante Rusni dengan kepala menunduk.Setelah ketahuan bahwa dirinya menemui Aditya yang merupakan mantan calon menantunya untuk membantunya mencari Yunita yang beberapa hari ini menghilang, aku tidak berhenti bertanya hingga akhirnya tante Rusni lelah dan mengakui bahwa dirinyalah yang telah menjebakku di acara reuni sekaligus pengumuman oleh Yunita bahwa dirinya akan menikah. Saat itu, aku bahkan tidak mengingat wajah calon suami Yunita.“Kenapa tante tega ngelakuin itu sama Gita? Apa salah Gita sama tante?” Aku mulai terisak. Perih sekali hati ini ketika wanita yang sama kuhormati seperti ibuku sendiri ternyata diam-diam menyakiti lahir dan batinku.Percakapan kami saat ini sedang direkam video oleh Angga sebagai bukti untuk berjaga-jaga. Sebab, orang jahat dan licik bisa mengulangi perbuatannya jika ada kesempatan.“Tante minta maaf, Gita. Tante sudah memberikanmu minuman untuk menghilangkan kesadaranmu, lalu menyuruh Aditya untuk berhati-hati dan janga
“Kamu yakin gak mau ambil lagi rumah itu? Atau kamu mau aku renovasi semua bentuknya agar kamu bisa melupakan Arlan?” Angga berujar tanpa menoleh padaku, sedang tangannya sibuk menyusun berbagai stok makanan di dalam kulkas.Aku tidak mengindahkan ucapannya, yang kuperhatikan sejak tadi adalah, perhatiannya soal makanan. Lelaki ini sangat hobi membelikan makanan untuk orang lain. Aku duduk di mini bar dengan tangan menyanggah dagu. Semakin kuperhatikan, Angga semakin tampan meski wajahnya terlihat kaku dan jarang tersenyum, apalagi ekspresinya yang datar itu.“Kamu denger aku ngomong, gak?” Angga menyalakan kompor dan mendidihkan air, lalu menatapku dari dekat.Aku terkesiap ketika tiba-tiba mendapati dua bola matanya berada tepat di depanku. Bersamaan dengan degup jantung yang berdebar tak menentu.“Malah senyam-senyum sendiri. Apa aku terlihat seperti suami idaman?”Aku mendecih. “PD amat,” gumamku sambil melipat tangan ke dada.Dia tertawa keras dan menyiapkan mie instan ke dalam m
“Baru kali ini aku mengenal orang segila Angga.” Aku menghela napas panjang dengan mata menatap langit-langit kamar.Hari yang melelahkan. Akhirnya aku kembali ke butik dan menginap di kamar lantai tiga, sebab rumah itu sudah kuserahkan pada Angga.Aku memang ingin menjualnya dan menebus kembali tanah peninggalan ayah. Tetapi, uang itu sudah diserahkan seluruhnya pada Bang Arlan.Kemarin, saat pertemuan terakhir kami, Bang Arlan masih dengan rasa gengsinya dan merasa harga dirinya dijatuhkan oleh Angga.“Saya tidak bisa menerima uang ini!” tegas Bang Arlan. Dari raut wajahnya, sepertinya dia memang serius. Aku jadi heran, kenapa dia menolak, padahal selama ini yang dia kejar hanya uang.“Apa permintaan saya susah, Pak Arlan?” tanya Angga dengan wajah yang ketat.Aku pun mengira setelah menerima uang miliaran, mereka akan pergi dan berhenti mengangguku, tapi ternyata Bang Arlan belum selesai.“Apa lagi yang kamu inginkan, Bang?” tanyaku dengan perasaan putus asa. “Kita selesaikan sampa
“Pak Angga?” Yunita bersuara, memecahkan keheningan suasana yang menegang.Bang Arlan yang tadinya terpelongo karena terkejut, kini berubah pandangan menjadi sinis.“Kamu?” Aku juga tak sabar, kenapa bisa Angga yang menjadi pembelinya.“Apa anda tidak mau melayani saya sebagai pembeli rumah ini?” Angga bertanya dengan angkuh pada Bang Arlan yang seketika memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menekan tombol merah, mengakhiri panggilan.“Si*l!” Bang Arlan menggerutu dengan tangan mengepal dan rahang mengeras. “Sampai kapan kau akan terus ikut campur urusanku, hah?” Mata Bang Arlan melotot pada Angga dengan gigi yang dirapatkan, geram.Angga tertawa kecil dan melangkah maju, mendekati Bang Arlan.“Sampai kamu berhenti menganggu Gita.” Angga menyondongkan wajahnya dan sedikit berbisik pada Bang Arlan.“Wah, Cah Bagus! Apa kamu akan memberikan uang pada ibu kalau ibu berhasil membujuk Arlan untuk berhenti mengganggu Gita?” tanya Mamanya Bang Arlan dengan mata berbinar. Di kepalanya han
“Chika ingat!” Putri kecilku itu berujar dengan tegas. “Nomornya B xx23 NJ.”Aku terperangah mendengar ucapan Chika. “Kamu cerdas sekali, Nak.” Aku berlutut, meraih tangannya. Dia hanya diam dengan ekspresi datar. Biasanya dia akan tersenyum manis jika kupuji, tapi hari ini, dia berubah sensi.“Chika mau ke kamar Nini dulu. Bunda boleh pergi selesaikan urusan dengan Ayah. Chika disini aja sama Nini.” Gadis kecilku itu melepas genggaman tanganku. “Nini, Chika ke kamar dulu ya, tinggal digoreng aja kan, donatnya?” Dia mengalihkan pandangan pada ibuku sambil berdiri, bersiap untuk meninggalkan dapur.Ibuku hanya mengangguk dengan senyum cerah. Gadis kecilku itu langsung pergi ke kamar Nini-nya dan mengunci pintu.Ibu mengusap bahuku dengan lembut. “Kamu yang sabar, ya, Nak. Chika, anak sekecil itu terlihat aneh jika bersikap seperti orang dewasa, tapi itu semua terjadi sebab tekanan batin yang dia rasakan. Bagaimana bisa dia menerima kenyataan secara tidak sengaja bahwa seorang pria yang
“Sayang … sini, biar bunda jelasin.” Aku merentangkan tangan, memintanya untuk datang ke pelukanku.Chika menggelengkan kepalanya sambil menangis sesenggukan. “Bunda sama ayah jahat! Bunda sama ayah gak sayang Chika!” Dia menjerit, meluapkan emosinya.“Chika … cucu Nini … sini sama Nini, Nak!” Ibuku yang sudah tenang berusaha membujuk gadis kecil itu, sedang aku terduduk di lantai menundukkan kepala.Meski dia benci dengan ayah bundanya, beruntung masih ada Nini yang menjadi labuhan hatinya.“Jangan terus menyalahkan bunda, Nak. Nanti kalau kamu udah besar, pasti mengerti kenapa semua ini terjadi,” ujar Ibuku memberikan Chika nasihat.Chika menenggelamkan kepalanya dalam pelukan ibu. “Tapi Chika gak mau ayah sama bunda pisah dan berantem, Nini. Chika maunya tante itu pergi jangan ganggu ayah lagi. Chika mau buang aja semua bonek itu!” Gadis kecil dengan dress rumahan berwarna merah muda itu membalik badan seketika dan menunjuk mainan baru yang diberikan Yunita.“Kalau Chika benci sama
“Astaghfirullah …” Ibu meneteskan air mata.Beliau sangat terkejut setelah mendengar semua ceritaku tentang Bang Arlan dan Yunita. Setelah tadi ibu memegangi dadanya dan mengatakan dia baik-baik saja, hanya reaksi terkejut saat merespon berita yang kusampaikan. Ibu memintaku menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.“Bu … tapi Gita sekarang baik-baik aja. Ibu gak usah khawatir.” Aku berusaha menghiburnya yang tampak sangat terpukul menatapku dengan mata yang bergetar.“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik aja kalau ternyata Chika itu bukan anaknya Arlan. Lalu dia anaknya siapa, Nak?” Ibu sedikit berbisik dan mendekatkan wajahnya padaku. Air mata ibu akhirnya lolos setelah sejak tadi dia tahan.Aku terdiam sesaat.“Tentang itu, Gita juga sedang mencari tau, Bu. Dan sekarang sudah mendapat titik terang. Ada Angga yang membantu Gita.” Aku menjelaskan semuanya agar membuat Ibu tidak berpikir keras.Wanita yang melahirkanku itu menangis. Kepalanya menunduk dalam, dengan bahu terguncan
“Kamu…” Tante Rusni menunjukku dengan tangan gemetar. Dia seperti hendak protes. Dan mempertahankan sandiwaranya.Namun, aku mengalihkan keadaan ketika mendengar ponsel yang terus bergetar dari dalam tas.Aku menyibak rambut baru yang lurus sebahu berwarna kecoklatan ini lalu merogoh tas. Seketika panggilan yang sejak tadi berdering mati. Aku tak sempat menjawab panggilan dari ibu. Bola mataku melebar ketika pesan dari ibu sudah sejak tadi memberitahukan bahwa mantan suamiku datang bersama Yunita dan Mamanya Arlan.“Gita permisi dulu, Tante. Urusan kita belum selesai. Ada hal yang lebih penting saat ini.” Aku segra menyandang menyandang tasnya dan berlari terburu-buru menuju mobil.Tante Rusni ikut berjalan menuju pintu keluar dan melihatku dengan perasaan heran. Belum sempat dia mengutarakan apa pun yang sebenarnya sangat ingin kudengar, tetapi aku langsung pergi tanpa mendengarkan penjelasannya.“Ibu… ayo dong angkat telepon Gita!” Berkali-kali aku menekan tombol panggilan pada nomo
“Tante, gimana kabarnya? Tante lagi dimana?” Aku menelepon Tante Rusni, alias Mamanya Yunita dengan niat mengajaknya bertemu.“Kabar tante baik, Tante lagi di Bandung, ada apa, Git? Apa Yunita bikin masalah lagi sama kamu?” Suaranya terdengar mendayu terdengar sedang tak enak hati. “Tante minta maaf banget sama kamu ya, Gita. Kamu…”“Tante, maaf saya potong. Gimana kalau kita ketemuan aja buat bicarain semuanya?” ajakku.Dari seberang telepon aku mendengar desahan napas beratnya. Aku menerka, dia sedang keberatan dengan ajakanku.“Emm… gimana ya, tante agak sibuk belakangan ini, Git.” Dia akhirnya menolak.“Biar Gita aja yang ke Bandung, Tante. Gita sekalian mau ke rumah ibu. biar Gita mampir ke tempat tante,” ujarku menepis tolakannya.Dia terdiam sesaat, namun akhirnya menyetujui.“Oke deh. Kapan kamu mau datang?” tanya wanita itu.“Hari ini, Tante.”“Oke,” sahutnya dan telepon berakhir.Setelah kemarin mendengar penjelasan dari karyawanku yang bernama Chika, ciri-ciri yang dia sebu