“Chika?” Aku menghampirinya dengan sedikit panik, takut dia mendengar ucapanku tadi. “Kamu kenapa bangun? Mau pipis, ya? Atau mau minum?” tanyaku.
Chika menggelengkan kepalanya lemah. “Ayah gak ikut kesini, Bund?” tanyanya dengan bibir mencebik kecewa.
Aku mengusap rambutnya, lalu membawanya kembali masuk ke kamar.
“Ayah lagi sibuk banget, tadi pas Bunda pulang Ayah masih kerja.” Aku berdusta, berharap Chika mengerti dan tidak mendengar apa saja yang tadi kuceritakan pada Ibu.
“Tapi kenapa Bunda nangis?” Gadis kecil itu menatapku sambil memeluk bonekanya.
Segera aku mengusap-usap wajah sambil tertawa kecil. “Ah, mana ada. Ini kayaknya karena Bunda udah ngantuk banget, deh.” Aku pura-pura menguap. “Tidur, yuk!” Kurebahkan kepala Chika ke bantal, lalu kutarik selimut menutupi tubuhnya sampai ke dada. kutepuk-tepuk lengannya dengan lembut. Namun yang terjadi, tanpa sadar aku pun ikut tertidur. Mataku terasa berat sekali setelah menangis seharian. Tetapi, setelah kupikir-pikir, betapa ruginya aku menumpahkan air mata berharga ini untuk pria seperti Bang Arlan.
****
“Bunda.. Chika mau video call sama Ayah…” rengek anakku saat aku tengah sibuk membantu Ibu membuat sarapan di dapur. Chika menarik-narik bajuku dengan raut wajah tak sabar.
“Ayah pasti masih tidur, Sayang. Kan Ayah capek banget semalem kerja lembur.” Aku berdusta lagi, padahal sejujurnya aku malas menelepon Bang Arlan lebih dulu.
Siapa tahu saja wanita laknat itu masih tidur disana sehingga Bang Arlan lupa menghubungiku dan Chika.
“Telepon ajalah! Kasihan Chika..” bisik Ibuku.
Aku terpaksa menuruti Ibu, karena sejak tadi Chika terus merengek tidak mau diam meski pagi ini sudah tersuguh kartun kesukaannya di televisi.
Sudah kedua kalinya aku menghubungi Bang Arlan. Nada tunggu berdering, aktif. Namun, tidak ada jawaban sama sekali.
“Tuh kan, gak diangkat. Pasti Ayah lagi tidur, Nak,” ucapku.
“Sekali lagi ya, Bund. Chika kangen sama Ayah. Ayah harus minta maaf sama Chika karena kemarin udah marahin Chika,” ucapnya dengan wajah kesal dan memohon.
Terpaksa aku menekan kembali gambar kamera untuk melakukan panggilan video. Dalam dering yang kelima kali, akhirnya Bang Arlan menjawab. Tampak di layar ponsel dia tidak menggunakan baju dan hanya ditutupi selimut sampai ke dada, lalu pura-pura mengucek mata sambil menguap.
“Anaknya mau ngomong!” ujarku ketus.
“Ayah..” panggil Chika.
“Chika, Ayah masih ngantuk nih, nanti lagi ya VC-nya.” Pria itu menolak mentah-mentah panggilan anaknya, membuat jantungku seolah dihantam benda keras.
Tanpa pikir panjang, langsung kumatikan teleponnya.
“Tuh kan, Bunda bilang juga apa. Ayah masih tidur. Nanti lagi kita VC-nya ya, Sayang…” bujukku.
Chika tampak sangat marah. Dia masuk ke kamar dan membanting pintu cukup keras. Tanganku mengepal keras. Rasanya tak perlu lagi berpikir untuk membuat keputusan setelah melihat sikap suamiku yang semakin berulah. Biasanya, sesibuk apapun dia saat bekerja, ketika Chika melakukan panggilan video, dia selalu menyempatkan. Meski terkadang tanpa menoleh dan mata terus tertuju pada laptopnya.
“Chika kenapa?” tanya Ibu yang baru dari dapur. Segelas susu coklat digenggam hendak diberikan pada cucunya.
Aku menggeleng. Saat ini rasanya aku tidak ingin membahas pria brengsek itu.
“Gak apa-apa, Bu. Sini susunya biar Gita yang kasihin ke Chika,” ucapku sambil meraih gelas susu tersebut.
Wajah ibuku tampak gusar. Kalau saja Ayah masih hidup, sudah tentu Bang Arlan tidak akan mendapat ampun. Dulu, Ayahku tidak menyetujui pernikahan kami. Namun, aku tetap memaksa meminta restu karena hanya Arlan Suranta yang kucintai.
“Neng yakin dia sebaik itu? Neng teh beneran udah pastikan dia gak bakal nyakitin kamu?” Ayah bertanya dengan raut serius delapan tahun lalu. “Ayah punya firasat, dia teh gak setia.” Bibir Ayah mencebik menandakan keraguannya.
“Astaghfirullah Ayah… Gita yakin seratus persen kalo Bang Arlan itu baik dan setia. Buktinya Gita pacar pertamanya dan dia langsung mau ajakin nikah. Berarti dia teh serius, Yah.”
Mengingat dulu ayah sangat meragukan Bang Arlan, aku jadi tambah menyesalinya. Beliau meninggal akibat serangan jantung, sehari setelah Chika lahir ke dunia.
Namun pesan terakhirnya membuatku tercengang kala itu. Dimana aku memutuskan untuk melahirkan di kampung halaman supaya ada Ibu yang menemani.
“Neng… kamu anak perempuan Ayah satu-satunya. Ayah teh gak mau kalau kamu sampai disakiti. Kalau ayah udah gak ada, siapa yang ngelindungi kamu? Si Gilang masih pesantren dan katanya mau mengabdi disana sebagai pengajar sekalian, katanya mau dikuliahin gratis karena dia berprestasi. Ayah harap kamu bisa jaga diri.”
“Ayah ngomong apa? Ayah akan tetap ada buat Gita sampai kapan pun. Lagi pula, sekarang ada Bang Arlan dan calon cucu Ayah..” Aku mengelus perutku yang tinggal menghitung hari saja untuk melahirkan.
Namun, takdir berkata lain. Sehari setelah Chika lahir, Ayah menghembuskan napas terakhirnya saat berdiri di halaman belakang rumah, disana ternyata ada Bang Arlan yang sedang menelepon seseorang.
Lamunanku terusik dengan dugaan lain. Apakah Ayah mendengar Bang Arlan menelepon wanita lain? Atau Ayah memang sudah tahu sejak lama sifat Bang Arlan? Sungguh pikiran ini sangat mengusikku.
Siang hari, saat Chika tengah asyik ikut Nininya menyiram bunga, Bang Arlan menelepon ke nomor, bukan ke aplikasi, karena aku sudah memblokir W******p-nya.
“Chika mana? Aku mau VC, Bunda kehabisan kuota ya? Kok gak masuk Ayah telepon?”
Ada rasa jijik saat dia masih menggunakan panggilan ‘Ayah-Bunda’ dalam keadaan sadar telah menduakanku.
“Gimana lemburnya? Sampai-sampai bangun siang dan tidur tanpa baju. Biasanya juga tidur pakai kaos tambah selimut lagi. Kamu tidur sama siapa di rumah?” Entah keberanian dari mana, aku tiba-tiba saja langsung bertanya dengan nada menuduh.
“Bunda? Kamu kesambet? Ngomong apa sih, gak jelas banget!” gerutunya dengan wajah merengut.
“Bunda… sini! Ada kupu-kupu!” panggil Chika. Anak itu berubah riang setelah pagi tadi sempat marah dan kecewa karena ditolak saat melakukan panggilan video dengan Ayahnya.
“Bund, kasihin teleponnya sama Chika, Ayah mau ngomong!” pinta Bang Arlan.
“Gak perlu, kamu tidur aja lagi sana! Atau kerja aja terus sampai punya kapal pesiar!” sungutku.
Tombol merah kutekan, lalu kuhampiri Chika dan Ibu. Kebun kecil yang disulap ibu menjadi taman bunga ini sungguh menyejukkan mata. Aroma harum dari mawar menyeruak masuk ke hidung. Kupu-kupu berterbangan seolah mengajak Chika bermain. Gadis kecilku itu berlari kesana kemari mengejar kupu-kupu. Senyum dan tawanya membuatku kembali teringat pada perbuatan Bang Arlan. Bagaimana bisa aku meredupkan senyuman itu jika nanti aku memutuskan untuk mengakhiri rumah tanggaku bersama Bang Arlan.
“Neng… gimana kalau Chika tinggal sama Ibu aja disini. Ibu teh kesepian, gak ada temen,” keluh Ibu. “Tuh liat, dia seneng banget disini. Lagian, kamu harus selesaikan masalahmu sama Arlan, Ibu gak mau Chika tertekan karena tau permasalahan orang tuanya. Dia masih kecil, Neng.” Raut wajah Ibu berubah cemas. Ucapannya berhasil membuatku terenyuh dan sempat berpikir untuk menyetujui usulan Ibu.
“Nanti Gita coba ajak Chika bicara ya, Buk.”
“Nak… apa kamu mau pindah sekolah ke tempat Nini?” tanyaku saat perjalanan pulang kembali ke Jakarta.Chika tampak berpikir. Matanya menatap ke atas sejenak, lalu menoleh padaku. “Sebenarnya … Chika suka tinggal di rumah Nini, disana sejuk, banyak bunga-bunga dan kupu-kupu. Tapi … Chika nanti kangen sama Ayah sama Bunda,” cicitnya.Aku merangkul tubuh mungilnya. Membawa ke pelukanku. Gadis kecil ini tidak akan tahu bagaimana nasib rumah tangga orang tuanya setelah aku membalas Bang Arlan. Tetapi, aku tetap harus mengambil keputusan. Bertahan untuk terus sakit hati demi anak? Awalnya pikiran itu terlintas di benakku. Namun, aku pikir hal itu salah dan bodoh. Jika kelak Chika telah tumbuh dan mengerti, dia pasti akan sakit hati dan kecewa. Aku yakin, dia juga tidak ingin melihat Ibunya disakiti.“Kalau kamu emang mau tinggal bersama Nini, gak apa-apa, Sayang. Nanti bunda sering jenguk kamu,” ucapku membujuk.“Terus nanti Bunda ngapain disana? Kan Ayah kerja, kalau gak ada Chika, apa bun
“Bu-bunda …” Bang Arlan terlihat pucat melihat apa yang sedang aku pegang. Dia mungkin menyadari kalau itu milik kekasihnya.Aku tertawa dan buru-buru menyembunyikan benda itu di belakang pungguung.“Ini kayaknya punya Aku yang ilang, Bang.” Aku lanjut berjongkok dan merogoh bawah kolong tempat tidur. Dan ternyata aku menemukan dalaman lainnya. Kali ini sebuah bra berukuran lumayan besar yang sama sekali bukan ukuranku.Aku berdiri dan kembali memegang benda itu dengan jijik sambil memperlihatkannya pada Bang Arlan.“Ini juga kayaknya punya aku, Bang. Kok bisa ada di bawah kolong, ya?” Aku berpura-pura bodoh.Bang Arlan tertawa. Wajahnya tampak lega, melihat aku tak curiga dengan benda yang sebenarnya tidak pernah aku pakai. CD berenda? Bra ukuran besar? Sungguh bukan aku.Tapi Bang Arlan gak peduli dan menganggap keadaan aman karena aku menganggap benda ini milikku yang hilang. Dia berganti baju dan naik ke atas ranjang. Matanya sibuk mencari benda yang mungkin tadi aku jatuhkan.Aku
“Iya, Mas. Eh, Pak.” Aku jadi salah tingkah dan gugup. Bingung mau memanggilnya dengan sebutan apa. Sementara aku tidak tahu dia menjabat apa di kantor ini.Dilihat dari setelannya yang terlihat mahal dan mewah, membuatnya semakin berwibawa dan juga …“Tampan,” batinku.Pria itu menyeringai, terlihat sangat sombong. Tak lama pintu lift terbuka. Dia keluar dengan langkah lebarnya. Aku pun menyusul, karena tujuan kami ada di lantai yang sama.Dia berbelok ke kanan, dan aku ke kiri.“Tunggu!” panggilnya. Seketika aku pun menoleh ke belakang. Karena tidak ada orang lain disana selain kami berdua.Aku menunjuk diriku sendiri, sembari menaikkan alis. Bertanya lewat gestur bingung.“Kamu mau ngelamar kerja disini?” tanya pria itu sambil memperhatikan amplop coklat yang dipegang.“Oh, ini. Enggak. Aku cuman mau …” Aku bingung mau menjawab apa. Kalau aku bilang tidak ingin melamar pekerjaan disini, nanti aku diusir, tapi kalau aku bilang mau melamar, gimana kalau dia membuka isi amplop ini.Aku
“Git, gue minta maaf,” cicit Yunita akhirnya.“Kenapa harus suami gue?!” bentakku.“Bund, Abang bisa jelasin,” ucap Bang Arlan masih berusaha menyentuhku.Aku mengangkat tangan dan meminta Bang Arlan untuk tidak mendekatiku. Aku mundur perlahan dan menjauh sembari berusaha menenangkan diri.“Sudah berapa lama?” Aku bertanya dengan suara serak dan lemah.Tak ada yang menjawab. Mereka berdua bergeming.“SUDAH BERAPA LAMA KALIAN SELINGKUH????!!!!” Aku kembali berteriak dengan sisa suara yang kupunya.Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Mungkin mendengar keributan yang kubuat di dalam sini.“Ada apa ini?” tanya pria yang masih berdiri di ambang pintu. Matanya menatap tajam pada kami satu persatu.Aku masih terisak. Tapi segera kuseka air mataku yang tak mau berhenti mengalir. Sungguh air mata ini teramat mahal untuk menangisi pria berengsek seperti Bang Arlan. Tapi hatiku benar-benar perih. Mungkin, aku tidak akan merasa sesakit ini jika Bang Arlan berselingkuh dengan wanita yang tidak kuken
Pak Angga tersenyum menanggapi Ucapan Bang Arlan, aku semakin kecewa. Sia-sia saja rasanya kami bermusyawarah disini kalau aku tetap tidak akan mendapat keadilan."Kalau begitu, maaf Pak Angga." Aku langsung nyerobot bicara sebelum Pak Angga kembali angkat suara. "Saya akan dengan terpaksa mengungkap perbuatan mereka berdua ke sosial media milik saya, dan pastinya... nama perusahaan Bapak akan ikut terseret," ancamku penuh kekecewaan.Pak Angga yang tadinya senyum, kembali pada ekspresi datar setelah mendengar ucapanku. Masih tak kusangka, jika ternyata tidak ada yang mempedulikanku sebagai korban disini. seorang Angga hanya mempedulikan citra dan nama baik perusahaannya saja. Dia pasti akan mencegahku untuk mengungkap cerita yang akan aku buat di sosial media nantinya."Tenang dulu, Mbak. Saya belum selesai menjelaskan.." ujarnya, membuat Bang Arlan seketika menegang kembali."Memang peraturannya seperti itu, saya tidak bisa melakukan pemecatan karena terikat kontrak, tapi ... saya b
"Ibu Yunita! Tolong hentikan, atau saya akan panggil petugas keamanan untuk menyeret paksa anda keluar!" Suara Pak Angga sedikit meninggi, membuat Yunita segera melepaskan tangannya dari rambutku.Gila saja, bahkan saat aku tengah diserang si Kunti ngamuk, Bang Arlan justru menyeringai puas. Dia sama sekali tidak menolongku, padahal akulah wanita yang delapan tahun menemaninya dalam suka dan duka. Wanita yang sudah melahirkan anak untuknya dan mengabdikan diri padanya. Semua itu rusak hanya karna cintanya yang berpaling kepada Yunita. Dadaku tiba-tiba sesak memikirkan hal itu. Kenapa hatiku terasa sakit. Ah, tapi kini aku sudah mati rasa. Cintaku pada Bang Arlan benar-benar sirna seketika. Kini hanya kebencian yang membelenggu hatiku."Sekarang silahkan keluar! Dan untuk Pak Arlan, saya tunggu keputusan anda," ucap Pak Angga. Dia berdiri sejenak, lalu berjalan menuju kursi kerjanya.Bang Arlan mengacak rambut dengan kasar. "Kita harus bicara serius di rumah," desisnya padaku dengan ma
"GUE TUNGGU DENGAN SENANG HATI!!!"Tinggallah aku berdua dengan Pak Angga. Aku merapikan rambut yang sejak tadi acak-acakan akibat ulah Yunita. Sesekali memegangi kedua pipiku yang terasa perih."Pak Angga, terima kasih atas bantuannya. Saya permisi pulang dulu," ucapku berpamitan."Tunggu, Mbak Gita!" Pak Angga mendekat. "Jangan sungkan untuk menghubungi saya jika Mbak memerlukan bantuan saya," ujarnya dengan wajah tanpa ekspresi.Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih, lalu pergi dari sana.****Sampai di rumah, aku melihat Bang Arlan duduk dengan tangan terlipat ke dada. wajahnya bagaikan singa yang siap menerkam mangsanya.“Ngapain dia masih kesini? Dasar gak tau malu!” rutukku dengan suara berbisik, lalu menghampirinya yang sedang menatap TV yang tidak menyala. “Apa aku harus memperjelas kalau ini rumah pemberian orang tuaku?”Aku berdiri di sisi sofa yang dia duduki.“Ngapain kamu masih disini? Pergi sana bersama kekasihmu itu! Aku akan menggugat cerai dalam waktu dekat.”B
“Aku akan pergi ke rumah Mama dan tinggal disana untuk sementara sampai hasil tes itu keluar.” Bang Arlan berujar setelah keluar dari kamar, dia mengemas beberapa pakaian ke dalam ransel miliknya. Sedang aku, duduk di ruang tengah menatap TV yang tidak menyala.Setelah melakukan tes di rumah sakit tadi, Dokter Haris mengatakan hasil tesnya akan keluar paling cepat setelah dua puluh empat jam atau paling lama seminggu.“Baguslah kalo kamu sadar! Lagian rumah ini milikku, seharusnya kamu pergi dari sini sebelum aku usir,” cetusku dengan suara agak keras agar dia mendengar.“Kita lihat saja nanti, apakah kamu akan tetap mengusirku, atau justru mempertahankanku!” ucapnya percaya diri.Aku tertawa meremehkan. “Bagiku, tidak ada kesempatan kedua untuk pengkhianat, Bang! Mungkin aku bisa memaafkan perbuatanmu, tapi untuk bersama lagi … maaf.”Bang Arlan mengangguk dengan sudut bibir tertarik, lalu pergi meninggalkan rumah ini. Kini hanya aku seorang diri. Aku merindukan Chika. Aku rindu suar
“Memang saya pelakunya,” ucap Tante Rusni dengan kepala menunduk.Setelah ketahuan bahwa dirinya menemui Aditya yang merupakan mantan calon menantunya untuk membantunya mencari Yunita yang beberapa hari ini menghilang, aku tidak berhenti bertanya hingga akhirnya tante Rusni lelah dan mengakui bahwa dirinyalah yang telah menjebakku di acara reuni sekaligus pengumuman oleh Yunita bahwa dirinya akan menikah. Saat itu, aku bahkan tidak mengingat wajah calon suami Yunita.“Kenapa tante tega ngelakuin itu sama Gita? Apa salah Gita sama tante?” Aku mulai terisak. Perih sekali hati ini ketika wanita yang sama kuhormati seperti ibuku sendiri ternyata diam-diam menyakiti lahir dan batinku.Percakapan kami saat ini sedang direkam video oleh Angga sebagai bukti untuk berjaga-jaga. Sebab, orang jahat dan licik bisa mengulangi perbuatannya jika ada kesempatan.“Tante minta maaf, Gita. Tante sudah memberikanmu minuman untuk menghilangkan kesadaranmu, lalu menyuruh Aditya untuk berhati-hati dan janga
“Kamu yakin gak mau ambil lagi rumah itu? Atau kamu mau aku renovasi semua bentuknya agar kamu bisa melupakan Arlan?” Angga berujar tanpa menoleh padaku, sedang tangannya sibuk menyusun berbagai stok makanan di dalam kulkas.Aku tidak mengindahkan ucapannya, yang kuperhatikan sejak tadi adalah, perhatiannya soal makanan. Lelaki ini sangat hobi membelikan makanan untuk orang lain. Aku duduk di mini bar dengan tangan menyanggah dagu. Semakin kuperhatikan, Angga semakin tampan meski wajahnya terlihat kaku dan jarang tersenyum, apalagi ekspresinya yang datar itu.“Kamu denger aku ngomong, gak?” Angga menyalakan kompor dan mendidihkan air, lalu menatapku dari dekat.Aku terkesiap ketika tiba-tiba mendapati dua bola matanya berada tepat di depanku. Bersamaan dengan degup jantung yang berdebar tak menentu.“Malah senyam-senyum sendiri. Apa aku terlihat seperti suami idaman?”Aku mendecih. “PD amat,” gumamku sambil melipat tangan ke dada.Dia tertawa keras dan menyiapkan mie instan ke dalam m
“Baru kali ini aku mengenal orang segila Angga.” Aku menghela napas panjang dengan mata menatap langit-langit kamar.Hari yang melelahkan. Akhirnya aku kembali ke butik dan menginap di kamar lantai tiga, sebab rumah itu sudah kuserahkan pada Angga.Aku memang ingin menjualnya dan menebus kembali tanah peninggalan ayah. Tetapi, uang itu sudah diserahkan seluruhnya pada Bang Arlan.Kemarin, saat pertemuan terakhir kami, Bang Arlan masih dengan rasa gengsinya dan merasa harga dirinya dijatuhkan oleh Angga.“Saya tidak bisa menerima uang ini!” tegas Bang Arlan. Dari raut wajahnya, sepertinya dia memang serius. Aku jadi heran, kenapa dia menolak, padahal selama ini yang dia kejar hanya uang.“Apa permintaan saya susah, Pak Arlan?” tanya Angga dengan wajah yang ketat.Aku pun mengira setelah menerima uang miliaran, mereka akan pergi dan berhenti mengangguku, tapi ternyata Bang Arlan belum selesai.“Apa lagi yang kamu inginkan, Bang?” tanyaku dengan perasaan putus asa. “Kita selesaikan sampa
“Pak Angga?” Yunita bersuara, memecahkan keheningan suasana yang menegang.Bang Arlan yang tadinya terpelongo karena terkejut, kini berubah pandangan menjadi sinis.“Kamu?” Aku juga tak sabar, kenapa bisa Angga yang menjadi pembelinya.“Apa anda tidak mau melayani saya sebagai pembeli rumah ini?” Angga bertanya dengan angkuh pada Bang Arlan yang seketika memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menekan tombol merah, mengakhiri panggilan.“Si*l!” Bang Arlan menggerutu dengan tangan mengepal dan rahang mengeras. “Sampai kapan kau akan terus ikut campur urusanku, hah?” Mata Bang Arlan melotot pada Angga dengan gigi yang dirapatkan, geram.Angga tertawa kecil dan melangkah maju, mendekati Bang Arlan.“Sampai kamu berhenti menganggu Gita.” Angga menyondongkan wajahnya dan sedikit berbisik pada Bang Arlan.“Wah, Cah Bagus! Apa kamu akan memberikan uang pada ibu kalau ibu berhasil membujuk Arlan untuk berhenti mengganggu Gita?” tanya Mamanya Bang Arlan dengan mata berbinar. Di kepalanya han
“Chika ingat!” Putri kecilku itu berujar dengan tegas. “Nomornya B xx23 NJ.”Aku terperangah mendengar ucapan Chika. “Kamu cerdas sekali, Nak.” Aku berlutut, meraih tangannya. Dia hanya diam dengan ekspresi datar. Biasanya dia akan tersenyum manis jika kupuji, tapi hari ini, dia berubah sensi.“Chika mau ke kamar Nini dulu. Bunda boleh pergi selesaikan urusan dengan Ayah. Chika disini aja sama Nini.” Gadis kecilku itu melepas genggaman tanganku. “Nini, Chika ke kamar dulu ya, tinggal digoreng aja kan, donatnya?” Dia mengalihkan pandangan pada ibuku sambil berdiri, bersiap untuk meninggalkan dapur.Ibuku hanya mengangguk dengan senyum cerah. Gadis kecilku itu langsung pergi ke kamar Nini-nya dan mengunci pintu.Ibu mengusap bahuku dengan lembut. “Kamu yang sabar, ya, Nak. Chika, anak sekecil itu terlihat aneh jika bersikap seperti orang dewasa, tapi itu semua terjadi sebab tekanan batin yang dia rasakan. Bagaimana bisa dia menerima kenyataan secara tidak sengaja bahwa seorang pria yang
“Sayang … sini, biar bunda jelasin.” Aku merentangkan tangan, memintanya untuk datang ke pelukanku.Chika menggelengkan kepalanya sambil menangis sesenggukan. “Bunda sama ayah jahat! Bunda sama ayah gak sayang Chika!” Dia menjerit, meluapkan emosinya.“Chika … cucu Nini … sini sama Nini, Nak!” Ibuku yang sudah tenang berusaha membujuk gadis kecil itu, sedang aku terduduk di lantai menundukkan kepala.Meski dia benci dengan ayah bundanya, beruntung masih ada Nini yang menjadi labuhan hatinya.“Jangan terus menyalahkan bunda, Nak. Nanti kalau kamu udah besar, pasti mengerti kenapa semua ini terjadi,” ujar Ibuku memberikan Chika nasihat.Chika menenggelamkan kepalanya dalam pelukan ibu. “Tapi Chika gak mau ayah sama bunda pisah dan berantem, Nini. Chika maunya tante itu pergi jangan ganggu ayah lagi. Chika mau buang aja semua bonek itu!” Gadis kecil dengan dress rumahan berwarna merah muda itu membalik badan seketika dan menunjuk mainan baru yang diberikan Yunita.“Kalau Chika benci sama
“Astaghfirullah …” Ibu meneteskan air mata.Beliau sangat terkejut setelah mendengar semua ceritaku tentang Bang Arlan dan Yunita. Setelah tadi ibu memegangi dadanya dan mengatakan dia baik-baik saja, hanya reaksi terkejut saat merespon berita yang kusampaikan. Ibu memintaku menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutupi.“Bu … tapi Gita sekarang baik-baik aja. Ibu gak usah khawatir.” Aku berusaha menghiburnya yang tampak sangat terpukul menatapku dengan mata yang bergetar.“Bagaimana bisa kamu bilang baik-baik aja kalau ternyata Chika itu bukan anaknya Arlan. Lalu dia anaknya siapa, Nak?” Ibu sedikit berbisik dan mendekatkan wajahnya padaku. Air mata ibu akhirnya lolos setelah sejak tadi dia tahan.Aku terdiam sesaat.“Tentang itu, Gita juga sedang mencari tau, Bu. Dan sekarang sudah mendapat titik terang. Ada Angga yang membantu Gita.” Aku menjelaskan semuanya agar membuat Ibu tidak berpikir keras.Wanita yang melahirkanku itu menangis. Kepalanya menunduk dalam, dengan bahu terguncan
“Kamu…” Tante Rusni menunjukku dengan tangan gemetar. Dia seperti hendak protes. Dan mempertahankan sandiwaranya.Namun, aku mengalihkan keadaan ketika mendengar ponsel yang terus bergetar dari dalam tas.Aku menyibak rambut baru yang lurus sebahu berwarna kecoklatan ini lalu merogoh tas. Seketika panggilan yang sejak tadi berdering mati. Aku tak sempat menjawab panggilan dari ibu. Bola mataku melebar ketika pesan dari ibu sudah sejak tadi memberitahukan bahwa mantan suamiku datang bersama Yunita dan Mamanya Arlan.“Gita permisi dulu, Tante. Urusan kita belum selesai. Ada hal yang lebih penting saat ini.” Aku segra menyandang menyandang tasnya dan berlari terburu-buru menuju mobil.Tante Rusni ikut berjalan menuju pintu keluar dan melihatku dengan perasaan heran. Belum sempat dia mengutarakan apa pun yang sebenarnya sangat ingin kudengar, tetapi aku langsung pergi tanpa mendengarkan penjelasannya.“Ibu… ayo dong angkat telepon Gita!” Berkali-kali aku menekan tombol panggilan pada nomo
“Tante, gimana kabarnya? Tante lagi dimana?” Aku menelepon Tante Rusni, alias Mamanya Yunita dengan niat mengajaknya bertemu.“Kabar tante baik, Tante lagi di Bandung, ada apa, Git? Apa Yunita bikin masalah lagi sama kamu?” Suaranya terdengar mendayu terdengar sedang tak enak hati. “Tante minta maaf banget sama kamu ya, Gita. Kamu…”“Tante, maaf saya potong. Gimana kalau kita ketemuan aja buat bicarain semuanya?” ajakku.Dari seberang telepon aku mendengar desahan napas beratnya. Aku menerka, dia sedang keberatan dengan ajakanku.“Emm… gimana ya, tante agak sibuk belakangan ini, Git.” Dia akhirnya menolak.“Biar Gita aja yang ke Bandung, Tante. Gita sekalian mau ke rumah ibu. biar Gita mampir ke tempat tante,” ujarku menepis tolakannya.Dia terdiam sesaat, namun akhirnya menyetujui.“Oke deh. Kapan kamu mau datang?” tanya wanita itu.“Hari ini, Tante.”“Oke,” sahutnya dan telepon berakhir.Setelah kemarin mendengar penjelasan dari karyawanku yang bernama Chika, ciri-ciri yang dia sebu