Duh Ash... Satu lagi
Mae masih lumpuh, dan hanya ingin berteriak saat melihat Ian terus memanggil nama Ash dan memompa dadanya.“ASH! Jawab aku!” Ian berteriak berulang kali.“Tidak boleh…” Mae merayap, berusaha mendekat dengan sisa tekad yang ada di tubuhnya. Ia harus melihatnya. Ia harus memastikan kalau Ash tidak meninggalkannya juga seperti Daisy.Tapi wajah Ash juga pucat—matanya juga memejam, hanya bergerak karena tangan Ian yang tidak kenal lelah terus menekan, seperti berusaha untuk mematahkan tulang rusuknya.Mae sudah dekat, tapi tangannya kini melayang terhenti di udara, tidak sanggup menyentuh, karena takut akan menemukan rasa dingin seperti saat menyentuh Daisy. Dingin yang kosong.“Ash—”Suara batuk dan tersedak membuat waktu kembali berjalan, membuat Mae akhirnya bisa bernapas lagi, dan Ian berhenti memompa dan jatuh terduduk dengan lega.“Fuck man! Kau membuatku takut!” Ian meremas dadanya sendiri agar jantungnya yang menderu lebih tenang.Ash hidup, tampak berusaha bernapas, sementara meng
“Just lay down! What’s wrong with you?!” (Berbaring saja! Kau itu kenapa?!)Ian mengomel karena melihat Ash duduk, bukannya berbaring di ranjang seperti yang seharusnya. Ia tadi keluar hanya untuk mencari minuman—idak sampai lima menit, dan Ash sudah melanggar perintah dokter.“Tidak ada yang patah.” Ash ikut mendengar saat dokter menjelaskan keadaannya tadi, dan memang tidak seburuk dugaan.“Retak! Apa kau pikir rusuk retak adalah lelucon?! Kau beruntung pria itu sudah mati dan injakannya pada pedal gas sudah berkurang, tapi kau tetap tertabrak! Kau hampir mati tadi! Aku yang hampir gila mencoba membuatmu tetap hidup! Kau ingin membuang semua usahaku itu? Kau tidak merasa menyesal atau—”“Aku hanya duduk, bukan berlari mengitari dunia. Aku tidak akan mati hanya karena duduk.” Ash mendengus dengan amat keras sampai seluruh udara di paru-parunya keluar rasanya. Omelan Ian itu berlebihan.“Tapi tidak menghapus keadaan kau hampir mati! Kau tidak bernapas!” Ian menuding dengan wajah jengke
“Kau… sudah bisa duduk?” Dean antara ingin marah, tapi lega juga melihat Ash bisa duduk.“Well, yeah. It’s not that bad.” (Tidak terlalu buruk)Ash melirik Ian, mengira kalau yang mengabarkan pada ayahnya adalah Ian, dan ingin tahu apa yang dikatakannya sampai Dean menjadi panik seperti itu.Ian menggeleng. Selain Stone, Ian tidak mengabarkan pada siapapun jadi bukan dirinya yang bertanggung jawab atas kepanikan itu.“Tapi katanya ada yang mati, dan buruk. Sampai ada mobil yang hancur!” Dean membayangkan yang terburuk karena detail yang simpang siur rupanya.“Hmm… Saya menyebut kalau yang meninggal adalah pelaku, dan mobil yang tertabrak adalah mobil pelaku juga. Apa mungkin kurang jelas?” Stone yang rupanya mengabarkan pada Brad, tapi tidak merasa melakukan kesalahan karena hanya menyampaikan keadaan yang sebenarnya. Ash memang terluka, tapi yang meninggal dan mobilnya hancur bukan Ash.“Wait…wait!” Dean tampak menarik napas dan berpegangan pada meja yang ada di dekat pintu. Untuk me
“Ro…”“Kau menyebut ada yang mati!” Rowena marah setelah itu. Sepertinya maaf tadi adalah sekilas lalu karena terhanyut perasaan.“Ya, aku salah menyimpulkan karena panik. Maaf… maafkan aku.” Dean kurang lebih mengabarkan pada Rowena versi berita yang berdasar kepanikan, maka Rowena juga mendengar kabar buruk akhirnya.“Maaf.” Dean mengelus rambut Rowena.“Did you just cry for me?” (Apa kau menangis untukku?)Ash sendiri bahkan tersentak. Ia tidak bermaksud mengucapkan pertanyaan itu dengan keras, hanya pertanyaan yang terlintas di benaknya karena heran Rowena bisa menjadi berantakan dan panik juga setelah mendengar kabar ngawur tentang keadaannya.“Kau ingin aku tertawa? Kau ingin aku merayakannya?”Lalu lebih terkejut lagi saat Rowena menanggapi. Bahkan Dean melepaskan pelukannya dengan wajah heran melihat istrinya bersedia menanggapi. “Yeah… Kau seharusnya gembira kalau aku mati.” Ash meneruskan karena sudah terlanjur.“Sepicik itukah kau menilaiku? Aku pernah melakukan apa padamu?
Bukan hanya air mata, tubuh Rowena juga perlahan luruh saat isakannya semakin keras.“Ro!” Dean menangkap pinggang Rowena, dan membantunya duduk, lalu menyerahkan sapu tangan yang ada di kantong jasnya. Rowena memakai sapu tangan itu untuk menutupi wajah dan terus terisak disana. “Aku tidak tahu akan menjadi seperti itu… Aku tidak bermaksud…sejauh itu…”Rowena bergumam berulang kali, tapi hanya dirinya yang mengerti. Yang lain hanya mendengar isakan yang membingungkan.“Ro, kami tidak mengerti.” Dean berlutut di depannya, ikut membantu menghapus air matanya. “Aku juga tidak mengerti.” Dean yang biasanya paling tahu apa yang ada dalam pikiran Rowena, bahkan tanpa perlu dikatakan, tapi kali ini tidak bisa menebak.“Aku tidak tahu kalau akan menjadi seperti itu…” Rowena mendongak lagi, menatap Mae. Ia yang paling harus mengerti apa yang dikatakannya.“Aku tidak bermaksud membuat hidupmu menjadi neraka—tidak sampai…”“Lalu kenapa? Tebakan terbaik yang bisa aku simpulkan sejauh ini adalah
“Kenapa kau tidak mengatakan apapun padaku, Ro?” Dean menggenggam tangan Rowena.“Aku tidak menyalahkan, tapi kau tidak perlu menyangga masalah itu sendiri. Kita bisa—”“Aku takut,” bisik Rowena lirih. “Kebakaran itu membuatku takut.”Awalnya Rowena berniat untuk menceritakan semua itu pada Dean, tapi ketika akibatnya tampak keterlaluan, Rowena tidak lagi punya keberanian, dan memilih untuk menyimpannya.“Kau baru saja melangkah, bagaimana kalau masalahnya menjadi besar? Maka aku diam dan menyimpannya. Membiarkan Edward menyelesaikan rencananya.” Pandangan Rowena tampak kosong sekarang. Pilihan itu sulit, tapi kala itu terlihat paling benar.Dean saat itu sedang sangat sibuk, partainya pertama kali memenangkan pemilu—pertama kali dirinya diangkat menjadi perdana menteri.Rowena tidak ingin merusak momen itu, dan memang semua selesai seperti perkiraan Edward. Carol tidak pernah lagi berani untuk mengulang pemerasan itu—dan sudah tidak bisa karena buktinya tidak ada.Dean menghela napas
“Bergeraklah!”Pria berkulit keriput dan berambut jarang itu menggeram marah pada wanita yang berbaring telanjang di bawah tubuhnya. Pinggulnya bergerak mendesak, tapi reaksi yang diterimanya tidak memuaskan.“Bergerak bagaimana, Barnet?” Mae mencoba bergeser agar posisinya lebih nyaman, tapi bukan itu yang diinginkan suaminya.“Setidaknya, tampaklah seperti menginginkanku! Sialan!”Lumatan di bibir diikuti remasan kuat datang. Usaha putus asa untuk membuat Mae mendesah—atau melenguh agar terlihat menikmati kegiatan itu. Namun, alih-alih desahan, Mae mengernyit kesakitan. Barnet bergerak lebih cepat, ingin memuaskan hasrat, diiringi sentuhan dan aneka ragam belaian, tapi Mae hanya menanggapi seadanya. Ia membalas ciuman basah yang beraroma sherry dan keju itu, bibirnya bergerak, terlihat menikmati. Hanya terlihat saja tapi. Ciuman itu terasa tidak jauh berbeda seperti saat Mae menempelkan ikan basah di bibirnya.Mae juga mencoba memeluk pinggang kurus dengan kedua tangan—mencoba ter
Mae jatuh terjengkang. Tidak mungkin sanggup menahan beban tubuh Evelyn yang lebih tambun darinya, dan terkejut juga. Tidak menduga kalau Evelyn akan brutal menyerang di hadapan umum.Namun, seandainya tahu serangan itu datang, Mae pun tidak akan melawan atau menghindar. Penyerangan itu adalah resiko dari pilihannya begitu memutuskan untuk menjadi istri Barnet. Serangan dan cacian adalah hal normal, dan akan diterima—asalkan tidak keterlaluan.“Kau pelacur murahan! Seharusnya kau saja yang mati!”Evelyn mungkin berpura-pura sedih, tapi hinaan dan amarahnya untuk Mae adalah emosi asli yang dilampiaskan dengan sekuat tenaga.Evelyn menjambak rambut panjang berwarna brunette milik Mae, juga berusaha menamparnya. Mae menahan tangan Evelyn agar rambutnya tidak tercabut, dan hanya sempat melakukan itu karena dengan cepat Evelyn ditarik mundur oleh perawat dan dokter yang tadi. Wajah mereka tampak shock menyaksikan kebrutalan itu. Sekali lagi, hanya Mae yang tenang. Dengan bantuan perawat l